Anda di halaman 1dari 11

Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3), 2010: 227-237

STATUS KONTAMINAN PADA SAYURAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI INDONESIA1)


Christina Winarti dan Miskiyah
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114 Telp. (0251) 8321762, 8350920, Faks. (0251) 8321762 e-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go.id

PENDAHULUAN Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak mengandung vitamin dan mineral, serta berpotensi sebagai sumber pendapatan petani dan devisa negara. Konsumsi sayuran dari tahun ke tahun cenderung meningkat sampai 26%. Hal tersebut antara lain terkait dengan makin meningkatnya kepedulian konsumen terhadap mutu produk dan kesehatan tubuh. Sampai saat ini, aspek mutu dan keamanan pangan masih menjadi salah satu masalah utama dalam produksi dan pemasaran sayuran. Mutu sayuran yang tidak konsisten dengan tingkat kontaminan yang cukup tinggi ditengarai dapat merugikan perdagangan komoditas tersebut di pasar regional maupun internasional. Salah satu masalah yang dihadapi oleh sebagian pengekspor dan produsen makanan adalah terjadinya kasus penahanan otomatis (automatic detention) terhadap produk pangan asal Indonesia. Kasus penahanan ini terjadi setiap tahun sehingga dapat menurunkan devisa. Pada bulan

1)

Bagian dari naskah yang diterbitkan pada Jurnal Hortikultura Volume 19 Nomor 1, Tahun 2009, hlm. 101-111. Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 31 Juli 2007 di Bogor.

April 2005 terjadi 39 kasus penolakan produk makanan asal Indonesia oleh FAO karena mengandung berbagai bahan berbahaya yang dilarang dipergunakan. Kasus tersebut meningkat dibandingkan dengan bulan Januari 2005 dengan 15 produk yang ditolak, Februari 2005 sebanyak 29 produk, dan Maret 2005 meningkat menjadi 31 produk (Media Indonesia 2005). Kasus penolakan produk pangan dari Indonesia terutama (80%) karena kotor, dan persentase tersebut relatif tetap dari tahun ke tahun. Kasus penolakan terhadap sayuran dari Indonesia oleh beberapa negara menunjukkan bahwa penanganan keamanan pangan di Indonesia masih belum optimal. Minimnya penerapan teknologi produksi dan penanganan pascapanen sayuran mengakibatkan mutu yang tidak konsisten. Masalah tersebut masih ditambah dengan penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga produk sayuran Indonesia memiliki jaminan keamanan pangan yang rendah dan tingkat kontaminasi yang tinggi. Jenis kontaminan yang menjadi perhatian utama saat ini adalah mikroba, logam berat, dan residu pestisida. Dalam memproduksi sayuran, petani menghadapi masalah serangan hama dan penyakit yang sering menyebabkan gagal panen. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan meng-

gunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida yang berlebihan menjadi sumber pencemaran pada bahan pangan, air, dan lingkungan hidup. Akibatnya, residu yang ditinggalkan secara langsung maupun tidak langsung sampai ke tubuh manusia. Upaya meningkatkan keamanan pangan produk pertanian, khususnya sayuran, telah dilakukan antara lain melalui program pengendalian hama terpadu (PHT). Pada PHT, produksi pertanian tidak hanya mempertimbangkan tingkat produksi yang tinggi, tetapi juga keberlanjutan produksi, kelestarian lingkungan, dan keamanan pangan. Sayangnya, sejauh ini upaya tersebut belum mampu memecahkan berbagai persoalan keamanan pangan karena adanya praktek produksi yang menyimpang dari anjuran. Munculnya beberapa kasus keracunan makanan dan penyakit karena mengonsumsi buah-buahan atau sayuran segar maupun olahan mengindikasikan adanya kontaminan (pestisida, mikroba, logam berat) dalam bahan pangan tersebut. World Health Organization (WHO) mendefinisikan penyakit asal pangan (foodborn disease) sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun yang disebabkan oleh senyawa yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dikonsumsi. Menurut data FDA Amerika Serikat, penyakit asal pangan yang disebabkan oleh kontaminasi mikroba menempati urutan pertama di atas racun alami, residu pestisida, dan bahan tambahan pangan. Hasil penelitian Munarso et al. (2004, 2005) menunjukkan bahwa kandungan kontaminan logam berat pada sayuran bervariasi, termasuk logam berat timbal (Pb). Sementara itu, hasil pengujian kandungan residu pestisida memperlihatkan bahwa secara kualitatif sayuran terdeteksi

mengandung residu pestisida, namun secara kuantitatif kandungan tersebut masih di bawah ambang batas yang diizinkan. Tulisan ini menyajikan kajian dan hasil penelitian mengenai kontaminan pada sayuran dan upaya pengendaliannya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan informasi mengenai status kontaminan pada sayuran dan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya sehingga keamanan dan mutu sayuran makin meningkat.

KONTAMINAN MIKROBA PADA SAYURAN Beberapa jenis sayuran yang biasa dikonsumsi segar berpotensi merugikan kesehatan karena rentan terkontaminasi mikroba. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kontaminasi mikroba pada sayuran segar yang diambil di tingkat petani maupun pedagang (Isyanti 2001). Demikian pula hasil penelitian Susilawati (2002) menunjukkan adanya kandungan Salmonella pada sayuran segar di tingkat petani dan pedagang di Bogor. Di Amerika Serikat, patogen yang menjadi perhatian utama pada buah dan sayuran adalah Salmonella, Shigella, Entamoeba histolytica, dan Ascaris spp. Kontaminasi mikroba pada sayuran bisa berasal dari penyemprotan atau pengairan dengan air yang terkontaminasi Salmonella dan pemupukan dengan kotoran hewan, sehingga pada sayuran seperti selada ditemukan Salmonella (Lund et al. 2000). Menurut Sapers (2001), kontaminasi mikroba patogen pada produk pertanian terjadi pada beberapa titik, mulai dari tahap produksi, panen, pengepakan, pengolahan, distribusi hingga pemasaran. Marriot (1999) melaporkan bahwa Salmonella dapat tumbuh dan memproduksi

endotoksin yang dapat menyebabkan penyakit. Salmonellosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Salmonella. Jumlah bakteri yang dapat menyebabkan infeksi bergantung pada jenis Salmonella dan keadaan kesehatan seseorang. Jumlah bakteri 105-1010 dapat menyebabkan infeksi. Salmonellosis ditandai dengan sakit perut, mual dan diare, kadang disertai demam ringan dan sakit kepala. Salmonellosis timbul 8-72 jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Beberapa strain Escherichia coli dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan dengan memproduksi enterotoksin dan menimbulkan gejala menyerupai kolera, menyerang sel-sel epitelium saluran usus dengan melakukan adhesi dan kolonisasi pada saluran usus halus serta mengeluarkan enterotoksin. Bakteri E. coli patogen dapat menimbulkan sindrom klinis, yaitu gastroenteritis akut pada anakanak dan infeksi pada saluran pencernaan. Kontaminasi bakteri ini biasanya berasal dari air yang digunakan untuk mencuci bahan makanan yang akan dikonsumsi maupun peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan. E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas. Oleh karena itu, untuk mencegah pertumbuhan bakteri tersebut pada makanan, sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah (Supardi dan Sukamto 1999). International Commision on Microbiological Specification for Foods (ICMSF) (1996) merekomendasikan, sayuran yang akan dikonsumsi mentah mengandung E. coli kurang dari 103 CFU/g, Salmonella harus tidak ada dalam 25 g sampel, dan tiga dari lima sampel yang dianalisis boleh mengandung total mikroba 105-106 CFU/g. Sementara itu, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (1989) mensyaratkan sayuran yang dikon-

sumsi maksimum mengandung E. coli 102 CFU/g dan tidak mengandung Salmonella.

KASUS KERACUNAN KARENA KONSUMSI SAYURAN Kasus keracunan karena mengonsumsi buah dan sayuran yang terkontaminasi bakteri patogen, terutama E. coli, Listeria monocytogenes dan Salmonella cenderung meningkat (Tauxe et al. 1997; Singh et al. 2002). Beberapa kasus penyakit di beberapa negara yang disebabkan konsumsi sayuran segar seperti selada, lobak, dan kecambah disajikan pada Tabel 1. Di Indonesia, kasus keracunan pangan cukup sering terjadi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 dilaporkan bahwa dari 18 kasus yang tercatat, 83,3% diduga karena bakteri patogen, sedangkan pada tahun 2004 sebanyak 60% dari 41 kasus, dan pada tahun 2005, dari 53 kasus 72,2% karena bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu mikrobiologis pada jajanan umumnya sangat rendah. Beberapa makanan jajanan seperti gado-gado, ketoprak, dan tauge goreng mengandung bakteri koliform antara 1 x 104 sel sampai 1,7 x 104 sel/g dan koliform fekal antara 3,6 x 10 sel sampai 5,0 x 103 sel/ g, selain mengandung Salmonella, Shigella, dan Staphylococcus.

HASIL PENELITIAN KONTAMINAN PADA SAYURAN Hasil penelitian tingkat kontaminasi mikroba, logam berat, dan residu pestisida pada sayuran di beberapa sentra produksi di Jawa oleh Munarso et al. (2004, 2005) disajikan pada Tabel 2-4. Pengambilan con-

Tabel 1. Beberapa kasus keracunan karena konsumsi sayuran di beberapa negara, 1992-2001. Tahun 1992 1993 1993 1995 1995 1996 1996 1996 1996 1996 1997 1997 1998 1999 1999 1999 1999 2000 2000 2001 Jenis patogen Salmonella enteritidis E. coli E. coli E. coli Campylobacter jejuni E. coli E. coli E. coli E. coli E. coli E. coli E. coli Cyclospora Shigella sonnei E. coli E. coli E. coli Salmonella Salmonella enteritidis Samonella enteritidis Salmonella enteritidis Komoditas Selada Wortel Wortel Selada Selada Selada Selada Selada Selada (daun merah) Selada Kecambah lobak Kecambah lobak Selada Selada Selada Kubis Kubis Kecambah Kecambah kacang Kecambah Kecambah Jumlah kasus 12 47 121 23 14 49 61 27 11 6.000 126 29 160 47 27 19 26 25 45 84 Lokasi Vermont Rhode Island, AS New Hampshire, AS Ontario, Kanada Oklahoma, AS Dua negara bagian di AS Connecticut, Illinois, New York Chicago Ohio Jepang Jepang Florida Minnesota Ohio, Indiana Indiana Ohio California Belanda California Alberta, B.C, Saskatchewan

Sumber: OMAFRA (2002)

Tabel 2. Jumlah mikroba pada beberapa jenis sayuran segar. Sayuran Jumlah mikroba (sel/g) di tingkat Petani 1,4 x 107 5,4 x 104 1,8 x 105 5,7 x 8,4 x 106 3,6 x 104 3,1 1,7 4,2 10 5 7,1 2,8 x 107 x 106 x 106 x 107 x 106 4,3 3,3 6,1 5,4 3,7 2,1 x x x x x x Pasar 105 104 105 105 106 106 4,6 2,5 5,7 2,2 4,7 2,1 x x x x x x 107 107 107 107 107 107 BMR1) 0 0 0 0 0 0 103 103 103 103 103 103

Kubis Tomat Wortel Cabai merah Bawang merah Selada

Sumber: Munarso et al. (2004, 2005); 1)Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (1989)

toh dilakukan secara acak terstruktur, selanjutnya sampel dianalisis di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian di Bogor.

Kandungan mikroba pada sayuran segar umumnya masih sangat tinggi, yaitu 10610 7 sel/g sampel pada penanganan di tingkat petani dan pasar tradisional. Jumlah

ini melebihi ketentuan yang dipersyaratkan, yaitu 103 sel/g sampel. Tingkat kontaminan mikroba pada sayuran segar di tingkat petani cukup tinggi, yaitu untuk kubis 2,6 x 106 sel sampai 8,0 x 107 sel/g, tomat 2,0 x 105 sel sampai 2,6 x 106 sel/g, dan wortel 1,8 x 106 sel sampai 1,2 x 108 sel/ g. Pada selada, kandungan mikroba berkisar antara 3,63 x 104 sel sampai 2,09 x 107 sel/g, pada cabai merah 5,04 x 105 sel sampai 2,19 x 107 sel/g, dan bawang merah 4,77 x 106 sampai 7,1 x 107 sel/g. Dari ketiga jenis sayuran tersebut, beberapa sampel yang diuji positif mengandung E. coli. Ambang batas jumlah mikroba dalam pangan adalah 103 sel/g. Berdasarkan SNI 7388: 2009

tentang batas cemaran mikroba dalam pangan, batas kandungan E.coli pada sayuran adalah < 3/g sampel dan Salmonella sp. negatif untuk 25 g sampel (BSN 2009b). Hasil penelitian tingkat kontaminasi logam berat sangat bervariasi, bergantung jenis kontaminannya. Kandungan logam berat besi (Fe) pada semua jenis sayuran secara umum melebihi ambang batas maksimum residu (BMR) yang direkomendasikan. Demikian pula kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada beberapa sayuran melebihi ambang batas, walaupun ada yang tidak terdeteksi, seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat kontaminasi logam berat pada beberapa jenis sayuran segar. Sayuran dan jenis logam Kadar (ppm) BMR (ppm) (SNI 7387: 2009)1)

Kubis Fe Pb Cd Tomat Fe Pb Cd Wortel Fe Pb Cd Cabai merah Fe Pb Cd Bawang merah Fe Pb Cd Selada Fe Pb Cd

3,99 -5,99 0,175 -0,830 0,005 -0,200 3,985 -4,874 0,050 -0,166 0,004 -0,166 1,594 -7,518 0,10 -0,21 0,005 -0,019 15,98 -17,06 ttd ttd 8,29 -8,32 ttd ttd 6,71 -6,89 ttd ttd

5,0 0,5 0,2 5,0 0,5 0,2 5,0 0,5 0,2 5,0 0,5 0,2 5,0 0,5 0,2 5,0 0,5 0,2

Sumber: Munarso et al. (2004, 2005); 1)BSN (2009a)

Tabel 4. Residu pestisida pada beberapa jenis sayuran. Jenis sayuran dan residu pestisida Kubis Endosulfan (organoklorin) Metidation (organofosfat) Klorpirifos (organofosfat) Tomat Metidation (organofosfat) Profenofos (organofosfat) Karbofuran (karbamat) Wortel Endosulfan (organoklorin) Metidation (organofosfat) Klorpirifos (organofosfat) Karbofuran (karbamat) Cabai merah Dieldrin (organoklorin) Heptaklor (organoklorin) Endosulfan (organoklorin) Klorpirifos (organofosfat) Malation (organofosfat) Profenofos (organofosfat) Bawang merah Aldrin (organoklorin) Dieldrin (organoklorin) Heptaklor ep (organoklorin) Endosulfan (organoklorin) Klorpirifos (organofosfat) Profenofos (organofosfat) Karbofuran (karbamat) Selada Aldrin (organoklorin) Dieldrin (organoklorin) Heptaklor ep (organoklorin) Endosulfan (organoklorin) Klorpirifos (organofosfat) Profenofos (organoofosfat) Kadar (ppm) BMR (ppm) (SNI 7313:2008) 1)

0,00006 - 0,0074 0,0005 - 0,0018 0,0004 - 0,0053 0,0037 - 0,0085 0,0014 - 0,0079 0,0014 - 0,0047 0,0011 ttd 0,0013 ttd 0,0018 ttd 0,0022 0,0016 ttd 0,0008 0,0007 ttd 0,0020 0,0012 0,0004 ttd ttd 0,0014 ttd 0,0035 0,0012 0,0004 0,0007 0,0106 0,0041 0,005 0,0027 0,0070 0,0011 0,0047 0,0041 0,0006 0,0046 0,0028 0,0008 0,0021 0,0027 0,0022 0,0021 0,0004 0,0106 0,0013 0,0039 0,0045 0,0050 0,0023

1,00 0,10 0,05 0,10 2,00 0,10 2,00 0,10 0,50 0,50 0,10 0,02 2,00 0,50 3,00 2,00 0,10 0,10 0,20 1,00 0,05 0,05 0,10 0,10 0,05 0,05 1,00 0,10 1,00

Sumber: Munarso et al (2004, 2005); 1)BSN (2008)

Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, baik jenis, komposisi, takaran, waktu, maupun interval pemakaian. Hal ini terutama disebabkan kondisi iklim yang sejuk dengan kelembapan dan curah hu-

jan yang tinggi sehingga sangat baik untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman. Penggunaan insektisida pada tanaman pangan, termasuk sayuran selama 25 tahun terakhir meningkat 20 kali. Meskipun PHT telah diterapkan, pada

prakteknya masih banyak petani yang menggunakan pestisida secara berlebihan. Pestisida yang terdapat pada tanaman dapat terserap hasil panen berupa residu yang dapat terkonsumsi oleh konsumen. Residu pestisida dapat berasal dari pestisida yang terpapar langsung pada produk atau terserap dari dalam tanah, terutama pada tanaman yang dipanen umbinya. Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam produk pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida. Residu pestisida menimbulkan efek yang bersifat tidak langsung terhadap manusia, namun dalam jangka panjang menyebabkan gangguan kesehatan antara lain gangguan pada syaraf dan metabolisme enzim. Tabel 4 menyajikan hasil pengujian kadar residu pestisida pada beberapa jenis sayuran dan batas maksimum yang diizinkan. Data pada tabel tersebut menunjukkan hampir semua sampel yang diuji positif mengandung residu pestisida walaupun kadarnya di bawah ambang batas yang diizinkan. Sekitar 200 jenis pestisida untuk pertanian yang beredar di Indonesia telah terdaftar dan diizinkan oleh pemerintah, antara lain pestisida golongan organofosfat. Pestisida golongan ini banyak digunakan petani karena mudah larut dalam air dan mudah terhidrolisis menjadi senyawa yang pada kadar tertentu tidak beracun dibandingkan dengan pestisida golongan lain. Berdasarkan Kepmentan No. 473/Kpts./TP.270/619/1996, 28 jenis bahan aktif pestisida dilarang untuk diedarkan dan digunakan, seperti asetat, azinfosmetil, diazinon, diklorfos, endosulfan, fention, kuinalfos, dan triklorfos. Namun, residu pestisida yang dilarang tersebut masih terdeteksi pada sayuran yang dibudidayakan petani. Hasil deteksi ter-

hadap residu pestisida pada sayuran menunjukkan, meskipun secara kualitatif beberapa senyawa bahan aktif pestisida dapat terdeteksi, secara kuantitatif kandungan senyawa tersebut masih berada di bawah ambang batas yang diizinkan (Munarso et al. 2009).

UPAYA PENGENDALIAN KONTAMINAN PADA SAYURAN Pengendalian kontaminan pada sayuran segar diperlukan untuk mengurangi residu kontaminan tersebut. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah: (1) pencucian menggunakan air mendidih, air mengalir, larutan sabun, maupun ozon terlarut; (2) pembersihan, pengupasan, dan pemotongan bagian akar maupun kulit terluar; (3) pencelupan dalam air panas atau pemblansiran; dan (4) penggunaan sanitizer. Sanitizer sering digunakan untuk mengendalikan kontaminan pada sayuran dan buah-buahan. Beberapa jenis sanitizer yang sering digunakan adalah klorin dan hidrogen peroksida. Penelitian tentang aplikasi sanitizer pada sayuran telah dilakukan di Indonesia, namun pada skala laboratorium yaitu pada selada (Marlis 2004) dan tauge (Wulandari 2004). Pemilihan jenis sanitizer didasarkan pada kemudahan dalam penggunaan dan nilai ekonomi sanitizer yang digunakan. Kombinasi larutan klorin dalam bentuk natrium hipoklorit (NaOCl) dan asam asetat mampu mematikan mikroba patogen karena suasana asam akan memacu pembentukan asam hipoklorit dari natrium hipoklorit yang merupakan agens bakterisidal yang lebih tinggi dibanding ion-ion klorida (Cl2 dan OCl-). Menurut Marriot (1999), sanitizer adalah suatu bahan yang dapat mengurangi

kontaminan mikroba yang sedang tumbuh hingga 99,9%. Efektivitas sanitizer, terutama sanitizer kimia, dipengaruhi oleh faktor fisik-kimia seperti waktu kontak, suhu, konsentrasi, pH, kebersihan peralatan, kesadahan air, dan serangan bakteri. Beberapa jenis sanitizer yang sudah dikenal adalah senyawa fenol dan fenolik, alkohol, halogen, logam berat, zat warna, detergen, senyawa amonium quarterner, asam, dan alkali. Sanitizer dapat diaplikasikan dengan cara sirkulasi, perendaman, penggunaan sikat, fogging (pembentukan kabut), dan penyemprotan (Jenie 1988). Klorin mampu menyebabkan reaksi mematikan pada membran sel dan dapat memengaruhi DNA. Natrium hipoklorit bereaksi dengan DNA sel hidup, menyebabkan mutasi akibat reaksi oksidasi basa purin dan pirimidin. Bakteri vegetatif umumnya lebih terpengaruh oleh sifat inaktivasi klorin daripada mikroba yang membentuk spora. Hasil penelitian Munarso et al. (2005) menunjukkan bahwa formula sanitizer hasil penelitian yang dapat diterapkan di tingkat petani adalah kombinasi asam asetat 2% dan natrium hipoklorit 100 ppm dengan waktu kontak 4 menit. Kombinasi ini memberikan efektivitas yang tinggi terhadap inaktivasi mikroba patogen. Kombinasi asam asetat 2,75%, natrium hipoklorit 77 ppm dengan waktu kontak 3,5 menit menurunkan residu pestisida hingga 3,32%. Evaluasi penerapan sanitizer pada kelompok tani menunjukkan tingkat inaktivasi rata-rata 5,59 log CFU/g dan pengurangan residu pestisida rata-rata 24,61%. Hasil penelitian aplikasi sanitizer pada terminal agribisnis yang dilakukan oleh Winarti et al. (2007) menunjukkan bahwa formula sanitizer dengan kombinasi natrium hipoklorit 100 ppm dan asam asetat 2% dengan lama perendaman 4 menit mem-

berikan efektivitas yang cukup tinggi terhadap mikroba, tetapi menyebabkan pencoklatan terutama pada wortel dan selada. Modifikasi formula dengan menurunkan konsentrasi asam asetat menjadi 1% dan 0,5% masih efektif terhadap mikroba dengan sifak fisik dan organoleptik sayuran yang baik. Jumlah total mikroba dan E. coli pada sayuran yang direndam dengan sanitizer turun di bawah ambang batas yang diizinkan untuk produk pangan yang dikonsumsi mentah. Demikian pula kadar residu klorin berada di bawah BMR klorin untuk air minum. Total mikroba dan E. coli pada tomat, wortel, dan selada yang diberi sanitizer tidak berbeda di antara ketiga konsentrasi asam asetat. Hasil pengamatan setelah penyimpanan menunjukkan perubahan warna, penurunan tingkat kekerasan dan kadar vitamin C pada tomat dan kadar beta-karoten pada wortel. Secara organoleptik, sayuran yang diberi sanitizer dapat diterima dengan nilai 4-5 (agak suka sampai suka). Metode lain untuk mengendalikan kontaminan pada sayuran adalah aplikasi ozon. Menurut Sugiharto (2007), ozon merupakan zat aktif yang jika bereaksi dapat mematikan bakteri. Ozon adalah bentuk lain dari oksigen; perbedaannya terletak pada jumlah molekul O. Oksigen mengandung dua molekul O (O2), sedangkan ozon mengandung tiga molekul O (O3). Teknologi ozon yang sudah berkembang adalah sterilisasi dengan menggunakan air berozon. Teknologi ozon telah diuji coba untuk mengawetkan tomat di Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang, dengan cara penyemprotan. Sampel tomat yang diteliti berasal dari lima mata rantai pemasaran, yaitu petani, pengumpul, grosir, pasar tradisional, dan pasar swalayan. Konsentrasi larutan ozon yang digunakan adalah 1 mg/l, 1,5 mg/l, 2 mg/l, dan kontrol

(tanpa larutan ozon). Hasil penelitian menunjukkan, kualitas fisik, kimia, dan organoleptik tomat yang dicuci dengan air berozon lebih baik dibandingkan tanpa perlakuan (kontrol). Pencucian menggunakan larutan ozon menurunkan residu pestisida dan logam berat. Tomat yang disemprot dengan larutan ozon lebih bersih dan awet hingga 3 minggu. Penggunaan ozon dianggap aman karena tidak meninggalkan residu pada produk.

3. Pada umumnya sayuran yang diamati mengandung residu pestisida di bawah BMR. 4. Formula sanitizer dengan kombinasi asam asetat 2% dan natrium hipoklorit 100 ppm dengan waktu kontak 4 menit memberikan efektivitas yang tinggi terhadap inaktivasi mikroba patogen.

Implikasi Kebijakan 1. Kontaminasi mikroba patogen, logam berat, dan residu pestisida pada sayuran terjadi karena petani, pengumpul, distributor, dan pedagang belum menerapkan standar prosedur operasi secara benar. Oleh karena itu, Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Handling Pratices (GHP) harus diterapkan pada rantai pemasaran sayuran. 2. Perlunya dilakukan revitalisasi terminal agribisnis di sentra produksi sayuran agar dapat berfungsi sebagai pasar produk sayuran bermutu dan memudahkan pengawasannya. 3. Menyusun dan melengkapi SNI untuk komoditas sayuran dengan memperhatikan faktor keamanan pangan dan tuntutan perdagangan bebas sehingga komoditas sayuran Indonesia mampu bersaing di pasar domestik maupun ekspor. 4. Perlunya sosialisasi yang intensif mengenai kontaminan yang berbahaya bagi kesehatan, ambang batas yang direkomendasi, serta standar mutu berbagai sayuran. 5. Diperlukan adanya kepastian hukum yang mengikat semua pihak, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian. Keamanan

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Beberapa sayuran seperti kubis, tomat, wortel, cabai merah, bawang merah, dan selada yang berasal dari petani maupun yang ada di pasaran mengandung mikroba di atas ambang batas yang direkomendasikan Kementerian Pertanian. Hal ini memengaruhi pula kandungan mikroba pada makanan yang menggunakan sayuran segar, seperti gado-gado, ketoprak, dan tauge goreng. Jenis mikroba yang banyak ditemui adalah bakteri koliform, koliform fekal, E.coli, Salmonella, Shigella, dan Staphylococcus. 2. Tingkat kontaminasi logam berat pada sayuran bervariasi, bergantung pada jenis logam dan sayuran. Kandungan logam berat Fe pada semua jenis sayuran yang diamati umumnya melebihi BMR. Kandungan logam berat Pb dan Cd yang melebihi BMR ditemukan pada kubis, tomat, dan wortel, sedangkan pada cabai merah, bawang merah, dan selada tidak terdeteksi.

produk pertanian belum menjadi perhatian utama saat ini karena belum ada aturan dan sanksi yang tegas terhadap kasus keracunan. 6. Mempermudah mekanisme klaim konsumen kepada produsen dan adanya kepastian hukum bagi produsen yang tidak melaksanakan persyaratan mutu.

DAFTAR PUSTAKA BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2008. SNI 7313: Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. BSN, Jakarta. 147 hlm. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2009a. SIN 7387: Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. BSN, Jakarta. 25 hlm. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2009b. SIN 7388: Batas Cemaran Mikroba dalam Pangan. BSN, Jakarta. 37 hlm. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1989. Keputusan Ditjen POM RI No. 03725/B/SK/VII/1990 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. ICMSF (International Commision on Microbiological Specification for Foods). 1996. Microorganisms in Food. 2. Sampling for Microbiological Analysis Principles and Specific Aplications. 2nd Edition. Chapman and Hall, Glasgow. Isyanti, M. 2001. Mutu Mikrobiologi Sayuran Lalap dari Pasar Tradisional di Daerah Bogor dan Pengaruh Pascapanen Minimal untuk Menjamin Keamanannya. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Lund, B.M., T.C. Baird-Parker, and G.W. Gould. 2000. The Microbial Safety and Quality of Food. Vol. II. Aspen Publ. Inc., Gathesburg, Maryland. Marriot, N.G. 1999. Principle of Food Sanitation. 4th Edition. Aspen Publ. Inc., Gather-sburg, Maryland. Marlis, A. 2004. Efektivitas Hidrogen Peroksida dan Asam Asetat untuk Inaktivasi Salmonella pada Selada Segar. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Media Indonesia. 2005. 39 Produk Makanan Indonesia Ditolak di AS. Media Indonesia 12 Mei 2005: 4. Munarso, S.J., Misgiyarta, R. Nurjanah, Murtiningsih, E. Mulyono, Suismono, Syaifullah, D. Amiyarsi, S. Nugraha, dan S.I. Kailaku. 2004. Penelitian Perilaku Kontaminan pada Komoditas Sayuran. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Munarso, S.J., Misgiyarta, Syaifullah, Murtiningsih, Miskiyah, W. Haliza, Suismono, E. Mulyono, S. Nugraha, D. Amiyarsi, R. Nurjanah, Widaningrum, P. Yuwono, S.I. Kailaku, dan A. Budiyanto. 2005. Identifikasi Kontaminan dan Perbaikan Mutu Sayuran. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasacapanen Pertanian, Bogor. Munarso, S.J., Miskiyah, dan Wisnubroto. 2009. Studi kandungan residu pestisida pada kubis, tomat dan wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Penelitian Pascapanen Pertanian 5(1):27-32. OMAFRA (Ontario Ministry of Agriculture Food and Rural Affairs). 2002.

Selected foodborn outbreaks traced to fresh produces and juices. In Food Safety Risk Assessment Foods of Plant Origin. Appendix A. OMAFRA Food Inspection Branch. Sapers, G.M. 2001. Efficacy of washing and sanitizing methods for disinfection of fresh fruit and vegetable products. Food Technol. Biotechnol. 39(4): 305311. Singh, N., R.K. Singh, A.K. Bhunta, and R.L. Stroshine. 2002. Effect of inoculation and washing methods on the efficacy of different sanitizers against Escherichia coli O157:87 on lettuce. Food Microbiol. 29: 1983-1993. Sugiharto, A.T. 2007. Teknologi ozon alternatif pengawetan makanan yang aman. Trubus 4 Juli 2007. Supardi, I. dan M. Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung. Susilawati, A. 2002. Keamanan Mikrobiologi dan Survei Lapangan Sayuran

di Tingkat Petani dan Pasar Tradisional di Daerah Bogor. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tauxe, R., H. Kruse, C. Hedberg, M. Potter, J. Madden, and K. Wachsmuth. 1997. Microbial hazards and emerging issues associated with produce. A preliminary report to the National Advisory Committee on Mocrobiological Criteria for Foods. J. Food Prot. 11: 1400-1408. Winarti, C., Abubakar, Misgiyarta, dan R. Nurdjannah. 2007. Penelitian Formulasi dan Aplikasi Sanitiser pada Sayuran untuk Mengurangi Kontaminan Mikroba. Laporan Akhir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Wulandari, D.S. 2004. Efektivitas Hidrogen Peroksida dan Asam Asetat sebagai Sanitiser dalam Menginaktivasi Salmonella pada Tauge Segar. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai