Anda di halaman 1dari 6

SYARIAT ISLAM DALAM RUANG POLISENTRISITAS HUKUM Oleh Ratno Lukito Bertepatan dengan peringatan tahun baru hijriah

(1 Muharram 1423 H.) pemerintah daerah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara resmi memberlakukan Syariat Islam di ujung barat wilayah Indonesia tersebut. Berbagai tanggapan bermunculan, baik yang bernada positif maupun negatif. Berita ini tentu saja menarik untuk disimak, terutama ditengah usaha pemerintah untuk menyempurnakan dasar konstitusi negara (UUD 1945) khususnya pasal yang berhubungan dengan agama (pasal 29). Usaha sebagian masyarakat kita untuk menerapkan Syariat Islam di bumi Indonesia sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Sejak sebelum kemerdekaan pun kontroversi tentang Syariat Islam ini sudah muncul menjadi perdebatan. Komite persiapan kemerdekaan bentukan Jepang (Komite 62) sejak awal persidangannya pada tanggal 29 Mei 1945 sangat alot memperdebatkannya. Apa yang kemudian kita kenal dengan problem Piagam Jakarta itu sesungguhnya berkisar pada dua pertanyaan mendasar tentang hubungan agama dan negara. Pertama, apakah konstitusi negara yang hendak dibangun itu dapat memberikan pengakuan secara eksplisit terhadap keberlakuan salah satu agama yang ada? Dan kedua, bagaimanakah sesungguhnya kedudukan agama dalam bangunan negara Indonesia yang hendak diwujudkan? Perdebatan yang diakhiri dengan dihapuskannya kata-kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan keberlakuan Syariat Islam tersebut memang keputusan jalan tengah. Diakui bersama bahwa secara umum agama menjadi jiwa yang menyinari gerak langkah pembangunan bangsa, tetapi keberlakuan agama (Syariat Islam) tidak perlu secara eksplisit disebutkan (B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, 1982). Agama cukup menjadi rohnya saja, tanpa label apapun.

Problem Lanjutan Kita melihat bahwa nyawa dari perdebatan ide di atas tidak akan pernah mati. Kesepakatan bahwa agama hanya sebagai jiwa pembangunan dan bukannya dasar penuntun langkah pembangunan bangsa sesungguhnya kurang memuaskan kelompok Islam yang sejak awal menginginkan pengakuan secara eksplisit dari negara atas keberlakuan Syariat Islam. Sulit untuk mereka pahami bahwa hukum agama terpisah dari negara. Hanya saja permasalahannya bagaimana meletakkan nilai ideal transendental Islam tersebut kedalam dunia praksis ditengah kenyataan pluralisme sosial budaya bangsa ini. Kekawatiran umat non-muslim atas eksistensi mereka yang senantiasa marjinal ditengah dominasi Islam selalu tidak berhasil disembuhkan oleh jawaban-jawaban kaum muslimin yang nir-praksis. Fenomena-fenomena akhir yang muncul seperti penggrebekan tempat-tempat maksiyat di Jakarta yang dilakukan oleh aktifis FPI, pelaksanaan hukuman rajam di Ambon yang dilakukan oleh Laskar Jihad, maupun aksi-aksi jalanan di beberapa daerah lainnya yang lebih terkesan anarkis dengan mengatasnamakan gerakan amar maruf nahi munkar, justru menjadi momok baru bagi umat non-muslim dalam memahami kebangkitan Syariat Islam pada saat ini. Dalam konteksnya yang lebih besar, munculnya kembali semangat untuk menerapkan Syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia bakal menjadi babak baru kehidupan politik Indonesia. Tidak hanya dalam kerangka hubungan antar umat beragama secara horizontal saja tetapi juga lebih jauh lagi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam wacana konstitusi bangsa. Keberhasilan propinsi NAD dalam memberlakukan Syariat Islam dalam konstalasi politik bangsa saat ini sesungguhnya sarat makna. Fenomena ini tidak hanya dapat dikesani sebagai langkah keberhasilan umat Islam Indonesia untuk mewujudkan kembali impian mereka yang sempat 2

hilang. Namun lebih jauh lagi ia dapat dipahami sebagai kapital bargaining baru bagi pemerintah daerah dalam perjuangan otonominya terhadap pemerintah pusat. Permasalahan ini menjadi lebih rumit mengingat perdebatan masalah agama dalam konstitusi hanya berkutat pada masalah klasik Piagam Jakarta dalam frame pemikiran pemerintah pusat sebagai agen tunggal penciptaan hukum (legal centralism). Sementara perdebatan tentang otonomi daerah terkesan lebih difokuskan pada masalah pembagian roti ekonomi saja. Polisentrisitas Hukum Dengan demikian, permasalahan Syariat Islam di tanah air akhirakhir ini sesungguhnya tidak tepat lagi dianalisis dengan sekedar menggunakan pisau bedah lama sebagaimana yang pernah kita gunakan untuk memahami masalah Piagam Jakarta di awal kemerdekaan Indonesia. Sebab kalau hanya sekedar pengakuan dari negara tentang keberlakuan Syariat Islam, usaha-usaha kearah itu (walaupun belum maksimal) sesungguhnya telah dilakukan oleh negara misalnya dengan dikeluarkannya UU Peradilan Agama tahun 1989 dan Inpres tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Namun dalam kenyataannya letupan-letupan semangat untuk memberlakukan Syariat Islam itu tetap saja hidup dalam sebagian masyarakat Islam. Seolaholah ada ketidakpuasan terhadap apa yang sudah pernah ditempuh oleh negara. Sejalan dengan pemikiran ini maka perdebatan tentang apakah UUD 1945 pasal 29 (khususnya ayat 1) perlu diamandemen atau dibiarkan tetap seperti semula bukanlah jawaban. Karena kita hanya memindahkan problem tersebut dari Piagam Jakarta ke batang tubuh konstitusi saja. Kontroversi ini harus dipahami dalam kerangka problematika konstitusi tentang hak penciptaan hukum dalam negara.

Sejalan dengan prinsip nation state, Indonesia selama ini memang lebih menganut filosofi sentralisme hukum dimana negara (pemerintah pusat) bertindak sebagai agen satu-satunya penciptaan hukum. Dengan demikian produk hukum yang dikreasi diluar institusi negara dianggap sebagai tidak valid dan karenanya harus dibatalkan. Sejarah kita mencatat perilakuan institusi negara ini di era tahun limapuluhan ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga adat di daerah. Pembunuhan terhadap lembaga adat dalam artinya yang literal berlangsung saat itu sebagai bukti ekspansi paham sentralisme dan uniformisme hukum (Sutandyo W., Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, 1994). Sejalan dengan nafas reaktualisasi otonomi daerah, maka tampaknya perlu dikaji ulang filosofi legal centralism tersebut. Bahasan tentang otonomi daerah perlu diperluas tidak hanya pada masalah ekonomi antara pusat dan daerah saja tetapi harus juga melibatkan pemikiran tentang pembagian kekuasaan penciptaan hukum. Apa yang dalam kajian hukum dikenal sebagai legal polycentricity perlu ditumbuhkan menjadi wacana dalam perumusan otonomi daerah yang belum selesai di Indonesia. Dengan teori pusat hukum yang tersebar tersebut Hanne berbagai Petersen dan ide tentang penciptaan Legal hukum dapat : ditumbuhsuburkan tanpa harus menunggu dari institusi negara (baca Henrik Zahle,eds., polycentricity Consequences of Pluralism in Law, 1995). Ide polisentrisitas hukum pada dasarnya adalah pengembangan ide dari filsafat hukum sebagai derivasi kebutuhan masyarakat. Hukum tidak hanya sebagai alat social engineering tetapi sebaliknya hukum itu sendiri refleksi dari perasaan masyarakat (Steven Vago, Law and Society, 1997). Dari kebutuhan masyarakatlah hukum itu dapat dilahirkembangkan sesuai dengan rasa keadilan. Karenanya hukum yang tidak berasal dari masyarakat senantiasa akan mati. Teori ini sebetulnya merupakan perlawanan terhadap aliran positivisme

Austinian yang menempatkan institusi hukum sebagai hak prerogatif dari kekuasaan politik (negara). Dengan kerangka pemikiran ini maka dimungkinkan sekali pluralisme hukum yang selama ini sudah dianut di Indonesia diperluas maknanya dalam artian pemerintah pusat bukan sebagai satu-satunya agen pencipta hukum. Kreasi hukum bisa diperlebar melibatkan masyarakat di masing-masing daerah untuk menciptakan hukum disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing. Syariat Islam atau hukum adat lokal, misalnya, dapat diberlakukan di propinsi tertentu kalau memang masyarakat menginginkannya. Munculnya Syariat Islam di NAD dengan demikian bukanlah fenomena yang luar biasa bila kita lihat dari kerangka polisentrisitas hukum ini. Pemerintah daerah manapun di wilayah hukum nasional Indonesia akan dimungkinkan untuk mempunyai hak yang sama untuk menciptakan hukum yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat daerahnya masing-masing. Tentu saja otonomi hukum semacam ini harus tetap dipahami dalam kerangka negara kesatuan RI. Sehingga pada tataran aplikabilitasnya ide ini nantinya harus diikuti dengan diskusi yang intensif dari semua pihak untuk memusyawarahkan pembagian hak hukum antara pemerintah pusat dan daerah. Mengikuti arah pemikiran ini maka semangat penerapan Syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia haruslah ditanggapi dengan lebih bijaksana ketimbang sekedar memperdebatkan persoalan klasik Piagam Jakarta. Persoalan ini tidak akan pernah terselesaikan hanya dengan kerangka lama yang mempersoalkan apakah kewajiban menjalankan hukum agama itu harus dieksplisitkan dalam konstitusi negara atau tidak tanpa mengembalikan esensi persoalannya kepada umat Islam itu sendiri. Sebab meletakkan hukum dalam kerangka kebutuhan personal masyarakat pemakai hukum tentu akan lebih menyelesaikan ketimbang membungkusnya semata dalam bingkai produk politik sentralisme negara. 5

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sesungguhnya kesiapan umat Islam dalam hal ini. Semangat menerapkan Syariat Islam tentu akan efektif kalau memang betul-betul disadari sebagai kebutuhan hukum asasi yang lahir dari masyarakat muslim itu sendiri. Bukannya lahir dari kebutuhan politik atau kebutuhan lain diluar kepentingan hukum. Tentu, ini agenda yang tidak mudah untuk dijawab, disamping pertanyaan klasik yang belum selesai juga, yaitu apa yang dipahami oleh umat Islam tentang Syariat Islam? Walhasil diskursus ini belum selesai.

Anda mungkin juga menyukai