Anda di halaman 1dari 26

BAHAN AJAR TEKNIK PENDAMPINGAN DAN MANAJEMEN KONFLIK

DISAJIKAN PADA

DIKLAT FASILITATOR PENDAMPINGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN MAKASSAR, APRIL 2012


I. PENDAHULUAN
0

A.

Latar Belakang Salah satu dari enam kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah

Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi baik akibat illegal logging dan kebakaran hutan, berimpilkasi pada berkurangnya suplai kayu untuk industri kehutanan. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah cara untuk memenuhi kebutuhan industri kayu nasional. Sejak tahun 2007 Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan menggiatkan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kebijakan HTR terkait dengan kebijakan Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Salah satu kelemahan berbagai program yang dilakukan oleh pemerintah, termasuk Kementerian Kehutanan adalah kurangnya perhatian pada proses pembelajaran, baik bagi masyarakat maupun para pihak yang terlibat dalam program tersebut. Diperlukan suatu pra kondisi agar masyarakat dapat memanfaatkan akses yang disediakan dengan sebaik-baiknya, dan dapat berpartisipasi, meningkatkan kapasitas dan kesejahteraannya melalui akses yang didapat tersebut. Untuk mempersiapkan pra kondisi masyarakat tersebut dibutuhkan proses pendampingan secara intensif. Dalam mewujudkan pelaksanaan pendampingan yang efektif, agar tercapai program HTR yang efisien dan efektif, maka pendamping perlu memahami teknik pendampingan dan manajemen konflik sehingga dalam pelaksanaan pendampingan terutama dalam pelaksanaan fisik di lapangan, penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat akan dapat diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan dan direncanakan.

B.

Maksud dan Tujuan Penyampaian mata diklat ini dimaksudkan untuk memberi pengetahuan pada peserta

diklat tentang teknik pendampingan dan manajemen konflik.

C.

Ruang Lingkup Ruang lingkup pembahasan mata diklat ini meliputi tujuan dan fungsi pendampingan,

prinsip-prinsip pendampingan, metode dan teknik pendampingan, pengertian konflik, respon dan gaya tanggapan konflik, langkah-langkah penyelesaian konflik.

D. Kompetensi Dasar Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini diharapkan peserta diklat mampu memahami teknik pendampingan dan manajemen konflik.

E. Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini perserta diharapkan mampu: 1. Menjelaskan tujuan dan fungsi pendampingan

2. Menjelaskan dan menerapkan prinsip-prinsip pendampingan 3. Menjelaskan dan menerapkan metode dan teknik pendampingan 4. Menjelaskan tugas/peran pendamping 5. Menjelaskan pengertian konflik 6. Menjelaskan dan menerapkan respon dan gaya tanggapan konflik 7. Menjelaskan dan menerapkan langkah-langkah penyelesaian konflik

II. TUJUAN DAN FUNGSI PENDAMPINGAN

Program HTR memerlukan proses pembelajaran bersama, baik bagi masyarakat maupun para pihak yang terlibat dalam program tersebut, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Bagi masyarakat, diperlukan suatu pra kondisi agar masyarakat memiliki kapasitas sehingga dapat memanfaatkan akses yang disediakan dengan sebaik-baiknya, berpartisipasi secara aktif, dan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Untuk mempersiapkan pra kondisi masyarakat tersebut dibutuhkan proses pendampingan.

A. Pengertian Pendampingan Ada banyak definisi pendampingan yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan, antara lain:

1.

Proses belajar bersama dalam mengembangkan hubungan kesejajaran, hubungan pertemanan atau persahabatan, antara dua subyek yang dialogis untuk menempuh jalan musyawarah dalam memahami dan memecahkan masalah, sebagai suatu strategi mengembangkan partisipasi masyarakat menuju kemandirian (Permenhut No.

P.03/Menhut-V/2004); 2. Kegiatan yang dilakukan bersama-sama masyarakat dalam mencermati persoalan nyata yang dihadapi di lapangan selanjutnya didiskusikan bersama untuk mencari alternatif pemecahan ke arah peningkatan kapasitas dan produktivitas masyarakat (Kepmenhut 132/Menhut-II/2004); 3. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang peduli terhadap masyarakat yang sedang menghadapi masalah dan berusaha memfasilitasi masyarakat untuk mengatasinya Pendampingan adalah suatu proses

pencerdasan masyarakat dan merupakan salah satu model penyuluhan dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Pusbinluhhut, 2002). 4. Kegiatan yang dilakukan oleh agen pembangunan (Pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi, Swasta) bersama-sama masyarakat dalam mencermati persoalan nyata yang dihadapi persoalan nyata yang dihadapi di lapangan selanjutnya didiskusikan bersama untuk mencari alternatif pemecahan ke arah peningkatan kapasitas dan produktivitas masyarakat (Perdirjen BPK P.01/VI-B). Pengertian pendampingan lainnya, adalah: 1. Kegiatan memfasilitasi proses pembelajaran secara nonfomal untuk mencapai keberdayaan masyarakat. 2. Upaya yang dilakukan oleh fasilitator untuk membantu dan memfasilitasi petani (dan kelompok tani) dalam pengembangan usaha di bidang kehutanan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian, keterampilan dan kelembagaannya agar secara mandiri mengembangkan jejaring dan kemitraan usahanya dengan pihak-pihak yang berkompeten. Pendampingan juga merupakan strategi mengembangkan partisipasi masyarakat menuju kemandirian 3. Petugas pendamping/fasilitator adalah orang yang ditugaskan khusus sebagai pendamping dalam upaya pelaksanaan fisik, penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat.

B. Tujuan Pendampingan
3

Tujuan pendampingan pada dasarnya mencakup dua elemen pokok yaitu tumbuhnya kemandirian dan partisipasi aktif masyarakat. Kemandirian merupakan kemampuan untuk pelepasan diri dari keterasingan, atau kemampuan untuk bangkit kembali pada diri manusia yang mungkin sudah hilang karena adanya ketergantungan, eksploitasi dan sub ordinasi (Najiyati et.al, 2005). Kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kondisi yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya secara bebas, sesuai dengan pilihan dan kemauannya sendiri, dan kemampuan melakukan kerja sama dengan pihak di luar dirinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Partisipasi aktif masyarakat merupakan proses keterlibatan masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses pendampingan, mulai dari pengambilan keputusan dalam identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan program, pelaksanaan program serta evaluasi dan menikmati hasil. Masyarakat akan terlibat secara aktif dalam kegiatan pendampingan bila didasari oleh adanya kesadaran masyarakat tentang penting dan bermanfaatnya kegiatan tersebut. Oleh karenanya proses pendampingan penting sekali didahului dengan proses penyadaran masyarakat, sehingga tidak menghasilkan partisipasi yang semu. Bila dikaitkan dengan pembangunan HTR, tujuan pendampingan meliputi: 1. Pendampingan teknis kegiatan pembangunan HTR,

2. Penguatan kelembagaan KTH, 3. Membangun jaringan usaha maupun hubungan kemitraan dengan pemerintah dan stakeholder lainnya. 4. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan HTR dan pengembalian dana pinjaman.

C. Fungsi Pendampingan Dilihat dari tujuannya, terdapat empat fungsi utama pendampingan, Yakni: 1. Fungsi fasilitasi, berupa sekumpulan kegiatan yang pada intinya memudahkan dan melancarkan sutau proses/kegiatan sehingga dapat berjalan dengan baik dan dilakukan dengan penuh kesadaran. 2. Fungsi edukasi, berupa sekumpulan kegiatan yang pada intinya memberikan bimbingan, pengajaran dan latihan sehingga terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat.

3. Fungsi mediasi, yang pada intinya menjembatani beberapa pihak untuk dapat bekerjasama secara sinergik. 4. Fungsi advokasi yang pada intinya mempengaruhi pendapat dan meningkatkan kesadaran di antara pengambil keputusan dan masyarakat atas sebuah masalah dalam rangka menghasilkan berbagai perubahan kebijakan dan perbaikan situasi yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat serta mengakui bahkan melindungi hak masyarakat dengan tidak mengabaikan kepentingan yang lebih besar Ketiga fungsi tersebut dapat dielaborasi menjadi lebih operasional sebagai berikut: 1. Menjaga agar semangat, kemauan, ide-ide dan gagasan kelompok tani tetap tinggi sehingga kegiatan HTR lancar. 2. Memacu dan meningkatkan kegiatan kelompok tani sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok tani 3. Membangkitkan kesadaran, memberikan informasi dan mentransfer pengetahuan sehingga masyarakat tahu akan adanya inovasi dan meningkatkan kemampuan masyarakat. 4. Mengurangi, menghentikan dan mengingatkan apabila ada kegiatan atau sikap yang menyimpang dan tidak mendukung kegiatan HTR 5. mendinginkan konflik dan ketegangan yang merugikan kelompok lain 6. Membantu kelompok tani dalam menaghadapi permasalahan yang muncul 7. Membimbing kelompok tani untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama 8. Mengembangkan jaringan kerjasama dalam kelompok, antar kelompok, instansi terkait, lembaga keuangan dan mitra lainnya. 9. Memberikan masukan kepada pengambil kebijakan atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan memberi saran penyelesaian atas persoalan tersebut sehingga dapat diambil keputusan yang tepat.

D. Karakteristik Pendamping Pekerjaan sebagai pendamping bukan suatu tugas yang mudah. Pendampingan adalah suatu keahlian dan dapat dianggap sebagai suatu misi. Sedikitnya terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pendamping, yaitu : 1. Pendamping harus memiliki kompetensi dan kapasitas kognitif serta pengetahuan yang dalam dan luas di bidangnya;

2. Pendamping memiliki komitmen profesional, motivasi serta kematangan emosional yang ditujukan dalam pekerjaan-pekerjaan yang akan dilakukan; dan 3. Pendamping memiliki kemauan yang sangat kuat untuk membagi apa yang dianggapnya baik bagi sesamanya (orang lain).

III. PRINSIP-PRINSIP PENDAMPINGAN

A. Pengertian Prinsip Secara etimologi, prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Prinsip dapat juga diartikan sebagai permulaan, tempat pemberangkatan, titik tolak. Dengan demikian, prinsip adalah asas/dasar/landasan/pokok pikiran yang dijadikan pijakan atau titik tolak untuk bertindak. Prinsip dijadikan pedoman petunjuk agar tindakan yang dilakukan memiliki koridor yang jelas. Prinsip, dapat difahami sebagai ketentuan yang harus ada atau harus dijalankan. Atau boleh juga dan dapat berarti suatu aturan umum yang dijadikan sebagai panduan (misalnya untuk dasar perilaku). Prinsip berfungsi sebagai dasar (pedoman) bertindak, bisa saja sebagai acuan proses dan dapat pula sebagai target capaian. Prinsip biasanya mengandung hukum kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Sebagai contoh: bila permintaan kayu meningkat maka pasokan kayu juga harus meningkat, Apapun pekerjaan kita waktu untuk bersantai atau rilek harus ada. Apapun bentuk program kehutanan, harus mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

B. Prinsip-Prinsip Pendampingan Ada beragam pendapat mengenai prinsip-prinsip pendampingan, tetapi secara esensial beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam pendampingan HTR antara lain: 1. Keterbukaan antara pendamping dan kelompok tani yang didampingi; 2. Demokratisasi dalam setiap kegiatan pendampingan yang dilaksanakan; 3. Adanya kepastian hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan HTR; 4. Mendorong masyarakat memecahkan masalahnya sendiri; 5. Menggali dan mengembangkan potensi kelompok tani untuk melaksanakan pembangunan HTR;

6. Kesetaraan dan kesejajaran antara pendamping dan kelompok tani yang didampingi dalam proses belajar bersama; 7. Tidak memaksakan sesuatu di luar kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki kelompok tani dan anggotanya; 8. Saling melengkapi antara pendamping dan kelompok tani serta anggotanya; 9. Membuka dialog dan kerjasama dengan pemerintah dan pihak-pihak lainnya

IV. METODE DAN TEKNIK PENDAMPINGAN

Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan kegiatan pendampingan HTR adalah pemilihan dan penggunaan metode dan teknik pendampingan yang tepat sehingga kegiatan HTR dapat berjalan dengan efisien dan efektif sebagaimana yang diharapkan. Ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh petugas pendamping. Tidak semua metode dan teknik dapat dilakukan, tetapi sifat lokalitas daerah yang didampingi menjadi acuan yang penting dalam pemilihan metode dan teknik pendampingan. Artinya, tidak ada satupun metode dan teknik pendampingan yang ampuh untuk keberhasilan program HTR. Setiap metode dan teknik memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing, oleh karena itu kombinasi beberapa metode dan teknik merupakan cara yang tepat agar berbegarai metode dan teknik tersebut saling melengkapi. A. Metode Fasilitasi/Pendampingan Beberapa metode pendampinga/fasilitasi yang dapat digunakan dalam kegiatan pendampingan pembangunan HTR meliputi: 1. Metode Ceramah Metode ceramah yang dimaksud disini adalah ceramah dengan kombinasi metode yang bervariasi. Mengapa disebut demikian, sebab ceramah dilakukan dengan ditujukan sebagai pemicu terjadinya kegiatan yang partisipatif (curah pendapat, pleno, penugasan, studi kasus, dll). Selain itu, ceramah yang dimaksud disini adalah ceramah yang cenderung interaktif, yaitu melibatkan peserta melalui adanya tanggapan balik atau perbandingan dengan pendapat dan pengalaman peserta. Media pendukung yang digunakan, seperti handouts, transparansi yang ditayangkan dengan OHP, bahan presentasi yang ditayangkan dengan LCD, tulisan-tulisan di kartu metaplan dan/kertas plano, dll.

2. Metode Diskusi a. Diskusi Umum (Diskusi Kelas) Metode diskusi umum (diskusi kelas) bertujuan untuk tukar menukar gagasan, pemikiran, informasi/pengalaman diantara peserta,

sehingga dicapai kesepakatan pokok-pokok pikiran (gagasan, kesimpulan). Untuk

mencapai kesepakatan tersebut, para peserta dapat saling beradu argumentasi untuk meyakinkan peserta lainnya. Kesepakatan pikiran inilah yang kemudian ditulis sebagai hasil diskusi. Diskusi biasanya digunakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penerapan berbagai metode lainnya, seperti: penjelasan (ceramah), curah pendapat, diskusi kelompok, permainan, dan lain-lain. b. Diskusi Kelompok Sama seperti diskusi, diskusi kelompok adalah pembahasan suatu topik dengan cara tukar pikiran antara dua orang atau lebih, dalam kelompokkelompok kecil, yang direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Metode ini dapat membangun suasana saling menghargai perbedaan pendapat dan juga meningkatkan partisipasi peserta yang masih belum banyak berbicara dalam diskusi yang lebih luas. Tujuan penggunaan metode ini adalah mengembangkan kesamaan pendapat atau kesepakatan atau mencari suatu rumusan terbaik mengenai suatu persoalan. Setelah diskusi kelompok, proses dilanjutkan dengan diskusi pleno. Pleno adalah istilah yang digunakan untuk diskusi kelas atau diskusi umum yang merupakan lanjutan dari diskusi kelompok yang dimulai dengan pemaparan hasil diskusi kelompok. Kesuksesan proses diskusi pada dasarnya bergantung pada keterampilan pendamping dalam memberikan serangkaian pertanyaan yang memandu kelas/kelompok dalam perjalanan dialognya. Rangkaian pertanyaan ini membawa kelompok melalui empat tingkatan kesadaran: Obyektif, Reflektif, Interpretatif, dan Keputusan yang disingkat ORIK. Struktur tersebut memungkinkan kelompok untuk melaju dari diskusi di tingkat permukaan sampai ke tingkat kedalaman pandangan dan makna 3. Metode Curah Pendapat (Brainstorming) Metode curah pendapat adalah suatu bentuk diskusi dalam rangka menghimpun gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, pengalaman, dari semua peserta. Berbeda dengan diskusi,
8

dimana

gagasan

dari

seseorang

dapat

ditanggapi (didukung, dilengkapi, dikurangi, atau tidak disepakati) oleh peserta lain, pada penggunaan metode curah pendapat pendapat orang lain tidak untuk ditanggapi. Tujuan curah pendapat adalah untuk membuat kompilasi (kumpulan) pendapat, informasi, pengalaman semua peserta yang sama atau berbeda. Hasilnya kemudian dijadikan peta informasi, peta pengalaman, atau peta gagasan (mindmap) untuk menjadi pembelajaran bersama. 4. Metode Bermain Peran (Role-Play) Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk menghadirkan peranperan yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu pertunjukan peran di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap. Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran/alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Metode ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam pertunjukan, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran. 5. Metode Simulasi Metode simulasi adalah bentuk metode praktek yang sifatnya untuk mengembangkan keterampilan peserta belajar (keterampilan mental maupun fisik/teknis). Metode ini memindahkan suatu situasi yang nyata ke dalam kegiatan atau ruang belajar karena adanya kesulitan untuk melakukan praktek di dalam situasi yang sesungguhnya. Misalnya: sebelum melakukan praktek penanaman, petani melakukan melakukan simulasi penanaman terlebih dahulu (belum benar-benar menanam). Situasi yang dihadapi dalam simulasi ini harus dibuat seperti benar-benar merupakan keadaan yang sebenarnya (replikasi kenyataan). Contoh lainnya, dalam sebuah pelatihan pendampingan/fasilitasi, seorang peserta melakukan simulasi suatu metode pembelajaran seakan-akan tengah melakukannya bersama kelompok yang

didampinginya. Pendamping lainnya berperan sebagai kelompok dampingan yang benar-benar akan ditemui dalam keseharian peserta (ibu tani, bapak tani, pengurus kelompok, dsb.). Dalam contoh yang kedua, metode ini memang mirip dengan bermain peran. Tetapi dalam simulasi, peserta lebih banyak berperan sebagai dirinya sendiri saat melakukan suatu kegiatan/tugas yang benar-benar akan dilakukannya. 6. Metode Sandiwara

Metode sandiwara seperti memindahkan sepenggal cerita yang menyerupai kisah nyata atau situasi sehari-hari ke dalam pertunjukkan. Penggunaan metode ini ditujukan untuk mengembangkan diskusi dan analisa peristiwa (kasus). Tujuannya adalah sebagai media untuk memperlihatkan berbagai permasalahan pada suatu tema (topik) sebagai bahan refleksi dan analisis solusi penyelesaian masalah. Dengan begitu, ranah penyadaran dan peningkatan kemampuan analisis dikombinasikan secara seimbang. 7. Metode Demonstrasi Demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk membelajarkan peserta dengan cara menceritakan dan memperagakan suatu langkah-langkah pengerjaan sesuatu. Demonstrasi merupakan praktek yang diperagakan kepada peserta. Karena itu, demonstrasi dapat dibagi menjadi dua tujuan: demonstrasi proses untuk memahami langkah demi langkah; dan demonstrasi hasil untuk memperlihatkan atau memperagakan hasil dari sebuah proses.Biasanya, setelah demonstrasi dilanjutkan dengan praktek oleh peserta sendiri. Sebagai hasil, peserta akan memperoleh pengalaman belajar langsung setelah melihat, melakukan, dan merasakan sendiri. Tujuan dari demonstrasi yang dikombinasikan dengan praktek adalah membuat perubahan pada rana keterampilan. 8. Metode Praktek Lapangan Metode praktik lapangan bertujuan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan peserta dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya. Kegiatan ini dilakukan di lapangan. Keunggulan dari metode ini adalah pengalaman nyata yang diperoleh bisa langsung dirasakan oleh peserta, sehingga dapat memicu kemampuan peserta dalam mengembangkan kemampuannya. Sifat metode praktek adalah pengembangan keterampilan. 9. Metode Permainan (Games) Permainan (games), populer dengan berbagai sebutan antara lain pemanasan (icebreaker) atau penyegaran (energizer). Arti harfiah ice-breaker adalah pemecah es. Jadi, arti pemanasan dalam proses belajar adalah pemecah situasi kebekuan fikiran atau fisik peserta. Permainan juga dimaksudkan untuk membangun suasana belajar yang dinamis, penuh semangat, dan antusiasme. Karakteristik permainan adalah menciptakan suasana belajar yang

menyenangkan (fun) serta serius tapi santai (sersan). Permainan digunakan untuk penciptaan suasana belajar dari pasif ke aktif, dari kaku menjadi gerak (akrab), dan dari jenuh menjadi riang (segar). Metode ini diarahkan agar tujuan belajar dapat dicapai secara efisien dan efektif dalam
10

suasana gembira meskipun membahas hal-hal yang sulit atau berat.Sebaiknya permainan digunakan sebagai bagian dari proses belajar, bukan hanya untuk mengisi waktu kosong atau sekedar permainan. Permainan sebaiknya dirancang menjadi suatu aksi atau kejadian yang dialami sendiri oleh peserta, kemudian ditarik dalam proses refleksi untuk menjadi hikmah yang mendalam (prinsip, nilai, atau pelajaran-pelajaran). Wilayah perubahan yang dipengaruhi adalah rana sikap-nilai.

B. Keterampilan Dasar/Teknik Fasilitasi/Pendampingan Efisiensi dan efektivitas penerapan metode pendampingan/fasilitasi bergantung pada teknik atau keterampilan dasar fasilitasi yang dimiliki oleh pendamping/fasilitator. Keterampilan dasar fasilitasi tersebut pada hakekatnya merupakan kemampuan komunikasi (verbal dan non verbal). Kemampuan dasar fasilitasi (komunikasi) tersebut kemudian diimplementasikan ke dalam konteks interpersonal dan kelompok/organisasi. Keterampilan dasar fasilitasi tersebut meliputi: 1. Bersifat netral (Stay neutral on content): Ketikan menjalankan fungsi fasilitasi, pendamping harus memfokuskan diri pada proses bukan pada isi/materi (content) dan menghindari memberikan pendapat terhadap topik yang didiskusikan. 2. Mendengarkan secara aktif (listen actively): pendamping harus mendengarkan apa yang sedang dikatakan oleh orang lain dan gunakan komunikasi non verbal seperti: memandangi mata lawan bicara, serta gunakan bahasa tubuh yang menunjukan kepenuhperhatian, dan biarkan lawan bicara mengetahui bahwa kita bersungguh-sungguh memperhatikan apa yang sedang ia bicarakan. Pandangi orang yang berbicara, dekati untuk menunjukkan ketertarikan atas apa yang disampaikan, dan gunakan keterampilan failitasi lainnya untuk mendorong terciptanya partisipasi penuh. 3. Memandang/mengamati lawan bicara secara seksama (look thoroughly): Pendamping perlu memperhatikan komunikasi non verbal lawan bicara untuk mencocokan komunikasi verbal dan nonverbal dalam rangka mengurai kesesuaian materi dan emosi lawan bicara. Tempatkan diri seolah-olah kita berada pada posisi lawan bicara, dengan mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri: Bagaimana perasaan saya jika saya berada pada posisi lawan bicara?. Coba tafsirkan pesan yang disampaikan berdasarkan pola pikir lawan bicara, tidak dengan pola pikir kita. 4. Bertanya (ask question): Keterampilan ini adalah yang terpenting. Ketika pendamping berusaha memahami orang lain, pendamping perlu menggajukan beberapa pertanyaan. Pengajuan pertanyaan dimaksudkan untuk mengundang timbulnya partisipasi (misal: sudah anda siapkah anda untuk berdiskusi), memperoleh kejelasan informasi (misal: apa yang anda

11

maksud dengan saya belum mengerti),) menguji asumsi/dugaan (misal: Kalau tidak salah anda mengatakan bahwa anda mengalami kesulitan dalam memperoleh pupuk), untuk mengetahui perasaan orang lain (misal: apakah anda merasa terbebani dengan kegiatan ini), dan sebagainya. 5. Penggalian informasi lebih dalam (probing): Keterampilan untuk menggali lebih jauh suatu gagasan atau pikiran seseorang. Keteerampilan ini dilakukan untuk membantu memahami lebih mendalam pernyataan peserta. Teknik ini digunakan untuk memperoleh lebih banyak informasi dan mendorong peserta lebih banyak berdiskusi. Teknik dapat membantu kelompok dalam mencari akar masalah, membantu orang lain memahami lebih jauh, dan mendorong peserta berpikir lebih mendalam. Sangat penting diketahui kapan teknik ini digunakan. Jika diterapkan secara terbuka dan hati-hati, probing sangat penting dan bermanfaat. Sebaliknya, bila dilakukan berlebihan dapat membuat pesrta merasa diinterogasi atau ada peserta lain yang merasa diabaikan. Di samping itu pendamping/fasilitator juga terlihat tidak netaral atau arah diskusi malah tidak jelas. 6. Membuat Ikhtisar/parafrase (Paraphrase): Pendamping harus terampil mengulang apa yang disampaikan oleh orang lain dengan kata-kata (bahasa) sendir sehingga menjadi lebih sederhana dan komunikatif tanpa menghilangkan atau mengubah makna aslinya. Selain bermanfaat untuk memastikan oemahaman pendamping, teknik ini juga memberitahukan pada masyarakat bahwa pendamping mendengar mereka, dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mendengarkan poin yang disampaikan untuk kedua-kalinya sehingga dapat memperjelas ide. Teknik ini juga memberikan kesempatan kepada pendamping untuk memastikan apakah ia telah mendengar, apa yang disampaikan, dengan baik atau belum (salah interpretasi). 7. Menyimpulkan (summarize) Setelah mendengarkan pendapat atau ide dari semua pihak, pendamping seharusnya menawarkan kesimpulan. Kesimpulan dibuat secara partisipatif dan berdasarkan pada ide-ide yang muncul dalam diskusi. Pembuatan kesimpulan juga berfungsi sebagai koridor agar pembicaraan tetap fokus pada topik, tidak terlalu melebar dari sebelumnya. Keterampilan membuat kesimpulan selain membantu pendamping mengerti maksudnya, juga memudahkan peserta lain untuk turut memahaminya. Cara mudah untuk membuat kesimpulan adalah dengan mengambil kata-kata kunci dari subyek pembicaraan. Namun perlu berhati-hati untuk tidak meyederhanakan pemikiran seseorang. Pembuatan kesimpulan juga merupakan cara yang baik untuk membangkitkan kembali diskusi atau mengakhiri diskusi ketika diskusi kelihatannya hampir selesai.

12

Penggunaan keterampilan komunikasi bersifat gradasi (bertingkat), dimana setiap tingkatan keterampilan dasar tersebut berisi teknik-teknik fasilitasi yang memiliki peran dalam menjaga efisiensi dan efektivitas metode pendampingan yang digunakan. Setiap tingkatan keterampilan fasilitasi dapat diibaratkan sebagai arsitek dan penjaga bangunan bertingkat dengan fondasi tiga lantai. Setiap tingkat dari rumah bertingkat tersebut merupakan proses atau tahapan yang terjadi dalam penerapan suatu metode pendampingan.

BANGUNAN FASILITASI Lantai tiga : Komunikasi Interpersonal Mendukung perencanaan tindak lanjut Dukungan, monitoring dan evaluasi diri Memantau proses pertemuan Membantu penyusunan agenda yang realistis Mengusulkan proses pertemuan Mendukung penyelesaian konflik Menciptakan solusi inklusif Mendorong pemecahan bersama Memantau peran dan tahapan kelompok Membangun dinamika kelompok dan semangat kerja Mendorong partisipasi penuh Memberi dan menerima umpan balik Membangun kepercayaan dan percaya diri Mendorong diskusi Parafrase Probing atau menggali lebih dalam Bertanya dan menjawab pertanyaan Mengamati dan menyimak

Lantai dua: Teknik-teknik Komunikasi kelompok

Lantai satu: Komunikasi Interpersonal

Lantai dasar : sikap-sikap dasar bekerja dengan orang lain Empati Minat Selalu bersikap positif Selalu percaya pada potensi Klp

V. TUGAS/PERAN PENDAMPING

13

A. Persyaratan Pendamping Persyaratan pendamping dalam pembangunan HTR (Permenhut Nomor: P.9/MenhutII/2008) adalah: 1. Penyuluh Lapangan Kehutanan, Koperasi/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Tenaga Kerja Sarjana Terdidik (TKST)/Tenaga Kerja Sosial yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang pembangunan usaha HTR 2. Diprioritaskan Penyuluh Kehutanan Pegawai Negeri Sipil, dan 3. Ditunjuk oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk.

B. Tugas/Peran Pendamping Tugas dan peran pendamping pada hakekatnya merupakan opresionalisasi dari fungsi pendampingan sebagaimana telah dinyatakan di atas. Namun, demikian dalam Pembangunan HTR tugas dan peran pendamping dapat dikerucutkan sebagai bertikut: 1. Pendampingan pelaksanaan teknis pembangunan HTR Pendampingan pelaksanaan teknis pembangunan HTR dimulai dari tahap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan HTR hingga pemasaran hasil produksi, antara lain dengan cara: Mengenali Potensi dan Usaha Masyarakat / KTH Mencari Informasi Teknis Pembangunan HTR Memberikan Informasi dan Melatih Masyarakat / KTH untuk keberhasilan pembangunan HTR dan peningkatan kualitas produksi 2. Pendampingan penguatan kelembagaan KTH. Pendampingan penguatan kelembagaan KTH dapat dilakukan dengan cara memfasilitasi anggota kelompok agar memiliki keterampilan yang dipandang perlu untuk pengembangan kelompok, seperti: a) Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan/Organisasi b) Pembagian Peran dan Tugas c) Pembuatan Aturan/Kesepahaman/Kesepakatan d) Menggalang Kerjasama e) Membangun Kebersamaan dan Keterbukaan f) Tertib Administrasi dan Pelaporan Pembinaan terhadap tertib administrasi (pembukuan) dan pelaporan kelompok, seperti: 1) Admnistrasi kegiatan, meliputi: identitas anggota, pihak lain yang telah berkunjung (buku
14

tamu) hasil rapat/pertemuan kelompok (notulen rapat), kegiatan kelompok, agenda surat masuk dan keluar dan daftar inventaris kelompok dan 2) Administrasi keuangan, meliputi: pembukuan keuangan kelompok terdiri atas: buku catatan pengeluaran dan pemasukan, buku kas harian, arsip tanda bukti; dan pembukuan keuangan simpan pinjam (jika ada kegiatan simpan pinjam), terdiri atas: buku catatan pengeluaran dan pemasukan, buku simpan-pinjam anggota, buku kas harian, arsip tanda bukti. Perangkat adminitrasi dan pelaporan kelompok yang baik dan benar diperlukan sebagai bahan informasi bagi kelompok maupun pihak lain yang berkaitan dengan kelompok itu, seperti: usaha, permodalan, jaringan kerjasama dan lain-lain. 3. Pendampingan usaha (produktivitas) dan kemitraan Pendampingan usaha (produkrivitas) dan kemitraan dimaksudkan untuk membantu masyarakat/KTH : 1) Mengenali potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia 2) Mencermati peluang usaha 3) Mengenali informasi peluang pasar 4) Mencara atau menjembatani mitra kerja dengan masyarakat 5) Membantu proses pembutan kesepakatan (MoU) dengan pemerintah, dunia usaha dan stakeholder lainnya 6) Menggalang kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar dengan masyarakat

VI. PENGERTIAN KONFLIK

Hal yang terpenting bukanlah terjadi atau tidaknya konflik, tetapi bagaimana konflik tersebut dihadapi dan dikelola untuk dapat diselesaikan dan diarahkan pada terciptanya perubahan yang lebih baik

Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Masyarakat desa pun tidak terlepas dari libatan fenomena tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sajogyo dan Sajogyo (1995) bahwa di masyarakat desa sering muncul peluang terjadinya pertengkaran dan peledakan peristiwa yang disebabkan oleh masalah-masalah tanah, kedudukan dan gengsi,

15

sekitar hal perkawinan, perbedaan paham antara kaum tua dengan kaum muda tentang adat, dan perbedaan antara pria dan wanita. Mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara. Menangani konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagaimana memelihara konflik agar tetap berada pada kadar tertentu yang tidak membahayakan semua elemen. Oleh karena itu, seorang fasilitator/pendamping diharapkan mampu mencermati potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dapat diarahkan kepada hal-hal yang bersifat konstruktif. Konflik yang sudah terjadi diharapkan dengan bantuan fasilitator dapat diselesaikan sehingga tidak terjadi hal-hal yang bersifat anarkis atau destruktif. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman manajemen konflik untuk kemudian dapat diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya sebagai fasilitator/ pendamping masyarakat. Manajemen konflik adalah suatu penanganan proses pembentukan (kemunculan) konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masyarakat atau organisasi.

A. Pengertian Konflik Berbagai pengertian konflik telah dinyatakan oleh banyak pakar yang berasal dari kalangan akademisi, sosiolog, pengamat sosial serta praktisi/pekerja sosial/pendamping masyarakat. Berikut ini beberapa pengertian tentang konflik: 1. Hubungan antara dua pihak atau lebih/individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2001). 2. Pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang fihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan (Soekanto, 1996). 3. konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih, yang dapat terjadi pada konteks antarindividu, antarkelompok kecil bahkan antabangsa dan negara (Sarwono, 2005) 4. Konflik merupakan suatu situasi dimana tindakan salah satu fihak bersifat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan fihak lain. Konflik dapat menjadikan kita sadar tentang adanya suatu persoalan yang perlu dipecahkan dalam hubungan dengan individu lain,

16

sehingga menyadarkan dan mendorong kita untuk melakukan perubahan dalam diri kita dan memecahkan persoalan yang kita tidak sadari (Johnson dalam Edhar, 2003). 5. Konflik timbul saat beberapa fihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih bersama-sama, atau merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan atau kepentingan mereka. Dan sengaja menggunakan kekuasaan mereka dalam usaha saling menyingkirkan atau mengubah untuk melindungi atau mengatakan kepentingan mereka dalam interaksi ini (Anstey, 1997). 6. Pertentangan kekuatan yang berlawanan yang meliputi gagasan, sumberdaya, kepentingan, harapan atau motivasi (Smith dan Berg, 1987). 7. Ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perbedaan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan (Mill, 2002). Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya konflik terjadi karena adanya perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kepentingan, ide, pemaknaan simbol maupun penyebab lainnnya. Perbedaan tersebut kemudian dipertentangkan.

B. Jenis-Jenis Konflik Terjadi perbedaan tinjauan dari para ahli mengenai jenis konflik. Perbedaan ini disebabkan sudut pandang atau titik tolak pengkajian mengenai konflik tersebut berbeda-beda, yang dilatarbelakangi oleh bidang keilmuwan yang berbeda-beda dari masing-masing pakar tersebut. Berikut diberikan beberapa jenis konflik berasarkan pandangan dari beberapa pakar, yaitu: Pada dasarnya konflik sosial dapat dibagi menjadi dua jenis ( Surata dan Taufik, 2001), yaitu: 1. Konflik Sosial Vertikal Konflik yang terjadi antara masyarakat dan negara.

2. Konflik Sosial Horizontal Konflik sosial horizontal, yaitu konflik yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat interaksi-interaksi sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Konflik horizantal ini dapat terjadi antar individu dalam kelompok, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok bahkan secara lebih luas antar negara. Konflik horizantal ini terwujud dalam bentuk konflik antaretnis, suku, golongan (agama) atau antar kelompok masyarakat (antarkampung,

17

antarpemuda dan lain-lain). Konflik horizontal, khususnya antar etnik, terjadi bisa disebabkan oleh adanya kecemburuan sosial. Soetrisno (2003), menyebutkan bahwa terdapat dua jenis konflik berdasarkan sifatnya, yaitu: 1. Konflik yang bersifat destruktif /disfungsional Konflik yang dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh didalam diri individu atau kelompok yang masing terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu disebabkan berbagai hal. Salah satu sebab adalah adanya kecemburuan sosial. Konflik ini biasanya mengarah pada anarkisme. 2. Konflik yang fungsional Konflik yang menghasilkan suatu perubahan atau konsensus/kesepakatan baru yang berakhir pada perbaikan. Konflik ini biasanya disebabkan hanya karena adanya perbedaan

pendapat dalam memandang suatu masalah yang sama-sama dihadapi. Beebe dan Masterson (1989), mengidentifikasi tiga jenis konflik interpersonal yang terjadi dalam suatu kelompok kecil, yaitu:: 1. Pseudo conflict atau konflik palsu Yaitu konflik yang terjadi karena adanya salah pengertian/misunderstanding. Sebenarnya, keduabelah pihak sama-sama setuju atau mempunyai pandangan dan pendapat yang sama terhadap suatu masalah, namun terjadi salah pengertian sehingga yang terlihat atau yang nampak adalah ketidaksamaan. 2. Simple conflict atau konflik yang sesungguhnya Konflik yang terjadi karena keduabelah pihak benar-benar mempunyai tujuan, kepentingan dan pandangan yang berbeda. Keduanya saling mencegah atau menghalangi dalam pencapaian tujuan masing-masing. 3. Ego conflict atau konflik ego Konflik ini terjadi karena seseorang, secara emosional, bersikap dan berprilaku defensif karena menganggap bahwa posisinya akan tergeser atau terganggu oleh orang lain. Menurut Mastenbroek (1982) bahwa konflik dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu : 1. Konflik instrumental Yang merupakan masalah dalam konflik ini adalah tujuan-tujuan dan cara-cara juga penentuan struktur dan prosedur-prosedur dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Konflik ini tidak bersifat pribadi dan mengarah pada tugas, namun dapat mempunyai

18

banyak bentuk: prioritas-prioritas yang tak jelas atau priotas-priotas yang tidak hanya cukup dengan mufakat saja, salah pengertian, penggunaan bahasa yang berbeda, kemampuan berkomunikasi yang minim, adanya prosedur-prosedur yang tak memadai dalam menangani masalah-asalah, kurangnya saling bertukar pendapat dan saling menyesuaikan diri. 2. Konflik sosial emosional Konflik ini muncul jika identitas diri menjadi masalah. Konflik ini berkaitan dengan citra diri yang dimiliki seseorang, prasangka, masalah kepercayaan, dan cara menangani hubunganhubungan pribadi. 3. Konflik kepentingan Konflik ini berhubungan dengan penyelamatan atau penguatan posisi individu dengan cara menuntut posisi yang layak yang sesuai dengan potensi atau kemampuan yang dimiliki. Kelly dalam Koehler et al (1976) membagi konflik, bedasarkan penyebabnya atau

terjadinya, menjadi empat tingkatan: 1. Konflik dalam Individu Konflik yang diakibatkan oleh rasa frustasi dan agresi perorangan. 2. Konflik dalam Kelompok Konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem nilai dan ketidakpuasan terhadap pemenuhan kebutuhan. 3. Konflik dalam organisasi Berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan penghargaan yang tidak seimbang pada tiap level struktural dan pada pengelolaan fungsi-fungsi organisasi tersebut. 4. Konflik dalam masyarakat Dikarenakan adanya ketidakadilan antar kelas sosial dan antar kelompok etnis.

VII. RESPON DAN GAYA TANGGAPAN KONFLIK Setiap individu dalam kelompok, organisasi, atau masyarakat akan menyikapi dan bereaksi terhadap timbul dan berkembangnya konflik dengan respon dan gaya tanggapan yang berbeda-beda.

19

A. Respon terhadap Konflik Respon adalah tingkah laku balasan (reaksi) terhadap stimulus/rangsangan yang datang pada individu. Bentuk reaksi balas atau jawaban ini bergantung pada stimulus atau merupakan hasil stimulus tersebut. Respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif. Apabila stimulusnya berupa konflik, terdapat beberapa cara individu merespon konflik tersebut, yaitu: 1. Konfrontasi agresif Reaksi yang bersifat emosional berupa perilaku menantang dan menentang secara terang-terangan, terbuka, berhadap-hadapan dan memiliki kecenderungan menyerang pihak lain yang dianggap sebagai lawan atau musuh. Respon seperti ini pada suatu saat dapat membahayakan pihak lain. Dalam konteks diskusi dalam kelompok, respon terlihat dalam bentuk pernyataan dan pendapat yang saling menyerang. Pihak-pihak dalam suatu forum diskusi secara langsung satu sama lain saling menyatakan pendapat dan menyerang pendapat pihak lain dengan tujuan menjatuhkan atau mengeliminasi pendapat lawan. 2. Melakukan manuver negatif Respon ini mirip dengan respon sebelumnya yaitu adanya upaya menantang dan menentang, bedanya respon ini dilakukan secara tidak secara terang-terangan atau berhadaphadapan melainkan dalam bentuk gerakan-gerakan, kegiatan atau perilaku lain yang bersifat memberontak dan mengganggu yang pada intinya menunjukkan ketidaksukaan terhadap lawan. Dalam konteks diskusi, respon ini dapat berupa kegiatan tidak memperhatikan topik yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara, membuat gaduh/rebut, dan kegiatan atau perilaku negatif lainnya. 3. Penundaan terus menerus Reaksi yang dilakukan oleh individu dengan cara berdiam diri, tidak memperlihatkan respon yang bersifat nyata (kasat mata). Respon ini dilakukan karena konflik yang muncul cenderung belum mengarah pada kerugian yang berarti pada pihak yang bersangkutan. Selama konflik masih terlihat wajar dan belum merugikan maka penundaan terus dilakukan. Penundaan ini bertujuan untuk melihat perkembangan konflik sambil menunggu adanya kesempatan atau celah untuk bereaksi secara nyata. 4. Bertempur secara pasif. Respon ini dianalogikan dengan berperang tanpa senjata. Bertempur tanpa menyerang. Wujud dari respon ini dalam suatu diskusi termanisfestasi dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang pada hakekatnya tidak menyetujui atas pendapat lawan namun disampaikan secara halus atau tersirat, sehingga lawan tidak merasa diserang. Atau dapat dilakukan dengan cara

20

menggalang dukungan dari berbagai pihak lain agar pihak-pihak lain tersebut tidak sejalan dengan pihak yang yang menjadi lawan. Pihak-pihak lain tersebut yang selanjutnya melakukan serangan terhadap lawan. Ada pula anggota kelompok yang merespon konflik dari segi positif. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi sepanjang tidak mengarah pada sesuatu yang bersifat destruktif, bahkan konflik dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengarahkan pada integrasi kelompok dan meningkatkan efektivitas kelompok, apabila dikelola dengan baik. Apabila hal ini yang terjadi maka pemecahan konflik mengarah ke hal yang positif, radar untuk respon tersebut adalah mengarahkan energi secara sehat dan langsung untuk memecahkan masalah atau tidak ada reaksi secara emosional, melakukan upaya yang menanggapinya dengan cara rasional. Respon yang tepat ini akan memperkuat kelompok kerja dan melancarkan jalan untuk mengatasi konflik.

B. Gaya Tanggapan Konflik Konflik Marshall (1995) mengkategorikan gaya penanganan konflik bersandar pada dua variabel, yaitu cooperativeness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingan pihak lain dan assertiveness (derajat upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingannya sendiri) orang akan menyikapi. Perpaduan dua variabel tersebut menghasilkan lima gaya tanggapan konflik sebagai berikut:

KOMPETISI assetiveness

KOLABORASI

KOMPROMI

PENGABAIAN

21 AKOMODASI

cooperativeness

1. Pengabaian (Penghindaran) Suatu tindakan untuk menghindari konflik yang dinilai akan menindas atau menciptakan konflik yang berkepanjangan. Cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Penghindaran/pengabaian bisanya dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan menilai bahwa pihak lain memiliki kekuatan yang tidak signifikan. Atau bisa juga karena kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Satu pihak tidak memaksakan keinginannya pada pihak lain dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa dilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan individu dan kelompok, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan. 2. Akomodasi Suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan ini lazim diambil oleh pihak yang lebih lemah dalam situasi konflik. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan kalah sedangkan pihak lain menang. Ini berarti pihak yang bersangkutan berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi demi menciptakan suasana yang memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan pihak lain sehingga selanjutnya pihak-pihak yangb berkonflik dapat bersama bisa menuju ke arah kolaborasi. 3. Kompetisi (Menang/Kalah) Tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memuaskan kepentingannya tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kepentingan pihak lain, dengan kata lain satu pihak
22

memastikan bahwa dia yang memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Keputusan berkompetisi ini lazimnya muncul jika: (a) pihak yang bersangkutan menilai bahwa dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kompetisi. (b) pihak yang bersangkutan menilai bahwa pihak lain akan bersikap sama dengan dirinya. Pihak yang bersangkutan menggunakan kekuasaan atau pengaruhnya untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut ia yang keluar sebagai pemenang. Dalam konteks diskusi kelompok, biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas. 4. Kompromi Tindakan bersama yang bersifat mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh pihakpihak yang berkonflik. Dalam tindakan ini, tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam tindakan kompromi kepuasan yang sejati biasanya tidak tercapai. 5. Kolaborasi (Penyelesaian Masalah) Tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan kolaborasi dilakukan melalui proses klarifikasi perbedaan dan bukan sekedar mengakomodasi kepentingan. Kolaborasi merupakan tindakan: menang-menang. Dengan demikian, tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Tindakan kolaborasi lazimnya dilakukan pada kondisi tidak memungkinkan untuk berkompetisi, karena kompetisi akan lebih merugikan pihak yang terlibat, dan intensitas konfliknya sudah mencapai tahap yang tidak mungkin dihindari.

VIII.

LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KONFLIK

Suatu konflik atau masalah yang dihadapi jika dibiarkan dan tidak segera diselesaikan bisa berubah menjadi suatu krisis dan menghambat kemajuan kelompok, organisasi, atau masyarakat.
23

Terdapat beberapa tahapan atau langkah penyelesaian konflik yang harus dilalui oleh pihak yang berkonflik. Langkah-langkah tersebut meliputi: 1. Mengakui Adanya Konflik Langkah ini merupakan langkah awal untuk penyelesaian konflik, tanpa diakui adanya konflik maka masalah tidak akan terpecahkan. Setiap pihak yang terlibat dalam suatu kerjasama atau kelompok perlu mencermati dan menyadari serta membahas secara dini jika timbul masalah, kendala yang mengarah pada munculnya konflik sehingga tidak merupakan penghalang bagi keberhasilan bersama. Untuk itu diperlukan kearifan dan kaktifan dari semua pihak. 2. Mengidentifikasi Konflik Secara Sebenarnya Langkah ini dalam kegiatan penelitian sering disebut dengan identifikasi masalah. Kegiatan ini sangat diperlukan dan memerlukan keahlian khusus. Konflik dapat muncul dari akar masalah, tetapi juga karena masalah emosi, perlu memilah antara masalah inti dengan emosi. Masalah inti adalah masalah yang mendasari suatu konflik, misalkan ketidaksepakatan adanya tugas, sedangkan isu emosional merupakan masalah yang akan memperumit masalah tersebut, sehingga apabila terjadi hal yang demikian disarankan agar masalah inti diselesaikan terlebih dahulu. 3. Dengar Semua Pendapat Lakukan kegiatan sumbang saran dengan melibatkan mereka yang terlibat konflik guna mengungkapkan pendapatnya, hindarilah pendapat benar dan salah. Bahas juga mengenai dampak konflik terhadap kelompok serta kinerja kelompok. Fokus pembicaraan pada fakta dan perilaku bukan pada perasaan atau unsur pribadi. Hindari mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi temukan mana yang terbaik jika dipandang dari sisi positif.

4. Bersama Mencari Cara Penyelesaian Konflik Dalam kegiatan ini diskusi terbuka sangat diharapkan karena dengan diskusi terbuka bisa memperluas informasi dan alternatif serta bisa mengarahkan pada rasa percaya dan hubungan yang sehat diantara yang terlibat. Dalam sebuah kerjasama kelompok atau tim yang efektif tidak seluruh anggota kelompok menyukai satu sama lain, terkadang ada anggota yang tidak menyukai anggota lain, tetapi yang utama adalah mampu bekerja sama secara efektif. 5. Mendapatkan Kesepakatan Dan Tanggung Jawab Untuk Menemukan Solusi Memaksakan kesepakatan akan berakibat fatal, oleh karena itu doronglah anggota kelompok untuk bekerja sama memecahkan masalah secara terbuka dan kekeluargaan. Berusaha seluruh anggota kelompok menyenangi solusi yang dihasilkan. Salah satu cara yang disarankan
24

agar orang lain mau menerima saran yang diajukan adalah memposisikan dirinya pada peran orang lain, masing-masing anggota kelompok mempresentasikan pandangan orang lain. 6. Menjadwal Sesi tindak Lanjut Untuk Mengkaji Solusi Pemberian tanggungjawab untuk melaksanakan komitmen sangat dihargai oleh anggota kelompok. Mengkaji resolusi sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat keefektifan resolusi yang telah diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Beebe SA, Masterson JT. 1989. Communcating in Small Groups: Principles and Practices. Ed. Ke-3. New York: HarperCollinsPublisher Fisher S et al . 2001 . Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: SMK Grafika Desa Putra. Ife J. 1995 . Community Development. Melbourne: Longman Marshall E.M. 1995. Transformating the Way We Work: The Power of the Collaborative Workplace. Newyork: American Managemen Association. Mastenbroek WFG . 1986 . Penanganan Konflik dan Pertumbuhan Organisasi. Jakarta: UI Press. Mill H. et.al. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan. 2011. Pendampingan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta: Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan-BP2SDMK Sarwono SW. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan Jakarta: Balai Pustaka Soekanto S . 1998 . Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Surata A dan Taufiq AT . 2001 . Atasi Konflik Etnis . Jogjakarta: Global Pustaka Utama bekerjasama dengan Gharba dan UPN Veteran.

25

Anda mungkin juga menyukai