Anda di halaman 1dari 10

#turupasar

Catper 1

Mahameru, Puncak Pertama

Tidur belum juga terlelap, capek ditubuh ini belum juga hilang. Istirahat yang hanya beberapa jam tadi, dan tubuh ini dipaksa bangun kembali untuk melanjutkan sisa asa di puncak tertinggi di tanah Jawa ini. Arcopodo di ketinggian 3000 mdpl, telah memberikan tempat istirahat sejenak bagi kami yang memilih camp terakhir disini. Sebelum melewati jalur tersulit dari pendakian ini. Jalur dengan pijakan pasir yang rapuh sejak batas vegetasi di Kelik sampai puncak Mahameru nanti. Ah... sepertinya dingin yang menusuk dibawah 10 derajat ini tak lagi kuhiraukan. Makan mie goreng bercampur debu dan pasir gunung pun serasa makin nikmat saja. Ingin segera kugapai puncak pertamaku disana.

HANS HANDOKO

Bayang-bayang rombongan pendaki yang melintasi tenda-tenda kami semakin ramai. Mereka adalah pendaki lain yang memilih camp di Kali Mati atau ada juga yang berangkat langsung dari Ranu Kumbolo, jika mereka tidak memiliki waktu pendakian yang panjang. Hari ini adalah hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus. Tak dapat dihindarkan Gunung Semeru adalah tujuan utama bagi para pendaki diseputar Jawa Timur. Dari pihak TNBTS pun sampai mengeluarkan 2 jenis surat ijin pendakian. Dan hanya sekitar 600 pendaki yang beruntung mendapatkan surat ijin pendakian sampai ke Puncak Mahameru. Selebihnya mereka hanya di ijinkan melakukan pendakian sampai ke Kali Mati. Segera kami mulai, menggendong daypack kecil berisi jahe hangat dan beberapa bungkus makanan kecil. Beriringan melewati jalur menanjak yang mulai tanpa vegetasi, hanya beberapa pohon pinus tersisa menenuduhi nisannisan pendaki yang terpilih untuk istirahat disana, menjaga puncak para Dewa. Jalur longsor yang semakin rusak, kanan kiri kami adalah jurang dalam yang gelap. Harus merangkak dan berpegangan pada seutas kawat untuk melewatinya. Ah! Ini baru mulai, baru beberapa langkah dari tenda kami. Jalur yang dilalui sudah begitu susahnya. Debu dan pasir erupsi yang semakin tak bermasa, kami memijaknya dengan hati-hati. Dan
2
www.trihans.com

#turupasar

batas vegetasi kami lalui, beberapa nisan kami temui lagi bertuliskan sebuah nama yang terdiam dalam dingin. Kelik, dari sinilah kami memulai jalur terberat dari pendakian ini. Kembali melangkahkan kaki dan memijakkan sepatusepatu track kami dengan benar. Namun gagal, tak ada yang lebih bermasa dari pijakan kami. Bahkan batu yang sepertinya kokoh pun jika kami injak akan bergeser dari tempatnya. Lebih parahnya lagi jika batu itu tergelincir dari tempatnya, maka teriakan-teriakan kecil sesama pendaki mencoba mengingatkan pendaki yang dibawahnya. "Batu batuuu..." Sejenak terjadi keriuhan dan kemudian semua hening menghentikan langkahnya. Mencoba memperhatikan arah jatuhnya batuan tersebut sampai batu itu diam atau dihentikan oleh pendaki lain. Satu dua pijakan dan kemudian akan merosot kebawah setengah pijakan, dan begitu seterusnya pada pasir rapuh yang kami pijak. Mencoba menyeimbangkan langkah, dan menutup wajah kami dengan masker basah adalah salah satu cara untuk mengurangi debu dan pasir yang berterbangan terhirup pernafasan kami. Bukan hanya karena langkah kami tapi juga karena angin puncak yang berhembus dengan kencang dan dingin, tak ada lagi vegetasi yang melindungi kami. Sepertinya sudah ribuan langkah kami pijakan, tapi belum juga separuhnya kami lalui.
3

HANS HANDOKO

Pyuh...! Hanya ada satu jalur menuju ke Puncak Mahameru sejak dari Kali Mati. Pendaki yang berangkat dari titik nol di Lumajang juga akan bertemu dengan pendaki yang mengawalinya dari Ranu Pane di Kali Mati. Kemudian melewati tanjakan dengan kanan kiri jurang dalam hingga ke Arcopodo. Dan tak ada pilihan lain selain melewati jalur pasir di kemiringan 45 derajat ini untuk sampai ke Mahameru. Sebuah pohon Pinus bediri sendiri menjadi pemandu kami, menunjukan puncak tidak jauh lagi. Cemoro Tunggal, menjadi saksi bagi setiap pendaki yang akan menggapai puncak Mahameru. Bergantian kami beristirahat sejenak di bawah pohon ini sambil sesekali menghirup udara dingin yang semakin bercampur dengan debu dan pasir. Pohon ini menjadi acuan navigasi kami untuk naik dan turun melewati jalur berpasir ini, jangan sampai salah arah karena jurang gelap menunggu di bawah sana bagi mereka yang lalai. Baru sepertiga jarak yang kami tempuh melewati jalur pasir ini. Selepas dari Cemoro tunggal jalur pasir yang curam dengan batu-batu besar dan pasir kerikil menjadi pijakan kami, sungguh menyusahkan. Oksigen yang semakin tipis dan suhu diatas ketinggian 3000 mdpl yang tak mau berkompromi dengan tubuh kami, semakin lama terdiam maka akan semakin membekukan. Mungkin juga membekukan nyali kami. Sejenak beristirahat dan rebah di cekungan
4
www.trihans.com

#turupasar

batuan, mencoba menghindari terpaan dingin. Menikmati hamparan luas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan lampu malam kota-kota di sekitarnya seperti Malang, Pandaan, Pasuruan, Probolinggo. Sebentar lagi subuh, sudah 4 jam kami beriringan mencumbui pasir remuk ini, sayupsayup terdengar kumandang Adzan pertama. Sesaat kemudian cakrawala biru menggariskan sayapnya dengan indah di ufuk timur... Subhanalloh, sungguh kebesaranMu menciptakan matahari untuk kehidupan dan alam semesta ini. Takjub kami menikmati cahaya oranye yang menyelinap dari balik cekungan bumi. Ah.. aku terlambat menemui sunrise dipuncak Mahameru. Cahaya matahari mulai menerangi tanah Jawa ini. Gugusan pegunungan Tengger di sisi utara Semeru menghampar dengan luasnya. Jalur pasir curam dan memutih yang sesaat lalu kami lalui dalam gelap mulai terlihat. Tak ada jalur pasti yang terlihat dibawah sana. yang ada hanya garisgaris cekungan dalam yang jika salah sedikit saja maka jurang Blank 75 menanti tubuh kami dengan angkuhnya. Selalu waspadalah jika melewati jalur ini, kesalahan kecil pengambilan jalur turun akan berakibat fatal. Setelah 5 jam merangkak dan mendaki sampailah kami di puncak tertinggi tanah Jawa ini, Puncak Mahameru. Menikmati keagungan alam dan inilah pelipur dari semua perjuangan selama
5

HANS HANDOKO

beberapa hari ini melangkahkan kaki dari Ranu Pane. berputar di perbukitan landai hingga ke Ranu Kumbolo. merengkuh terjalnya Tanjakan Cinta dan kemudian berlarian manja dalam savana kering di Oro-oro Ombo. Memasuki hutan rimbun di Cemoro Kandang, dan takjub pada kemegahan Mahameru saat pertama kali menjejakan kaki di savana kecil di Jambangan. Kali Mati akhirnya menjadi persinggahan terakhir sebelum jalur menanjak yang menguras tenaga sampai ke Arcopodo, dan akhirnya pasir-pasir remuk inipun menjadi pelengkap romansa Semeru kali ini. Sejenak menikmati letupan-letupan dahsyat dengan semburan awan panas dari mulut Kawah Jonggring Saloko. Hampir saja kami berlarian menghindari awan panas itu, takut!. Ternyata awan panas itu membumbung tinggi keatas dan tertiup angin ke arah barat daya. Suara gemeretak pasir dan kerikil yang berjatuhan dan dentuman dari perut Semeru adalah sebuah irama yang menyadarkan bahwa kami kecil dipuncakMu, dibumiMu, dalam alam SemertaMu. 17 Agustus 2006, kami berbaris melingkar memberi penghormatan pada sang saka Merah Putih. Menyanyikan lagu Indonesia Raya, membacakan Janji Pencinta Alam dan kembali berbaur bersama alam raya. Menikmati indahnya gugusan pegunungan Arjuno Welirang disisi barat dan gugusan Pergunungan Hyang Argopuro disisi timur. Dan tak lupa kami menyapa sebuah nisan
6
www.trihans.com

#turupasar

dari sahabat lama yang pertama kali menggunakan istilah "Pecinta Alam". Nisan itu masih kokoh di pucak ini. Tertuliskan Soe Hok Gie dan Idhan Lubis "mereka yang mencintai udara jernih... Mereka yang mencintai terbang burung burung ". Sungguh anugerah yang tak terkira aku dilahirkan ditanah Jawa yang subur ini. Dan aku bersyukur, inilah puncak pertamaku. Puncak yang akan mengawali puncak-puncak lainnya di Bumi ini. *Mengenang pendakian ke Semeru, 17 Agustus 2006 bersama Sahabat dari Surabaya dan Rajawana

HANS HANDOKO

Catper 21

Perempatan Sarinah Disuatu Sore

Thamrin, Akhir April 2010, Langit sore itu masih menyisakan keganasan panas yang telah ia lewati siang tadi. Kaki-kaki berwajah lusuh meramaikan sudut demi sudut dari ujung Medan Merdeka Barat sampai Sudirman. Debu kumal menyesakan nafas sore yang semakin padat. Retakan-retakan keriput wajah yang hampir terlupakan menandakan bahwa ia telah tua lebih lama dijalanan. Lalu lalang saling menyalip lambaian kernet metromini menampar getirnya ibu kota yang semakin tua tanpa pernah ia sadari. Thamrin Sore itu Dua termos dibelakang dan satu keranjang penuh mimpi didepan. Menjajakan keringat
8
www.trihans.com

#turupasar

mencoba menghilangkan dahaga, kau dari kaum marjinal mengusir haus tenggorokan kaum mu. Atau mungkin kau memanfaat derita kami untuk menyambung hidupmu dalam seteguk asa. Air panasmu menemaniku sore itu yang teridam terpaku menikmati kesunyian dikeramaian satu puncak jam sibuk dikota terpadat . Duduk bersila laksana Gajah Mada menjaga Madakaripura. Di singgasana agung melupakan keberadaan rakyat jelata yang lelah mengadu nasib dikotak-kotak kepenatan. Masih aku menikmati, atau aku terpukau akan ribuan manusia yang menyemut meramaikan jalan bersilang itu. Separator koridor 1 ditengah membelah menghantarkan lebih cepat menuju peraduan rebah. Tempat dimana cintacinta diciptakan mengembang bagai sarang tawon muda. Dan jika raga telah penuh daya lagi esok pagi, tak bisa kau pungkiri bahwa jiwamu telah terbeli segepok mimpi di ujung rem-bulan. Aku masih menikmati sore itu Termenung merangkai hari dari ujung rel di stasiun kota tadi pagi, melangkahkan kaki letih disekitar bangunan tua, menggali sejarah Jakarta diantara rangkaian kata disetiap prasasti. Aku terkagum, bangsa ini sungguh besar diagungkan dicari direbutkan dan akhirnya dijajah tuan-tuan berilmu tinggi. Kini aku hanya mengagumi keindahan yang pernah tercipta dari usangnya tembok disekitar istana. Atau dinginnya lorong
9

HANS HANDOKO

berlumut di penjara bawah tanah. Tak lelah kusapa kumpulan wayang-wayang ekspresi bumi kuno dari Ramayana Mahabarata, epos yang telah ada sejak 1500 SM. Sungguh tua kisah itu Dan setelah kucapai atap Batavia diantara peluh dan terik ini, maka sore itu aku kembali tertegun pada magnet kehidupan yang menarik perhatianku. Jakarta yang begitu ramai, dan aku jadi penonton yang menyaksikan suguhan kepenatan. Pecahnya satu jam pasir saat ribuan manusia menyelesaikan hukuman dari ruang penat disudut mejanya. Aku masih duduk bersila diatas singgasana, laksana Gajah Mada menjaga Madakaripura.. ***

10

www.trihans.com

Anda mungkin juga menyukai