Relasi
agama
dan
negara
dalam
sistem
nation-state, ternyata
selalu
memunculkan dilema, bahkan tak jarang menimbulkan konflik horizontal. Mengapa demikian ? Ini disebabkan, baik agama maupun negara dinilai sama-sama memiliki kepentingan. Harus diakui, sejak abad terakhir ini sering kali terjadi kerancuan hubungan antara agama dan negara yang acap kali berakhir dengan tragedi politik. Ini telah terjadi, baik dunia Kristen di Barat maupun Islam di Timur. Seperti konflik antaraliran keagamaan di Eropa, antara gereja dan negara, yang telah ikut mendorong munculnya sekularisme dan juga humanisme dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, seperti Pakistan, Aljazair, Sudan, dan Arab Saudi, yang selama ini mengklaim konstitusinya berdasar pada agama (Islam). Di Indonesia sendiri, yang (meski) tak secara resmi menjadikan agama sebagai basis formal konstitusi negara, namun dalam kenyataannya memperlihatkan bahwa antara agama dan negara (politik) selalu saja menampakkan dua sisi yang saling kontradiktif dan bermusuhan. Islam dan Politik Dalam Islam sendiri, perjumpaan Islam dengan politik bukanlah suatu proses sejarah yang bersifat coincidental, alias kebetulan. Jika dibidik melalui filsafat (sejarah), bergulirnya sejarah politik Islam selalu dalam rangkaian dialektis antara kekuatan ide (filsafat idealisme) dengan tuntutan material dalam masyarakat (filsafat materialisme). Dalam konteks sejarah politik umat Islam di Indonesia, kekuatan ide yang menggerakkan umat Islam adalah keyakinan teologis bahwa Islam merupakan agama 1
holistik yang tidak saja berurusan dengan persoalan ritus, tapi juga sosial, termasuk urusan politik. Dalam sejarahnya, diskursus agama dan negara (politik) pada akhirnya bermuara pada dua kutub pemikiran yang sangat radikal. Pertama, bahwa negara harus dikendalikan oleh institusi agama, setidak-tidaknya, agama mempunyai andil dalam menentukan suatu kebijakan politik. Aliran pemikiran ini memandang agama sebagai sesuatu yang sempurna (perfect) dan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Tak terkecuali dalam dunia Islam, di mana Islam dipandang sebagai agama yang sempurna, mengatur segala aspek, termasuk tata ruang kehidupan negara (politik). Eqbal Ahmed (1985) mengatakan: It is commonly asserted that in Islam, unlike in Christianity and other religions, there is no separation of religion and politics. Inilah konstruksi teologis yang mendominanasi alam pikir umat Islam. Kedua, sebagaimana dikatakan oleh pemikir muslim asal Mesir, Thaha Husein (1993), bahwa negara tidaklah harus dikendalikan oleh institusi-institusi agama. Menurut Husein, sistem pemerintahan dan pembentukan negara bukanlah atas dasar prinsip keagamaan, tetapi lebih merupakan asas manfaat alamiah dan kepentingankepentingan praktis, yang bertautan langsung dengan ruang waktu kehidupan masa kini. Dalam konteks ini, Islam harus dipahami sebagai private religion, suatu agama yang tidak ada kaitan sama sekali dengan persoalan publik seperti politik. Karena politik dikonstruksi sebagai bagian dari agama, maka selalu ada paling tidak pada tataran das sollen kecenderungan melakukan transendensi terhadap aktivitas politik. Persoalannya, menyandingkan agama dan negara bukanlah pekerjaan yang mudah. Yang kerap kali terjadi justru adanya ketegangan serius antara kedua entitas tersebut. Dalam konteks ilmu politik, implikasi riil dari ketegangan itu telah melahirkan teori tentang kedaulatan. Pertama, paham teokrasi, yang mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan
Tuhan. Paham ini menghendaki agar Tuhan (yang termanifestasi dalam agama) bisa mengatasi semua realitas, termasuk realitas negara atau politik. Karenanya, pengelolaan sebuah negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip keagamaan. Akar dari pendapat ini adalah paham teosentrisme yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu. Kedua, paham demokrasi, yang berpendapat bahwa kedaulatan ada di tangan manusia (rakyat). Artinya, pengelolaan terhadap sebuah negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa campur tangan agama. Agama dipandang sebagai urusan pribadi yang tidak boleh dibawa ke wilayah publik. Bahkan, negara harus dapat menjinakkan agama agar tidak mengintervensi wilayah publik. Akar dari pendapat ini adalah paham antroposentrisme yang memandang bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu. Dua teori tersebut tampak jelas adanya watak intervensionis, bahkan berusaha saling menafikan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga, paham teo-demokrasi. Teori yang diintrodusir oleh Abu al-A'la al-Maududi ini sebenarnya ingin menengahi dua pendapat di atas. Secara sederhana, teodemokrasi adalah paham bahwa kedaulatan berada di tangan Tuhan dan manusia sekaligus. Artinya, meskipun dalam sebuah negara yang menentukan pengelolaannya adalah rakyat, namun rakyat tidak bisa terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Dari sini dapat dilihat, meskipun agak berkelok-kelok, paham teo-demokrasi sebenarnya lebih dekat ke teokrasi daripada ke paham demokrasi. Karena apabila terjadi pertentangan antara apa yang dianggap sebagai pendapat Tuhan dan pendapat manusia (rakyat) menunjukkan, maka pendapat Tuhan yang harus dimenangkan. Hal ini dalam paham teo-demokrasi, pendapat rakyat tetap
bahwa
tersubordinasikan dalam pendapat Tuhan. Sekilas masalahnya memang sederhana, namun dalam tataran praktis berbagai kerumitan tidak mudah untuk diselesaikan. Kerumitan itu tidak terlepas dari watak masing-masing paham yang cenderung
intervensionis. Reposisi Melihat kenyataan dan teori tersebut, tugas kita adalah bagaimana mencari satu alternatif yang dapat mendudukkan agama dan politik menurut proporsinya masingmasing dalam interaksi yang saling melengkapi (mutualistik) sesuai kapasitasnya. Ini mengingat, agama sendiri telah diposisikan pada tempat yang tidak kalah universalnya dibanding dengan segala corak ideologi ciptaan manusia (human construction). Misalnya, pandangan sosiologis menggariskan paling tidak ada lima corak peranan penting agama sebagai lembaga universal manusia. Pertama, memberikan dukungan dan pelipur yang dapat membantu mengatasi kekhawatiran tentang masa depan yang tidak menentu dan mencemaskan. Kedua, memberikan makna dan tujuan bagi keberadaan manusia. Ketiga, memungkinkan mentransendensikan realitas sehari-hari. Keempat, membantu manusia
mengembangkan rasa identitas, misalnya rasa kebersamaan dalam berorganisasi. Dan kelima, membantu manusia selama menghadapi krisis yang terjadi pada tahap transisi kehidupan. Di sinilah reposisi agama dan negara penting dilakukan. Tidak mudah memang melakukan hal ini, tetapi kita tidak dapat lepas dari tanggung jawab besar ini. Apalagi negara kita adalah negara heterogen dan plural, sehingga dituntut untuk menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme dan keanekaragaman. Dalam kaitan reposisi itu, kita mesti memperhatikan, bukankah pluralisme sebagai nilai dasar bagi tegaknya negara modern dan konstelasi yang adil dan demokratis menjadi prasyarat utama ? Ajaran agama-agama besar mengandung nilainilai dasar itu. Tinggal bagaimana kita dengan kemauan keras membingkai kehidupan bernegara dan beragama dalam aras pluralisme dan nilai-nilai universal tersebut.
Satu hal yang patut dicatat, bahwasanya agama mempunyai seperangkat nilainilai etika (moral) yang senantiasa mewarnai totalitas sistem kehidupan sosial masyarakat, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara (politik). Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa agama dengan negara (politik) tidak mempunyai hubungan, dan oleh karenanya harus dipisahkan satu dengan lainnya (secularistpragmatism), tampaknya, tidak relevan untuk konteks negara Indonesia, di mana tata nilai keagamaan memperoleh tempat yang mahaagung dalam masyarakat. Karena itu, hemat saya, dalam soal agama, kiranya peran negara yang tepat adalah sebagai wasit. Wasit yang baik adalah yang tidak intervensionis tapi juga tidak impoten, namun tegas dan adil sesuai aturan main yang ditetapkan melalui prosedur demokrasi. *****