Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini sering dijumpai berita mengenai tindak kriminal maupun asusila baik di telivisi maupun surat kabar.Anak mudah emosi, susah mengendalikan diri, dan bersikap reaktif yang tak urung menimbulkan konflik berujung pada kekerasan hingga pembunuhan. Selain itu terdapat tindakan melanggar norma-norma agama yang sering dianggap wajar, sebagai contoh hubungan seks diluar nikah yang dilakukan para pemuda-pemudi. Di dalam film-film pun sering terdapat adegan tersebut seolah sudah menjadi hal yang tidak tabu lagi. Perkembangan teknologi yang tidak disikapi dengan sikap yang arif akan berdampak buruk. Selain nilai-nilai moral yang merosot, nilai budaya pun turut dipertanyakan. Sebagaimana dapat dilihat, anak muda saat ini semakin kehilangan identitasnya sebagai bangsa Indonesia, contohnya orang Jawa tidak mampu berbicara bahasa Jawa yang halus (Krama). Selain itu anak muda sering termakan trend, dan hal itu berkaitan dengan anak muda yang bersifat konsumtif. Anak muda sekarang lebih senang bermain band dari pada musik halus, seperti klasik yang memiliki dasar yang kuat. Anak muda enggan bermain musik-musik klasik , karena dianggap musik yang membuat ngatuk ataupun kolot. Padahal music klasik memiliki komposisi yang sangat kaya dan sempurna. Anak muda juga enggan belajar tari tradisional dan lebih menyukai tarian-tarian yang lebih memperlihatkan sisi sensualitas tubuh. Dalah mengolah karya seni yang halus diperlukan pengendalian diri dan kepekaan. Sebagai contoh, orang yang bermain karawitan (musik gamelan yang halus) memerlukan pengendalian diri (ngenepake rasa) dan juga kepekaan terhadap rekan yang lain . Selain harus konsentrasi terhadap alat musik masing-masing juga harus mendengarkan alat milik rekan yang lain, terutama kendang sebagai penentu irama (pamurba irama) dan Bonang yang mengarahkan nada (pamurba swara). Pemain akan

terlatih dalam pengendalian diri dan peka terhadap lingkungannya baik sesama maupun alam sekitar. B. Rumusan Masalah Dalam mengkaji peran seni dalam membentuk moralitas pada makalah ini permasalahan yang diajukan, yaitu: Seberapa jauh peran seni musik dalam membentuk moralitas manusia?

C. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengkaji pengaruh seni musik dalam pembentukan moralitas manusia.

D. Manfaat Penulisan Hasil dari makalah ini diharapkan mampu memberi manfaat:
1. Memahami bagaimana pengaruh seni musik dalam membangun moralitas manusia.

2. Menumbuhkan minat pembaca mempelajari musik-musik yang halus. 3. Menambah pengalaman penulis sehingga tulisannya semakin bisa dimengerti oleh pembaca.

E. Batasan Masalah Dalam mencari hubungan antara seni musik dengan moralitas manusia perlu dilihat filosofi karya-karya seni. Penulisan ini dibatasi pada pengaruh seni musik dalam membentuk moralitas manusia.

F. Sistematika Penyajian BAB I : Pendahuluan

BAB II BAB III BAB IV

: Landasan Teori : Pembahasan : Penutup

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Moral
1.

Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. (Hadiwardoyo; 1990 :13)

2.

Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni batiniah dan lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan perbuatan-perbuatan yang baik pula. (Hadiwardoyo; 1990 :13)

3.

Berhubungan dengan masalah ukuran moral itu , kita sering kali mendengar istilah hati nurani dan norma. Secara singkat dapat kita katakana

bahwa hati nurani menyediakan ukuran subjektif, sedang norma menunjuk pada ukuran objektif. (Hadiwardoyo; 1990 :13)

4.

Konsep minimum dapatlah sekarang dinyatakan dengan pendek: moralitas, setidak-tidaknya, merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yakni, untuk melakukan apa yang baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang akan terkena oleh tindakan itu. (Rachels; 2004: 40)

B. Pandangan Kuno kaitan Seni dan Moral

1.

Dalam filsafat Cina misalnya terdapat hanya satu istilah bagi rasa keindahan dan rasa moral, yaitu tao , jalan atau marga. Barang siapa menempuh jalan yang tepat itu dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan, antara yang indah dan yang jelek. (Hartoko; 1984: 8)

2.

Bagaimana seorang yang bejat hidupnya dapat menciptakan barangbarang indah, kata Kong Hu Cu. (Juga dalam tradisi humanistik klasik di Barat, kita jumpai pendapat serupa itu. Mengajarkan seorang muda untuk menghargai barang-barang indah dengan sendirinya memperkuat kesadaran moralnya, dan sebaliknya (Hartoko; 1984: 73)

3.

Cita-cita pendidikan Yunani kuno berpangkal pada konsep kalos kagathos (kalos kai agathos: kalos = indah, agathos = berbudi luhur): mengembangkan cita rasa yang halus sekaligus mempersiapkan seorang pemuda (para pemudi dahulu rupanya tidak dipedulikan!) untuk memilih yang baik. (Hartoko; 1984: 8)

4.

Menurut Plato, dari umur 14-16 tahun kepada anak-anak diajarkan music danpuisi serta mengarang bersajak. Musik menanam dalam jiwa manusia perasaan yang halus, budi yang halus. Karena musik jiwa kenal akan harmoni dan irama. Kedua-duanya adalah landasan yang baik untuk menghidupkan rasa keadialan. Tetapi dalam pendidikan musik harus dijauhkan dari lagu-lagu yang melemahkan jiwa menimbulkan nafsu buruk. (Syadali; 2004: 71) serta yang mudah

5.

Kosep serupa itu secara implisit juga melatarbelakangi sastra kakawin, syair-syair epik yang ditulis oleh para penyair Jawa antara abad ke-10 sampai abad ke-15: seorang ksatria sejati pandai menabuh gamelan, pandai membuat sanjak-sanjak, peka terhadap keindahan (kalangwan)dan oleh karena itu berbudi luhur, siap membela keadilan dan kebenaran. (Hartoko; 1984: 9)

C. Pengalaman Estetis dan Pengalaman Religius

1.

Bila sekarang kita membandingkan pengalaman religius dengan pengalaman estetik, nampaklah persamaan tetapi juga perbedaan. Dan perbedaannya lebih banyak. Yang sama ialah kedua-keduanya memakai atau menghayati lambang-lambang. (Hartoko; 1984: 51)

2.

Kepekaan terhadap lambang-lambang merupakan syarat agar manusia dengan sepenuhnya juga dapat merasakan pengalaman religius. Karl Rahner, seorang ahli theologia Katolik dari Jerman, pernah mengatakan bahwa Kitab Injil baru dapat diresapi sepenuhnya oleh orang-orang yang peka terhadap lambang-lambang. (Hartoko; 1984: 52)

3.

Pendidikan estetik sangat berguna bagi pendidikan religius,karena dengan mengembangkan pengalaman estetik dikembangkan pula kepekaan terhadap gejala-gejala yang mengisyaratkan kehadiran Tuhan. (Hartoko; 1984: 52)

4.

Selain itu, bagi seorang yang peka terhadap bahasa lambang, maka setiap pengalaman hidup sehari-hari dapat bermuara menjadi pengalaman religius, setiap peristiwa profane dapat menjadi peristiwa sakral. (Hartoko; 1984: 52)

BAB III PEMBAHASAN

A. Musik Telah Dikaitkan Hubunganya dengan Moralitas sejak Dahulu Kala

Konsep tentang pembentukan moralitas dengan mengenalkan seni terutama seni musik kepada seorang anak atau pemuda telah ada sejak zaman dulu baik di Barat maupun Timur. Di Barat hal tersebut dapat dijumpai pada zaman Yunani kuno dan masa klasik. Sedangkan di Timur hal serupa dijumpai pada filosofi Cina dan secara implisit tersirat pada kakawin Jawa. Plato merupakan salah satu orang yang menggagas adanya pembentukan moralitas kaum muda dengan mengenalkan seni musik. Ia berpendapat bahwa anak usia 14 sampai 16 tahun harus mulai diajarkan musik. Musik menanam dalam jiwa manusia perasaan yang halus, budi yang halus. Karena musik jiwa kenal akan harmoni dan irama. Kedua-duanya adalah landasan yang baik untuk menghidupkan rasa keadialan. Tetapi dalam pendidikan musik harus dijauhkan dari lagu-lagu yang melemahkan jiwa serta yang mudah menimbulkan nafsu buruk. Dalam filsafat Cina terdapat hanya satu istilah bagi rasa keindahan dan rasa moral, yaitu tao , jalan atau marga. Barang siapa menempuh jalan yang tepat itu dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan, antara yang indah dan yang jelek. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Kong Hu Cu, ia berpendapat bahwa tidak mungkin seorang yang moraknya buruk mampu membuat karya seni yang indah. Di Jawa kosep serupa itu secara implisit juga melatarbelakangi sastra kakawin, syair-syair epik yang ditulis oleh para penyair Jawa antara abad ke-10 sampai abad ke-

15: seorang ksatria sejati pandai menabuh gamelan, pandai membuat sanjak-sanjak, peka terhadap keindahan (kalangwan) dan oleh karena itu berbudi luhur, siap membela keadilan dan kebenaran.

B. Musik Melatih Kepekaan Diri terhadap Sesama

Seperti yang dikatakan oleh Plato, musik menanam dalam jiwa manusia perasaan yang halus, budi yang halus. Dengan musik-musik yang halus hati nurani seseorang dengan sendirinya akan terlatih. Hati nurani merupakan hal yang pokok dalam kesadaran Moral. Saat bermain musik seseorang dituntut seirama dan senada dengan rekanrekannya. Dia harus tetap berkonsentrasi terhadap permainannya sendiri juga permainan temannya. Dalam orkestra klasik ada banyak alat musik yang dimainkan selain itu komposisinya sangat kaya dan tingkat kesulitannya tinggi. Di situlah seseorang belajar bagaimana menyelaraskan diri pada irama dan nada, hal itu akan membawa diri selaras dengan sesama. Dalam bermain gamelan pun hal serupa dapat ditemukan. Sebagai contoh, orang yang bermain karawitan (musik gamelan yang halus) memerlukan pengendalian diri (ngenepake rasa) dan juga kepekaan terhadap rekan yang lain . Selain harus konsentrasi terhadap alat musik masing-masing juga harus mendengarkan alat milik rekan yang lain, terutama kendang sebagai penentu irama (pamurba irama) dan Bonang yang mengarahkan nada (pamurba swara). Pemain akan terlatih dalam pengendalian diri dan peka terhadap lingkungannya baik sesama maupun alam sekitar

C. Musik Mempengaruhi Tingkat Kecerdasan dan Emosional

Musik klasik saat ini sangat dipercaya dalam membentuk kecerdasan anak. Banyak ditemui orang tua yang mulai meperdengarkan musik klasik kepada anakanaknya sejak dia masih didalam kandungan ibu. Dengan kecerdasan seseorang akan

mampu membedakan yang benar maupun atau yang salah. Kesadaran itu dipicu oleh hasil penelitian bahwa musik, terutama musik klasik ternyata sangat mempengaruhi perkembangan IQ (Intelegent Quotien) dan EQ (Emotional Quotien). Anak-anak yang sejak kecil terbiasa bergaul dan mendengarkan musik akan memiliki kecerdasan emosial dan intelegensia yang lebih berkembang, dibandingkan anak-anak yang yang jarang mendengarkan musik Menurut James Rachels moralitas setidak-tidaknya, merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yakni, untuk melakukan apa yang baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang akan terkena oleh tindakan itu. Jadi akal juga dibutuhkan dalam kesadaran moral selain hati nurani. Musik klasik juga mempengaruhi perkembangan tingkat emosi seseorang. Dengan emosi yang stabil orang akan bertindak secara sadar akan moral. Saat ini sering dijumpai dalam berita, tindakan seseorang yang melanggar moral dipicu karena tidak mampu mengendalikan emosi.

Hal ini pun dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh University of Texas di Austin, Texas. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa anak yang diperdengarkan musik klasik menunjukkan tingkat emosi yang lebih stabil dibandingkan dengan anak yang diperdengarkan musik rock.

BAB IV PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dibahas dapat ditarik kesimpulan bahwa seni musik ternyata memang memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan kesadaran moral seseorang. Baik teori lama maupun teori yang aktual, mendukung bahwa musik turut andil dalam perkembangan moral. Musik mempengaruhi perkembangan kecerdasan seseorang, sehingga mampu membedakan yang benar maupun yang salah menurut akal. Selain itu musik juga mempengaruhi tingkat pengendalian emosional seseorang, sehingga orang dalam melakukan tindakan tidak dikuasai oleh emosi sesaat dan masih berpegang pada kesadaran moral. Musik menanam dalam jiwa manusia perasaan yang halus, budi yang halus. Hati nurani menjadi berkembang dan kepekaan terhadap sesama juga akan terlatih. Dengan hati nurani yang berkembang orang akan menjadi cenderung bertindak menuruti kata hati nurani dan dengan kepekaan terhadap sesama orang akan bertindak dengan memperhatikan dampak sesama yang dikenai tindakannya.

DAFTAR PUSTAKA

Rachels, James, Fisafat Moral, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004.

Hartoko, Dick, Manusia dan Seni, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984.

Hadiwardoyo, Purwa, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.

Syadali, H. Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Anda mungkin juga menyukai