1 Latar Belakang
Jagung sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Di beberpa daerah di Indonesia jagung merupakan makanan pokok dan juga sebagai bahan baku untuk pakan ternak dan bahan baku industri. Dari tahun ketahun kebutuhan akan jagung terus mengalami peningkatan, memacu para petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Dengan semakain berkembangnya industri pengolahan pangan dan taraf hidup ekonomi masyarakat, maka kebutuhan akan jagung juga semakain menigkat pula. Penyakit adalah salah satu penghabat keberhasilan petani jagung karena kerugian yang diakibatkan sangat besar. Salah satu factor pembatas produksi dan kualitas hasil jaganung di Indonesia adalah penyakit,di samping tingkat kesuburan tanah yang rendah dan kekeringan (R. Neny Iriani et al. 2003). Penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah penyakit bulai (donwny mildew), penyakit bercak daun ( Leaf bligh), penyakit karat daun (Rust), penyakit gosng bengkak (corn smut/boil smut), penyakit busuk biji dan busuk tongkol.tahun Penyakit bulai telah dikenal di Indonesia terutama di pulau Jawa sejak tahun 1897 (Semangoen,1968). Penyakit ini merupakan penyakit penting,karena tanaman jagung yang terserang tidak akan menghasilkan biji sama sekali. Penyakit bulai akan ditemukan disetiap tempat dimana tanaman jagung tersebut ditanam. Pada daerah yang sudah endemik terhadap penyakit ini,tanaman jagung mudah untuk diserang dan dalam hal ini petani sering mengalami kesulitan dalam pengendalian. Tanaman jagung yang terserang penyakit bulai akan mengalami hambatan dalam proses fotosintesisnya sehingga pada proses pembentukan tepung sari dan tongkol juga mengalami hambatan dan bahkan tidak menghasilkan biji sama sekali (De-Leon 1984). Tingkat penularan pathogen ini sangat beragam,bergantung pada variabilitas genetic,variabilitas fenotipik,dan interaksi antara genetic dan lingkungannya. Pengetahuan mengenai keragaman tersebut sangat penting terutama dalam tehnik pengendaliannya. Penyakit bulai (downy mildew) adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur peronosclerospora maydis. Penyakit ini mampu menghambat dan merusak pertumbuhan tanaman jagung sehingga menyebabkan kegagalan panen. Penyakit ini dilaporkan cukup bebahaya karena dapt menyebabkan kehilangan hasil hingga 100% atau puso (Subandi et al. 1996). Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Kediri mencatat hingga juli 2008,
serangan penyakit bulai telah mencapai 708 hektar dan tersebar di 21 Kecamatan dari 25 Kecamatan di Kabupaten Kediri. Dari 708 hektar, 201 hektar diantaranya mengalami gagl panen (Anonim, 2008). Dengan melihat data-data kegagalan produksi jagung yang disebabkan penyakit bulai, maka diperlukan usaha dalam mengatasi permasalahan tersebut. Pengendalian yang selama ini dilakukan masih mengalami berbagai kesulitan terutama mengenai teknologi yang digunakan. Dengan teknikpengendalian yang benar dan tepat, makan penurunann produksi jagung akibat penyakit bulai tersebut dapat dikendalikan. Pengendalian yang efektif untuk menekan penyakit bulai pada saat ini masih menggunakan fungisida. Hal ini mengakibatkan kecenderungan petani menggunakan fungisida semakin meningkat. Cara pengendalian penyakit bulaidilakukan dengan cara mencampur fungisida sistemik pada biji jagung (seed treatment). Fungisida sistemik dengah bahan aktif metalaksil 35% dan mankozeb, diharapkan dapat menekan intensitas serangan penyakit bulai pada kususnya dan penyakit-penyakit lainya pada tanaman jagung. Pengujian tersebut dilakukan untuk mengetahui efektifitas dan untuk mengetahui level dosis efektif yang dapat mengendalikan penyakit bulai.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah uantuk mempelajari evektivitas penggunaan fungisida berbahan aktif metalaksil, mankozeb terhadap perkembangan penyakit bulai (Downy mildew) yang disebabkan oleh jamur peronosclerospora maydis pada tanaman jagung.
1.3 Hipotesis
Fungisida mengendalikan berbahan aktif metalaksil penyakit bulai dan mankozeb mampu yang
perkembangan
(Downy
mildew)
disebabkan oleh jamur peronosclerospora maydis pada tanaman jagung dengan dosis tertentu.
radikaula dan embrio, akar adventif (akar tunjang) tumbuh dari buku paling bawah yaitu sekitar 4 cm di bawah permukaan tanah, sementara akar udara merupakan akar yang keluar dari dua atau lebih buku terbawah dekat permukaan tanah. Jagung memiliki bunga yang tidak lengkap dan termasuk bunga tidak sempurna. Bunga jangtan berada di ujung batang. Sementara bunga betina terdapat di ketiak daun ke-6 atau ke-8 dari bunga jantan, biji jagung tersusun rapi dalam satu tongkol dengan jumlah biji 200-400 biji tiap tongkol (Purwono dan Hartono, 2008).
2.1.3 Syarat Tumbuah Tanaman Jagung Tanaman jagung merupakan tanaman yang dapat tumbuh dimana saja dan tanaman ini dapat tumbuh pada berbagai macam kondisi bahkan pada kondisi tanah yang kareing. Jagung dapat di tanam di Indonesia mulai di dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian tanaman jagung (AAK, 1993). antara 1000-1800 m dpl. daerah dengan ketinggian 0-600 m dpl merupakan ketinggian yang optimum bagi pertumbuhan Menurut Harniati et all (2000) Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah, dengan curah hujan 100-200 mmbulan-1. Pertumbuhan tanaman jagung akan semakain baik jika di tanam pada tanah yang gembur, subur dan kaya humus. Keadaan iklim merupakan factor yang tidak dapat diabaikan dalam budidaya tanaman kagung. Umum nya tanaman jagung memiliki adaptasi yang baik di daerah tropis seperti di Indonesia. Tanaman jagung dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik didataran rendah samapai pada ketinggian 1800m dpl. Tetapi juga tergantungpada varietas yang di tanam. Factor suhu, sinar matahari dan keadaan tanahmerupakan hal yang harus diperhatikan (gusmara, 1994) Tanaman jagung dapt tumbuh normal pada suhu 21-32o C dengan suhu optimal23-27o C dan kelembaban udara 50-80% (Gusmara, 1994). Dari hasil penelitian, intensitas cahaya yang tinggi baik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Intensitas cahaya yang rendah akan barakibat tanaman jagung tumbuh memanjang (tinggi), tongkolnya ringan dan bijinya kurang berisi (Warisno, 1998). Menurut Gusmara, 1994 tanaman jagung dapat beradaptasi dengan baik hamper diberbagai jenis tanah seperti andosol, latosol dan podsolik. Hal penting yang harus diperhatikan adalah tanahnya harus subur, gembur, banyak mengandung bahan organic, aerasi dan drainase yang baik,serta memiliki pH tanah antar 5,5-7,5.
peronosclerospora maydis. Penyakit bulai dapat menimbulkan gajala sistemik yang meluas keselurua bagian tanaman dan dapat pula menimbulkan gejala local.gejala sistemik hanya terjadi bila jamur dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik tumbuh, sehingga menginfeksi semua daun yang terbentuk oleh titik tumbuh tersebut (Takdir et al, 2003). Tanaman jagung yang terserang penyakit bulai terdapat gejala seberikit :
1. Pada tanaman berumur 2-3 minggu, daun runcing dan kecil, kaku dan
pertumbuhan batang terhambat, warna menguning, sisi bawah daun terdapat lapisan spora jamur warna putih. 2. Pada tanaman berumur 3-5 minggu, tanaman yang terserang bulai mengalami gangguan pertumbuhan, daun berubah warna dan perubahan warna ini dimulai dari bagian pangkal daun, tongkol berubah bentuk dan isi. 3. Pada tanaman dewasa, terdapat garis-garis keclokatan pada daun tua (Aninom, 1999) Tingkat penularan patogen penyebab penyakit bulai pada tanaman cukup beragam, bergantung genetic, variable fenotipik dan interaksi antara genetic dengan lingkungannya. Pengetahuan mengenai keragaman tersebut sangat penting, terutama dalam penerapan progam seleksi yang akan digunakkan unatuk karakter yang diinginkan. Perkembangan penyakit bulai di pengaruhi oleh kelembaban dan suhu udara. Kelembaban di atas 80%, suhu 28-30o C dan adanya embun ternyata dapat mendorong perkembangan penyakit bulai ini. Infeksi oleh Peronosclerospora maydis pada jagung dilakukan oleh konodia melalui
stomata. Konodia yang disebarkan oleh angin, apabila jatuh pada permukaan daun yang berembun, maka akan segera berkecambah. Gejala tergantung pada saat terjadinya infeksi dan perkembangan jamur dalam badan tanaman. Gejala yang sistemik apabila jamur mencapai pada gulungan daun, sedanangkan gejala lokal serangannya hanya pada bagian yang terinfeksi saja (Budiarti et al 2001).
mengendalikan, mencegah, merusak, menolak atau mengurangi organisme pengganggu yang berasal dari jamur. Efektivitas fungisida tergantung dari bahan aktif dan senyawa campuran pembawanya. Dalam menghambat atau mematikan jamur patogen, fungisida memiliki cara kerja yang berbeda-beda.
Secara umum, cara kerja fungisida dalam melakukan efeknya terhadap jamur adalah sebagai berikut : 1. Merusak diding sel Diding sel merupakan lapisan luar yang kaku yang dimiliki sel. Diding ini berfungsi untuk mempertahankan bentuk dan menahan sel. Diding sel jamur tersusun oleh lapisan kitin dan glikin. Menurut Soetikno (1992) konsentrasi fungisida yang rendah dapat menghambat pembentukan glikosida sehingga pembentukan diding sel akan berakibat terjadinya perubahan-perubahan yang menyebabkan kematian sel. 2. Merusak sitoplasma Sitoplasma terdiri atas 80% air, asam nukleat, protein, karbohidrat, lipid, ion anorganik, dan berbagai senyawa dengan bobot molekul rendah. Kehidupan suatu sel tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Menurut Soetikno (1992) konsentrasi beberapa zat kimia dari fungisida dapat mengakibatkan koagulasi dan denaturasi komponen-komponen seluler yang vital.
3. Mengubah permeabilitas diding sel.
Kosentrasi fungisida dapat menyebabkan kerusakan pada membrane sel, selain itu fungisida akan menyerang dan merusak membran sel sehingga fungsi permeabilitas membrane mengalami kerusakan. Kerusakan pada mebran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel (Soetikni,1992) 4. Menghambat sintesis asam nukleat dan protein Di dalam sel terdapat DNA, RNA dan protein yang berperan sangat penting dalam pembentukan zat-zat dalam proses metabolism. Ada zat kimia akan secara langsung merusak protein dan asam nukleat tanpa bias diperbaiki lagi sehingga menyebabkan jamur pathogen mati. Sebagai contoh pada mekanisme kerja dari amanitin (senyawa bersifat racun) yaitu dengan menghambat RNA-polimerase yang tergantung pada DNA, akibatnya sintesis asam nukleat di inti sel serta sintesis protein akan ikut terhambat pula (Anonim, 2007b) 5. Menghambat kerja emzim Dalam sel terdapat enzim dan protein yang membantu proses-proses metabolism. Zat kimia diketahui dapat mengganggu reaksi yang berakibat terhadap perubahan bentuk protein. Penghambatan ini mengakibatkan terganggunya metabolism atau kematian sel. Sebagai contohnya adalah senyawa Organofosfatyang menghanbat kerja enzim, sehingga mengakibatkan jumlah asetylkolinmeningkat dan menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh (Darmono, 2000).
Banyak
factor
yang
mempengaruhi
evektifitas
fungisida
dalam
menghambat perkembangan jamur patogen. Hal-hal yang mempengaruhi evektifitas fungisida adalah sebagai berikut :
1. Jumlah jamur patogen
Semakin banyak jumlah jamur pathogen yang akan di kendalikan, maka akan semaking banyak pula waktu yang akan di perlukan dalam mengendalikan jamur patogen tersebut (Soetikno, 1992) 2. Suhu dan spesies jamur patogen Kenaikan suhu yang tinggi dapat menaikkan keevektifan fungisida. Hal ini di sebabkan karena zat kimia mampu merusak metabolism jamur melalui reaksi kimia dan reaksi kimia tersebut di percepat dengan kenaikan suhu. Disamping itu spesies jamur patogen menunjukan ketahanan yang berbeda-beda terhadap bahan kimia dari fungisidah tersebut (Soetikno, 1992). 3. Konsentrasi fungisida Semakin tinggi konsetrasi suatu fungisida semakin tinggi daaya evektifitas fungisidanya, artinyaa akaan banyak jamur patogen yang dapt dikendalikan lebih cepat bila konsentrasinya tersebut lebih tinggi. Pengaruh penghambatan semakin besar sejalan dengan semakin besarnya konsentrasi fungisida yang diberikan (Irawan, 2006). Efikasi adalah efektivitas pertisida terhadap organism sasaran yang didaftarkan berdasarkan pada hasil percobaan lapangan atau laboratorium menurut metode yang berlaku (Anonim, 2007 c). pengujian bahan dari suatu fungisida pada dasarnya adalah untuk menentukan konsentrasi dana dosis terkecil dari bahan tersebut yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen. Dalam pengujian fungisida banyak metode pengujian yang dapat digunakan , karena itu perlu memperhatikan dan memilih metode yang paling tepat.
produk tersebut mengandung bahan aktif metalaksil murni dan campuran antara bahan aktif metalaksil dengan bahan aktif lainnya. Metalaksil ialah salah satu dari bahan aktif fungisida sistemik yang masuk dalam kelompok asilalanin. Dalam digunakan untuk mengendalikan penyakit bidang pertanian metalaksil tanaman yang kebanyakan
disebabkan oleh jamur kelas Oomysetes atau water-mold fungi. Metalaksil juga efektif untuk mengendalikan jamur patogen yang berasal dari dalam tanah yang disebabkan oleh Phytium dan Phytophthora, serta penyakit embun tepung (Downey mildew), bercak daun, karat daun dan hawar daun. Fungisida berbahan metalaksil dapat diaplikasikan melalui perlakuan biji (seed treatment) dan juga dengan disemprotkan langsung pada daun atau permukaan tanaman. Pengaplikasiannya juga dapat melalaui irigasi, permukaan tanah dan perlakuan benih. Secara biokimia, metalaksil diserap oleh tanaman, ditranslokasikan dan dimetabolisme dengan ekstensif oleh tanaman. Cara kerja metalaksil adalah dengan menghambat sisntesa protein yang dilakukan oleh jamur dengan merusak struktur ribosom RNA pada jamur sehingga senyawa astaldehyde dehydrogenase yang merupakan enzim penting untuk 2000) 2.5 Fugngisida Mankozeb Mankozeb adalah ahan aktif dalam fungisida yang mempunyai nama kimia L1,2-Ethanedylbis L1,2-L ethaneldybis Carbomodithioate) L2- Zinc. Dengan rumus molekuk (-SCLS) NHCH2NHCSSMn-) x Zinc. Mankozeb merupakan pestisida kimia yang mana digunakan pada pertanaman pertanian. Klasifikasinya termasuk dalam ethylene bisthidiocar bamates (EBDC3). Yaitu fungisida yang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan tanaman di lapang dan juga dapat digunakan untuk melindungi hasil panenan dari pembusukan dalam penyimpanan dan dalam perjalanan (Dubey, James dan Stevenson,2001). Pada umumnya cara kerja dari fungisida mankozeb dengan melewati metabolisme jamur menjadi rusak dan mengakibatkan peningkatan kerusakan senyawa-senyawa di dalam sel jamur (Yuanyang,