Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

Preeklampsia adalah gangguan menyeluruh mengenai malfungsi endotel vaskular dan vasospasme yang terjadi pada minggu ke 20 kehamilan dan dapat pula terjadi sampai minggu ke 4-6 postpartum. Secara klinis didefinisikan sebagai hipertensi dan proteinuria dengan maupun tidak disertai edema patologis. Preeklampsia merupakan bagian dari hipertensi yang merupakan penyulit dari kehamilan. Ini meliputi hipertensi kronis, preeklampsia superimposed dengan hipertensi kronik, hipertensi gestasional, preeklampsia dan eklampsia. Kriteria diagnosis dari preklampsia terfokus pada pengukuran dari tekanan darah yang meninggi dan proteinuria yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan. Hal ini harus dibedakan dengan hipertensi gestasional yang dimana lebih sering dan selalu muncul dengan gejala yang sama dengan preeklampsia, yang termasuk didalamnya nyeri epigastrik atau trombositopenia, tapi tidak ditandai dengan proteinuria. Sebagai tambahan pasien dengan gambaran awal hipertensi kronik memberi gambaran yang tumpang tindih dengan preeklampsia yang muncul sebagai proteinuria onset baru setelah minggu ke 20 kehamilan. Preeklampsia merupakan penyebab ketiga terbanyak yang menyebabkan kematian selama kehamilan setelah perdarahan dan emboli. Preeklampsia merupakan penyebab pada 790 kematian ibu/100.000 kelahiran hidup. Morbiditas dan mortalitas terkait dengan disfungsi dari endotelial sistemik, vasospasme, dan trombosis pembuluh darah kecil yang akan mengakibatkan iskemi jaringan dan organ. Wanita ras Afrika-Amerika memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita ras kulit putih. Secara umur mortalitas dan morbiditas semakin meningkat pada wanita hamil dengan umur muda (<20 tahun) dan wanita hamil dengan umur > 35 tahun. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops

fetalis, usia > 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi terjadinya preeklampsia. Di Indonesia frekuensi kejadian Preeklampsia sekitar 3-10%, sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian Preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran). Di RSU Tarakan Kalimantan Timur ditemukan kejadian preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dari 1413 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000. Dari kasus ini terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun dengan primigravida (17,5%).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi Preeklampsia merupakan sindrom spesifik - kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Cunningham et al, 2003). Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007). Hasil konsensus mengenai kesepakatan sangat bervariasi pada setiap negara dan organisasi internasional mengenai ukuran yang dapat mendeskripsikan gangguan ini, namun terdapat batas yang masih wajar mengenai normotensi pada minggu ke 20 adalah tekanan sistolik tidak melebihi 140 mmHg dan tekanan diastolik yang tidak lebih 90 mmHg dalam 2 kali pengukuran selama 4-6 jam. Preeklampsia pada pasien yang menderita hipertensi esensial terdiagnosis jika tekanan darah sistolik meningkat 30 mmHg atau tekanan diastolik meningkat 15 mmHg. Proteinuria yaitu bila terdapat protein dalam urin dengan kadar 300mg dalam 24 jam atau 1 gram/liter dalam dua kali pengambilan urine selang 6 jam secara acak atau dengan pemeriksaan kualitatif 2+ pada pengambilan urine secara acak. Edema sekarang tidak lagi menjadi tanda yang sahih untuk menegakkan preeklampsia, oleh karena edema pada wajah dan tangan biasa dijumpai pada wanita hamil. Edema pada preeklampsia adalah patologis, timbul pada wajah dan tangan yang sering kali menetap.

2.2. Epidemiologi

Preeklampsia

merupakan

penyebab

ketiga

terbanyak

yang

menyebabkan kematian selama kehamilan setelah perdarahan dan emboli. Preeklampsia merupakan penyebab pada 790 kematian ibu/100.000 kelahiran hidup. Morbiditas dan mortalitas terkait dengan disfungsi dari endothelial sistemik, vasospasme, dan thrombosis pembuluh darah kecil yang akan mengakibatkan iskemi jaringan dan organ. Wanita ras Afrika-Amerika memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita ras kulit putih. Secara umur mortalitas dan morbiditas semakin meningkat pada wanita hamil dengan umur muda (<20 tahun) dan wanita hamil dengan umur > 35 tahun. Frekuensi preeklamsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklamsia sekitar 3-10% (Triatmojo, 2003), sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklamsia sebanyak 5% dari semua kehamilan, yaitu 23,6 kasus per 1.000 kelahiran (Dawn C Jung, 2007). Pada primigravida frekuensi preeklamsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Sudinaya (2000) mendapatkan angka kejadian preeklamsia dan eklamsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan preeklamsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklamsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklamsia (Trijatmo, 2005). Peningkatan kejadian preeklamsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan superimposed PIH (Campbell, 2006). Di samping itu, preeklamsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, dkk (1999) mendapatkan angka kejadian

dari 30 sampel pasien preeklamsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus. Wanita dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal, maka memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan preeklamsia (13 % : 5 %) yang secara bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan kembar memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan kehamilan tunggal (Cunningham, 2003). 2.3. Faktor Predisposisi Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami preeklampsia bila mempunyai faktor-faktor predisposisi sebagai berikut: 1. Nulipara 2. Kehamilan ganda 3. Usia <20 atau >35 tahun 4. Riwayat preeklampsia-eklampsia pada kehamilan sebelumnya 5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita preeklampsia-eklampsia
6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum

kehamilan 7. Obesitas 2.4. Etiologi Sampai saat ini belum ada etiologi pasti dari preeklampsia dan eklampsia. Ada beberapa teori yang menjelaskan perkiraan dari etiologi dari kelainan tersebut diatas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai Disease of Theory. Secara umum dasar dari patofisiologi preeklampsia adalah vasokonstriksi dari pembuluh darah arteriole dan peningkatan sensitivitas vaskuler terhadap vasopressor. Teori-teori yang diajukan untuk mengetahui etiologi dari preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Peran Immunologi 6,7

Muncul dugaan bahwa terdapat hubungan antara leukosit desidua dan invasi sitotrofoblas penting untuk invasi dan berkembangnya tropoblast. Maladaptasi imun diduga sebagai penyebab gagalnya invasi arteri spiralis sehingga menyebabkan dilepaskannya sitokin, enzimenzim proteolitik dan radikal bebas. Akan tetapi ada pendapat yang menyatakan bahwa dugaan sistem imunitas humoral dan aktivasi komplemen termasuk dalam proses terjadinya preeklampsia, namun tidak didapatkan bukti bahwa faktor immunologi sebagai penyebab terjadinya preeklampsia. Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapa diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yan semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklampsia dan eklampsia yaitu : Beberapa wanita dengan PE-E (preeklampsia dan eklampsia) mempunyai kompleks imun dalam serumnya. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada PE-E diikuti dengan proteinuri. Sitrat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada PE-E, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem immunologi bisa menyebabkan PE-E.

Gambar 1. Bagan proses plasentasi normal dan abnormal seperti pada preeklampsia.
2. Peran Genetik/Familial8

Faktor keturunan telah diakui dalam pathogenesis preeklampsia pada beberapa tahun lalu. Dari berbagai penelitian dilaporkan terdapat peningkatan angka kejadian preeklampsia pada wanita yang dilahirkan pada ibu yang menderita preeklampsia. Bukti pendukung berperannya faktor genetic pada kejadian preeklampsia adalah peningkatan faktor Human Leukocyte Antigen (HLA) pada wanita. Pernelitian terakhir menghubungkan antara kejadian preeklampsia dengan trisomi 13. Walaupun faktor genetik berperan pada preeklampsia tetapi belum dapat diterangkan secara jelas manifestasinya pada penyakit ini. Beberapa bukti yang menunjukkan faktor genetik kejadian PE-E antara lain: Preeklampsia hanya terjadi pada manusia Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada anak-anak dari ibu yang menderita PE-E

Kecenderungan meningkatnya frekuensi PE-E pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka

Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)

3. Iskemik Plasenta3,4

Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas menginvasi desidua dan miometrium dalam 2 tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan muskulo-elastik dinding arteri dan mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir semester I dan pada masa ini perluasan proses tersebut sampai mengenai Deciduomymetrial junction . Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua yaitu sel-sel trofoblas masuk ke dalam lumen arteri spiralis sampai asal arteri tersebut dalam miometrium. Selanjutnya proses seperti tahap pertama kemudian terjadi lagi penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastik dan perubahan fibrinoid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadinya dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan darah yang meningkat. Pada preeklampsia proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh karena disebabkan 2 hal yaitu pertama, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas. Kedua, pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetap mempunyai dinding muskulo-elastik yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler. Disamping itu juga terjadi ateriosis akut pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen vaskuler arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi. Teori tentang

bagaimana sel-sel trofoblas gagal mengadakan invasi arteri spiralis sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
4. Peran Prostasiklin dan Tromboksan 3,5

Prostasiklin (PGI2) disintesis oleh endotel pembuluh darah dan korteks renalis mempunyai sifat vasodilator dan penghambat agregasi trombosit. Tromboksan A2 (TXA2) diproduksi terutama oleh trombosit dan mempunyai sifat vasokonstriktor dan agregator trombosit. Selama kehamilan normal terjadi kenaikan PGI2 oleh jaringan ibu, plasenta dan janin. Pada preeklampsia terjadi penurunan produksi PGI2 dan kenaikkan TXA2 sehingga terjadi peningkatan rasio TXA2:PGI2. Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan produksi PGI2, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis yang kemudian akan diganti thrombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan TXA2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
5. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron3,4,6

Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA) mempunyai peran penting dalam pengendalian tonus vaskuler dan tekanan darah. Pada sistem ini angiotensin diproduksi oleh hepar dan dibantu oleh rennin untuk memproduksi angiotensin I. Angiotensin I inaktif kemudian dikonversi menjadi angiotensin II yang aktif secara biologis oleh Angiotensin Converting Enzyme yang terikat pada endotel vaskuler. Angiotensin II yang beredar dalam darah akan berinteraksi dengan reseptor spesifik untuk merangsang kontraksi otot polos, menstimulir produksi aldosteron dan menyebabkan retensi natrium, mempercepat pelepasan norepinefrin dan menghambat pengambilan kembali norepinefrin oleh nervus terminalis simpatis, serta menambah reaktivitas otot polos vaskuler terhadap norepinefrin.

Pada kehamilan normal komponen SRAA menigkat sedangkan pada preeklampsia beberapa komponen SRAA lebih rendah dibanding pada kehamilan normal dan terjadi kenaikan sensitivitas yang nyata pada penekanan peptide dan katekolamin. Ada pendapat yang menyatakan bahwa respon penekanan terhadap angiotensin II meningkat secara bermakna pada usia kehamilan 18 minggu pada wanita hamil yang akan berkembang menuju preeklampsia . Pengaturan sensitivitas angiotensin II tampaknya berhubungan erat pada sintesis prostanoid. Penghambat sintesis prostaglandin dinyatakan menambah respon penekanan terhadap angiotensin II dalam kehamilan normal. Dari penelitian menunjukkan bahwa infuse prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin E1 (PGE1) dan prostasiklin mengurangi respon penekanan angiotensin II pada trimester II sedangkan indometasin meningkatkan sensitivitas vaskuler.
6. Defisiensi Mineral dan Diet3,4,5

Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian preeklampsia. Apabila wanita hamil kekurangan asupan kalsium akan menyebabkan peningkatan hormon paratiroid (PTH). Peningkatan hormon paratiroid ini akan menyebabkan kalsium intraseluler meningkat melalui peningkatan permeabilitas membrane sel terhadap kalsium, aktivitas adenilsiklase dan peningkatan cAMP (Cyclic Asdenosine Monophospate), akibatnya kalsium dari mitokondria lepas ke dalam sitosol. Peningkatan kadar kalsium intraseluler otot polos pembuluh darah akan menyebabkan mudah terangsang untuk vasokonstriksi yang akhirnya tekanan darah meningkat. Mekanisme terjadinya preeklampsia dihubungkan dengan peranan ion kalsium sitosol. Hipokalsemia yang terjadi pada cairan ekstrasel menyebabkan depolarisasi dari membrane plasma preganglionik sel-sel saraf pembuluh darah. Pada saat terjadi aksi potensial, ion kalsium

masuk ke dalam sitosol melewati mekanisme aksi potensial. Jumlah ion kalsium yang masuk ke dalam sitosol mencerminkan besarnya asetilkoln yang dilepaskannya. Masuknya kalsium ini menyebabkan vasokonstriksi. Bila hal ini terjadi maka terjadi hipertensi. Selain itu hipokalsemia juga menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sitosol otot lurik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kontraksi otot lurik dan bila terjadi terus menerus akan timbul kejang atau eklampsia. Hipotesis tersebut diatas dibuktikan dengan beberapa penelitian mengenai hubungan tambahan antara asupan kalsium selama kehamilan dengan kejadian preeklampsia . Hasil meta analisis dari berbagai penelitian randomized control trial mengenai hubungan antara asupan kalsium dengan kejadian preeklampsia , menunjukkan bahwa dengan suplemen kalsium 1500-2000mg selama kehamilan dapat mencegah terjadinya preeklampsia (OR 0,38 (95% Cl, 0,22-0,65). Dari meta analisis disimpulkan bahwa secara statistik suplemen kalsium 10001500mg dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 1,27mmHg (Cl 95%-2,25-0,29mmHg;p=0,01), sedangkan untuk diastolik 0,24mmHg (Cl 95%-0,92-0,44 mmHg;p=0,49), akan tetapi penurunan tekanan darah tersebut secara klinis tidak bermakna. Namun sampai saat ini belum jelas patofisiologi hubungan antar kadar kalsium dengan kejadian preeklampsia
7. Metabolisme Kalsium1

Kalsium memegang peranan penting dalam berbagai proses fungsi fisiologis di dalam tubuh yaitu proses pembekuan darah, bersama dengan natrium dan kalium mempertahankan potensial membrane sel, transduksi sinyal antara reseptor hormon, ekstabilitas neuromuskuler, integritas membrane sel; reaksi-reaksi enzimatik, proses neurotransmisi, membentuk struktur tulang dan sebagai cadangan kalsium tubuh. Kadar kalsium dalam plasma ditentukan oleh absorbsi kalsium pada saluran cerna, resorbsi kalsium pada tulang dan pengeluaran kalsium

melalui tinja, urin, dan keringat. Pengaturan keseimbangan kalsium dipengaruhi terutama oleh hormon paratiroid, kalsitonim dan vitamin D. 2.5. Patofisiologi Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis PE-E. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriol disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel. Implantasi dari invasi trofoblas yang tidak normal ke dalam pembuluh darah uterus merupakan penyebab terbesar kejadian hipertensi yang berkaitan dengan sindrom preeklampsia . Secara fisiologis invasi ke dalam uterus oleh trofoblas endovaskuler menyebabkan remodeling dari arteri spiralis uterus yang luas, yang menyebabkan pelebaran dari diameter pembuluh darah. Pada preeklampsia , terdapat invasi yang kurang dan arteriol profunda dari tidak melebar. Hasil studi menunjukkan derajat dari invasi trofoblas yang inkomplit ke dalam arteri spiralis secara langsung berkaitan dengan derajat keparahan dari hipertensi maternal. Kemudian, akan menyebabkan hipoperfusi plasenta yang akan menyebabkan pelepasan komponen vasoaktif sistemik yang akan menyebabkan respon inflamasi seperti vasokonstriksi, kerusakan endotel, pecahnya kapiler, hiperkoagulasi, dan disfungsi dari trombosit, yang semuanya akan berkontribusi terhadap disfungsi organ dan gambaran klinis dari penyakit. Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan

radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif. Pada PE-E serum antioksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfohidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan antara lain : 1. Adhesi dan agregasi trombosit. 2. Gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma. 3. Terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari rusaknya trombosit. 4. Produksi prostasiklin terhenti. 5. Terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan. 6. Terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak. Faktor immunologi merupakan faktor pemegang kunci penyebab preeklampsia yang telah lama dipercaya oleh peneliti. Salah satu komponen yang penting adalah kurangnya disregulasi dari toleransi maternal terhadap antigen paternal pada plasenta dan fetus. Maladaptasi dari fetal-maternal ini ditandai dengan hubungan defektif dari sel natural killer (NK) dan HLA-C dari fetus dan mengakibatkan perubahan histologis yang menyerupai dengan rejeksi graft akut. Gangguan sel endoteliel yang khas pada preeklampsia dapat terjadi sebagai akibat dari aktivasi leukosit yang ekstrim pada sirkulasi maternal. 2.6. Klasifikasi 3,5 Preeklampsia Ringan

Tekanan darah 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria 300mg/24 jam atau dipstick 1+

Preeklampsia Berat Tekanan darah 160/110 mmHg Setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria > 2gr/24 jam atau dipstick 2+ sampai 4+

2.7. Diagnosis Dikatakan preeklampsia berat apabila gejala didapatkan satu atau lebih gejala dibawah ini pada kehamilan > 20 minggu: 1. Tekanan darah >160/110 dengan syarat diukur dalam keadaan relaksasi (pengukuran minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak dalam keadaan his. 2. Proteinuria >5gr/24jam atau +4 pada pemeriksaan kuantitatif. 3. Oligouria, produksi urine <500cc/24jam yang disertai dengan kenaikan kreatinin plasma. 4. Gangguan visus dan serebral 5. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan 6. Edema paru dan sianosis 7. Gangguan janin intrauteri 8. Adanya Hellp Syndrome (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count) Pemeriksaan Laboratorium 1. CBC dan Apusan darah tepi : Anemia Hemolitik Mikroangiopatik Trombositopenia <100.000 Hemokonsentrasi sering terdapat pada preeklampsia berat Sistiosit pada Apusan darah tepi 2. Tes Fungsi liver : Kadar enzim Transaminase yang meningkat 3. Kadar serum kreatinin : kadarnya meningkat yang disebabkan penurunan volume intravaskuler dan penurunan dari GFR

4. Faktor Koagulasi yang abnormal : Peningkatan PT dan aPTT 5. Asam urat Hiperurisemia merupakan gambaran laboratorium awal pada preeklampsia berat. Tes ini memiliki sensitivitas yang rendah yaitu sekitar 0-55%, namum mempunyai spesifikasi yang tinggi yaitu sekitar 77-95% CT-Scan Kepala Studi menggunakan pemeriksaan ini untuk mendeteksi adanya perdarahan intracranial pada pasien yang memiliki gejala sakit kepala hebat yang tiba-tiba, defisit neurologis atau kejang dengan status post-ictal yang memanjang. Ultrasonografi Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa status dari fetus yang sama baiknya ketika memeriksa restriksi pertumbuhan Kardiotokografi Ini merupakan tes standar untuk mengetahui stress fetal dalam rahim dan dapat memonitor fetus secara menetap. Walapun dapat memberikan informasi yang berkelanjutan, namun alat ini memiliki kemampuan prediktif yang kurang. 2.8. Penatalaksanaan2,4,6,7
1. Perawatan Prehospital

Kegiatan rujukan penderita preeklampsia berat-eklampsia, dapat dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu : Tahap pengobatan pendahuluan Bagi semua tenaga kesehatan, kemampuan yang perlu dimiliki pada tahap pengobatan pendahuluan ialah secepatnya dapat mendiagnosis adanya hipertensi dalam kehamilan, menentukan

klasifikasinya, serta menentukan adanya penyulit-penyulit yang timbul. Tujuan pengobatan pendahuluan ialah agar penderita tidak jatuh dalam stadium yang lebih berat dan dapat segera mengatasi penyulit-penyulitnya. Tahap ini lasim disebut tahap resusitasi. Dalam memberikan pengobatan pendahuluan ini perlu diingat halhal yang berhubungan dengan perubahan fisiologi kehamilan normal dan patofisiologi hipertensi dalam kehamilan. Kehamilan normal 1. Adanya kompresi aorta - caval oleh rahim 2. Peningkatan kebutuhan O2 dan ventilasi 3. Resiko aspirasi bahan lambung Hipertensi dalam kehamilan 1. Hipovolemia 2. Vasokonstriksi 3. Penurunan aliran darah pada organ-organ penting Obat-obat yang diberikan Pengobatan pendahuluan mutlak dilakukan agar tercapai stabilitas hemodinamik dan metabolik: 1. Pemasangan infus Pemasangan kanula intravena dengan diameter 16 G dimaksudkan agar dapat memberikan cairan infus dengan lancar dan sebagai sarana pemberian obat-obat intravena. Cairan infus yang diberikan adalah dekstrose 5% setiap 1000 ml diselingi cairan ringer laktat 500 ml. 2. Obat-obat anti kejang a. MgS04 Diberikan secara intramuskuler pada preeklampsia berat, sedang pada eklampsia diberikan secara intravena. - Loading dose: 4 g MgSO4 40% dalam larutan 10 ml intravena selama 4 menit, disusul 8 g MgSO4 40% dalam

larutan 25 ml intramuskuler pada bokong kiri dan kanan masing-masing 4 g. - Maintenance dose: 4 g MgSO4 tiap 6 jam secara intramuskuler; bila timbul kejang lagi, dapat diberikan tambahan 2 g MgSO4 iv selama 2 menit sekurangkurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah pemberian dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan amobarbital 3-5 mg/kgBB/iv. Pada pemberian MgSO4 diperlukan pemantauan tanda-tanda keracunan MgSO4. Kejang ulang setelah pemberian MgSO4 hanya 1%. Magnesium sulfat menurunkan eksitabilitas neuromuskuler; walaupun dapat menembus plasenta, tidak ditemukan bukti toksisitas pada neonates dari fetus. b. Diazepam Suatu antikonvulsan yang efektif dengan jalan menekan reticular activating system dan basal ganglia tanpa menekan pusat meduler. Diazepam melewati barier plasenta dan dapat menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus, hipotensi dan hipotermi hingga 36 jam setelah pemberiannya. Depresi neonatal ini hanya terjadi bila dosisnya lebih dari 30 mg pada 15 jam sebelum kelahiran. Dosis awal : 10-20 mg bolus intravena Dosis tambahan : 510 mg intravena jika diperlukan atau tetesan 40 mg diazepam dalarn 500 ml larutan dekstrose 5%. 3. Obat-obat anti hipertensi Diberikan jika tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg. a. Klonidin Satu-satunya antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan. 1 ampul mengandung 0,15 mg/ml. Caranya : 1

ampul klonidin diencerkan dalam 10 ml larutan garam faal atau aquadest. Disuntikkan mula-mula 5 ml i.v pelan-pelan selama 5 menit; setelah 5 menit tekanan darah diukur, bila belum turn, diberikan lagi sisanya. Klonidin dapat diberikan tiap 4 jam sampai tekanan darah mencapai normal. b. Nifedipin Obat yang termasuk golongan antagonis kalsium ini dapat diberikan 10 mg sub lingual atau 3-4 kali 10 mg peroral. c. Hidralasin Vasodilator ini tergolong obat yang banyak dipakai untuk hipertensi mengatakan dalam bahwa kehamilan. penurunan Ferris dan Burrow akan vasospasme

meningkatkan perfusi uteroplasenter. Obat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk tablet. 4. Diuretika Diuretika tidak digunakan kecuali jika didapatkan: a. edema paru b. payah jantung kongestif c. edema anasarka Yang dipakai adalah golongan furosemid. Baik tiazid maupun furosemid dapat menurunkan fungsi uteroplasenter. 5. Kardiotonika Indikasi pemberiannya ialah bila ditemukan tanda-tanda payah jantung. 6. Antipiretika Digunakan bila suhu rektal di atas 38,5C ; dapat dibantu dengan pemberian kompres hangat. 7. Antibiotika Diberikan atas indikasi 8. Anti nyeri

Bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi rahim dapat diberi petidin 50-75 mg sekali saja selambatlambatnya 2 jam sebelum bayi lahir. Mengingat dalam kasus rujukan preeklampsia berat-eklampsia, petugas terdepan yang sering menemukan kasus ini adalah perawat atau bidan maka para petugas tersebut wajib dan harus mampu memberikan obat-obat pendahuluan yang mutlak dilakukan sebelum transportasi. Kewenangan dokter puskesmas dalam memberikan obat-obat pendahuluan dapat didelegasikan kepada perawat maupun bidan. Bila perawat atau bidan mengetahui dengan benar syarat-syarat, indikasi dan cara pemberian obat tersebut maka kecil kemungkinan terjadinya pengaruh sangkal obat-obat tersebut. Bila penderita preeklampsi-eklampsia kejang-kejang kemudian jatuh kedalam koma, maka selain diberikan pengobatan pendahuluan, perawatan pendahuluan juga penting dalam persiapan transportasi. Perlu diingat bahwa penderita koma tidak bereaksi atau mempertahankan diri terhadap: - suhu yang ekstrim - posisi tubuh yang menimbulkan nyeri - aspirasi Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma adalah buntunya jalan napas atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh ke dalam koma harus dianggap bahwa jalan napas atasnya terbuntu, kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu tindakan pertama adalah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Cara yang sederhana dan cukup efektif adalah dengan cara head tilt-chin lift atau head tilt-neck lift yang kemudian dilanjutkan dengan pemasangan kanul orofaringeal. Hal penting ke dua yang perlu

diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan refleks muntah sehingga ancaman aspirasi bahan lambung sangat besar. Ibu hamil selalu dianggap memiliki lambung penuh, oleh sebab itu semua benda-benda yang berada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa makanan atau lendir harus diisap secara intermitten. Penderita ditidurkan dalam posisi yang stabil untuk drainase lendir. Pada penderita yang kejang tujuan pertolongan pertama ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut. Penderita diletakkan di tempat tidur yang lebar; hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak membentur benda di sekitarnya. Hindari fiksasi terlalu kuat yang justru dapat menimbulkan fraktur.Beri sudip lidah dan jangan mencoba melepas sudip lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Ruangan penderita harus cukup terang. Bila kejang-kejang reda, segera beri oksigen. Pemantauan janin dalam rahim Denyut jantung janin dapat dipantau secara sederhana dengan alat monoskop, jika tersedia, digunakan doppler atau ultrasonografi. Tahap transportasi penderita Yang dimaksud dengan tahap transportasi penderita ialah memindahkan penderita dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih memadai secara efektif, efisien dan benar. Ada dua kegiatan yang harus dilakukan yaitu: 1. Evaluasi penderita setelah pengobatan pendahuluan (pretransfer assessment setelah pretransfer treatment) 2. Transfer penderita

Pada tahap pretransfer assessment perlu diperhatikan apakah setelah pemberian waktu obat-obat 4-6 pendahuluan, setelah stabilitas pengobatan hemodinamik dan metabolik sudah tercapai, biasanya memerlukan jam medikamantosa lengkap berakhir. Evaluasi klinik yang penting untuk menentukan stabilitas penderita adalah dari aspek. a. Sistem kardiosirkulasi b. Sistem respirasi c. Sistem susunan saraf pusat Semua data penderita dicatat dalam dokumen medik dengan model Dokumen medik berorientasi masalah dan harus disertakan bersama penderita pada saat dirujuk. Waktu yang dipakai untuk menunggu tercapainya stabilitas penderita hendaknya dimanfaatkan untuk menyiapkan transporrtasi. Sarana yang perlu diperhatikan sebelum melakukan transfer penderita ialah : a. Menyiapkan penderita dalam tandu yang benar b. Pemasangan saluran intravena yang dijamin tidak akan macet selama perjalanan. c. Menyiapkan semua obat, cairan infus dan bila perlu darah untuk bekal di perjalanan. d. Pemasangan kateter kandung kemih dengan foley catheter No. 18F. e. Pemasangan endotracheal tube atau oropharyngeal airway bila mungkin Tahap pengobatan lanjutan Tahap merujuk balik

2. Pengobatan obstetrik

1). Belum inpartu

a). Amniotomi & Oxytocin drip (OD) Syarat: Bishop score >8, setelah 3 menit tx. Medisinal. b). Sectio Caesaria Syarat: kontraindikasi oxytocin drip 12 jam OD belum masuk fase aktif. 2). Sudah inpartu Kala I Fase aktif: 6 jam tidak masuk f. aktif dilakukan SC. Fase laten: Amniotomi saja, 6 jam kemudian pembukaan belum lengkap lakukan SC (bila perlu drip oxytocin). Kala II Pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan VE/FE. Untuk kehamilan < 37 minggu, bila memungkinkan terminasi ditunda 2x24 jam untuk maturasi paru janin. 2.9. Perawatan Konservatif Perawatan konservatif kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia, dengan keadaan janin baik. Perawatan tersebut terdiri dari: SM Therapy: Loading dose: IM saja. Maintenance dose: sama seperti di atas. Sulfas Magnesikus dihentikan bila sudah mencapai tanda Preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Terapi lain sama seperti di atas. Dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi. Jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan SM 20% 2 gr/IV dulu.

Penderita pulang bila: dalam 3 hari perawatan setelah penderita menunjukkan tanda-tanda PER keadaan penderita tetap baik dan stabil.

DAFTAR PUSTAKA 1. Prasetyawan.2002.Perbandingan kadar kalsium darah pada PreEklampsia berat dan kehamilan normotensi.SMF OBGIN FK Univ. Diponegoro : Semarang 2. Rambulangi, John.2003.Penanganan dan pendahuluan prarujukan penderita preeklampsia berat dan eklampsia. SMF OBGIN FK Univ. Hasanuddin : Makassar

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Subhaberata, Ketut. 2001. Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia. UPF OBGIN RSU Tarakan : Indonesia. Tukur Jamilu, 2009. The use of magnesium sulphate for treatmen severe preeclampsia and eclampsia. Available at www.annalsafrmed.org Kee-Hak Lim.2009. Preeclampsia.Available on www.emedicine.com Matthiesen, Leif. 2005. Immunology of preeclampsia. S. Karger AG, Basel : New York Zina Semenovskaya.2010.Pregnancy, preeclampsia. Available from www.emedicine.com Virginia D. Winn. 2009. Severe Preeclampsia-Related Changes in Gene Expression at the Maternal-Fetal Interface Include Sialic Acid-Binding Immunoglobulin-Like Lectin-6 and Pappalysin-2. Available from www.theendocrinesociety.com

9. 10.

Cunningham, F. Gary. 2001. William Obsetrics 21st edition. McGraw-Hill : New York James, Scott. 2003. Danforths Obsetrics and Gnyecology 9th edition. Lippincolt William and Wilkins : England

Anda mungkin juga menyukai