Anda di halaman 1dari 3

Petualangan Arus Mudik

Oleh: Suhadi Rembangi Arus mudik merupakan arak-arakan kesatria yang memperteguhkan dirinya ada pemenang, suci, kuasa, dan penguat kerukunan

Fenomena mudik terlihat jelas saat jelang hari raya lebaran. Perpindahan fisik sesaat yang dilakukan perorangan hingga kelompok ini dikandung maksud untuk merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halaman. Sebagai produk dari kontruksi sosial, mudik menjadi momentum puncak pertemuan keluarga yang dibalut dari pertalian darah dan perkawinan.

Kaidah-kaidah mudik
Tak habis pikir, pemudik harus banyak berkorban, hanya gara-gara ingin kumpul saat merayakan lebaran. Bagaimana tidak, mulai ongkos tiket dengan harga yang tidak manusiawi, antri menunggu angkutan berhari-hari, merelakan diri terkapar diterminal, berdiri dan berdesak-desakan di angkutan, hingga macet ditengah perjalan, mereka lewati dengan gagah berani. Mereka seakan tampil menjadi prajurit yang berpetualang di medan perang. Petualangan pemudik seakan digerakkan oleh norma sosial yang kaku namun taat pelaku. Mereka telah menjadi pengikut pemudik militan. Mereka melakukan demikian karena mereka tidak ingin dilabeli sebgai anak durhaka hanya gara-gara tidak sungkem dengan orang tuanya saat lebaran tiba. Sehingga semasih orangtuanya belum tutup usia, dengan membawa bingkisan seadanya, mereka tetap (membawa anak istrinya) ke rumah hingga kuburan pada seseorang yang telah berjasa dalam masa hidupnya. Disinilah terdapat kaidah-kaidah mudik yang penuh dengan kesepakatan suci, dan sarat dengan makna sekaligus kuasa. Menurut penulis, petualangan pemudik bak prajurit yang militan ini, didorong oleh muatan akan kemenangan dan kesucian, kekuasaan, serta penguat kerukunan. Mudik sebagai Perjalanan Suci Pertama, mudik sebagai representasi bagaimana seseorang menggunakan simbol untuk menujukkan kemenangan dan kesucian kembali. Merayakan kemenangan terinspirasi dari tuntasnya menjalankan kewajiban puasa di bulan ramadan. Adapun mereka tuntas puasa atau tidak, itu urusan lain. Yang terpenting adalah mereka secara kolektif mengikuti arus kemenangan. Kemenangan itu kemudian ditransformasikan pada dirinya dalam melakukan perjalanan fisik yaitu mudik. Mereka yang berhasil mudik ke kampung halaman adalah mereka yang

menang. Dan sebaliknya, mereka yang tidak mudik ke kampung halaman, adalah mereka yang kalah. Sehingga tidak mengherankan jika para perantau melakukan mudik secara besar-besaran. Selanjutnya dalam hal mendapatkan kesucian kembali, mereka terinspirasi akan ajaran saling maaf memaafkan di hari yang fitri. Setibanya mudik, tradisi meminta maaf kepada orangtua dan para sahabat adalah perilaku dominan yang cukup mudah kita jumpai. Mereka yang tidak sungkem dikaki orang tuanya, seakan mereka masih kotor, belum suci, dan belum lahir kembali. Dan sebaliknya, mereka yang sungkeman, mereka seakan telah bersih, suci, dan terasa terlahir muda kembali. Interaksi tatap muka saat mudik inilah, telah digunakan para pemudik dalam menciptakan kehidupan sosial yang harmoni. Peneguh Kekuasaan Kedua, selain muatan kemenangan dan kesucian, dalam fenomena mudik juga terdapat muatan kekuasaan. Muatan tersebutlah yang saat ini menjadi tren sosial di kampung pemudik. Jauh hari sebelum mudik digelar, mereka melakukan urbanisasi dalam rangka merubah nasib menjadi lebih baik. Mereka bertarung di area urban. Dengan kreatifitas yang dimilikinya, mereka menumpuk kepemilikan materi, pangkat, hingga jabatan. Dengan melakukan mudik, dia ingin menunjukkan pada orangtua dan orang-orang dikampung halamannya, bahwa dirinya telah berkuasa. Kuasa pemudik ditunjukkan dengan apa yang dikenakan dan cerita sukses yang diperdengarkan. Adapun cerita sedihnya, ditutup rapat-rapat dari kantong mulutnya. Motor, mobil, perhiasan, jajanan, hp, pakaian, hingga angpow lebaran, ditebarpamerkan disepanjang lebaran di kampung halaman. Dengan mudik, mereka ingin menunjukkan bahwa dirinya telah berkuasa. Mereka telah mampu mencukupi ekonomi diri dan keluargnya. Dan lebih dari itu, dengan menggunakan simbol-simbol urbannya, mereka telah merepresentasikan menjadi kaum elite. Dalam benaknya, mereka ingin menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan kelompok-kelompok yang lebih lemah yang ada di sekitar kampung halamannya. Disinilah letak muatan kuasa pada fenomena mudik. Penguat Kerukunan Muatan ketiga pada mudik yaitu penguat kerukunan. Mudik hingga saat ini menjadi pilihan para perantauan. Inilah bukti terdapat tanda fungsi yang tertancap dalam. Kian

hari pengikut arus mudik semakin melebar. Kian hari pula, petualangan arus mudik semakin padat sebagai kado lebaran dijalanan. Mereka melakukan mudik, dikala perubahan sosial mengikis fungsi-fungsi tradisional dari keluarga. Hubungan-hubungan keluarga yang dahulu melemah, dengan hadirnya pemudik di kampung halaman, hubungan keluarganya menjadi menguat, dan kerukunan meningkat. Hubungan antara bagian-bagian tersebut bersifat fungsional yakni membawa konsekwensi menguntungkan. Dengan demikian, mudik telah tampil menjadi terminal pertemuan keluarga besar dari suatu pertalian darah dan perkawinan. Dalam fenomena mudik terdapat muatan akan arak-arakan akan kemenangan, kesucian, kekuasaan, penguat kerukunan. Selamat mudik, semoga selamat sampai tujuan. Pamotan, 16Agustus 2012
i

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan IPS UNNES, semester akhir

Anda mungkin juga menyukai