Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau sehingga disebut Nusantara. Berbagai macam budaya, adat istiadat, agama, dll, semuanya bermacam-macam. Indonesia adalah negara demokrasi, negara yang pemerintahannya berjalan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen presiden (pilpres), keempat UUD yang semula 1945 pada 2002, oleh MPR,

pemilihan presiden dan wakil

dilakukan

disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zamanOrde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini, Pilkada belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada 1 Juni 2005. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada Langsung adalah singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan untuk peringkasan penyebutan sering disebut Pilkada saja. Namun, orang sudah faham bahwa yang dimaksud Pilkada adalah Pilkada Langsung. Berdasarkan PP No. 6 tahun 2004 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada pasal 1 ayat (1) dirumuskan bahwa Pilkada adalah Sarana pelaksanaan
1

kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Lanjutan dari Pasal tersebut, pada ayat (2) disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, dan Walikota dan Wakil Walikota untuk kota. Pilkada pertama di seluruh Indonesia dilaksanakan pada tahun 2005 yang meliputi sebanyak 210 wilayah pemilihan, sedangkan pada tahun 2010 akan terdapat sebanyak 246 daerah pemilihan kabupaten kota dan 7 pemilihan Gubernur. . Pembahasan pemilihan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur,

Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota yang demokratis dan berkualitas, seharunya dikaitkan tidak dengan pemahaman akan makna demokrasi, tetapi juga aspek normatif yang mengatur penyelenggaraan Pilkada dan aspek-aspek etika, sosial serta budaya. Semua pihakpihak yang ikut andil dalam pelaksanaan Pilkada, harus memahami dan melaksanakan seluruh peraturan perundangan yang berlaku secar konsisten. Pada dasarnya Pilkada langsung adalah memilih Kepala Daerah yang profesional, legitimate, dan demokratis, yang mampu mengemban amanat otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selayaknya Pilkada di Indonesia dilaksanakan dengan efektif dan tetap menjunjung tinggi asas demokrasi dan hukum.

BAB II PEMBAHASAN 2. 1 Pemilihan Kepala Daerah Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak Juni 2005 Indonesia menganut system pemilihan Kepala Daerah secara langsung Pada dasarnya daerah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. 1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung. 2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. 4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk
3

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan. 5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini. Undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum, mengamanatkan bahwa Pilkada dibawa kedalam ranah Pemilihan umum. Sehingga secara resmi dinamakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada yang pertama kali diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 56, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal. Pilkada langsung sebagai pengejawantahan dari demokratisasi lokal telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Banyak evaluasi dan dan analisa mengenai pelenggaraannya menyimpulkan suatu kondisi yang sama, yaitu bahwa penyelengaraan Pilkada langsung belum sepenuhnya berjalan sesuai yang diharapkan. Penerapan di lapangan masih menyisakan masalah yang mendasar. Pilkada langsung masih didominasi kelompok elitis tertentu melalui oligarki politik, sehingga pilkada langsung menjadi proses demokratisasi semu Partisipasi masyarakat lebih bersifat di mobilisasi. Hal ini sama halnya dengan proses politik sebagai suatu penguatan demokrasi lokal masih belum terjadi, justru konflik-konflik horizontal yang mengarah kepada anarkisme cenderung sering terjadi, yang disinyalir sebagai
4

akibat dari adanya berbagai kelemahan dalam tata peraturan penyelenggaraannya, dan munculnya berbagai manipulasi dan kecurangan.

2.2. Syarat Syarat Menjadi Calon Kepala Daerah Pasal 56 (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. (2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik Ketentuan pasal 56 ayat (2) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah salah seorang calon Kepala Daerah dari Provinsi NTB yang bernama Lalu Ranggalawe mengajukan pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait dengan ketentuan yang hanya membuka kesempatan bagi partai politik atau gabungan partai politik dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah Setelah putusan MK yang mengabulkan calon perseorangan, selanjutnya Pemerintah pada tanggal 28 April mengesahkan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilihan terhadap sistem pemilihan langsung merupakan koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik, sebagai respon atas tuntutan perubahan sistem dan format politik pada masa reformasi. Pemilihan Kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik di daerah menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif dapat dipertanggung jawabkan. Pasal 58 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara republik Indonesia yang memenuhi syarat : a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b.

Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;

c. d. e. f.

Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karean melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau lebih;

g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; h. i. j. Mengenal daerahnya dan dikenal masyarakat di daerahnya; Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela

m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak; n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau isteri; o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; p. Tidak dalam status pejabat kepala daerah

q. Mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya; Pasal 59 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa : (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah : 1. Pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang (2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen)
6

dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daetah yang bersangkutan. (2a) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Huruf b dapat mendaftrakan diri sebagai calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketremtuan: 1. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); 2. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan

6.000.000. (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); 3. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000. (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); 4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen); (2b) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000(lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000. (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang kurangnya 3% (tiga persen); (2c) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2a)tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud; (2d) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2b) Tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud; (2d) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dibuat dalam surat dukungan yang disertai dengan fotokopi KTP atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7

2.3

Pelaksanaan Pemilukada Di Indonesia Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 dijalankan

berdasarkan prinsip Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan kenaekaragaman daerah. Sebagai upaya menghadapi perkembangan keadaan , baik didalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaataan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUD 1945 khususnya dalam pasal 1 ayat (2), menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hal tersebut berarti bahwa kedaulatan tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut ketentuan UUD. Ketentuan ini menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan beberapa peraturan perundang-undangan dibidang politik dan pemerintahan. Wujud nyata kedaulatan rakyat diantaranya adalah dalam Pemilihan Umum baik memilih anggota DPR, DPD, DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan menurut undang-undang. Hal ini merupakan perwujudan negara yang berdasarkan atas hukum dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena itu pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah juga dapat dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Sejak diundangkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diderivasi dengan berbagai penjelasan teknisnya oleh PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonesia. Persoalan yang dalam kurun waktu satu atau dua dekade lalu seolah hanya sebuah impian, saat ini telah menjadi kenyataan. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Ini merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang makin menunjukan orientasi yang jelas, yakni penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas berbagai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menghegemoni. Pada pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2004, bangsa Indonesia juga telah membuktikan kapasitas diri pada dunia internasional, bahwa dirinya mampu menegakan
8

prinsip demokrasi dalam tataran yang lebih asasi. Dibalik berbagai kritik yang ada, pelaksanaan pemilu 2004 sudah menunjukan suatu upaya reposisi peran rakyat banyak dalam prosesi politik di Indonesia. Sukses besar yang terjadi pada pemilu 2004 adalah merupakan modal utama dalam pelaksanaan pilkada yang juga diselenggarakan dan diperuntukan langsung dari, oleh dan untuk rakyat. Kendati dalam banyak sisi tentu harus kita akui banyaknya perbedaan dimensi antara pemilu 2004 dengan pilkada langsung, sehingga jangan kita jadi over confident bahwa sukses pemilu 2004 serta merta membawa sukses pilkada yang terselenggara mulai tahun 2005. Bahwa berdasarkan ketentuan peralihan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, proses politik pilkada langsung akan dimulai pada bulan Juni 2005. Bagi kepala daerah yang habis masa jabatannya sebelum bulan tersebut, maka pimpinan daerah harus diserahkan pada pejabat pelaksana harian yang ditunjuk, sembari menunggu waktu pelaksanaan pilkada yang telah ditetapkan. Implikasi dari kebijakan ini adalah menumpuknya pelaksanaan waktu yang relatif bersamaan. Sekilas barangkali ini bukanlah persoalan yang krusial, sebab pelaksanannya ada di daerah masing-masing. Tapi bila dilihat dari kepentingan nasional, dimana harus ada keselarasan proses politik yang dilakukan maka ini akan memunculkan satu persoalan tersendiri. Pola koordinasi yang harus dikembangkan oleh pemerintah pusat untuk mengontrol pelaksanaan pilkada ini menjadi harus makin intensif. Keputusan-keputusan politik lokal tidak boleh dibiarkan berjalan terlalu cepat sehingga mengabaikan pertimbangan-pertimbangan nasional didalamnya. Pola koordinasi pusat dan daerah dalam proses inilah yang harus segera dirumuskan, agar proses politik lokal ini tidak terfragmentasi. Implikasinya adalah bahwa berbagai introduks yang ditawarkan harus memiliki perspektif nasional, sehingga berbagai kebijakan publik yang dihasilkan nantinya juga tidak hanya memuat kepentingan lokal semata. Salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah. Hal ini telah terjamin dalam UUD 1945 Pasal 22 (5) yang menggariskan bahwa : Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, lembaga penyelenggara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung ini berbeda dengan penyelenggaraan pemilihan umum lembaga legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), melainkan oleh KPUD. Dalam
9

melaksanakan tugasnya, KPUD tidak bertanggung jawab kepada DPRD. Perubahan ini didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Nomor 005/PUU-III/2005. Perubahan ini membawa implikasi hukum dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Demikian pula dengan kewajiban dari KPUD untuk mempertanggungjawabkan anggaran kepada DPRD sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6e PP Nomor 6 Tahun 2005 yang kemudian dihapuskan berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 2005. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa : Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan melalui persiapan dan tahap pelaksanaan. Masa persiapan meliputi : (a) Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; (b) Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah; (c) Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah; (d) Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; (e) Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Tahap pelaksanaan meliputi : (a) Penetapan daftar pemilih; (b) Pendaftaran dan Penetapan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; (c) Kampanye; (d) Pemungutan suara; (e) Penghitungan suara; (f) Penetapan pasangan calon Kepala daerah/Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan. Pilkada langsung di Indonesia yang dimulai sejak Juni 2005 dan diperkirakan akan selesai pada bulan Desember 2008. Adapun data rekapitulasi proses pelaksanaan Pilkada Langsung sampai dengan 14 Nopember 2008, adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Rekapitulasi Pelaksanaan Pilkada Tahun 2005 2007 No KDH Jumlah Pelasanaan PILKADA 1 2 3 Gubernur Bupati Walikota Jumlah 20 257 55 332 20 257 55 332 20 257 55 332 Pelantikan

10

Tabel 2.2 Rekapitulasi Pelaksanaan Pilkada Tahun 2008 2009 No 1 2 3 KDH Gubernur Bupati Walikota Jumlah Jumlah 13 112 35 160 Pelasanaan PILKADA 13 106 35 154 Pelantikan 9 52 21 82

Dalam catatan Departemen Dalam Negeri, 44,7 persen pelaksanaan pilkada di Indonesia pernah disengketakan di pengadilan. Baik itu di Pengadilan Tinggi (PT) maupun Mahkamah Agung(MA). Mendagri Mardiyanto mengatakan bahwa Total 170 pilkada yang sempat bersengketa dan selesai semua, kecuali Maluku Utara. Data rincinya, beber Mardiyanto, pada 2005-2008 di Indonesia sudah berlangsung 380 pilkada. Mulai pemilihan Gubernur, Bupati sampai Wali Kota. Dari data itu, 170 pilkada sempat diproses secara hukum. Sebab, ada pihak yang tidak puas dan mengajukan gugatan. Jumlahnya mencapai 44,7 persen. Menurut Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, pilkada memang masih memiliki kekurangan. Sengketa hasil pilkada, termasuk konflik antar pendukung beserta isu politik uang, memang masih kerap mewarnai sebagian pelaksanaan pilkada. "Tapi, jangan sampai berpikir untuk menghapus pilkada langsung," ujarnya. Menurut dia, kekurangan yang muncul bukan disebabkan substansi pilkada secara langsung. Tetapi, lebih disebabkan adanya sebagian kecil prosedur teknis penyelenggaraan yang memang harus disempurnakan. Sejak awal pelaksanaan pilkada langsung memang diperkirakan akan memunculkan permasalahan. Di satu sisi Pilkada dipandang sebagai bagian dari otonomi daerah, di sisi yang lain, pilkada juga menggunakan instrument rezim pemilu. Terobosan yang dilakukan oleh MK dengan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan para LSM, tidak berjalan dengan tuntas. Meskipun Departemen Dalam Negeri berusaha mengantisipasi hal tersebut dengan membentuk desk pilkada, dengan tujuan untuk membantu KPUD dalam pelaksanaan pilkada, kenyataanya lembaga ini tidak berjalan dengan baik. Selain itu, munculnya konflik politik dan kekerasan disejumlah daerah, memunculkan analisis bahwa budaya politik di dalam masyarakat masih belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan pilkada langsung. Disamping adanya permasalahan tersebut, dua hal penting yang harus digaris bawahi dalam pelaksanaan pilkada langsung adalah: 1. Adanya kecenderungan rendahnya tingkat partisipasi pemilih;

11

2.

Implikasi dari demokratisasi di daerah, tidak sepenuhnya mampu mengontrol prosesproses yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada. Hal tersebut memunculkan spekulasi bahwa adanya pelaksanaan pilkada langsung tidak

memunculkan adanya jaminan legitimasi dari masyarakat kepada kepala daerah terpilih. Sementara itu, menurut Eko Prasodjo, pemilihan kepala daerah langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Apalagi, sebenarnya demokrasi bersifat lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah memperkuat legitimasi demokrasi. Meski demikian, di negara-negara lain, keberhasilan pilkada langsung tidak berdiri sendiri, tetapi ditentukan kematangan partai dan aktor politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada. Kondisi politik lokal yang amat heterogen, kesadaran dan pengetahuan politik masyarakat yang rendah, jeleknya sistem pencatatan kependudukan, dan penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) sering menyebabkan kegagalan tujuan pilkada langsung. Manor dan Crook (1998) menyebutkan, dalam banyak hal pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan antara mayor (kepala daerah) dan counceilor (anggota DPRD) di negara berkembang menyebabkan praktik pemerintahan kian buruk. Faktor utamanya adalah karakter elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang rendah, dan tidak adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah. Faktor-faktor itu terefleksi di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi. Akibatnya tidak jarang data kependudukan dimanipulasi, proses penyelenggaraan pilkada tidak obyektif dan tidak independen. Sebagian besar permasalahan dan gugatan pilkada di Indonesia bermuladari data kependudukan yang tidak tepat. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi pilkada menyebabkan praktik politik uang dalam pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem pilkada diperberat kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan betapa sulitnya menghasilkan pilkada berkualitas dan diterima semua pihak. Dari sekian banyak pelaksanaan Pilkada yang sudah terjadi, terdapat 169 kasus hasil pilkada yang digugat di pengadilan, terdiri atas hasil pilkada gubernur/wakil gubernur sebanyak 7 kasus, pilkada bupati/wakil bupati sebanyak 132 kasus, dan pilkada wali kota/wakil wali kota sebanyak 21 kasus. Di antara ratusan sengketa hasil pilkada di Tanah Air, ada tiga kasus yang putusannya menimbulkan perdebatan, yaitu sengketa Pilkada Depok, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Ada banyak faktor yang mendukung pelaksanaan
12

Pilkada, mulai dari netralitas dan profesionalitas KPUD, jiwa besar para kandidat dan kedewasaan massa pemilih dan yang tidak kalah penting adalah kerangka hukum yang mengatur mekanisme pelaksanaan Pilkada serta penyelesaian hukum yang efektif untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan timbul. Menurut Maruarar Siahaan Hakim Konstitusi, semua penyelesaian sengketa pilkada harus sinkron dalam time frame, artinya penyelesian sengketa itu harus dicapai pada masing-masing tahap penyelenggaraan pilkada sehingga hasilnya dapat dijadikan bahan bagi penyelesian sengketa tahap berikutnya. Hasil tersebut apabila diperlukan dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam menentukan perselisihan hasil pemungutan suara pemilihan kepala daerah. Jika dipandang hasil penghitungan yang dilakukan KPUD salah, maka hakim dapat mengambil sikap di dalam menangani perselisihan tersebut secara meyakinkan. Hal ini menjadi sangat penting karena putusan MA dan Pengadilan Tinggi, masingmasing akan menghasilkan putusan tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final and binding Pasal 106 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Pasal 94 ayat (4) PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Adanya berbagai putusan Mahkamah Agung yang pada akhirnya sampai pada permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) memberikan kesan bahwa sifat putusan final dan mengikat tidak menjadi acuan dalam penyelesian sengketa Pilkada. Berikut data rekapitulasi perkara kasasi dan PK dalam sengketa pilkada Tabel 2.3 Data Rekapitulasi Kasasi dan Peninjauan Kembali KPUD No 1 2 3 4 Tahun 2005 2006 2007 2008 Jumlah Kasasi 5 Berkas 6 Berkas 3 Berkas 10 Berkas 24 Berkas PK 5 Berkas 23 Berkas 18 Berkas 27 Berkas 73 Berkas

Pertikaian yang yang berlarut akibat putusan sengketa hasil pilkada merupakan salah satu pertimbangan yang mendasari pembahasan perubahan kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semestinya, putusan atas sengketa itu punya ketegasan, menunjuk perhitungan mana yang benar dan yang salah. Kebenaran yang

13

dicari dan mesti diputuskan adalah soal angka. Dengan begitu, ketika keluar putusan atas sengketa hasil pilkada, langsung diketahui calon mana yang menjadi pasangan kepala daerah terpilih. 2.4 Penyelewengan Pilkada di Indonesia Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau balik modal. Ini sangat berbahaya sekali. Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut. Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta. Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti : 1. Money politik Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
14

dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu. 2. Intimidasi Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu. 3. Pendahuluan start kampanye Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai. 4. Kampanye negatif Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya manut dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut. Selama proses pemenangan Pilkada berlangsung, berbagai benih konflik kepentingan akan terjadi dan bila tidak dikelola secara baik dapat berlangsung hingga proses Pilkada usai dan menjadi tindak kekerasan yang menimbulkan akibat bagi orang lain dan mengganggu kinerja pemerintah yang legitimate. Konflik Pilkada bermuara dari tiga titik. Pertama, konflik struktural, yang terjadi sebagai akibat dari ketimpangan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya pilkada. Kedua, konflik kepentingan, yang terjadi sebagai akibat dari terjadinya persaingan kepentingan yang bertentangan dengan masalah psikologis. Ketiga, konflik hubungan, yang terjadi sebagai akibat adanya kesalahan persepsi atau salah komunikasi akibat terbatasnya sumber daya dalam mencapai tujuan bersama. Intensitas konflik ketiga merupakan yang
15

paling tinggi karena konflik tersebut terjadi di tingkat paling bawah dan terjadi karena adanya ketidaksetaraan dalam pola hubungan dalam mengakses sumber daya. Harris (2005) menyatakan bahwa terdapat lima sumber konflik potensial baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil Pilkada. Sumber konflik tersebut adalah: (1) mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah; (2) konflik yang bersumber dari kampanye negatif (saling cecar) antar pasangan calon kepala daerah; (3) konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak; (4) konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil Pilkada; dan (5) konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada. Tidak hanya berhenti di situ, konflik juga akan berlanjut bilamana terdapat perbedaan dalam perhitungan hasil Pilkada atau adanya temuan dari pasangan yang kalah bahwa pemenang pemilu telah melakukan tindak penyelewengan selama proses pilkada. Keberatan tersebut diperadilaankan dan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) dan oleh MK atau MA dinyatakan bahwa keberatan tersebut tidak cukup bukti sehingga pemenang pemilu adalah pasangan yang diprotes. Bila hal demikian yang terjadi, maka upaya penggoyangan kepada Bupati terpilih akan terus saja terjadi dan berpotensi menimbulkan konflik baru. Konflik bisa terjadi karena ada persepsi bahwa pilkada merupakan pertarungan zero sum game, lemahnya kultur orang kalah yang baik, mencuatnya politisasi identitas politik yang berbau primordial (agama, etnis, darah, asal-usul, dan lain-lain), lemahnya kapasitas lokal dalam mengelola konflik, dan sebagainya Untuk mewujudkan Pilkada yang sukses, berbagai potensi kekacauan sebagaimana tersebut dalam Tabel 2.4 perlu mendapat perhatian melalui pembacaan kondisi dan kemudian memetakan sedemikian rupa berbagai potensi yang menimbulkan kekacauan dapat diselesaikan sebelum segala sesuatunya membesar dan menjalar menjadi masalah serius yang dapat mengacaukan kesuksesan dalam penyelenggaraan Pilkada Tabel 2.4 Masalah Pilkada dan Potensi Konflik No Tahapan Pilkada Jenis Masalah Pihak yang

Bertanggung Jawab a. Minimnya pemantau pilkada 1 Masa Persiapan b. Mepetnya pembentukan Panwas, KPUD dan Depdagri PPK, PPS dan KPPS 2 Penetapan Daftar a. Kacaunya data pemilih sehingga KPUD

16

Pemilih

banyak

masyarakat

yang

tidak

masuk DPT b. Minimnya dana pemtahiran data Pilkada a. Perbedaan pasangan calon oleh 3 Pendaftaran dan partai b. Penolakan calon tertentu oleh KPUD

Penetapan Calon

massa DPP partai politik a. Curi start kampanye b. Money politics 4 Kampanye c. Pembagian kupon hadiah oleh salah Panwas satu kandidat untuk pendukung KPPS a. Pemilihan ganda 5 Pencoblosan b. Pemilih yang tidak berhak memilih c. Pembagian kupon hadiah oleh salah satu kandidat untuk pendukung a. Pihak 6 Penghitungan Penetapan Hasil yang tidak mau Tim Sukses Calon Pengadilan Panwas

menandatangi BAP b. Massayang tidak terima kekalahan c. Gugatan kecurangan KPUD.

Pelantikan Calon terpilih

a. Penolakan DPRD b. Penundanan pelantikan Depdagri

Gubernur

Namun, kekuatan kandidat akan lebih besar lagi bila divisualkan ke dalam program kerja yang merupakan janji politik kandidat selama kepemimpinannya menjadi Kepakla Daerah. Dengan demikian, dua kekuatan untuk memenangkan Pilkada adalah Isu Kandidat dan Program Kerja, keduanya akan dibahas sebagai berikut. 1. Isu Kandidat Harapan-harapan ideal akan hadirnya seorang kandidat yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai persoalan di tingkat lokal dapat saja muncul dan menjadi isu hangat yang dapat mengantarkan pada popularitas kandidat, meskipun ia berasal dari partai kecil atau partai oposisi sebagaimana dialami oleh Dr. Angela Markel, Kanselir Jerman sejak 2005

17

yang lalu. Pasangan calon Kepala Daerah itu berkemungkinan memenangkan Pilkada secara langsung manakala memiliki tiga kombinasi di dalam berkendaraan, yakni adanya mobil yang baik, sopir yang piawai, dan bensin yang memadai (Marijan 2005). Secara konseptual, metafora itu terwujud dari tiga modal utama yang dimiliki oleh para calon yang hendak mengikuti kontestasi di dalam Pilkada secara langsung. Ketiga modal itu adalah modal politik, modal social dan modal ekonomi (Marijan, 2007). Modal politik (political capital) ini memiliki makna yang sangat penting karena Pilkada menggunakan mekanisme party system (Berman 2000) di dalam proses pencalonan bakal calon. Kandidat yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah harus diberangkatkan dari atau melalui partai politik yang memiliki kursi di parlemen sebagaimana diatur dalam UU No 32 tahun 2004 dan PP No 6 tahun 2005. Modal kedua adalah modal sosial (social capital), yakni bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimiliki oleh pasangan calon dengan masyarakat yang memilihnya (Seligman, 1997; Fukuyama, 2006). Termasuk di dalamnya adalah sejauhmana pasangan calon itu mampu meyakinkan para pemilih bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin daerah. Agar bisa meyakinkan para pemilih, para calon harus dikenal luas oleh masyarakat. Kepercayaan tidak tumbuh begitu saja. Ia didahului oleh adanya perkenalan. Popularitas saja kurang bermakna tanpa ditindaklanjuti oleh adanya kepercayaan. Melalui modal sosial yang dimiliki, para kandidat tidak hanya dikenal oleh para pemilih tetapi juga masyarakat memberi penilaian terhadap diri kandidat untuk kemudian diberi kepercayaan. Di dalam Pilkada secara langsung, modal sosial memiliki peran yang cukup penting. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pasangan calon yang diusung oleh partai dominan ternyata tidak otomatis dapat memenangkan Pilkada secara langsung. Hal ini bisa terjadi karena peran figur pasangan calon dipandang lebih kuat daripada peran partai politik. Di dalam situasi seperti ini, kontestasi di dalam Pilkada secara langsung memiliki perbedaan yang substansial dengan Pemilu Legislatif. Di dalam Pileg, peran partai politik sangat dominan, sementara di dalam Pilpres dan Pilkada, peran figur dari pasangan calon dipandang lebih menentukan disbanding peran partai. Modal yang ketiga adalah modal ekonomi (economic capital). Pemilu, termasuk Pilkada secara langsung, jelas membutuhkan biaya yang besar. Modal yang besar itu tidak hanya dipakai untuk membiayai pelaksanaan kampanye. Yang tidak kalah pentingnya adalah untuk membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa
18

kampanye. Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung dipakai untuk mempengaruhi pemilih. Misalnya saja, banyak ditemui kasus ada calon yang

membagibagikan barang atau uang kepada para pemilih. Tujuannya, supaya pada saat pemilihan mendukungnya. Biasanya modus pembagian barang atau uang itu tidak diberikan oleh pasangan calon secara langsung, melainkan oleh tim sukses pasangan calon. Bahkan, tim sukses yang bertugas seperti ini sering bukan tim sukses resmi. Tujuannya, ketika diketahui oleh publik dan diancam pidana, yang terkena bukanlah pasangan calon melainkan tim suses siluman itu. Tidaklah mengherankan, meskipun tim sukses siluman ini ada yang tertangkap basah, tidak ada satupun pasangan calon yang diadili atau terbukti melakukan praktek money politics. Sebagai ringkasan dari kekuatan kandidat, berikut ini adalah hal-hal yang dianggap penting bagi sukses kandidat dapam memenangkan Pilkada langsung, yakni: a. Kredibilitas dan Kapabilitas Calon b. Disukai karena memiliki sifat yang baik dan rendah hati c. Kerja keras, jujur dan serius d. Berakar dan memiliki massa panatik yang diikat oleh solidaritas profesi e. Tidak pernah tercatat sebagai pejabat yang korup 2. Isu Program Pilkada secara langsung tidak hanya sekadar dimaksudkan sebagai instrumen untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah. Lebih dari itu adalah agar kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Kepala Daerah dirumuskan berdasarkan selera (tastes) dari masyarakat, demikian pula implementasinya, sebagaimana sering dikemukakan oleh para pendukung kebijakan desentralisasi (Rondinelly). Keinginan tersebut diterjemahkan ke dalam program populis Program Pembukaan lapangan kerja, Penanganan kriminalitas dan masalah social, Komitmen terhadap pendididkan, Gender dan perlindungan anak, Lingkungan hidup, Pembangunan infrastruktur (jalan, listrik, telephon seluler dll), Penanganan stabilitas ketersediaan dan pengendalian harga kebutuhan masyarakat dan lain-lain.

Berbagai program tersebut perlu disosialisasikan kepada pemilih melalui kampanyekampanye yang dilakukan para pasangan calon agar dapat menarik pemilih melalui tawaran program-program yang atraktif dan populis. Paling tidak, setiap pasangan calon berusaha meyakinkan kepada para pemilih bahwa ketika nanti terpilih sebagai Kepala Daerah, mereka dapat membawa daerahnya ke arah yang lebih baik. Pilkada secara langsung, dengan demikian, telah mendorong para calon Kepala Daerah untuk berlomba-lomba merebut kepercayaan (trust) melalui program-program yang lebih menguntungkan rakyat. Upaya ini
19

dilakukan untuk membangun citra sebagai calon yang menjanjikan agar pemilih dapat melakukan penilaian diantara program-program para calon. Dalam pandangan Lay (2006), Pilkada langsung dipahami dalam kerangka ekonomi sebagai proses transaksional yang mengharuskan terjadinya negosiasi berkelanjutan, bukan saja atas kebijakan, program dan proyek, serta prosedur-prosedur yang melekat di dalamnya, tapi juga atas arah dan tujuan-tujuan utama yang ingin diraih bersama di aras politik lokal. Program-program yang dimunculkan adalah program yang menyentuh kepentingan masyarakat local. Solusi Permasalahan Pilkada Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain : 1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik. 2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar. 3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain. 4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.

20

BAB III Kesimpulan Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu berbenah diri. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pilkada ini masih ditemui berbagai macam permasalhan tetapi ini semua wajar karena indonesia baru menghadapi ini pertama kalinya setelah pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakilnya. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik tidak akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya permasalah yang timbul dapat diminimalkan. Sehingga pemilihan umum dapar berjalan dengan lancar.

21

Daftar Pustaka

Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005. Fatwa, A M. Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa. Jakarta: YARSIF

WATAMPONE. 2002 Hardjito, Dydiet. Pemecahan masalah yang Analitik: Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI. Jakarta: Premada Media. 2003. Marijan kacung, Resko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik dan Demokrasi Lokal, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, Jakarta. 2007. Mimbar Opini, Pilkada Damai Impian Kita Bersama, Pikiran Rakyat, 13 April 2008. Prasojo, eko. Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: DIA FISIP UI. 2006. Prasojo, eko. Teguh Kurniawan, dan Defny Holidin. Reformasi dan Inovasi Birokrasi; Studi di Kabupaten Sragen. Jakarta: YAPPKA. 2007. Siahaan Maruarar. Pilkada Dalam Demokrat Transisional, Jurnal Konstitusi Vol 2 Nomor 1 Juli 2005. Silahuddin, dkk. Evaluasi Penyelengaraan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung. Bandung: PKP2A I- LAN. 2007. Winasa, I Gede. Menterjemahkan Otonomi Daerah Tanpa Basa Basi. Bali: Komunitas Kertas Budaya Jembrana. 2004.

22

23

Anda mungkin juga menyukai