Anda di halaman 1dari 16

ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA

Pendahuluan
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut. Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM. Program Kegiatan API Guna mewujudkan visi API dan sasaran yang ditetapkan, serta mengacu kepada tantangantantangan yang dihadapi perbankan, maka ke-enam pilar API sebagaimana diuraikan di depan akan dilaksanakan melalui beberapa program kegiatan sebagai berikut: 1. Program penguatan struktur perbankan nasional Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah)dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna

mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan permodalan bank dilaksanakan secara bertahap. Upaya peningkatan modal bankbank tersebut dapat dilakukan dengan membuat business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. Adapun cara pencapaiannya dapat dilakukan melalui: a. Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru; b. Merger dengan bank (lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru; c. Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal; d. Penerbitan subordinated loan Dengan demikian dalam waktu sepuluh sampai limabelas tahun ke depan program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya: 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp50 triliun. 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun; 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masingmasing bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun; Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar. Secara keseluruhan, struktur perbankan Indonesia dalam kurun waktu sepuluh sampai lima belas tahun ke depan diharapkan akan terbentuk sebagaimana digambarkan sebagai berikut:

Struktur Perbankan Indonesia sesuai Visi API:

1. Menciptakan sistem Perbankan yang sehat,kuat, dan efisien. 2. Menciptakan kestabilan sistem keuangan. 3. Mendorong Pertumbuhan eknomi sosial.

2. Program peningkatan kualitas pengaturan perbankan Program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengaturan serta memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada international best practices. Program tersebut dapat dicapai dengan penyempurnaan proses penyusunan kebijakan perbankan serta penerapan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision secara bertahap dan menyeluruh. Dalam jangka waktu lima tahun ke depan diharapkan Bank Indonesia telah sejajar dengan negara-negara lain dalam penerapan international best practices termasuk 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan diharapkan dalam waktu dua tahun ke depan Bank Indonesia telah memiliki sistem penyusunan kebijakan perbankan yang efektif yang telah melibatkan pihakpihak terkait dalam proses penyusunannya. 3. Program peningkatan fungsi pengawasan Program ini bertujuan untuk meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini dicapai dengan peningkatkan kompetensi pemeriksa bank, peningkatan koordinasi antar lembaga pengawas, pengembangan pengawasan berbasis risiko, peningkatkan efektivitas enforcement, dan konsolidasi organisasi sektor perbankan di Bank Indonesia. Dalam jangka waktu dua tahun ke depan diharapkan fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan lebih efektif dan sejajar dengan pengawasan yang dilakukan otoritas pengawas di negara lain. 4. Program peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan Program ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen resiko dan kemampuan operasional manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan operasional (termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional perbankan. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke depan diharapkan kondisi internal perbankan nasional menjadi semakin kuat. 5. Program pengembangan infrastruktur perbankan Program ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga pemeringkat kredit domestik, dan pengembangan skim penjaminan kredit. Pengembangan credit bureau akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan kreditnya. Penggunaan lembaga pemeringkat kredit dalam publicly-traded debt yang dimiliki bank akan meningkatkan transparansi dan efektivitas manajemen keuangan perbankan. Sedangkan pengembangan skim penjaminan kredit akan meningkatkan akses kredit bagi masyarakat. Dalam waktu tiga tahun ke depan diharapkan telah tersedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi.

6. Program peningkatan perlindungan nasabah Program ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi ndependen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan dan edukasi bagi nasabah. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke depan diharapkan program-program tersebut dapat meningkatkan kepercayaan nasabah pada sistem perbankan. Keenam sasaran yang ingin dicapai API tersebut dituangkan kedalam enam Pilar yang saling terkait satu sama lain guna menunjang pencapaian visi API. Enam Pilar API tersebut adalah:

masyarakat, dan mendorong pembangunan ekonmi nasional, standar internasional.

ketahanan menghadapi resiko,

yang sehat,

Kronologi dan sistematika kemunculan API di Indonesia Menyadari penting nya Fundamental perbankan yang lebih kuat dan untuk meningkatkan daya tahan sistem perbankan terhadap fluktuasi perekonomian, maka sejak dua tahun terakhirdengan masukan-masukan berharga dari berbagai pihak, Bank indonesia telah menyelesaikan penyusunan API. Arsitektur Perbankan indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program restrukturisasi perbankan maupun white paper penyehatan perbankan Nasional pasca IMF. Mendasari luas nya cakupan kebijakan dan Implementasi yang akan di tempuh serta jangka waktu pelaksanaan yang panjang, maka perubahan-perubahan tersebut akan di lakukan secara bertahap. Penerapan Api tidak terlepas dari usaha Bank Indonesia untuk secara bertahap menerapkan praktik terbaik internasional terutama yang mencakup dalam 25 Basel Core Principles For Effective Banking Supervision. Dalam jangka waktu lima tahun ke depan di harapkan Indonesia telah sama dengan negara-negara lain dalam hal peneraoan 25 Basel Core Principles. Program-program API mencakup banyak hal. Program yang lain berkaitan dengan usaha peningkatan kinerja perbankan melalui penerapan Standar good corporate governance yang di dukung.

ng perbankan yang memadai,

Dalam usaha mencapai visi API seperti telah di uraikan sebelum Visi dan Misi Arsitektur perbankan Indoesia (API) Visi Arsitektur perbankan Indoesia adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat,kuat,.dan efisien guna mencuptakan kestabilan sistem keuangan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Program kegiatan Arsitektur perbankan Indoesia (API) Pelaksanaan keenam pilar API di jabarkan lebih rinci oleh bank Indonesia dalam program kegiatan pada rentang waktu sepuluh tahun (dari tahun 2004 hingga tahun 2013). Program-program tersebut adalah : a. Program penguatan Struktur perbankan nasional,

b. Program peningkatan kualitas pengaturan perbankan, c. Program peningkatan fungsi pengawasan, d. Program peningkatan Kualitas manajemen dan operasional perbankan, e. Program pengembangan infrastruktur perbankan, f. Program peningkatan perlindungan nasabah Dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun mendatang, implementasi program-program tersebut di harapkan dapat menciptakan konsolidasi sektor perbankan secara keseluruhan yang mengarah kepada struktur perbankan yang lebih optimal. Visi Arsitektur perbankan Indoesia di padukan dengan pertimbangan ada nya tantangan-tantangan yang di hadapi perbankan pada periode mendatang membawa konsekuensi ada nya enam pilar API dan juga program kegiatan sebagai berikut : struktur perbankan nasioanal

perlindungan nasabah. Tantangan Terbesar Perbankan Jasa keuangan adalah salah satu industri yang mengalami perubahan dan pertumbuhan paling cepat di bnyak negara. Sesuatu yang di anggap ideal pada suatu saat bisa dengan cepat berubah pada waktu selanjut nya. Tantangan dalam dunia perbankan juga selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam industri jasa keuangan secara umum. Di antara banyak tantangan yang saat ini paling di rasakan dalam dunia perbankan adalah tantangan untuk mengelola risio dengan sebaik-baik nya. Bagi sistem perbankan di indonesia pengelolaan resiko dengan baik masih merupakan sesuatu yang baru.Untuk mewujudkan perbankan indonesia yang lebih kokoh, perbaikan harus dilakukan di berbagai bidang. Terytama unutk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi perbankan dalam beberapa tahun belakangan ini. Tantangan-tantangan tersebut adalah sbb: a. Pertumbuhn kredit perbankan yang masih rendah. b. Struktur perbankan yang belum optimal c. Pemenuhan kebutuhan layanan perbankan yang masih kurang d. Pengawasan bank yang masih perlu ditingkat kan.

e. Kapabilitas perbankan yang masih lemah f. Profitabilitas dan efisiensi bank yang tidak mampu betahan g. Perlindungan nasabah yang masih harus di tingkatkan. h. Perkembangan teknologi informasi. Tahap-tahap Implementasi Arsitektur perbankan Indoesia (API). Arsitektur perbankan Indonesia di rancang untuk diterapkan dalam kurun waktu sekitar sepuluh tahun. Mengingat panjang nya rentang waktu implementasi nya dan untuk menjaga agar pencapaian target lebih dapat termonitor, program implementasi API di laksanakan secara bertahap dan di mulai tahun 2004 dengan perincian sbb : Penguatan struktur perbankan nasioanal

1. Memperkuat permodalan bank 2. Memperkuat daya saing BPR 3. Meningkatkan akses kredit

1. Memformalkan proses sindikasi daalm membuat kebijakan perbankan.

1. Menimgkatkan koordinasi antar lembaga pengawas. 2. Melakukan konsolidasi sektor perbankan bank Indonesia 3. Meningkatkan kompetensi pemeriksa bank 4. Mengembangkan sistem pengawasan berbaris resiko 5. Meningktakan efektivitas enforcement

1. Meningkatkan good Corporate Governance 2. Meningkatkan kualitas manajemen resiko perbankan 3. Meningkatkan kemampuan Operasional bank.

1. Mengembangkan biro kredit 2. Mengoptimalkan penggunaan badan pemeringkat kredit.

1. Menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah 2. Membentuk lembaga Mediasi independen 3. Menyusun transparasi informasi produk 4. Mempromosikan edukasi untuk konsumen.

Artikel 1 Dampak dari Arsitektur Perbankan Indonesia Persyaratan modal yang terdapat di dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) akan berdampak terhadap jumlah bank yang ada di Indonesia. Jumlah bank yang ada di Indonesia diperkirakan akan mengecil jumlahnya. Bank-bank akan melakukan berbagai cara seperti merger antar bank, menambah modal, atau diakuisisi oleh pihak lain untuk memenuhi persayaratan modal yang disyaratkan di dalam API. BI mensyaratkan modal minimal Rp 100 miliar. Diharapkan, 10-15 tahun ke depan perbankan Indonesia akan terdiri dari 2-3 bank internasional (modal lebih dari Rp 50 triliun), 3-5 bank nasional (modal Rp 10 triliun-Rp 50 triliun), 30-50 bank segmen usaha tertentu (modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun) dan bank perkreditan rakyat. Struktur yang demikian akan mempermudah pengawasan. Rasio antara jumlah pengawas dan jumlah bank bisa diperbaiki sehingga kemungkinan penyelewengan bisa dideteksi lebih dini. Status bank nasional bisa dicapai suatu bank bila memiliki ekuitas minimal Rp10 triliun dan harus memenuhi kriteria implementasi Basel II seperti rasio kecukupan modal moderat di atas 12%. Tak pelak, sejumlah bank menengah juga memilih cara bank kecil dengan strategi organik menumbuhkan modal dengan menumpuk laba serta menihilkan dividen kepada pemegang saham. Dua bank menengah yang mulai mencuat belakangan ini, Bank Lippo dan Bank NISP menetapkan dividen hasil laba bersih tahun lalu tidak dibagikan kepada pemegang saham, bahkan hingga 2010. Langkah menahan dividen merupakan hal strategis yang dijalankan manajemen dalam menjaga modal tetap besar untuk ekspansi usaha serta mengamankan status bank nasional mereka tiga tahun lagi. Bank-bank juga banyak yang melakukan rights issue untuk menambah modal mereka. Bagi bank-bank yang telah diakuisisi jg dapat menempuh cara yang konservatif dengan meminta suntikan modal kepada pemilik barunya. Bank Indonesia memberikan stimulus berupa perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) akibat merger atau konsolidasi, serta kemudahan mendapatkan izin pembukaan kantor cabang bank. Bank yang berpartisipasi dalam merger dan konsolidasi juga diberikan penggantian sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence maksimal Rp1 miliar. Memang dalam proses meger tersebut akan memakan biaya yang tidak sedikit dan pada tahap awalnya akan menimbulkan kesulitan, hal ini dikarenakan perbedaan budaya di masing-masing bank tersebut. Namun, dengan adanya penggabungan ini, kemampuan perbankan untuk bersaing akan lebih besar, karena dari segi modal dan dana pihak ketiga dan jaringan pelayanan juga lebih banyak dari sebelumnya. Kasus merger bank Permata dapat dijadikan contoh keberhasilan penggabungan antarbank yang saat ini merupakan bank fokus terbaik di Indonesia. Aksi penjualan bank yang dilakukan oleh pemilik bank disebabkan masih tingginya harga diri pemilik bank dan sulitnya menyatukan keinginan dari masing-masing pemilik bank. Contoh hal yang mendasar adalah mengenai kepemilikan mayoritas di dalam bank pasca merger, masing-masing pemilik bersikeras mereka ingin menjadi pemilik mayoritas.

Hal seperti ini akan berlarut-larut yang pada akhirnya mengakibatnya gagalnya merger. Selain itu, sulitnya mencari pasangan bank untuk dimerger juga menjadi persoalan tersendiri. Penambahan modal juga menjadi salah satu masalah sebab dibutuhkan dana yang sangat besar yang tentu saja tidak semua memilikinya, ataupun jika pun memiliki dana besar, ada kemungkinan si pemilik bank lebih senang menginvestasikannya ke sektor lain yang lebih profitable. Sehingga pemilik bank memilih cara yang termudah yaitu dengan menjual banknya kepada pihak lain yang seringkali merupakan pihak asing. (Benny Soewita). http://www.wealthindonesia.com/commercial-bank/dampak-dari-arsitektur-perbankanindonesia.html

Artikel 2 Apa Kabar Arsitektur Perbankan Indonesia? Tue, 19 Jun 2012, 10:22 WIB

Langkah konsolidasi industri perbankan belum melahirkan satu pun bank di Indonesia yang memiliki skala internasional. Banyak bank belum memiliki platform yang jelas dalam membidik pasar. Program API hanya akan menjadi dokumen sejarah kebijakan? Moch. Doddy Ariefianto Salah satu program utama revitalisasi perbankan Indonesia pascakrisis 1998 adalah implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Program yang ditujukan untuk membentuk kembali wajah industri perbankan dicanangkan Bank Indonesia (BI) pada Januari 2004. API memiliki visi merampingkan struktur fisik perbankan yang pascakrisis memiliki anggota sekitar 145 bank menjadi sekitar 35-58 bank saja. Dalam dokumentasi program BI menargetkan konsolidasi tercapai dalam rentang waktu 10-15 tahun. Mengingat program tersebut dicanangkan pada 2004, berarti pada 2014 kita dapat berharap untuk mulai melihat kembang-kembang-nya. Memasuki tahun kedelapan implementasi, program API sepertinya tertelan gemuruh roda rutinitas dan bernasib seperti banyak program pemerintah lainnya: menjadi dokumen sejarah kebijakan. Jumlah bank umum, meski menurun dari 145 pada akhir 2001 menjadi 120 pada akhir 2011, merupakan pencapaian yang jauh dari target. Indikator konsentrasi: pangsa aset empat dan delapan bank terbesar mengalami penurunan dari (masing-masing) 57,6% dan 71,4% ke 53,9% dan 70,9% juga mengindikasikan absennya aktivitas konsolidasi. Dalam blue print yang dicanangkan pada periode 2014-2019, perbankan Indonesia diharapkan memiliki dua-tiga bank berskala internasional dengan aset lebih dari Rp1.000 triliun (dan modal lebih dari Rp50 triliun), tiga-lima bank skala nasional dengan ukuran aset Rp200 triliun (bermodal antara Rp10 triliun-Rp50 triliun), dan 30-50 bank dengan fokus (bermodal antara Rp100 miliar-Rp10 triliun). Bank-bank yang tidak dapat mencapai kriteria terbawah harus rela turun pangkat menjadi bank perkreditan rakyat (BPR). Statistik perbankan posisi Desember 2011 menunjukkan, Indonesia belum memiliki satu pun bank dengan skala internasional. Bank Mandiri adalah kandidat terdekat dengan modal yang tinggal selangkah lagi: Rp47 triliun, tapi masih jauh dilihat dari kriteria aset (Rp491 triliun). Terdapat empat bank skala nasional yang telah memenuhi, baik kriteria aset (>Rp200 triliun) maupun modal (Rp10 triliun-Rp50 triliun).

Sekitar lima bank lagi berpotensi masuk ke skala nasional karena telah memenuhi kriteria modal. Bagaimana dengan 110 bank sisanya? Kalau mengikuti pedoman, seharusnya mereka masuk skala bank dengan fokus. Mereka harus memilih pangsa pasar tertentu: daerah, korporasi, ritel, dan lainnya. Beberapa bank, seperti bank pembangunan daerah (BPD), telah mempersiapkan diri untuk fokus dan menggali ceruk pasar, tapi banyak bank lain yang tidak memiliki platform yang jelas dan memilih ikut ke mana angin berembus. Dengan demikian, masihkah konsolidasi perbankan suatu yang relevan bagi Indonesia? Penulis menjawab pertanyaan ini dengan tegas, ya. Perbankan sebagai suatu industri berbasis kepercayaan membutuhkan pelaku-pelaku yang tangguh. Salah satu alat ukur yang paling gampang dari ketangguhan adalah ukuran: aset dan permodalan. Dalam iklim ekonomi yang terbuka saat ini, bank bersaing tidak hanya dengan institusi dalam negeri, tapi juga luar negeri. Bank-bank utama di wilayah ASEANyang saat ini beroperasi di Indonesiaseperti Bank DBS, Bank OCBC, Bank CIMB, dan Bangkok Bank, memiliki modal lebih dari US$8 miliar (Rp74 triliun). Aset bank-bank itu pun rata-rata lebih dari US$100 miliar (Rp920 triliun), bahkan mencapai US$263 miliar (Rp2.420 triliun). Dengan demikian, syarat permodalan adalah mutlak untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan permodalan yang kuat, bank dapat membeli infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) untuk memberikan layanan yang diinginkan nasabah. Pada era modern saat ini nasabah mengharapkan bank paling tidak mampu memberikan layanan, seperti cabang dan automatic teller machine (ATM) hingga paling tidak ibu kota kabupaten besar, real time online, transaksi valuta asing, produk investasi, dan kredit konsumtif. Sangat sulit dibayangkan layanan/produk tersebut dapat diberikan oleh bank dengan modal sekitar Rp100 miliar. Bank-bank yang tidak dapat memberikan layanan (yang sebenarnya) standar bagi nasabah tentu harus bersaing dengan menggunakan suku bunga. Data menunjukkan, rasio biaya bunga terhadap dana pihak ketiga atau DPK (disebut implied cost of fund atau ICOF) pada bank-bank berskala kecil (aset di bawah Rp10 triliun) berada di kisaran 7%-9%, jauh di atas bank-bank menengah besar yang sebesar 4,0%-5,5%. Bank-bank dengan biaya dana yang tinggi itu tentu harus menjual pinjaman dengan harga yang lebih tinggi lagi. Kendati demikian, menghadapi tekanan persaingan dari bank berskala menengah besar, yang karena memiliki biaya dana lebih murah maka dapat menawarkan pinjaman dengan bunga lebih rendah, bank-bank berskala kecil harus memangkas spread yang berarti juga keuntungan usaha. Tekanan terhadap profitabilitas seperti itu tentu menimbulkan tanda tanya besar terhadap daya hidup (sustanabilitas) bank dalam jangka panjang. Fakta dan sejarah menunjukkan, berbeda dengan sektor usaha lain, menutup sebuah bank bukan perkara mudah. Penutupan sebuah bank dapat menggoyang kepercayaan masyarakat dan berpengaruh negatif terhadap bank lain yang mungkin sebenarnya tidak

mengalami masalah. Dengan demikian, di sini terdapat suatu alasan lagi bagi konsolidasi, yakni perspektif menjaga stabilitas perbankan. Pengamatan lebih lanjut terhadap struktur industri perbankan menunjukkan kondisi yang timpang. Sebanyak 25 bank terbesar di Indonesia menguasai 83% DPK (sebesar Rp2.300 triliun), sedangkan 71 bank kecil memperebutkan dana sebesar Rp168 triliun. Dengan demikian, dapat dibayangkan intensitas persaingan yang dihadapi oleh bank-bank kecil. Bila tidak ada pengaturan lebih lanjut, persaingan bebas seperti saat ini dikhawatirkan akan berujung pada erosi daya hidup bank-bank segmen kecil dan mungkin akhirnya rontok. Tekanan persaingan yang sangat tinggi pada segmen ini juga dikhawatirkan mencemarkan motivasi bisnis. Gambling for survival dapat mendorong manajemen/pemilik bank melakukan praktik moral hazard. Penyusunan arsitektur perbankan tidak hanya dilakukan berdasarkan ukuran, tapi tak kalah pentingnya juga kepemilikan. Pascakrisis 1998 kategori bank asing (dan campuran) sudah tidak jelas lagi. Apakah hanya meliputi izin operasi (lisensi) atau de facto (penguasaan saham dan kendali perusahaan)? Jika hanya dilihat dari perizinan, pangsa bank asing yang beroperasi di Indonesia relatif tidak banyak berubah dalam 10 tahun belakangan, yakni sekitar 12% dari total aset. Namun, jika status asing itu diartikan sebagai penguasaan saham dan kendali, pangsanya akan melesat menjadi 43,5%. Hampir separuh industri perbankan Indonesia dikuasai oleh pihak asing. Arsitektur kepemilikan seperti itu berimplikasi pada dua hal. Satu, distribusi keuntungan yang diperoleh dari aktivitas bisnis domestik. Isu distribusi ini menjadi hal penting, mengingat tidak berjalannya asas resiprokal. Bank-bank Indonesia mengalami kesulitan untuk membuka cabang di luar negeri, bahkan di negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan China yang bank-banknya dengan leluasa merambah ke seluruh penjuru Indonesia hingga kecamatan. Asas timbal balik itu perlu dijadikan bahan negosiasi oleh otoritas Indonesia. Dua, aspek stabilitas dan jaring pengaman sektor keuangan. Otoritas perlu menyusun aturan main bagi bentuk kehadiran pihak asing dalam perbankan domestik: berupa cabang atau anak perusahaan? Sebuah cabang memiliki implikasi tanggung jawab yang lebih luas dan dalam dibandingkan dengan anak perusahaan (subsidiary). Dipandang dari sisi regulator, kedua bentuk kehadiran itu juga memiliki implikasi yang sangat berbeda. Isu lintas batas (cross border) adalah suatu topik yang sedang hot dan banyak dibahas di luar negeri. Sayangnya, otoritas dalam negeri belum menaruh perhatian yang memadai mengenai aspek tersebut. (*) Penulis adalah pengamat perbankan, bekerja di LPS, dan dosen Universitas Ma Chung Malang. http://www.infobanknews.com/2012/06/apa-kabar-arsitektur-perbankan-indonesia/

Artikel 3 At all times to ensure that payments were effected as safely and expeditiously as feasible, given the state of technological and institutional development. Only recently, however, with the economies becoming webs of massive and rapid payment flows with very large risk potentials, governments have started to consider systematically how to oversee payment activities. Bahkan ada kesan arsitektur perbankan Indonesia akan dibawa ke ranah politik misalnya dengan melakukan politisasi akan ekspansi kredit perbankan. Bukan hanya menempatkan fungsi kredit dalam arsitektur perbankan Indonesia sebagai fungsi utama, namun ada kecenderungan untuk menancapkan semangat nasionalisasi melalui sentimen antiasing yang di luar kewajaran. Antiasing sah saja dikemukakan dalam orasi ilmiah, namun dalam konteks ketahanan perbankan nasional berbasis sistem pembayaran yang andal maka peran asing justru tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Livarinen et al (2003) mengingatkan 'globalisation of payment systems requires the regulators and supervisors of national systems to cooperate internationally to control increasingly complex international entity of payment systems. Misalnya dengan semakin tingginya mobilisasi barang, jasa, manusia dan modal antarnegara, interaksi sistem pembayaran pasti akan semakin bersinggungan dengan instrumen fiskal dan investor asing. Instrumen fiskal tidak melulu berhubungan dengan crowding out effect dalam perekonomian, tetapi bagian integral dari sistem pembayaran dalam perekonomian. Kecuali Indonesia ingin melakukan politik isolasi seperti yang dilakukan oleh Myanmar. Dalam konteks itu juga tersirat adanya kelompok kepentingan yang menginginkan Indonesia seperti Myanmar, artinya bukan hanya modal asing yang ditabukan, melainkan juga kegiatan ekspor dan impor. Sebaliknya China justru terus membuka diri terhadap modal asing termasuk modal asing bagi kegiatan perbankan. Yang menarik justru China mampu mempertahankan fungsi bank sentral China dan bank-bank BUMN sebagai jangkar dari operasi pembayaran dan kredit nasional secara sekaligus. Dalam konteks Indonesia kejadian tersebut sudah tidak berlaku lagi karena bankbank BUMN tidak lagi diciptakan sebagai agent of development bersama-sama dengan bank sentral. Bank-bank BUMN telah menjadi bank komersial seratus persen dan Bank Indonesia menjadi bank sentral independen yang hanya semata-mata peduli terhadap inflasi. Kredit likuiditas Bank Indonesia sudah ditabukan, padahal di China peran APBN masih kental dalam menopang operasi kredit dan pembayaran perbankan di China. Sementara itu di Indonesia, Bank Indonesia sudah steril dari kredit. Jika arsitektur perbankan Indonesia hanya mengedepankan semangat antiasing dan upaya untuk memperbesar kelancaran kredit perbankan, tanpa adanya fungsi bank BUMN dan Bank Indonesia sebagai agent of development seperti yang terjadi di China, justru akan menyebabkan fungsi kredit semakin terkebiri dan fungsi pembayaran perbankan semakin berpotensi menimbulkan risiko sistemik.

Arsitektur perbankan di Indonesia sudah kehilangan filosofi dasarnya sebagai penggerak, pengayom, dan stabilisasi sistem perekonomian yang berlandaskan sistem pembayaran yang tangguh. Di sinilah arsitektur perbankan di Indonesia perlu dikoreksi secara tajam. Jika bank BUMN dapat difungsikan kembali seperti di China, fungsi kredit akan menjadi tugas bank-bank BUMN. Adapun bank swasta dengan motor utama Bank BCA akan difokuskan sebagai bank pembayaran. Untuk itu, fungsi pembayaran dalam arsitektur perbankan di Indonesia harus mengadopsi sistem seperti di Amerika Serikat, yaitu menjadikan sistem pembayaran tandem dengan bank sentral dan bank komersial dapat melakukan fungsi pembayaran secara finality. Jika sistem arsitektur perbankan di Indonesia sudah mengatur permasalahan tersebut, optimalisasi sistem pembayaran nasional akan semakin efisien dan efektif. Pasar kredit dan pasar aset lainnya menjadi semakin terintegrasi dalam sub-subsistem moneter yang saling berhubungan, namun dengan risiko sistemik yang semakin rendah. Dapatlah dibayangkan jika Bank Mandiri mampu menurunkan tingkat suku bunga kredit secara drastis, dapat dipastikan bank-bank BUMN lainnya akan mengikuti arah yang dilakukan oleh Bank Mandiri tersebut tanpa harus melakukan kartel. Tidak seperti saat ini, yakni Bank Mandiri tampak terkesan takut-takut dalam menurunkan tingkat suku bunga kredit. Namun, hal itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada Bank Mandiri karena aturan Bank Indonesia beserta arsitektur perbankannyalah yang memasung langkah sehat dari Bank Mandiri itu. Dengan demikian, bank swasta dapat lebih berkonsentrasi pada fungsi pembayaran perbankan yang bersama-sama dengan bank sentral akan membuat risiko sistemik dapat lebih terkontrol. Itulah yang harus dibuat dalam arsitektur perbankan Indonesia jika Indonesia ingin memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan sebagaimana yang telah dilakukan oleh China. Usia China yang 60 tahun terbukti lebih produktif dalam menciptakan nilai tambah ketimbang Republik Indonesia yang berusia lebih tua. Dari sisi interaksi dengan sistem kapitalisme maka boleh dikatakan China memulainya pada 30 tahun yang lalu sementara Indonesia gagal di era Orde Lama. Pun Orde Baru juga gagal menciptakan perbankan sebagai agent of development pada krisis 1997. Seharusnya Indonesia belajar dari Amerika Serikat pada krisis baru-baru ini yang juga mengalami krisis akut sekalipun katanya sistem perbankan Amerika Serikat sudah amat efisien karena ternyata bank swastalah yang membuat kredit macet tersebut. Sementara itu, sistem perbankan di China terus mampu bertahan dari kredit macet sebab motor utama penyaluran kredit pada sistem ekonomi adalah bank-bank BUMN beserta bank sentral. Bank swasta di China lebih fokus dengan bisnis yang terkait sistem pembayaran termasuk kartu kredit. Untuk itu, ke depan visi perbankan di Indonesia harus menggunakan strategi penyaluran kredit seperti yang terjadi di China agar sektor riillah yang berjalan dan bukan sektor jasa seperti saat ini terjadi di Indonesia. Perlu juga dicamkan bahwa sistem pembayaran yang andal akan menopang berfungsinya kebijakan moneter, pasar keuangan, stabilitas keuangan serta perbankan.

Menarik mencermati pernyataan dari Bank Sentral Uni Eropa (2009): Like any central bank, the ECB, together with the Eurosystem is interested in the prudent design and management of the payment and securities clearing and settlement systems which process its currency. It pays close attention to their smooth functioning, as well as to reducing the related potential risks. The smooth functioning is crucial for: a sound currency and for the conduct of monetary policy, the functioning of financial markets and the maintenance of banking and financial stability. Dengan sistem pembayaran yang tangguhlah, perekonomian akan memiliki daya saing ekonomi yang tinggi!

Anda mungkin juga menyukai