Anda di halaman 1dari 11

Kedaulatan Pangan Melawan Liberalisasi Pertanian di Era Neoliberalisme Oleh: Eva Novi Karina

Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, kapitalisme dan demokrasi liberal semakin mengukuhkan dirinya sebagai pemenang atas sistem ekonomi dan politik dunia. Dengan meminjam istilah Hegel, Fukuyama mengatakan bahwa sejarah telah berakhir. Kapitalisme dianggap sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang dapat bertahan dan berjalan, sementara demokrasi liberal adalah agen kemajuan. Ideologi konflik yang kental yang sebelumnya menghiasi Perang Dingin telah digantikan oleh nalar demokratik universal dan pemikiran yang berorientasi pada pasar (Held, 2004: 4). Sementara menurut Andrew Gamble, dalam tiga dekade terakhir, neoliberalisme (baik sebagai bentuk ekonomi politik maupun ideologi) dikatakan telah menjadi pemenang dalam level global. Di awal abad ke-21 ini, banyak pihak menyebutnya sebagai ideologi hegemonik yang baru, seiring dengan runtuhnya Komunisme di Uni Soviet dan menghilangnya jalurjalur pembangunan alternatif di Dunia Ketiga. Kapital kembali tampil ke depan dan gagasan liberalisme ekonomi mengenai pengorganisasian ekonomi sekali lagi direpresentasikan sebagai common sense dan belum tertandingi, baik secara politis maupun intelektual (Gamble, 2001). 1 Globalisasi yang merupakan kredo inti dari ajaran neoliberalisme telah memunculkan model baru bagi mekanisme kebijakan negara hubungannya dan pasar yang dipercayai banyak orang menjanjikan kemudahan, kesejahteraan dan keadilan Meskipun sebagian pihak . berpendapat bahwa globalisasi secara inheren bersifat positif atau setidaknya netral, namun kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Globalisasi dalam bentuknya yang dominan saat ini justru telah dan terus menimbulkan ketimpangan sosial dan ketidakberlanjutan ekologis berskala global dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Anthony McGrew mengatakan bahwa globalisasi yang dominan ini bernama globalisasi neoliberal, ditandai oleh kemunculan sebuah perekonomian global yang dimotori oleh logika ekonomi kapitalis dengan satu tujuan tertinggi: profit yang lebih besar bagi para pemilik modal (McGrew dalam Baylis, 2008: 14). Kesenjangan sosial global terus meningkat, berdasarkan laporan Bank Dunia mengenai Indikator Pembangunan 2008 tercatat pada tahun 2005, 20% orang terkaya di dunia mengkonsumsi 76,6% dari total konsumsi pribadi dunia, sementara 20% orang termiskin hanya mengkonsumsi 1,5%
Andrew Gamble, Neo-Liberalism, Capital and Class, Autumn http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3780/is_200110/ai_n8958965, diakses 17 Maret 2009.
1

2001,

dalam

sehingga dari seluruh total konsumsi, 10% orang termiskin dunia hanya mengkonsumsi sebesar 0,5% sedangkan 10% terkaya mengkonsumsi 59% (Syah, 2009).2 Dari gambaran ini, terlihat bahwa kemakmuran yang dijanjikan oleh globalisasi kapitalis hanya terjadi di kalangan elit dunia, yaitu elit kapitalis transnasional, sementara sebagian besar populasi dunia semakin terpinggirkan di dalam sistem perekonomian global yang berpihak pada mereka yang memiliki akses terhadap kapital, khususnya kapital transnasional. Kaum neoliberal selama ini meyakini bahwa neoliberalisme akan menciptakan kemakmuran bagi umat manusia dan mendorong demokrasi (liberal). Hal ini didasarkan pada pandangan August non Hayek, seorang ekonom Austria, bahwa pasar bebas memiliki keuntungan yang sangat besar dibanding kerugian yang ditimbulkannya. Pasar adalah cara terbaik dalam mendistribusikan suatu komoditas karena merupakan pertemuan langsung antara produsen dan konsumennya. Lebih lanjut Milton Friedman menyebutkan bahwa kekebasan politik tidak akan ada apabila tidak didahului dengan kebebasan ekonomi (seperti dikutip Rianto dalam Mugasejati dan Martanto , 2006, 63-64). Dalam kebijakan neoliberalisme sendiri diisyaratkan pengurangan peran negara seminimal mungkin karena ditakutkan akan mendistorsi pasar. Liberalisasi, privatisasi, deregulasi dan model fleksibilitas buruh adalah sesuatu yang mutlak dilakukan agar pasar dapat bekerja secara maksimal. Menurut alur pemikiran ini, pasar bebas akan memperbanyak pilihan, menumbuh kembangkan individualisme, dan memajukan pluralisme sosial (Petras dan Veltmeyer, 2001: 194).

Sejak tahun 1970an, model pembangunan neoliberal mulai mendapat tempat di ranah politik negara-negara. Dimulai di Chile pada tahun 1973 setelah kudeta berdarah Pinochet terhadap Presiden Allende, kemudian disusul oleh AS di bawah Reagan dan Inggris di bawah Margareth Thatcher. Pasca krisis ekonomi yang banyak terjadi terjadi di berbagai negara pada dasawarsa 1980-1990an (misalnya, krisis utang di Amerika Latin pada 1982 dan krisis moneter di Asia pada pertengahan dekade 1990an) dengan dukungan dari rejim IMF, Bank Dunia dan WTO, neoliberalisme-pun menjadi sebuah kredo universalitas baru untuk menuju kemakmuran. Menurut kepercayaan liberal, negara-negara tersebut sudah berada di jalur yang tepat untuk menuju ke arah kemajuan, sebab negara-negara yang saat ini disebut dengan 'negara maju' telah melalui jalur yang sama sebelumnya.

Anup Syah, Poverty Facts and Statistics Global Issues, dalam http://www.globalissues.org/article/26/poverty-facts-and-stats, diakses 15 April 2009.

Dalam kacamata Gramsci, saat ini neoliberalisme yang diboncengi oleh globalisasi telah menjadi sebuah diskursus hegemonik. Pengaruhnya telah menjadi begitu mendalam terhadap cara-cara berpikir kita sehingga menjadi common sense dalam menginterpretasikan, menjalani hidup, dan dalam memahami dunia (Harvey, 2009: 5). Hampir semua negara mengadopsi sistem yang sama. Mulai negara-negara bekas reruntuhan Uni Soviet, negaranegara yang telah lama menganut model negara kesejahteraan seperti Swedia dan Selandia Baru sampai kepada negara-negara yang sebelumnya 'merah' seperti China dan Vietnam berbalik ke arah neoliberalisme. Saat ini hampir tidak ada yang terlepas dari hegemoni neoliberalisme. Hal ini berkesesuaian dengan konsep yang dirumuskan Gramsci, bahwa hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Kelompok sosial hegemonik adalah kelompok sosial yang mendapatkan persetujuan dari kelompok-kelompok sosial lain (Simon, 2004: 20). Untuk mempertahankan hegemoni, kelompok sosial yang menghegemon akan terus berusaha untuk mempertahankan hegemoninya. Hal ini menuntut kegigihan untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial dari semua kelas yang berkuasa dalam kelompok masyarakat sipil dan membuat kompromi-kompromi yang diperlukan untuk menyesuaikan sistem aliansi yang ada dengan kondisi yang senantiasa berubah serta aktifitas kekuatan oposisi. Proses ini dapat dilihat dari kekuatan politik yang memerintah sedang terancam dan mengalami perpecahan. Kemungkinan terdapat suatu periode ketidakstabilan dan transisi yang sangat panjang sehingga sistem aliansi yang menjadi dasar hegemoni kelompok yang berkuasa harus melakukan perubahan-perubahan yang berskala luas dalam suatu proses restrukturisasi jika hegemoni itu hendak dipertahankan (Simon, 2004: 45-46). Proses neoliberalisasi sendiri bukan saja telah menimbulkan bayak destruksi kreatif terhadap kerangka-kerangka pranata dan kekuasaan yang lama, namun juga terhadap pembagian kerja, relasi sosial, pemberian tunjangan kesejahteraan, cara penggunaan teknologi, jalan hidup dan cara berpikir, aktivitas-aktivitas reproduksi, keterikatan terhadap tanah serta cara menghayati kehidupan. Neoliberalisme menjadikan aktivitas transaksi pasar sebagai 'suatu etika yang bernilai dalam dirinya sendiri, yang bisa menjadi pemandu bagi seluruh tindakan manusia, dan mampu menjadi pengganti bagi semua keperyaan etis yang dianut sebelumnya', dan dalam pasar, yang terpenting ialah relasi-relasi kontrak. Neoliberalisme melihat bahwa kebaikan sosial akan bisa dicapai secara maksimal dengan memaksimalkan luasan frekuensi transaksi pasar (Harvey, 2004: 6).

Pertanian di Era Neoliberalime Dalam persepsi banyak orang, globalisasi-neoliberal akan banyak menawarkan kemudahan, kesejahteraan, dan keadilan. Mahzab neoliberal, semakin menampakkan kekuatannya dengan memanfaatkan institusi-institusi ekonomi, keuangan, dan perdagangan internasional (IMF, Bank Dunia, dan WTO)sebagai the triangle system. Dengan berkedok, hendak menciptakan perdagangan dunia yang lebih adil dan terbuka, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. Agen-agen neoliberal (termasuk di dalamnya korporasi transnasional dan negara-negara kapitalis) berhasil membujuk Negara-Negara Dunia Ketiga, untuk melakukan integrasi perdagangan dan ekonomi secara global, dalam wadah World Trade Organization (WTO). Selain mengatur perdagangan barang manufaktur, WTO juga telah melakukan pengaturan terhadap perdagangan komoditas pertanian, melalui mekanisme Agreement on Agriculture (AoA), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dokumen hukum WTO. Setidaknya terdapat tiga komitmen dalam AoA, yakni perluasan akses pasar, pengurangan subsidi domestik, dan pengurangan subsidi impor, ditambah satu klausula perlakukan khusus dan berbeda bagi Negara Berkembang. AoA-WTO, dengan bantuan IMF dan Bank Dunia, telah menghancurkan tembok kedaulatan nasional negara-negara merdeka. Negara-negara di dunia, khususnya Negara Dunia Ketiga, dipaksa untuk tunduk patuh terhadap segala aturan AoA-WTO. Berbeda dengan Negara Maju, sebagai pihak yang mendesakkan AoA -WTO, mereka justru lebih banyak melakukan pengingkaran. Akibatnya, janji keterbukaan dan keadilan urung terlaksana, dan hanya sekedar menjadi keniscayaan. Yang terjadi justru, kian bergantungnya Negara Dunia Ketiga terhadap Negara Maju, dalam persoalan pemenuhan pangan massa rakyatnya. Liberalisasi pertanian melalui kerangka AoA-WTO, berakibat pada membanjirnya pangan impor di Negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia. Hal seperti ini justru kontradiktif dengan upaya pemenuhan hak atas pangan. Karena pangan hanya menjadi barang pasar, tetapi tidak pernah terpikirkan mengenai persoalan akses dan kepemilikan (entitlement). Membanjirnya pangan impor juga mengakibatkan terjadinya kondisi keterjebakan pangan (food trap), dimana negara tidak memiliki kedaulatan pangan (food sovereignty) nasional, karena hanya bergantung pada produk pangan impor. Kondisi seperti ini tentunya mengancam eksistensi kedaulatan nasional secara umum, sebab pangan menjadi unsur utama dari ketahanan nasional. Posisi negara kian diambil alih oleh pasar, pemenuhan hak atas

pangan makin tak berjalan, sebab pasar tidak memiliki cukup kearifan untuk m emikirkan nasib ketercukupan pangan masyarakat secara luas.

Kerusakan Produksi Pertanian dan Pangan Sistem pangan dan pertanian global berada di bawah monopoli dan kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa yang berada dibalik upaya barbar memaksakan kebijakan ekonomi neoliberal dan perdagangan bebas. Dengan berlakunya sistem tersebut, negeri-negeri terbelakang di mana mayoritas rakyat miskin dan kelaparan berada dipaksa untuk bergantung pada ekspor pertanian. Pertanian sub-sistem berskala kecil dilukiskan sedemikian rupa sebagai usaha yang tidak efesien karenya harus disapu bersih melalui liberalisasi. Lahan besar yang sebelumnya diperuntukkan untuk tanaman pangan telah dikoversikan menjadi tanaman perkebunan a tau untuk peruntukkan lainnya. Hal ini telah menghancurkan mata pencarian jutaan orang di pedesaan serta memperburuk wajah kemiskinan dan kelaparan yang telah berlangsung. Mendorong eksport dari perkebunan-perkebunan luas dikiranya sebagai jalan terbaik untuk menghasilkan alat pembayaran luar negeri (valuta asing,pen) yang dibutuhkan untuk mengimpor pangan. Sebagai gambaran, Sri Lanka, setelah menerapkan liberalisasi pertanian, antara tahun 1985 hingga 1998 impor pangan naik dua kali lipat. Produksi dari daerah yang sebelumnya penghasil pangan menurun drastis sementara harapan yang membumbung tinggi pada ekspor tidak kunjung nyata, yang terjadi justru semakin masifnya pengangguran di pedesaan. Sementara itu, perusahaan agrochemical trans-nasional (TNCs) secara terus-menerus dan intensif mendorong penggunaan obat kimia (dalam bidang pertanian,) membuka pertanian monokultur berskala besar dan mempromosikan tanaman modifikasi genetika membuat para petani kian bergantung dan akan terus bergantung pada produknya. Praktek pertanian yang diterapkan oleh para TNCs ini merusak tanah; mengancam pengetahuan dan praktek pertanian tradisional berkelanjutan yang akrab dengan lingkungan; serta menghalang-halangi pembaruan agraria sejati. Ketika perdapatan kaum tani mengalami kemerosotan, baik karena tingginya biaya produksi di satu sisi dan melimpah -ruahnya impor secara yang memaksa jatuhnya harga produk lokal, harga konsumen justru bergerak naik. Gambaran ini menunjukkan fakta bahwa kekuatan utama di balik naiknya harga saranasarana pertanian dan turunnya harga komoditi pertanian yang juga menyebabkan tingginya harga pangan; adalah adanya kontrol secara monopoli dari perusahaan-perusahaan transnasional seperti Cargill, Monsanto, Nestle, dan sistem pangan dan pertanian lainnya.

Kebijakan-kebijakan globalisasi telah dijadikan syarat utang oleh institusi keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, ADB dan lain-lain kepada negara-negara yang kekurangan dana yang mengajukan utang kepada lembaga tersebut. Contohnya, pada tahun 1990-an, industri beras Haiti mengalami kehancuran setelah guyuran gelombang besarbesaran beras Amerika Serikat yang bersubsidi besar atas desakan dari IMF dan Bank Dunia. Saat ini Haiti terpaksa mengimpor sejumlah 312.006 metrik ton setiap tahunnya. Sementara itu, WTO, perjanjian-perjanjian regional dan bilateral telah mengijinkan TNCs untuk mendominasi dan memegang kekuasaan atas pasar pertanian dan pangan. Kedaulatan pangan tidak menentang perdagangan, melainkan melawan diberikannya prioritas kepada pasar sebagai wasit (pengatur dan penentu) kebijakan pertanian dan pangan. Akibat dari prioritas pada ekspor tersebut telah merusak swasembada pangan di tingkat lokal (dalam negeri, penj). Kenyataan telah telah membuktikan bahwa akses terhadap pasar internasional bukanlah solusi bagi kaum tani. Masalahnya terletak pada kurangnya akses terhadap pasar lokal mereka sendiri karena telah dibanjiri oleh produk-produk yang murah. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa terus memasok milyaran dolar kepada industri pertaniannya agar supaya berharga murah kemudian membuang kelebihan produksinya ke pasar internasional menghancurkan mata pencarian petani skala kecil baik di belahan dunia selatan maupun utara. Sebagai contoh, gandum Inggris dijual dipasar dunia pada harga 70 poudsterling/ton pada saat itu harga ratarata di pasaran 73 poudsterling/ton sedangkan biaya produksi sudah 113 Pounsterling/ton.

Kedaulatan Pangan Melawan Liberalisasi Pertanian Strategi yang dibangun organisasi pangan dunia (FAO) dalam KTT pangan yang diadakan di Roma pada tahun 1996 telah gagal mencapai target. Dimana pada saat itu, FAO bersama dengan pimpinan negara-negara menargetkan akan mengurangi jumlah orang kelaparan hingga setengahnya pada tahun 2015. Namun pada kenyataanya, saat itu (tahun 1996) terdapat 850 juta orang di dunia yang hidup dalam situsasi kelaparan dan setelah 13 tahun berlalu masih saja tidak ada kemajuan. Bahkan angaka kelaparan ada kecenderungan bertambah, menurut data FAO sendiri pada tahun 2008 jumlah angka kelaparan di dunia menjadi 925 juta jiwa. Kegagalan ini disebabkan kebijakan yang salah, dimana konsep ketahanan pangan yang dibuat FAO terlalu menekankan kepada kecukupan pangan tanpa memperhatikan dari mana pangan itu didapatkan dan bagaimana cara produksiny Pasokan pangan a. mengandalkan mekanisme perdagangan global sebagaimana yang dikehendaki oleh Bank

Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Padahal kita tahu, pasar global hanya dikuasai segelintir perusahaan transnasional dan perusahaan-perusahaan agribisnis besar, lahan-lahan pertanian dikuasasi untuk ditanamai komoditi pangan dan perkebunan yang bernilai ekspor tinggi. Sementara itu, pertanian keluarga yang dikelola oleh petani semakin tersisih dan tersingkir. Banyak petani di negeri dunia ketiga yang kehilangan penghidupan dan tanahnya akibat ekspansi perusahaanperusahaan agribisnis besar. Para petani tersebut terjerembab kedalam kemiskinan yang berkelanjutan. Hingga wajar saja apabila sebagian besar kelaparan terjadi di desa-desa yang nota bene hidup dari pertanian. Atas dasar itu, La Via Campesina, sebuah gerakan petani kecil internasional, bersama dengan ratusan organisasi tani lainnya yang anggotanya yang terdapat di berbagai belahan bumi mulai mengerjakan sebuah praktek pertanian yang lebih adil, baik itu untuk konsumen maupun untuk petani sebagai produsen pangan. Sebuah konsep yang kemudian dinamai sebagai konsep Kedaulatan Pangan. Organisasi tani internasional La Via Campesina mendefinisikan kedaulatan panga n sebagai hak seluruh rakyat, bangsa dan negaranya untuk menentukan kebijakan petanian dan pangannya sendiri tanpa campur tangan negeri lain. Konsep kedaulatan pangan telah berkembang sedemikian rupa melampaui konsep ketahanan pangan (food security) yang lebih dikenal sebelumnya, yang hanya bertujuan untuk memastikan diproduksinya pangan dalam jumlah yang cukup dengan tidak memperdulikan macamnya, bagaimana, di mana dan seberapa besar skala produksi pangan tersebut. Kedaulatan pangan adalah interpretasi luas dari hak atas pangan, ia melampaui wacana tentang hak pada umumnya. Kedaulatan pangan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan sendiri dan tindakan berlawan terhadap kekuasaan perusahaanperusahaan serta kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi pangan rakyat melalui perdagangan, investasi, serta alat dan kebijakan lainnya. Kedaulatan pangan menuntut hak rakyat atas pangan, yang menurut Food and Agriculture Organization (FAO) merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-uma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tadisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup

yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif. Kenyataannya, kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. India adalah negeri dengan jumlah penderita kelaparan tertinggi didunia, disusul oleh China. 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri Sub-Sahara dan Afrika sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia 6% (lihat tabel). Setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta rakyat mati karena kelaparan dan gizi buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam usaha mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan, PBB melalui FAO memperkenalkan istilah ketahanan pangan dengan harapan adanya persediaan pangan setiap saat, semua orang dapat mengaksesnya dengan bebas dengan jumlah, mutu dan jenis nutrisi yang mencukupi serta dapat diterima secara budaya. Konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Juga mengabaikan kenyataan di mana semakin meluas dan limpah ruahnya ekspor produk pertanian murah serta bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini dibiarkan bahkan didorong atas nama perdagangan bebas yang disokong penuh oleh negara-negara maju. Hal ini tidaklah mengherankan sebab ketahanan pangan hanya sebatas pernyataan lembaga-lembaga pemerintah dan antar-pemerintah saja, sementara pelaksanaan dan tanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan telah didefinisikan kembali yaitu dialihkan dari urusan negara menjadi urusan pasar. Prinsip dan strategi neoliberal untuk mencapai tujuan ketahanan pangan ini dijalankan oleh institusi-institusi multilateral seperti International Monetary fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO). Rekonseptualisasi ketahanan pangan ini pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang paling kuat yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Kebijakan perdagangan neoliberal ini menekankan bahwa mengimpor pangan murah adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan dari pada memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas sangat penting bagi ketahanan pangan, dengannya pemanfaatan sumber daya di dunia lebih efesien.

Tingkatan dan Konteks dari Kedaulatan Pangan

Sekalipun kedaulatan pangan telah memiliki pengertian sebagai hak untuk menentukan kebijakan pertanian dan pangan, masih banyak dijumpai kebingungan dalam memahami kedaulatan pangan. Hal ini disebabkan karena istilah tersebut telah dipergunakan pada tingkatan pengertian dan konteks diskusi yang berbeda. Kedaulatan pangan memiliki tingkatan-tingkatan dan konteks yang berbeda-beda: 1. 2. 3. Sebagai sebuah kaidah berbasis pada hak-hak asasi manusia Sebagai sebuah kaidah utama dalam pembangunan demokrasi rakyat Sebagai sebuah kaidah dalam hubungan internasional untuk melawan

imperialisme dan campur tangan asing. 4. Sebagai sebuah konsep kebijakan atau flatform untuk formulasi/debat

kebijakan pertanian dan pangan 5. 6. 7. Sebagai konsep untuk beraliansi (kerjasama, pen) dan membangun solidaritas Sebagai seperangkat kebijakan dengan tujuan-tujuan khusus dan Sebagai sebuah paket program-program sosial.

Pangan sangat penting bagi kehidupan. Karenanya, hak atas pangan merupakan perluasan dari hak asasi manusia paling mendasar untuk hidup. Sebagai kaidah hak asasi manusia kedaulatan pangan menegaskan baik hak-hak individu maupun hak kolektif sekaligus mendorong pengejawantahan hak-hak tersebut. Senantiasa menegakkan hak rakyat menentukan nasibnya sendiri serta kebebasan rakyat menjalankan aksi secara mandiri menuntut hak-haknya. Penegasan rakyat atas hak individu dan kolektifnya sendiri merupakan kedaulatan. Bagimanapun, kedaulatan pangan dalam kenyataannya berkembang melampaui wacana hakhak asasi manusia yang telah menjadi wacana elit semata. Inilah kenapa kata kedaulatan sengaja dipergunakan untuk menunjukkan bahwa konsep ini miliknya rakyat. Kedaulatan rakyat atas pangan merupakan sebuah kaidah demokrasi sejati, yang berarti bahwa segala sesuatunya berasal dari rakyat. Ini merupakan sebuah platform yang membela kekuasaan rakyat dan segenap tuntutannya atas kedaulatan. Tuntutan kedaulatan pangan mendorong demokrasi sepanjang hal tersebut merupakan aspirasi massa. Kedaulatan pangan memecahkan pertentangan antara hak-hak rakyat dengan apa yang dinamakan kekuatan pasar. Karenanya merupakan gerakan kebangsaan melawan imperialis sekaligus platform untuk melawan kebijakan-kebijakan neoliberal. Adalah seruan kepada rakyat di seluruh dunia agar bangkit melawan kepentingan imperialis yang dipaksakan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO yang didikte oleh kepentingan negara-negara adidaya dan perusahaan lintas-nasionalnya (TNCs).

Mengartikulasikan dan meluruskan perjuangan rakyat terhadap kebijakan pangan dan pertanian adalah salah-satu tujuan dari perjuangan kedaulatan pangan. Pangan dan pertanian merupakan hak dasar, karenya pendekatan advokasi kebijakan harus berdasarkan pada kekuatan rakyat, yang mendukung perjuangan langsung dari kekuatan massa pokok. Kedaulatan pangan menuntut agar supaya kebijakan perdagangan bebas yang mengijinkan perusahaan-perusahaan memegang kendali atas pertanian dan pangan dibatalkan. Lembaga seperti WTO harus hengkang dari masalah pertanian dan pangan. Kedaulatan pangan juga bertujuan untuk menegakkan kebijakan yang memperkuat sektor pertanian lokal (melalui reforma agraria dan membuka akses terhadap air, benih dan kredit). Juga melindungi kaum tani dan konsumen (dari serbuan pangan murah impor serta produk rekayasa genetika yang sudah kelewatan). Kedaulatan pangan juga merupakan konsep untuk membangun solidaritas dan kerja sama karena senantiasa mengusung kepentingan bersama berbagai sektor dalam masyarakat. Promosi kedaulatan pangan sangat penting bagi semua warga sebuah negara. Utamanya bagi petani pemilik dan kaum tani, nelayan, pekerja serta kaum miskin kota yang mewakili para produser pangan massa pokok. Juga sektor khusus yang memegang peranan penting dalam kedaulatan pengan seperti kaum perempuan, suku bangsa asli/minoritas, ilmuan pertanian dan pangan serta gerakan konsumen. Di samping itu kedaulatan pangan juga memiliki tujuan khusus yaitu memecahkan masalah-masalah pertanian dan pangan yang sedang mengemuka dewasa ini. Hal ini berarti harus memikirkan dengan sungguh-sungguh dan mendorong penerapan kebijakan-kebijakan, hukum, regulasi-regulasi, dan ukuran-ukuran yang menjamin akses rakyat atas pangan serta sumber daya untuk memproduksi pangan, dan juga melindungi sektor pertanian serta sektor dasar dan marjinal lainnya. Kebutuhan-kebutuhan berbeda dari setiap sektor harus dipertimbangkan.

Programsosial dan ekonomi harus dirancang dan dipastikan sesuai dengan keadaan masing masing sektor. Perhatian khusus harus diberikan kepada suku bangsa asli, kaum perempuan dan anak-anak. Mereka mengalami penderitaan berlipat-lipat di bawah penindasan dan diskriminasi patriarkal di bawah sistem kapitalis burjuis yang saat ini sedang berkuasa.

Daftar Pustaka Gamble, Andrew. Neo-Liberalism, Capital and Class, Autumn 2001, dalam http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3780/is_200110/ai_n8958965

Harvey, David, 2006. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapital, Yogyakarta: Resist Book. Held, David, 2004. Demokrasi dan Tatanan Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mugasejati, Nanang Pamuji dan Ucu Martanto (ed.), 2006. Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, Yogyakarta: Fisipol UGM. Patria, Neezar dan Andi Arief, 2003. Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Petras, James dan Henry Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Simon, Roger, 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press. Syah, Anup. Poverty Facts and Statistics Global Issues, dalam

http://www.globalissues.org/article/26/poverty-facts-and-stats, Wibowo, I., dan Francis Wahono, 2003. Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras. Winarno, Budi, 2003. Globalisasi dan krisis Demokrasi, Yogyakarta: Media Pressindo

Anda mungkin juga menyukai