Anda di halaman 1dari 3

Grew up in a small town And when the rain would fall down I'd just stare out my window

Dreaming of what could be And if I'd end up happy I would pray (I would pray) Trying hard to reach out But when I tried to speak out Felt like no one could hear me Wanted to belong here But something felt so wrong here So I prayed I could break away [Chorus:] I'll spread my wings and I'll learn how to fly I'll do what it takes til' I touch the sky And I'll make a wish Take a chance Make a change And breakaway Out of the darkness and into the sun But I won't forget all the ones that I love I'll take a risk Take a chance Make a change And breakaway Wanna feel the warm breeze Sleep under a palm tree Feel the rush of the ocean Get onboard a fast train Travel on a jet plane, far away (I will) And breakaway [Chorus] Buildings with a hundred floors Swinging around revolving doors Maybe I don't know where they'll take me but Gotta keep moving on, moving on Fly away, breakaway I'll spread my wings And I'll learn how to fly

Though it's not easy to tell you goodbye I gotta take a risk Take a chance Make a change And breakaway Out of the darkness and into the sun But I won't forget the place I come from I gotta take a risk Take a chance Make a change And breakaway, breakaway, breakaway

Selain pernah menjadi Presiden RI, Ketua Umum PBNU, Gus Dur adalah orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Doktor Kehormatan terbanyak. Sepanjang hidupnya, Gus Dur mendapatkan 10 gelar Doktor kehormatan. Inilah perjalanan hidup Gus Dur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Nama lengkapnya Abdurrahman Wahid. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek Gus Dur adalah KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara, kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny Hj Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Gus Dur, pernah secara terbuka pernah menyatakan bahwa dia memiliki darah Tionghoa. Gus Dur bilang bahwa dia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Pada tahun 1944, Abdurrahman Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk

sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Sejak muda, Gus Dur juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada bulan April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954. Dia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Gus Dur mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara dia melanjutkan pendidikannya sendiri, Gus Dur juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah sastra, yaitu majalah Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Setelah itu, Gus Dur belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mau menunjukkan kemampuan bahasa Arab, Gus Dur terpaksa mengambil kelas remedial. Gus Dur menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, Gus Dur berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Dia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas

Anda mungkin juga menyukai