Anda di halaman 1dari 4

DOK:K.

AZRIL ISMAIL

36

ULASAN

FOTOGRAFI DOKUMENTER KONTEMPORER MALAYSIA

SEJAK MUNCULNYA WACANA KRITIS DI DEKADE 1990-AN OLEH REDZA PIYADESA DAN TK SABAPATHY DI MEDAN SOSIAL SENIRUPA MALAYSIA, PERKEMBANGAN PESAT DALAM SENIRUPA KONTEMPORER MALAYSIA PUN TERJADI. TAPI SEPERTINYA PERKEMBANGAN INI ENGGAN MENGHINGGAPI FOTOGRAFI KONTEMPORER. BAHKAN PARA PEMILIK GALERI PRIVAT MALAYSIA PUN SEPERTINYA TIDAK MENGENAL GENRE INI.
aat perupa Eiffel Chong --yang lahir pada tahun 1977-memperlihatkan karya-karyanya kepada para pemilik galeri terkemuka di Malaysia, ia kerap kali mendapatkan komentar bahwa karya-karyanya Untungnya, para fotografer kontemporer muda di Kuala Lumpur telah memiliki wadahnya sendiri. Sebut saja bienale KLIP atau Kuala Lumpur International Photography di tahun 2005 yang walaupun singkat daya hidupnya juga telah memberi ruang bagi munculnya Francophile Angkor Photography Festival di Kamboja; atau Central Market Annexe di bulan Januari 2007 yang menjadi wadah bagi perupa-perupa lokal untuk memamerkan karya-karya mereka. Venue ini sendiri telah memamerkan beberapa pameran fotografi sepanjang tahunnya. Dan program direkturnya kebetulan adalah seorang fotografer yang handal. Ajang seperti CUT: New Photography from Southeast Asia yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 2008 di Valentine Willie Fine Art telah menjadi ajang reguler dalam kalender senirupa Malaysia. CUT sendiri berusaha untuk menampilkan survey

ZHUANG WUBIN

dengan mudah diciptakan oleh orang yang memiliki kamera telepon genggam. Komentar ini muncul berdasarkan asumsi bahwa para fotografer yang memanipulasi karyanya dengan photoshop adalah fotografer yang lebih handal daripada mereka yang memotret secara riil terlepas dari kerangka pemikiran penciptaan karyanya. Dengan kata lain, galeri-galeri ini akan menghiraukan karya-karya fotografer seperti Henri CartierBresson atau pun Daido Moriyama. Mereka pun akan mereduksi narasi fotografi kontemporer dibandingkan dengan karya yang dihasilkan melalui teknik dan teknologi. Ironisnya hal ini bukanlah hal yang asing mengingat dominasi fotograferfotografer salon dan klub-klub amatir fotografi di Malaysia.

Visual Arts OKTOBER 200

37
fotografer-fotografer baru yang diharapkan mempersembahkan respon-respon canggih dari para perupa-fotografer di kawasan yang mencari jawaban menyeluruh atas apa yang kita ketahui tentang diri kita dan masyarakat kita mengingat fotografi sekarang bukanlah semata-mata ala dokumentasi tapi juga medium untuk mempertanyakan isu-isu kontemporer seperti yang diungkapkan oleh kurator ajang ini, Simon Soon. Ajang-ajang seperti ini merupakan perkembangan positif dari medium fotografi yang kerapkali digunakan semata-mata dokumentasi di wilayah Asia Tenggara yang merupakan warisan penjajah kolonial. Fotografi memang pernah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan kolonial. Dan juga sangatlah wajar untuk menilai para fotografer muda kawasan ini akan melanggengkan stereotip tertentu pada karyakarya mereka. Sebuah pengamatan prematur yang dalam melihat perkembangan fotografi di kawasan Asia Tenggara ini. Terdidik di bidang ekonomi perburuhan di Australia, Azrul K. Abdullah kini adalah salah satu fotografer arsitektur terkemuka di Malaysia. Fotografi arsitektur adalah lahan pekerjaan yang sangat menggiurkan mengingat berkembangnya industri properti di kawasan ini. Tidak seperti teman sejawatnya, Abdullah memotret
DOK : AZRUL K. ABDULLAH

Ohio. Ia dididik oleh Duncan Snyder yang spesialisasinya adalah fotografi format besar yang tentunya mempengaruhi karya-karya Ismail di kemudian hari. Salah satu tujuannya sebagai fotografer adalah mendapatkan kualitas meditatif dari karya foto, tapi konsep ini tidaklah berguna di Malaysia. Sebagai komoditi, fotografi haruslah mudah dan murah. Sepulangnya ia ke Kuala Lumpur di tahun 2002, Ismail tak henti-henti memotret berbagai ajang untuk tugas-tugas editorial. Jepretan fotonya hanyalah mampu membayar makan siangnya. Dan kegamangan pun melandanya. Ia pun kemudian mulai melihat Penjara Pudu sebagai penjara tertua dan terlama di Kuala Lumpur. Penjara Pudu dibangun pada tahun 1891 dan selesai pada tahun 1895. Penjara ini terdiri dari 240 sel yang tersebar di tiga lantai, sebuah rumah sakit, sebuah bangunan kantor dan sebuah execution chamber di atas 10 hektar tanah. Sejak 1895, penjara ini telah menjadi tempat tahanan kriminal, politis, perang (semasa pendudukan Jepang). Penjara yang dirancang bagi 600 tahanan ini (dan pernah menampung sampai 6.000 tahanan) telah dikosongkan di penghujung 1996.

berbagai bangunan-bangunan tua dan yang masih berfungsi untuk karya-karya personalnya. Karya-karya fotografer yang kerap disebut sebagai accidental activist banyak digunakan dalam berbagai kampanye pelestarian bangunon kuno di Kuala Lumpur. Tidak seperti Malaka atau Penang, Kuala Lumpur adalah tempat yang temporal di mana banyak warganya tidak berasal dari kota tersebut. Mereka bermukim di Kuala Lumpur karena alasan ekonomi dan meninggalkan kota kelahirannya, ungkap sang fotografer. Selain mengabadikan berbagai bangunan kuno ala kolonial yang menjadi warisan budaya, Abdullah juga sering mengabadikan berbagai bangunan yang masih berfungsi. Dalam seri karyanya yang berjudul Four Buildings yang dia kerjakan sepanjang tahun 20002004, ia mengamati tangga berjalan dan pavement di empat bangunan di Kuala Lumpur. Berbeda dengan karya-karya komersialnya yang kerap kali lebih berwarna, karya-karya personalnya menggunakan cahaya natural dan cenderung memilih film hitam putih analog untuk menyampaikan beberapa nilai dalam karyanya. Hal ini muncul jelas terlihat dalam karya Pekeliling (2004 sampai sekarang) yang mendokumentasikasikan proyek perumahan publik pertama di Kuala Lumpur. Kehadiran bangunan yang terkesan kokoh ini menyimpan berbagai macam aspek menarik mengingat keberadaannya yang makin ditinggalkan oleh warganya. Sehingga sampai kini, ia menunggu penghancuran kompleks perumahan tersebut sebagai penghujung seri ini. Serupa dengan Abdullah, K. Azril Ismail pun tertarik dengan warisan budaya Kuala Lumpur dalam karya-karyanya. Tapi tempattempat yang menjadi pusat perhatiannya adalah tempat-tempat yang memiliki bobot kultural dan historis. Azril sendiri adalah lulusan jurusan fotografi Columbus College of Art and Design di

Halaman sebelumnya: K. Azril Ismail, Geliga, Sentul Works, Judul Proyek: Iron Dragons of Malaya Atas: Azrul K. Abdullah, Pekeliling Image title: Pekeliling (2004). Atrium Flat Pekeliling di Kuala Lumpur cukup unik karena ia terkenal sebagai tempat sampah dan juga tempat sejumlah upaya bunuh diri yang tidak dipublikasikan.

OKTOBER 200 Visual Arts

38

DOK : AZRUL K. ABDULLAH

Dari kiri ke kanan: Azrul K. Abdullah, Dead buzzers dari proyek dokumentasi berjudul Four Buildings

Melalui koneksi ayahnya yang kebetulan pengacara Maybank, Ismail berbekal kamera medium format Bronica SQ-Ai dan 100 rol film Ilford, ia pun memotret proyek Penjara Pudu ini selama empat bulan. Dan kemudian lahirlah seri karya Ismail yang berjudul Pudu Jails Graffiti: Aesthetics Beyond the Walls (2002 03). Secara garis besar ada dua kelompok imaji dalam seri ini. Pertama adalah karya-karya yang menggambarkan detil dari Penjara Pudu yang menjadi fokus utama seri ini; sementara yang lain adalah foto-foto grafiti yang ada di dinding penjara tersebut. Karya-karya jenis kedua yang direkamnya dengan bukaan besar dan tanpa flash secara personal memberikannya sebuah ranah dan waktu yang terbebas dari hiruk pikuk dunia fotografi komersial. Karya-karya inilah, yang sekali lagi, memberikan kesempatan langka untuknya berkutat dengan pikiran-pikirannya. Setelah menyelesaikan seri ini, Ismail pun kembali ke rutinitasnya sebagai fotografer lepas waktu. Dari tahun 2004-2006, ia pun melanjutkan kuliah magisternya di University of Malaya dan tesisnya adalah karya grafiti yang ia potret untuk seri Penjara Pudu. Sejak tahun 2007, ia pun bekerja sebagai dosen di FSRD MARA University of Techonology. Saat kita melihat subject matter dan visual style para fotografer ini, kita mendapat ketumpangtindihan dalam karya-karya baik Abdullah, Ismail dan juga Eiffel Chong. Seperti Abdullah, Chong juga memotret flat di Pekeliling. Karya-karyanya dirangkum dalam sebuah seri yang bertajukkan This used to be my Playground (2005 sekarang).Seperti juga karya-karya Abdullah dan Ismail, Chong pun meniadakan keberadaan manusia dalam karyakaryanya. Terlepas dari strategi visualnya, ia sebenarnya sangat tertarik untuk melihat keberadaan manusia dan ingatannya atas ruang; tapi pendekatannya berbeda dengan pendekatan sosial-politis yang dimiliki oleh Abdullah. Karya-karya Chong cenderung ahistoris. Terinspirasikan oleh buku Roland Barthes, Camera Lucida, karya-karya Chong banyak membicarakan tema kematian yang implisit dalam kegiatan memotret. Hal inilah yang membedakannya dengan teman-teman sejawatnya yang
Visual Arts OKTOBER 200

cenderung mengadopsi keberadaan fotografi dokumenter vis a vis karya-karya pelestarian warisan budaya mereka. Selain foto-foto sekitar flat Pekeliling, Universitas Limkokwing yang kosong, This used to be my penambangan besi di

Playground juga menampikan karya-karya tentang kampus Dengkil, Rumah Sakit Lady Templer di Cheras. Satu hal yang menjadi kesamaan tempat-tempat ini adalah kesemuanya adalah bangunan terlantar. Ia tidak memotret dengan kesadaran bahwa ia melalukan sebuah dokumentasi warisan budaya tetapi ia melihat bahwa tempat-tempat ini akan beralih fungsi menjadi sebuah tempat yang berbeda. Sebagai sebuah dokumentasi, kita pun dapat melihat benih-benih masa depan dalam karyanya. Yang saya mau adalah menghasilkan imaji yang jujur di mana sebenarnya tidak ada satu pun yang terjadi di level visual, ungkap Chong. Sebelum ia memperoleh gelar sarjana S1 di London College of Communication, ia adalah penggemar fotografi jalanan bak wartawan foto Magnum yang berkerja dengan kamera 35mm. Pendidikannya menilai metoda ini menghasilkan karyakarya yang tak kritis dan pintar. Untuk memenuhi persyaratan akademinya, ia pun terpaksa mengubah pendekatannya. Untuk gelar masternya di bidang Contemporary Art and Design Practice dari the University of East London, ia pun mengerjakan Institutionalized Care (2005 06), proyek besar pertamanya di Kuala Lumpur. Dengan menggunakan kamera Mamiya 6x7, karyakarya seri ini menampilkan berbagai peralatan dan instalasi yang mengartikulasikan penilaiannya yang ambivalen terhadap tempat-tempat ini. Karya-karya ini pun kemudian ditampilkan di CUT dan Singapore Internasional Photography Festival. Berbeda dengan Chong, Tan Chee Hon yang lahir di Muar adalah seorang fotografer jalanan dalam artian tradisional. Dilahirkan di sebuah keluarga Hokkien yang bekerja sebagai penyadap karet, Tan pindah ke ibukota Malaysia di tahun1995 untuk belajar di Kuala Lumpur College of Art. Sebagai mahasiswa Jurusan Seni Murni, ia pun diharuskan untuk mengambil mata kuliah Fotografi Dasar. Setelah kelulusannya di tahun 1997,

39

DOK : ABDUL RAHMAH ROSLAN

DOK : EIFFEL CHONG

Karya Effiel Chong, Untitled dari proyek dokumenternya yang berjudul Institutionalized Care

Abdul Rahman Roslan, Halal; Siti Aisah yang sedang sholat di kamar orang tuanya di mana ia dapat menemukan ketenangan. Umat Muslim melakukan sholat lima kali sehari.

tahun 1999 sampai 2000, sambil bekerja sebagai penjaga toko seorang seniman di Central Market, Tan berkolaborasi menyediakan foto bagi seorang kolumnis China Press, sebuah koran lokal berbahasa Mandarin. Pekerjaan inilah yang memaksanya untuk mendapatkan ide-ide segar secara rutin dan juga memperdalaman keahliannya dalam bidang fotografi. Kemudian, Tan menjadi seorang diarist dari kota angkatnya ini walaupun pijakan awalnya bukanlah untuk menggambarkan kota itu sendiri. Karya-karyanya yang kebanyakan dipotret dengan film hitam putih dan kamera 35mm menjadi bagian dari proyek besarnya yang berjudul Kuala Lumpur yang telah dimulainya di tahun 2004 dan berlangsung sampai sekarang. Kini cukuplah sulit untuk membayangkan Tan sebagai seorang perupa yang berjuang untuk hidup dengan menjual lukisannya di beberapa pameran. Hal ini secara sadar dihindari Tan yang karya-karya fotonya telah dipamerkan dalam ajang seperti Chobi Mela III di Dhaka ataupun Month of Photography di Tokyo. Berjalan-jalan di kota dan memotret adalah rutinitas paginya. Tapi tetap, seni adalah hidupnya. Dedikasi Tan ini juga dipunyai oleh Abdul Rahman Roslan yang lahir di Kuala Lumpur pada tahun 1985. Ia adalah fotografer yang mampu menjawab sebuah permasalahan yang rumit. Di malaysia, wartawan foto berkerja secara eksklusif dengan media atau pun kantor berita. Kemungkinan disebabkan oleh beratnya beban kerja mereka, kebanyakan warta foto tidak memiliki proyek dokumenter jangka panjang tentang negaranya. Di era digital seperti sekarang ini di mana semua orang menjadi fotografer dan proyek-proyek jangka pendek biasanya terlihat dangkal dan superfisial. Sebelum Roslan ada Nikt Wong yang berjuang menjadi fotografer dokumenter lepas waktu untuk beberapa tahun. Kebanyakan proyek Nikt difoto di luar Malaysia. Ia pun terpaksa menerima pekerjaan fotografi komersial setelah ia menikah.

PATI

adalah sebuah proyek dokumenter yang tumbuh dari

sebuah proyek jangka pendek milik Roslan yang menceritakan pengungsi China yang pergi ke Myanmar melalui Malaysia. Proyek yang ia mulai dari tahun 2007 ini masih ia lanjutkan sampai sekarang. PATI sendiri adalah sebuah singkatan Pendatang Tanpa Izin. Proyek ini pun bermula dari keingintahuannya tentang nasib para imigran. Jelaslah bahwa karya Roslan kental terpengaruhi oleh tradisi fotografi humanis. Halal (2008 sekarang) adalah proyeknya yang lain yang sangat personal. Sebagai seorang muslim, ia menilai liputan tentang Islam dari beberapa fotografer terkenal seperti John Stanmeyer dan James Nachtwey sangatlah superfisial. Islam bukanlah satu ditambah satu, ungkap Roslan. Kamu tidak dapat mereduksinya menjadi sesuatu yang sederhana. Dalam hal ini, Halal adalah reaksinya yang menentang pernyataan ini. Ia mendokumentasikan berbagai aspek tentang Islam di Malaysia. Kedekatan personalnya dengan seri ini menyulitkan Roslan untuk tidak menyampaikan penilaiannya tentang sesama umat muslim. Misalnya ia sempat memotret komunitas punk yang juga menjalankan ritual Islam; walaupun tatto yang mereka miliki mencegah mereka untuk berwudhu dengan sempurna. Di sinilah ia memberi batasan penilaiannya karena memang ia hadir tidak sebagai uztad. Secara garis besar, jelaslah terlihat bahwa pendekatan artistik yang dilakukan oleh para fotografer yang telah disebutkan sebelumnya ini sangat beragam. Oleh sebab itu, sulit untuk merangkum karya-karya mereka dalam satu pernyataan. Walaupun demikian, dibandingkan fotografi warisan kolonial, tidak ada satu pun proyek-proyek dokumenter yang dilakukan fotografer yang terlihat eksotis atau pun menampilkan sebuah hegemoni. Sebaliknya, karya-karya fotografer ini seakan-akan memberikan ruang bagi perbedaan baik lokal maupun asing. Dan hal inilah yang mempersatukan fotografer-fotografer dokumenter ini. [V]

OKTOBER 200 Visual Arts

Anda mungkin juga menyukai