Anda di halaman 1dari 3

Menjumpai Islam di Perahu Nelayan

Islam tidak hanya bisa dijumpai di masjid, tetapi juga dapat ditemui di perahu. Kedua tempat itu, bagi komunitas nelayan muslim di Mandar, merupakan medan di mana agama dan budaya lokal saling bergumulan.
Sejak dulu Indonesia diidentikkan sebagai bangsa maritim yang aktivitas kehidupan masyarakatnya tidak lepas dari laut. Sejak zaman nenek moyang, laut menyediakan sumber penghidupan yang melimpah, tetapi juga membentangkan banyak risiko. Gelombang dan badai, misalnya, kerap mengancam keselamatan para pelaut ketika mencari nafkah. Selain itu mereka berpandangan bahwa laut bukan hanya fenomena naturalistik, tetapi juga spiritualistik. Laut diciptakan oleh zat adikodrati, juga dijaga oleh roh-roh berkekuatan luar biasa yang niscaya mengganggu. Perkecimpungan manusia dengan laut yang penuh risiko itu lantas melahirkan berbagai ekspresi spiritualitas yang khas di komunitas nelayan muslim. Wujudnya adalah ritual-ritual yang pada dasarnya merupakan hasil perjumpaan antara ajaran Islam dengan tradisi lokal masyarakat. Hasil dari integrasi keduanya itulah yang kemudian disebut sebagai Islam lokal (hlm 6). Dalam kerangka wacana itulah buku Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal yang ditulis oleh Arifuddin Ismail hadir. Pernik-pernik ekspresi spiritualitas masyarakat nelayan Mandar di buku ini menggambarkan berlangsungnya pribumisasi Islam di dalam proses dialektika budaya. Kemenarikan buku ini bukan saja terletak pada narasi berlangsungnya dialog antara ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal hingga saling berintegrasi, tetapi lebih kepada analisis yang bersifat antropologis-teologis atas pelaksanaan ritual di komunitas nelayan. Seluk-beluk, prosesi dan tujuan ritual ditonjolkan, di samping simbol atau mantra yang digunakan. Dari situ makna ritual diusut dengan menekankan perspesktif emik guna memahami perilaku keagamaan dari sudut pandang pelakunya. Salah satu ritual nelayan Mandar adalah kuliwa yang dilakukan sebelum melaut. Biasanya dilakukan di perahu dengan menggunakan sejumlah makanan tradisional yang bernuansa simbolistis. Misalnya sokkol (ketan), tallo manu (telor burung), loka manurung (pisang kepok), loka tira (pisang raja), loka warangan (pisang ambon warangan), cucur miana (kue pelang) dan ule-ule (bubur). Sokkol dan tallo manu merupakan simbol pengharapan keselamatan, sementara loka, cucur dan ule-ule adalah simbolisasi pengharapan rezeki (hlm 154). Ritual ini

diisi pembacaan Barzanji, doa dan makan bersama yang ikuti oleh annangguru (kiai/ ustadz), ponggawa kaiyang (juragan perahu), ponggawa lopi (nahkoda perahu), sawi (nelayan) dan masyarakat sekitar. Ritual-ritual lain dilaksanakan sebelum menebang kayu untuk pembuatan perahu, atau ritual ketika proses pembuatan perahu. Terdapat pula ritual untuk mengungkapan rasa syukur setelah nelayan mendarat dengan selamat serta membawa hasil memuaskan, yaitu mabbaca-baca dan mappabuka. Ritual-ritual tersebut tidak semata-mata bernuansa religius, tetapi juga mengandung nilai kedermawanan yang berfungsi memelihara kohesi sosial. Aktivitas kebaharian nelayan tidak bisa dilepaskan dari unsur mistik. Kepercayaan terhadap penjaga laut masih cukup kental. Tetapi itu ditransformasikan sesuai dengan ajaran Islam, terbukti dengan masuknya beberapa nama nabi di dalam mantra-mantra mereka. Khususnya Nabi Khidir, atau bisa disebut Nabi Heler, yang menurut kepercayaan mereka diberi wewenang oleh Allah untuk menjaga laut. Begitu pula ketika berada di atas perahu, perilaku mereka diikat oleh norma-norma mistik yang berbentuk pemali atau larangan. Perilaku etis ketika melaut itu disangkutkan dengan penghormatan kepada makhlukmakhluk gaib di laut agar tidak mengganggu keselamatan. Pemali itu misalnya bicara kotor atau bertengkar, membuang sisa makanan ke laut seenaknya, menyebut kata-kata yang bermakna pesimistik, dan sebagainya. Corak religiusitas nelayan Mandar cenderung sufistik. Itu dapat ditilik dari pandangan mengenai rezeki dalam sangkutannya dengan aktivitas kenelayanan. Mereka lebih memilih rezeki yang barakkaq (berkah), ketimbang hanya melimpah. Barakkaq hanya bisa didapatkan dengan cara halal, sekaligus berimplikasi baik tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga orang lain. Basis filosofis itulah yang kemudian melandasi etika sufistik puncak yang mereka sebut sebagai mappaccingi alawe, yakni pembersihan diri dari rezeki yang tidak halal (hlm 221). Buku ini memberikan paparan cukup berarti dalam mewacanakan Islam lokal yang sebenarnya merupakan corak khas wajah Islam Indonesia. Di tengah menguatnya gerakan-gerakan puritanisme keagamaan yang cenderung memusuhi tradisi-tradisi masyarakat, wacana Islam lokal perlu terus didorong ke permukaan. Musyafak, peminat kajian sosial keagamaan, anggota staf Balai Litbang Agama Semarang Judul Buku Lokal Penulis Penerbit Tahun : Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya : Dr. Arifuddin Ismail : Pustaka Pelajar : Cetakan I, Juni 2012

Tebal ISBN

: xvi + 242 hlm : 978-602-229-049-0

Anda mungkin juga menyukai