Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, diperlukan sumber daya manusia (SDM) dengan kualitas tinggi yang memiliki keahlian, yaitu mampu bekerja sama, berpikir tingkat tinggi, kreatif, terampil, memahami berbagai budaya, mampu berkomunikasi, dan mampu belajar sepanjang hayat (life long leaning) (Trilling and Hood, 1999: 5). SDM yang berkualitas akan menjadi tumpuan utama agar suatu bangsa dapat berkompetisi. SDM yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa khususnya pembangunan di bidang pendidikan. Menurut Tilaar (1998 : 48) terdapat tiga tuntutan terhadap SDM bidang pendidikan dalam era globalisasi, yaitu: SDM yang unggul, SDM yang terus belajar, dan SDM yang memiliki nilainilai indigenous. Terpenuhinya ketiga tuntutan tersebut dapat dicapai salah satunya melalui peningkatan kualitas SDM dengan jalur pendidikan. Dalam proses penyelenggaran pendidikan, kegiatan pembelajaran memegang peranan penting dalam membentuk kualitas SDM. Namun sayangnya kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Global Competitiveness Report 2011/2012 menyebutkan bahwa tingkat persaingan global suatu negara antara lain ditentukan oleh kualitas pendidikan negara tersebut, dan mencatat daya saing Indonesia berada di peringkat 46 dari 142 negara, jauh dibawah negara tetangga. Kualitas pendidikan

yang rendah berdampak pada Human Development Index (HDI). Sebagaimana laporan UNDP, HDI yang dirilis tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke 124 dari 187 negara yang dipublikasikan HDI dengan indekx 0.617. Informasi menggenai rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia semakin hari semakin banyak diperbincangkan, baik media masa online maupun cetak dipenuhi dengan tulisan tentang rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Muztaqim Mumtazz (Tribuners.com Minggu, 6 Mei 2012 07:35 WIB) dalam tulisannya tentang Kesalahan Paradigma Di Indonesia mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia dianggap masih rendah oleh banyak kalangan. Hal ini bisa dilihat dari lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja. Ketidaksiapan dalam memasuki dunia kerja ini salah satunya diakibatkan karena rendahnya kecakapan hidup (life skill) yang dimiliki SDM. Kualitas pendidikan yang rendah menyebabkan kealitas SDM menjadi rendah. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas SDM agar dapa bersaing di masa yang akan datang kita perlu meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Pendidikan diselenggarakan untuk memastikan bahwa peserta didik memiliki kecakapan untuk hidup di masyarakat (Nurohman, 2008:121). Keberhasilan suatu sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu sistem pendidikan yang baik harus mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk memberikan kecakapan hidup pada peserta didik.

Kualitas SDM dapat diukur dari aspek-aspek kecakapan hidup yang dimilikinya. Oleh karena itu untuk peningkatan kualitas pendidikan yang hasilnya adalah SDM berkualitas sangat penting untuk melakukan proses pembelajaran yang berorientasi pada kecakapan hidup untuk meningkatkan daya saing bangsa (Fitrihana, 2005:281). Pada makalah yang dimuat dalam prosiding Konferensi

Internasional Pendidikan, UPIUPSI, Malaysia (2009:1) Sri Handayani mengemukakan : Implementasi life skills dalam pembelajaran di sekolah kini menjadi dimensi penting dalam proses pendidikan di Indonesia untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) pembangunan yang bermutu guna menjawab tantangan globalisasi yang keberadaannya tidak mungkin terhindarkan untuk tetap dapat bertahan dalam persaingan kehidupan di masa-masa mendatang. Berdasarakan uraian di atas sangat jelas bahwa suatu proses

pembelajaran perlu dirancang secara terprogram untuk menumbuhkan aspekaspek kecakapan hidup pada diri peserta didik. Salah satu kecakapan hidup yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah ketrampilan berpikir (thinking skill) (Depdiknas, 2003). Galbreath (1999) mengemukakan bahwa, pada abad pengetahuan, modal intelektual khususnya kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill) merupakan kebutuhan sebagai tenaga kerja yang handal. John Dewey (1916, dalam Johnson, 2002) berpendapat bahwa sejak awal mengharapkan agar siswa diajarkan kecakapan berpikir. Degeng (2003) mengemukakan para lulusan sekolah sampai perguruan tinggi, di samping memiliki kemampuan vokasional (vocasional skills), juga harus memiliki kecakapan berpikir sehingga Bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa

buruh (Aryana, 2006: 496). Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya salah satunya ditentukan oleh ketrampilan berpikirnya, terutama dalam upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan IPA yang merupakan bagian dari pendidikan nasional diharapakan dapat ikut andil dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. IPA yang syarat akan kegiatan berpikir dapat menjadi wahana baru untk mengembangkan SDM yang berkualitas. Dengan pembelajaran IPA, peserta didik diharapkan terlatih untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya (thinking skill) dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Hakikat pembelajaran IPA adalah pembelajaran yang mampu

merangsang kemampuan berfikir siswa (Puskur, 2003). meliputi empat unsur utama yaitu sikap, proses, produk, dan aplikasi konsep sains dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran sains keterlibatan keempat unsur ini, diharapkan dapat membentuk peserta didik memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru. Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran IPA adalah prestasi belajar siswa yang masih rendah. Rendahnya prestasi belajar siswa tersebut tercermin pada kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada prestasi para siswa Indonesia dalam ajang internasional yaitu TIMSS (Trend in International Mathematics and Science Study) tahun 2007 dalam bidang IPA, Indonesia menduduki peringkat 35 dari 49 negara yang berpartisipasi.

Sementara itu, prestasi literasi sains pada PISA (Programme for International

Student Assessment) tahun 2009, Indonesia menempati urutan 60 dari 65 negara. Kondisi tersebut merupakan hasil pembelajaran yang masih bersifat

konvensional, dimana proses pembelajaran didominasi guru dan tidak memberikan akses bagi siswa untuk berkembang secara mandiri penemuan dan proses berpikirnya. . Namun, sampai saat ini, kecakapan berpikir belum ditangani secara sungguh-sunguh oleh para guru di sekolah. Berdasarkan penelitaian Selama ini guru mengajar peserta didik dengan target kurikulum dan nilai Ujian Nasional. Kondisi tersebut mengakibatkan aktivitas belajar siswa rendah dan kemampuan berpikir siswa tidak berkembang. Menurut Carin dan Sund (1993) dalam Puskur (2007: 3) mendefinisikan Sains sebagai pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur berlaku secara umum (universal) dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Sehingga untuk mendapatkan dan memahami pengetahuan fisika secara mendalam hendaknya diperoleh melalui suatu proses yang melibatkan penalaran rasional dalam kegiatan pemecahan masalah dengan menggunakan metode ilmiah yang meliputi penyusunan hipotesis, perencanaan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. Melalui kegiatan pemecahan masalah dan metode ilmiah itulah diharapan peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara langsung, utuh dalam mempelajari fenomena-fenomena fisis dan menemukan fakta/pengetahuan baru untuk memahami konsep-konsep fisika seperti layaknya para ilmuwan. melalui

Pada masa sekarang masih banyak guru yang menerapkan metode ceramah dalam pembelajaran. (

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditentukan identifikasi masalahnya, yaitu: 1. Masih rendahnya pendidikan di Indonesia sehingga berpengaruh pada kualitas SDM. 2. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah masalah bagaimana mengajarkan kemampuan berfikir (Thinking skills) kepada siswa di sekolah sehingga bisa memperbaiki belajar siswa. 3. terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. 4. Proses pembelajaran tidak diarahkan untuk mengoptimalkan thinking skill siswa, membentuk manusia cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta tidak diarahkan untuk membentuk manusia kreatif dan inovatif. 5. Lembar kerja siswa (LKS) yang digunakan di SMA Negeri 1 Mertoyudan merupakan LKS yang berbasis pada model pembelajaran konvensional dimana kegiatan praktikum hanya bersifat melakukan suatu percobaan saja.

6. Pengembangan LKS berbasis reasoning and problem solving pada mata pelajaran fisika belum banyak diterapkan sehingga siswa belum secara maksimal mengoptimalkan thinking skill.

C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, agar permasalahan yang akan dikaji lebih terarah maka pengembangan LKS masalah-masalah tersebut berbasis Reasoning and penulis Problem membatasi Solving pada untuk

mengoptimalkan kemampuan berpikir (Thinking Skill) siswapada sub pokok bahasan ... dengan menggunakan model pengembangan 4-D (Four D Models). LKS ini akan diujicobakan di SMA Negeri 1 Mertoyudan.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan

pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimanakah format LKS berbasis Reasoning and Problem Solving ? 2. Bagaimana kelayakan LKS berbasis Reasoning and Problem Solving ? 3. Apakah LKS dengan format berbasis Reasoning and Problem Solving yang dikembangkan dapat digunakan untuk mengoptimalkan kemampuan berpikir (Thinking Skill) siswa?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan LKS dengan format berbasis Reasoning and Problem Solving yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan kemampuan berpikir siswa. 2. Mengetahui kelayakan LKS berbasis Reasoning and Problem Solving. 3. Mengetahui peningkatan thinking skill siswa setelah menggunakan Reasoning and Problem Solving.

F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pembaca, khususnya para guru dan calon guru. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian : 1. Bagi Guru dan calon guru : dapat memanfaatkan LKS yang dikembangkan untuk mengoptimalkan thinkinng skill siswa. 2. Bagi Peneliti : menambah wawasan pendekatan pembelajaran fisika khususnya pendekatan STM serta pengembangan LKS.

Anda mungkin juga menyukai