Anda di halaman 1dari 1

Jadi haruskah seorang pemimpin adalah seorang intelektual? Saya rasa tidak.

Namu n yang pasti walaupun seorang pemimpin bukanlah seorang intelektual murni, ia te tap harus memiliki kehidupan intelektual yang kaya. Artinya mereka harus mampu b erpikir kritis, analitis, teknis, sekaligus reflektif, walaupun bukan seorang il muwan ataupun intelektual murni. Mereka harus cinta membaca, mendengar wacana il miah, dan berani mengajukan pendapat secara rasional dan seimbang di dalam menan ggapi berbagai temuan ilmiah yang ada. Sekarang ini banyak orang merasa tidak perlu berpikir teoritis. Bagi mereka teor i dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Yang penting adalah prakteknya bagaim ana. Teori yang abstrak dan rumit tidak perlu untuk dipahami, karena hanya membu ang waktu dan tenaga. Namun bukankah masalah yang kita paham seringkali amat rumit, sehingga praktek y ang tidak memperhatikan kerumitan tersebut justru akan memperparah masalah yang ada? Masalah yang sering kita alami dalam hidup sehari-hari tidak pernah terisol asi dari masalah-masalah lainnya yang lebih besar. Misalnya masalah kemalasan be rpikir pekerja Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan sistem politik pem erintahan yang lebih besar. Di titik inilah kemampuan berpikir abstrak, teoritik , dan kompleks diperlukan. Tanpa kemampuan berpikir abstrak, dan penguasaan teori-teori yang memadai, kita tidak akan dapat memahami akar dari masalah yang kita hadapi. Jika akar masalah tidak dipahami, maka tindakan yang kita lakukan (prakteknya) akan sia-sia, atau justru memperparah masalah. Saya tidak mau mengatakan, bahwa seorang pemimpin se kaligus adalah seorang ahli pendidikan, ekonomi, ataupun ahli politik. Namun seo rang pemimpin harus mampu berdialog secara rasional dengan para ahli di bidang-b idang tersebut, supaya mampu memahami akar dari masalah yang ia hadapi, dan memb uat keputusan yang tepat. Dengan demikian kemampuan berkomunikasi dengan kaum intelektual adalah satu kema mpuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. kaum intelektual adalah konsumen y ang cerdas dari pendapat-pendapat para ahli. Mereka tidak asal terima pendapat para ahli, namun menelaahnya dulu secara kritis, dan disesuaikan dengan konteks masa lah yang terjadi. Mereka tidak terpesona dengan gelar dan reputasi para ahli, na mun sungguh bisa memahami pendapat mereka, serta menyesuaikannya dengan konteks masalah yang tengah dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai