Anda di halaman 1dari 47

The Principles of Media Criticism This was written some time around 1997.

For a more recent (and more detailed) treatment of the current state of the media, see Big Media & Bad Criticism. ________________________________________________________ Media criticism is in an undeveloped state, today, largely because the mainstream media allows virtually no open discussion of the subject. Some criticism that does get to the public, of course, but most of it is corrupted by the same forces that have turned the rest of the media into a source of manipulation. The selections below attempt to correct this conspiracy of silence by offering readers an introduction to the field that will allow them to see the larger trends that define much of the media. The selections focus on the following characteristics of contemporary culture and society: * The fact that all centers of power today rely on media and that all use sensory manipulations and simulations, along with story lines, rhetoric, and performances to sell audiences products, candidates and ideas. * The fact that most media, today, from news to advertising, rely on spectacle, simplification and exaggeration to grab and hold audiences. * The fact that the news media has become a part of the power and economic system that it is supposed to report on. Instead of standing at a distance from events and trying to provide an accurate account, all too often it is just another inside player manipulating information for its own ends. This not only means that media companies have a conflict of interest but also that journalists who would prefer to be honest end up subordinating themselves to those in power in their own organizations and shaping their coverage accordingly. It also means that media criticism that isn't afraid to report on what is taking place is now essential to the maintenance of democracy. * The fact that much of media is beset by idealization and demonization in which media manipulators depict themselves and their allies as heroes and saints, and their opponents or targets as villains, fools and disturbed characters, both to create exciting stories and win battles.

* The fact that the media today is pervaded by missing information. What is missing is precisely the information above, which would discredit the system and result in reforms that would lock out many of those who now work the system for their own benefit.

* The fact that all media today is a form of action. Stories, rhetoric, sensory images and manipulated impressions are all efforts to influence people's perceptions and action, evoke fears and desires, and play to values. The omission of information from the media is a form of action, as well. * Finally, the fact that the media today is also full of efforts to get at the truth, which are often disguised or limited in various ways. Many of these efforts to tell the public the truth can be found in the fictions of movies and television which openly depict the con artist culture we now live in and the corruption of the media. These propositions have to form the core of any theory of media criticism and any theory that seeks to describe contemporary society. The following selections are intended to provide overviews that will introduce and expand on these ideas.

Telaah Dasar Teori Kritis Jerman PENGANTAR Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.

Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia bisa tidur nyenyak dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi. Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya[i]. Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspekaspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia[ii]. Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada, tetap dilihat sebuah proses di mana manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas, komunikasi dan teknologi modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia. Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia. Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia peroleh. Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada. Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia. Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena modernitas yang menjanjikan tapi juga kalau tidak hati-hati menjerumuskan. Meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis.

Untuk memahami secara lebih luas Teori Kritis, penulis mencoba untuk membuat wacana kecil yang didasarkan dari buku Seyla Benhabib yang berjudul CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA: A Study of The Foundations of Critical Theory (selanjutnya akan disebut CNU). Buku Seyla Benhabib ini dipilih karena dalam buku ini termuat beberapa argumen inti pemahaman Seyla Benhabib terhadap Teori Kritis. Argumentasi Seyla Benhabib begitu solid dan komprehensif mengkritisi beberapa kata kunci dalam aliran Teori Kritis. Penulis akan membagi tulisan dalam makalah ini dalam tiga bagian inti. Bagian pertama penulis akan lebih banyak menulis tentang Teori Kritis dari tinjauan historis dan beberapa istilah dan pemahaman kunci dalam Teori Kritis. Bagian kedua, penulis mencoba untuk melihat secara ringkas pandangan Seyla Benhabib beberapa aspek teknis dan metodologis penulisan buku. Bagian ketiga, meski dalam bentuk yang sangat sederhana, penulis mencoba merekonstruksi bangun argumentasi Seyla Benhabib mengenai dasar-dasar Teori Kritis dalam buku tersebut. Pada bagian ini juga, penulis memberikan beberapa konsiderasi kritis atas bangun argumentasi yang dibangun oleh Seyla Benhabib[iii]. ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory): Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut fr Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya[iv]. Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx,

meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat khususnya filsafat sosial pada waktu itu[v]. Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme). Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud. Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia. Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu

diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant. Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin Jay, pp. 42). Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba

mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia. Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul Das Kapital, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis. Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis. Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami rekonfigurasi sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern. Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling

dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks. Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia[vi]. Namun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada sesuatu yang hilang pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai kesadaran palsu. Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual dalam tataran mikro dan masyarakat dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis Studien ber Autoritt und Famili (Sindhunata, 1983). Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas. Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia

dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika. Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE). Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi[vii] (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya. Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik. RANCANG BANGUN Seyla Benhabib DALAM BUKU CRITIQUE, NORM AND UTOPIA Seyla Benhabib (seorang perempuan) adalah seorang pemikir teori kritis. Dia merupakan intelektual sistematik yang mempelajari seluk beluk Teori Kritis. Dia adalah penerima bea siswa Alexander von Humboldt dari juni 1979 sampai Desember 1981 pada Max Planck Institutes fur Erforschung der Leben. Seyla Benhabib belajar langsung di bawah bimbingan Jurgen Habermas dan C.F. von Weizsacker.

Seyla Benhabib menulis buku ini dengan membagi dua bagian besar buku yang mempunyai isi yang berbeda. Meski berbeda tapi dua bagian besar itu tetap memperlihatkan hubungan yang sangat erat. Bagian pertama buku ini lebih banyak berisi pandangan dan perspektif Seyla Benhabib atas konsep kritik dalam karya Hegel berikut transformasi pengertian kritik dalam pandangan Karl Marx. Dalam bagian kedua, Seyla lebih banyak menyatakan transformasi konsep kritik dalam pengertian Hegel dan Marx diradikalisasikan oleh Sekolah Frankfurt, khususnya dalam pandangan Horkheimer dan Adorno. Pada bagian ini, Seyla Benhabib juga menambahkan refleksi kritik akal budi fungsionalis dalam masyarakat pasca-kapitalis yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Seyla Benhabib dalam buku ini lebih kuat dalam penalaran penelusuran tematik yang dibicarakannya dengan menyertakan konteks sosial, historis, konseptual dari ragam teori yang dibicarakan. Seyla Benhabib berkata: in general, to understand a philosophical argument and to evaluate its cogency, it is necessary to know the questions and puzxles which such an argument proposes to answer. To understand these questions and puzzles, in turn, it is necessary to reconstruct those social, historical dan conceptual contexts which form the horizon of inquiry of different theories. (CNU, hal. x) Tujuan utama penulisan buku ini adalah pengembalian dan penyusunan kembali ketidakjelasanketidakjelasan dalam proyek-proyek Teori Kritis terutama dalam konteks perkembangan teoritis yang ada[viii]. Seyla Benhabib memulai diskusi proyek Teori Kritis dengan mencoba untuk menarik kilas dasar metode kritik imanen Hegelian. Dalam wacana filsafat modern, metode imanen sering disebut dengan metode penelitian filsafat non kriteriologis. Metode non kriteriologis ini menarik untuk dibahas karena peneliti diperkenankan untuk mengkritisi argumen kontra dengan

memperlihatkan inkonsistensi internal atau kontradiksi internal yang ada dalam setiap teks proposisi filosofis yang dikritisi. Hegel mengkritisi teori hak kodrat dengan mengkritisi aspek

internalnya. Sedemikian juga halnya, Marx mengkritisi teori hak kodrat modern John Locke dan Kant sebagai hal yang preskriptif dan ideologis. Bab kedua memperlihatkan dasar temuan Hegelian atas makna kerja dan prinsip emansipasi. Seyla Benhabib lebih condong memprioritaskan tulisannya pada tulisan Hegel yang berjudul The phenomenology of Spirit. Secara umum, tulisan pada bab II ini lebih banyak mendiskusikan filsafat subjek. Filsafat subjek tidak ditolak tapi justru dipertegas melalui tulisan Marx dalam Manuscripts 1844. Model tindakan sosial manusia dan dasar rasionalitas kritik sangat diperlukan dalam seluruh pemahaman Teori Kritis. Model kerja tersebut sebetulnya telah diperkenalkan oleh Hegel dalam proses eksternalisasi manusia, tapi hal itu diubah oleh Karl Marx sebagai produksi[ix]. Tindakan kerja manusia ini juga akan menjadi tema utama dalam Teori Kritis. Pengembangan lebih lanjut filsafat subjek yang akhirnya menempatkan kerja sebagai unsur vital dalam Teori Kritis selain dalam pemikiran Marxisme Ortodox. Bab keempat buku Seyla Benhabib lebih banyak berisi argumentasi Seyla Benhabib melawan makna tindakan dan filsafat subjek. Dalam argumentasinya, Seyla Benhabib mencoba membagi dua dimensi inti argumennya, yaitu dimensi klarifikasi filosofis atas konsep tindakan, interpretasi dan otonomi. Dimensi lainnya adalah dimensi kritik Seyla Benhabib atas model kerja dari tindakan dan filsafat subjek berikut implikasinya terhadap teori sosial yang ada. Kritik Seyla Benhabib ini terpecah dalam soal analisis Marx atas kapitalisme, diagnose Aliran Frankfurt atas masyarakat state-capitalist dan teori Habermas atas masyarakat kapitalisme lanjut. Tataran wacana terakhir akan menyatakan pandangan Seyla Benhabib tentang pertanyaan: apa yang bisa dipelajari dari kritik Hegel atas teori Kant dalam konteks pengembangan program etika komunikatif dan otonomi ? Keberatan Hegel atas prinsip universalibitas Kant menjadi pegangan teks terakhir ini. Dalam kaitan ini, prinsip kritik Hegel ini akan dielaborasikan dengan prinsip keadilan prosedural John Rawls sebagai penganut neo-kantisme (Rawls, 1974)[x]. Konsep norma dan utopia selalu mengandaikan politik pemenuhan dan politik transfigurasi. Dalam hal ini, Seyla Benhabib melihat bahwa politik pemenuhan dan politik transfigurasi juga mempengaruhi pola pandangan Teori Kritis dalam seluruh perkembangannya.

Hal-hal di atas merupakan beberapa hal pokok terutama ketika kita melihat beberapa konsep kunci yang diperlihatkan oleh Seyla Benhabib. Seyla Benhabib sebagai seorang penulis tidak hanya sekedar menulis mengenai apa saja dasar-dasar Teori Kritis tapi secara jeli juga memberikan penilaian kritis terhadap Teori Kritis itu sendiri. Itulah sifat kritik imanen yang dikembangkan terus oleh Seyla Benhabib dalam bukunya. BEBERAPA WACANA KUNCI ARGUMENTASI Seyla Benhabib: Kritik, Norma Etis dan Utopia Setelah kita melihat rancang bangun buku yang ditulis oleh Seyla Benhabib, maka penulis akan mencoba untuk mendalami beberapa argumentasi yang dia bangun secara sistematis. Dalam bukunya ini, Seyla Benhabib banyak mengandaikan kemampuan pembaca untuk berdialog dengan para pemikir Jerman baik dalam era Aufklarung maupun era Modern. Wacana Pratama: KRITIK Berbicara tentang Teori Kritis tidak bisa dipisahkan dengan wacana kritik. Kekuatan Teori Kritis terletak pada kemampuan elaborasi kritik dalam situasi dan kondisi tertentu. Sudah sejak awal Teori Kritis mengambil sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan dalam hal ini teori tradisional dan masyarakat. Teori Kritis secara lengkap memberikan pendasaran kritik pada krisis teori tradisional yang melulu mempertahankan status quo yang ada, teori yang memisahkan teori dan praksis tidak berkecimpung dalam penerapan praktis sistem teoritis konseptualnya. Oleh sebab itu, penolakan Teori Kritis terhadap preskriptivisme dan filsafat sosial tradisional merupakan warisan Hegel. Kritik imanen menjadi sangat krusial dalam seluruh pembangunan sebuah teori yang akhirnya memerdekakan manusia. Kritik imanen adalah kritik yang pertama dan utama atas dogmatisme dan formalisme pengetahuan yang ada. Kritik imanen yang dikembangkan oleh Teori Kritis adalah kritik dogmatisme positivisme yang mendasarkan pada pemikiran August Comte dan Francis Bacon, juga kritik atas formalisme deduktif Aristotelianisme yang kaku. Kritik imanen mau mengatakan bahwa isi dan bentuk, yang apa adanya dan seharusnya, harus direfleksikan pada dasar kesadaran yang terikat pada bentuk kehidupan.

Seyla Benhabib mengatakan bahwa Hegel mengkritisi bifurkasi (entzweiung) masyarakat modern yang tercermin melalui teori hak kodrati dari titik pijak utopia yang retrospektif. Menurut Marx, bifurkasi lebih bersifat prospektif: penyatuan yang universal dengan yang partikular. Dalam dua kasus tersebut, masyarakat modern dan teori hak kodrati dikritik dalam dalih atas nama idea kebersatuan. Kritik dalam pengertian Hegel dipengaruhi oleh keberadaan polis. Sementara itu, kritik Marx dilihat dalam kondisi medan sosial yang antagonistik. Seyla Benhabib melihat bahwa proses berpikir bifurkasi de-diferensiasi Hegel dan Marx untuk konteks di atas tetap tidak dapat dipisahkan dari pandangan kehidupan etis dan politis yang de fakto antagonistik dalam masyarakat modern. Seyla Benhabib berpendapat bahwa pemahaman yang luas warisan Hegel dan ajaran Marx di atas harus dipahami dalam kritik yang lebih konkret. Maka Seyla Benhabib memberikan beberapa tesis pelengkap atas kritik yang ada. Pertama adalah fakta kritik Hegelian atas teori preskripsi normatif yang ada dan memang terjadi perubahan mendasar dari pemikiran praktis Aristotelian menuju filsafat praksis. Maka, Seyla Benhabib menambahkan konsep

intersubjektivitas dan transubjektivitas[xi] dalam wacana subjek Hegelian. Tidak berhenti di situ saja, Seyla Benhabib juga memberikan kritik tajam atas pandangan Marx tentang emansipasi. Menurutnya, emansipasi harus dibagi dalam dua pengertian yang jelas: pemenuhan dan transfigurasi. Terminologi pemenuhan (fulfillment) dan transfigurasi adalah konsep yang berbeda dengan emansipasi. Terminologi pemenuhan dan transfigurasi lebih bersifat substantif dan normatif. Sifat yang sama juga dialami oleh term intersubjektivitas dan transubjektivitas. Terminologi pemenuhan lebih mengacu pada nilai Marxian sementara transfigurasi lebih mengacu pada ide Hegel. Intersubjektivitas dan transubjektivitas lebih bersifat konstitutif pada negara modern. Dalam masyarakat seperti inilah, wilayah tindakan dilembagakan dan dilaksanakan melalui hukum yang terbuat secara tidak sengaja oleh agen sosial atau hanya bisa diselidiki oleh subjek transubjektif. Menurut Seyla Benhabib, Teori Kritis bermaksud untuk mendemistifikasikan kekuatan domain sosial tersebut atas kehidupan individu, dan mengembalikan seluruh interpretasi dan tindakan sosial pada masing-masing individu itu sendiri. Seyla Benhabib berpendapat bahwa kelemahan pandangan Marx dalam hal ini lebih terletak pada term re-approsiasi. Re-approsiasi lebih

bermakna ketika filsafat subjek dikembalikan lagi pada posisi sosialnya dari pada hanya sekedar mengedepankan intersubjektivitas. Seyla Benhabib mengembangkan argumentasi intersubjektivitas dan transubjektivitas. Tesis Seyla Benhabib adalah diskursus intersubjektivitas dan transubjektivitas menjadi pokok masalah dalam pembahasan Teori Kritis. Hegel dan Marx tidak mengasumsikan kerja sebagai karya individu yang terisolasi. Kerja selalu bersifat sosial. Oleh sebab itu, kerja sebagai proses realisasi diri tidak dipahami sebagai kerja individual tapi komutatif atau kolektif. Hegel dan Marx ternyata justru bersifat transubjektif dalam melihat kerja kolektif . Kritik Hegelian dan keberatan atas teori hak kodrati merupakan kesatuan bersama pada tingkatan kehidupan etis. Menurut Seyla Benhabib, Hegel melihat sejarah sebagai keniscayaan sosial, etika dan idealisme nilai. Filsafat sebetulnya dipakai untuk mengurangi bifurkasi dalam kehidupan manusia. Tapi masalah dalam epistemologinya, Hegel tidak memberikan pandangan yang utuh atas seluruh proses manusia, termasuk di dalamnya cara pandang, tata nilai, interpretasi dan tindakan sosial. Kritik anthropologis Marx terhadap Hegel lebih memanusiakan filsafat sejarah Hegel. Tapi tetap saja, kritik Marx merupakan model normatif atas emansipasi. Ketidakakurasian kategori Marxian atas objektifikasi untuk mengkarakterisasikan aktivitas komunikatif dan kegagalan paradigma Hegel atas nilai eksternalisasi membawa pengaruh yang tidak sedikit dalam pemahaman Teori Kritis. Objektifikasi dan eksternalisasi didasarkan pada model teleologis intensional tindakan manusia. Wacana II: Norma dan Transformasi Kritik Dalam wacana selanjutnya, Seyla Benhabib mencoba mencatat tingkat radikalisasi dan transformasi kritik Hegel dan Marx yang dilakukan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Dalam kaitan dengan kritik rasionalitas, Teori Kritis jelas telah mengambil sikap dalam empat karakter utama, yaitu Teori Kritis selalu bersifat historis. Perkembangan Teori Kritis selalu mengacu pada situasi masyarakat yang konkret dan berpijak dan tidak berjarak dari realitas, Teori Kritis disusun dalam keterlibatan aktif dan historis dari para pemikirnya, Teori Kritis tersusun dalam proses kecurigaan kirtis terhadap masyarakat aktual, yang bermaksud untuk menelanjangi manipulasi-manipulasi ideologi ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat.

Teori Kritis, terutama ditujukan untuk menjadi teori yang bertujuan praktis. Teori Kritis mengambil sikap untuk tidak netral. Seyla Benhabib pada bagian ini lebih mau mendiskusikan posisi Teori Kritis dalam seluruh konteks transformasi kritik Hegelian dan Marxian dalam perspektif Teori Kritis. Keterbatasan dan kelemahan metodologis epistemologi Hegel dan Karl Marx memperlihatkan perlunya penjernihan makna kritik dan norma sosial. Kelemahan kedua filsuf itu terletak pada ketidakmampuan kedua filsuf tersebut membumikan proses kritik imanen dan pencerahan yang sebetulnya menjadi cita-cita teori yang mereka buat. Dengan demikian perlu ada eksplorasi transformasi proyek kritik dengan menggunakan konsep kritik imanen, kritik defetishsasi dan kritik sebagai diagnosa krisis. Pola dominan yang dipunyai Teori Kritis dalam pembahasan ini adalah bahwa kritik Hegelian dan Marxian ditransformasikan menjadi kritik atas rasio instrumental[xii]. Inti kritik rasio instrumental Horkheimer, menurut Seyla Benhabib, adalah bahwa telah terjadi penjerumusan akal budi objektif dengan mengemukakan akal budi yang semata-mata instrumental. Usaha manusia untuk semakin dikuasai oleh rasionalitas justru membuat manusia masuk pada kehancuran diri (self-destruction). Untuk itu, manusia mengusahakan akal budi yang murni subjektif. Akal budi subjektif adalah akal budi yang mengarah pada manfaat. Akal budi subjektif, dalam pandangan Seyla Benhabib, selalu mengandaikan dan melanggengkan self-preservation[xiii], di mana akal dimanfaatkan untuk menjadi alat perhitungan kemungkinankemungkinan tercapainya tujuan subjek[xiv] (Horkheimer, 1964). Lawan akal budi subjektif (instrumental) adalah akal budi objektif. Seyla Benhabib melihat bahwa Horkheimer berpendapat bahwa akal budi objektif mempunyai wewenang terhadap manusia. Rasio objektif tidak netral. Dengan demikian, Horkheimer menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi moral dan reflektivitas moralitas yang tangguh dalam seluruh proses pemilihan tindakan sosial yang ada. Akal budi instrumentalis pada dasarnya netral karena rasio instrumental bisa digunakan sebagai tujuan di luar dirinya sendiri[xv] (Sindhunata, 1983). Pada proses selanjutnya, manusia tidak lagi percaya pada konsep nilai dalam rasio objektif. Akal budi diformalitaskan. Formalisasi akal budi memudahkan terjadi instrumentalisasi akal budi

manusia. Hal ini terjadi ketika akal budi manusia dimasukkan dalam proses kapitalisasi kolektif dalam perspektif ekonomi politik Karl Marx. Pergeseran demi pergeseran mengubah manusia dalam kungkungan ideologi di mana manusia tidak bisa lagi kritis dengan keadaan sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri. Masalahnya, Seyla Benhabib mencatat adanya ambivalensi posisi Teori Kritis dalam kritik rasio instrumentalis. Di satu pihak, Teori Kritis memang menangkap maksud pemikiran Weberian dalam proses rasionalisasi tapi di lain pihak Teori Kritis juga menerapkan utopia rasionalisasi kemasyarakatan dan kebudayaan. Berkaitan dengan konteks di atas, Seyla Benhabib melihat bahwa konsep self-preservation mengimplikasikan cara berelasi, keperluan dan keinginan diri sebagai sesuatu yang tidak berubah dan ahistoris. Meskipun demikian konsep self-preservation tetap memperhatikan kondisi sosial, sejarah. Otonomi manusia mangandaikan tindakan reflektif. Tindakan reflektif ini akan dinilai oleh prinsip etis sosial yang terkait dengan latar belakang kolektif yang ada. Menurut Seyla Benhabib, Horkheimer mempertahankan wacana etika formalisme Kantian. Pada dasarnya, Teori Kritis mengembangkan etika material atas nilai. Horkheimer mencoba memperlihatkan dan mengeksplorasi seperangkat norma yang seharusnya memberikan makna kehidupan manusia apa adanya. Maka dapat dikatakan bahwa dalam seluruh wacana II ini dapat diperlihatkan bahwa terjadi kompleksitas baru dalam pandangan Horkheimer, Adorno, Marcuse dan lainnya. Tetap terjadi ketegangan antara filsafat yang praksis dengan pemikiran yang memperlihatkan momen emansipasi tidak terbatas lagi dalam aktivitas konkret individu tapi juga dalam tataran nilai yang mempengaruhi rasio dan sistem nilai orang atau individu. Dalam Negative Dialectics, Adorno mencoba membuka untuk melihat secara jelas posisi premis kesejarahan dalam seluruh pengalaman manusia individual. Harus ada posisi sosial yang memberikan pengaruh pada pemikiran identitas. Kritik filsafat anthropologi Teori Kritis tidak bisa dilihat lagi sebagai filsafat kesejarahan. Konsep otonomi tidak bisa dilihat sebagai kategori aktualisasi diri. Otonomi seharusnya dilihat dalam perspektif anthropologi filosofis atau filsafat sejarah. Yang jelas problem otonomi

manusia harus dilihat dalam dua tahap yang jelas, yaitu tahapan bahwa otonomi melampaui soal preservasi diri. Wacana III: Transformasi Kritik dan Tranformasi Etika Komunikatif Dalam pandangan Seyla Benhabib, di sana-sini terjadi kebuntuan dalam Teori Kritis dalam memahami proses kritik sosial. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan manusia tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong praksis perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi oleh kesadaran rasional. Seyla Benhabib melihat bahwa Habermas sudah meneliti bahwa Hegel menjadi pelopor tradisi ilmu sosial kritis untuk memahami praksis bukan hanya sebagai kerja tapi juga merupakan proses tindakan komunikatif. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam aktivitas menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas. Seyla Benhabib juga melihat bahwa Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham ilmu kritis juga menampakkan kebuntuan dengan kepentingan emansipatorisnya. Sesungguhnya teori ini ingin membantu manusia untuk semakin otonom dan dewasa. Otonomi kolektif berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Konsensus bisa dicapai dalam masyarakat yang reflektif dan berhasil melakukan komunikasi secara memuaskan. Tentu saja paradigma komunikasi meliputi klaim kesahihan yang terdiri dari klaim kebenaran, klaim ketepatan, klaim otentisitas dan klaim komprehensibilitas (Habermas, 1983). Dalam wacana ini, Seyla Benhabib berpendapat bahwa Habermas memberikan tawaran wacana komunikatif untuk menambal kelemahan Teori Kritis dalam menghadapi masalah modernitas. Teori Kritis, meski demikian, memperlihatkan rasio yang dikondisikan secara kontekstual. Teori Kritis tetap memperlihatkan pencerahan tidak bisa diatasi dengan meninggalkan kompleksitas

sosial modern tapi dengan pencerahan lebih lanjut. Menurut Seyla Benhabib, Habermas tetap konsisten mengatakan bahwa negasi tetap atas rasio yang berpusat pada subjek dengan rasio yang dipahami sebagai tindakan komunikatif. Rasio komunikatif merupakan sikap mengobjektifkan yang membuat subjek pengetahuan memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunilai luar tidak lagi terprevilegikan. Hubungan ambivalensi dari subjek kepada dirinya dihancurkan oleh intersubjektivitas yang memungkinkan. Rasio tidak mengasimilasikan diri pada kekuasaan tapi lebih langsung atau tidak langsung berasimilasi pada klaim kebenaran, ketepatan normatif, otentisitas dan keselarasan estetik. Seyla Benhabib melihat bahwa titik tolak Habermas atas rasionalisasi selalu menghasilkan tiga segi. Segi pertama adalah reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru yang muncul, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsensus. Segi kedua adalah integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi baru, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim. Segi ketiga adalah sosialisasi yang menjamin bahwa dalam situasi baru, perolehan kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin. Refleksi: Wacana Alternatif Setelah membaca buku Seyla Benhabib ini ada beberapa konsiderasi reflektif yang mungkin perlu diungkapkan sebagai usaha proses pendalaman isi reflektif buku yang dibaca. Pertama, salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses menuju otonomi dan kedewasaan. Dalam hal ini Teori Kritis berhutang besar pada patron sosiologi Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang sama juga, Teori Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Teori Kritis melalui Habermas dan Seyla Benhabib mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi modernitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan kemakmuran ekonomis. Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain yang perlu dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa berkembang. Dalam hal ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana

rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi masyarakat. Seyla Benhabib tidak melihat secara komprehensif potensi krisis yang dialami oleh masyarakat. Seyla Benhabib secara jelas mencoba mengikuti Profesornya, yaitu Habermas, bahwa ancaman krisis yang paling mencolok adalah krisis sosio-kultural. Meminjam istilah Habermas, krisis legitimasi dimulai dengan krisis motivasi. Dalam pengalaman empiris, Seyla Benhabib mengikuti Habermas menunjukkan bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial memang habis. Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah ? Kiranya justru sekarang utopia bergeser pada arah komunikasi sosial. Teori Kritis mencoba untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada masyarakat kapitalisme lanjut. Masihkah perjuangan sosial harus diteruskan dan disuarakan ? Tetapkah energi pemikiran kritis tetap aktual bagi masyarakat sekarang ?

Perspektif Teori Kritis Komunikasi Massa Perkembangan perspektif kritis dan budaya dalam memahami komunikasi massa, akhir-akhir ini, menjadi penting dan menjadi perspektif alternatif. Akar perspektif kritis berangkat dari asumsiasumsi teori Marxis selain bahwa juga dipengaruhi dengan kritisisme bahasa. Argumentasi teoretisi menyatakan bahwa media massa selalu mendukung status quo dan mencampuri usaha gerakan perubahan sosial. Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Beberapa teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite domina mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoretis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik positivistik.

Perspektif Kritis dan Kultural Teori kultural dalam posisi tertentu merupakan juga teori kritis. Sistem nilai kurang lebih menjadi dasar dari posisi epistemologis tersebut. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyaraakt dipakai untuk mengkritisi institusi sosial yang ada dan praktik tindakan sosial. Institusi dan tindakan sosial meminggirkan beberapa nilai penting yang dikritisi. Alternatif-alternatif institusi atau tindakan sosial ditawarkan. Teori digunakan untuk melakukan tujuan praksis. Teori dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial. Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria.

Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan. Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretatif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan. Politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya - tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang. Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana. Salah satu ciri kajian budaya adalah menempatkan teori kritis sebagaim basis analisa. Pengertian teori kritis di sini mencakup metode metadisiplin atau mengabaikan satu ilmu alat ketika analisa dirasakan telah mencapai upaya membangun perspektif yang lebih baru. Sebagaimana galibnya sebuah tujuan penelitian ilmu, ia tidak diharapkan hanya mengisi ulang alasan-alasan yang telah ada, tetapi bagaimana memunculkan dan mematikan alasan-lasan lama bila dianggap tidak berbasis pada teks yang dituju. Kearifan cultural studies akan menggiring kita kepada

pemahaman bahwa setiap waktu atau satuan era, lokalitas, dan konteks masyarakat memiliki hasrat sosial yang tidak sama. Pencapaian pemahaman tinggi dapat terjadi jika kita dengan lunak mencerdasi setiap fenomena sosial melalui sebuah format ingin tahu, meneliti, dan berbicara sebagai subyek pelaku.

Catatan Kritis Namun demikian yang lebih penting untuk diuraikan berikutnya tentu saja adalah teori-teori media dan kritisisme sosio-kultural yang mampu menyediakan wacana kritik dan telah memungkinkan suatu praksis politik. Disamping beberapa konsep dan metode yang diderivasi dari wacana filosofis tersebut, teori media dan teori kritik media juga tak mungkin di ceraiberaikan dari teori budaya. Perjumpaan perspektif yang eklektif itu bisa dimengerti jika kita menelisik pengertian budaya. Pengertian yang cukup representatif diusulkan oleh Raymond Williams dalam Keywords (1983:87) yang mengoleksi tiga definisi untuk kata budaya; pertama, budaya dapat digunakan untuk menunjuk pada proses umum intelektualitas, spiritualitas dan perkembangan estetika. Kita dapat, misalnya, berbicara tentang perkembangan budaya Aceh dan hanya menunjuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, dan estetikanya -- ulama-ulama, para seniman, dan sajaksajak. Kedua, kata budaya untuk menunjuk pada cara pandang tertentu, apakah itu suatu masyarakat, jaman maupun suatu kelompok. Ketiga, Williams menyarankan bahwa budaya dapat digunakan untuk mengacu pada karya-karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas artistik. Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik yang fungsi utamanya adalah untuk menandakan dan untuk memproduksi makna. Definisi ketiga inilah yang memiliki persinggungan dengan apa yang biasa disebut oleh para strukturalis dan pasca-strukturalis sebagai praktik-praktik penandaan. Berbicara tentang budaya, kiranya wilayah antropologi dan sosiologi tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Dalam pemahaman antropologis, budaya adalah suatu sistem simbolik yang terbentuk secara internal, khas secara sosio-historis. Dengan demikian -berlawanan dengan definisi diatas- untuk merengkuh budaya tidak mungkin dengan mereduksinya pada praksis, struktur sosial atau impuls-impuls kemanusiaan dasar.

Teori Kritis Simulacra dan Hyper-reality: Super Junior, Representasi Ketampanan Lewat pencitraan PENDAHULUAN Dari keseluruhan program hiburan yang disiarkan di tv, pasti salah satu satunya adalah acara musik. Jika diperhatikan, acara musik di setiap statsiun tv swasta Indonesia jenisnya sama hanya sedikit dibedakan pada packagingnya, misal indoor atau outdoor. Selebihnya, acara-acara musik itu dipandu oleh MC yang terdiri dari artis perempuan cantik, pria tampan, dan aktor lawak untuk memeriahkan suasana dan menghibur penontonnya. Selain menyuguhkan musik-musik yang menjadi hits/single terbaru, acara musik di TV juga biasanya menyajikan tayangan yang menggambarkan fenomena dalam dunia musik saat itu, misalnya menampilkan Udin Sedunia,seorang penyiar radio yang terkenal karena lagu yang ia buat dan ia post lewat jejaring youtube, fenomena Briptu Norman yang lipsing lagu india, dan lain lain. Acara musik tentu sangat berhubungan erat dengan rating karena rating akan mempengaruhi pihak pengiklan apakah akan memasang iklan pada acara tersebut. Sumber dana produksi sebuah acara tv sebagian besar dari iklan. Untuk itu, sebuah acara musik harus selalu menyajikan tayangan tayangan yang terbaru, menyajikan musik-musik yang memang sedang trend dan disukai masyarakat agar masyarakat tertarik untuk menonton acara tersebut sehingga rating acara musik itu akan naik dan pemasang iklan tertarik untuk memasangkan iklan produknya pada acara yang ber-rating tinggi tersebut. Salah satu fenomena dalam dunia musik yang menyedot perhatian public di Indonesia dan yang sedang terjadi sekarang yakni fenomena Boyband yang banyak bermunculan di Industri musik dan pertelevisian Indonesia. Nama Boyband SM*SH muncul kepermukaaan sebagai gebrakan pertama dan yang mempelopori lahirnya era baru Boyband Indonesia. Ditengah kebosanan dan kejenuhan publik akan musik Indonesia sebelum boyband, yakni menjamurnya band band yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia yang menyanyikan lagu cinta dengan nama band yang ear-catching. Singe-single mereka menjadi hits dan menjadikan mereka muncul sebagai bintang tetapi tidak lama kemudian, bintang itu pun akhirnya tenggelam

karena situasi, yakni persaingan yang ketat dimana banyak bermunculan band band baru yang lebih inovatif dan kreatif. Karena tidak bisa mempertahankan kreatifitas dan posisinya akhirnya mereka tenggelam dalam persaingan. Sedikit banyak begitulah alur yang terlihat, walau ada beberapa band yang bisa bertahan lebih lama dikarenakan beberapa factor pendukung, misalnya ketersediaan modal produksi, kreatifitas yang terus dikembangkan, dan memang popularitasnya selalu naik misal karena issue, gossip, dll contohnya Dewa19, Ungu, Seventeen, dll. Kembali ke era baru Boyband dengan SM*SH sebagai pelopornya, acara musik di tv berlomba lomba untuk menampilkan SM*SH di TV, duet SM*SH dengan penyanyi lain, bahkan infotainment pun tidak mau ketinggalan. Kemunculan Boyband SM*SH menuai pro-kontra di masyarakat. Pihak yang pro mendukung boyband SM*SH karena dianggap memberi angin segar bagi dunia musik Indonesia yang mulai monoton dan menghidupkan kembli era Boyband yang dulu pernah ada dan kemudian redup, misalnya Trio Libels, ME,dll. Pihak yang kontra menganggap SM*SH telah melakukan plagiarism konsep terhadap konsep Boyband-Boyband yang sekarang juga tengah menjadi trend di Korea Selatan. Tetapi Plagiarism atau bukan belum ada yang bisa menentukan dan membuktikannya sampai sekarang. Untuk mengklarifikasi dan meredam issue/tuduhan plagiarism terhadap SM*SH, SM*SH sendiri telah mengakui kalau mereka memang terinspirasi oleh boyband korea tetapi menolak untuk disebut sebagai plagiat. Hal tersebut membuktikan bahwa memang industri musik negeri gingseng tersebut memang memberikan pengaruh tersendiri terhadap dinamika musik Indonesia. Salah satu boyband asal Korea Selatan yang memiliki banyak fans di Indonesia dan terkenal tidak hanya di Asia bahkan Dunia serta cukup berpengaruh di industry musik asia adalah Super Junior. Boyband yang beranggotakan 13 pria muda asal Korea Selatan ini memiliki penggemar di banyak Negara di dunia terutama asia dan Super Junior merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji karena pasalnya boyband ini memiliki jutaan fans/penggemar yang tergabung dalam banyak fansclub yang juga tersebar diseluruh dunia bahkan ada fansclub yang lingkupnya internasional, jadi anda harus mendaftar dan memiliki kartu member fansclub jika ingin menjadi fans resmi dan diakui menjadi fans Super Junior yang kerap disebut ELF ini.

Fansclub ini melakukan banyak kegiatan bersama misalnya menonton konser bersama, mengadakan acara gathering atau kumpul kumpul dan diskusi yang biasanya dilakukan via online lewat forum-forum diskusi di internet dan tema diskusinya tentu saja tentang idola mereka, Super Junior. pertanyaan yang sering muncul adalah hal apa yang sebenarnya dimiliki oleh boyband ini dan apa saja yang mereka lakukan sampai melahirkan fenomena yang begitu luar biasa, dicintai dan digemari banyak orang dari berbagai kelompok umur terutama remaja wanita padahal mereka tidak kenal secara personal, bahkan banyak yang tidak pernah bertemu langsung. Pada intinya mengapa mereka bisa begitu memuja dan mengidolakan orang asing yang bahkan orang asing tersebut juga tidak mengenal para penggemarnya satu per satu. Berbagai pendapat dilontarkan oleh para penggemarnya tentang Super Junior, apa yang mereka suka, apa pendapat mereka, mengapa mereka begitu tergila gila kepada Super Junior, dan jawaban mereka rata-rata sama yakni musik, dan ketampanan yang dimiliki masing masing personil. Konsep tampan itu kini menjadi homogen bagi Super Junior, dan kesadaran yang mereka miliki adalah bahwa yang memiliki ciri ciri wajah seperti Super Junior -lah yang termasuk pria tampan. Homogenitas tentang criteria pria tampan dikonstruksikan atau dibentuk oleh media dan salah satu representasinya adalah Super Junior, hal ini (konstruksi ketampanan ini) yang juga menginspirasi salah satunya boyband SM*SH. Ada kesamaan yang bisa dilihat dari boyband boyband tersebut, yakni wajah putih bersih, tubuh proporsional, bentuk wajah lonjong atau segitiga, hidnung mancung, ceria, pembawaan hangat dan ramah, charming, pembawaan yang romantis, mempesona dan menjadi idaman setiap wanita. Kesadaran semu yang diciptakan yakni bahwa pria yang ideal adalah yang memiliki ciri tersebut. Citra tersebut mempengaruhi kesadaran dan penilaian orang apalagi yang menjadi fans fanatik dari suatu boyband dalam melihat dunia dengan kata lain pandangan yang dimiliki akan menjadi sempit karena akan selalu berpatok kepada apa yang dimiliki, melekat, dan dilakukan oleh boyband tersebut. Pencitraan dalam konstruksi seperti apa kriteria pria tampan yang ideal itu ditampilkan terus menerus sehingga melekat pada diri publik, sehingga publik terutama fans akan memiliki standar yang sama atau homogen tentang seperti apa pria yang tampan itu.

Manusia modern memang dibuat dan dikondisikan untuk tidak bisa dan tidak akan dapat lepas dari kepentingan kapitalisme dengan ritual intinya (produksi, konsumsi, distribusi). Situasi sekarang ini sudah bukan lagi situasi dimana produksi barang dilakukan untuk semata mata memenuhi kebutuhan, kapitalis bertindak lebih juh dengan menciptakan sebuah kebutuhan (perasaan dan hasrat membutuhkan sesuatu yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan pokok/tidak terlalu dibutuhkan) lewat kesadaran yang dibentuk. Produk kapitalisme pun menjadi satu atau berbaur dengan kesadaran yang dikonstruk oleh media. Tulisan ini akan membahas konstruksi oleh media dalam membentuk dan menanamkan kesadaran tentang pria tampan yang ideal dimana konstruksi media tentang pria tampan yang ideal itu direpresentasikan oleh boyband asal Korea Selatan, Super Junior. Konstruksi yang diangkat oleh media tersebut didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin maju, keberadaan internet yang bukan menjadi barang asing di Indonesia telah melancarkan tersampaikannya pesan pesan media yang memberikan konstruksi dan menciptakan sebuah realitas baru itu. Bagaimana konstruksi media atas boyband tersebut dibangun serta pencitraan dan sign-sign tertentu serta realitas seperti apa yang timbul dan terbentuk karena konstruksi yang dibuat media tentang pria ideal pada boyband selengkanya akan dibahas dalam makalah ini menggunakan konsep simulacra dan hyper-reality dari Jean Baudrillard.

2. FENOMENA Korean Wave atau Hallyu atau demam Korea sudah mulai terasa di Indonesia sekitar tahun 1990-an yakni mulai banyaknya drama Korea yang diputar di Indonesia. (diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Korean_wave). Seiring dengan perkembangan korea wave di berbagai Negara asia termasuk asia tenggara dan Indonesia tentunya, Korean Wave dari dramadrama serial bergeser ke arah musik. Boy band-boy band mulai digandrungi para remaja di Indonesia. Salah satu boyabnd yang booming dan oleh beberapa pengamat musik dan budaya dianggap berpengaruh terhadap trend di Industri musik dan hiburan Indonesia adalah Super Junior.

Salah satu pengamat musik dan budayawan yang mengakui pengaruh artis K-pop di Indonesia adalah Benny Benke. Benke mengatakan genre musik boyband Super Junior yakni K-pop adalah kependekan dari Korean Pop atau musik pop Korea yang berasal dari Korea Selatan. Kegandrungan akan musik K-Pop merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Demam Korea (Korean Wave) di berbagai Negara termasuk Indonesia. Super Junior yang juga dikenal SJ atau Suju adalah sebuah boyband asal negeri gingseng Korea Selatan. Boyband ini beranggotakan 13 orang pria muda yakni, Leeteuk, Heechul, Han Geng, Yesung, Kang-In, Shindong, Sungmin, Eunhyuk, Donghae, Siwon, Ryeowook, Kibum, dan Kyuhyun. Album mereka yang diberi nama SuperJunior05 (TWINS) dirilis pada tahun 2005. Super Junior berada dibawah sebuah agen bakat Korea dan label rekaman, SME (SM Entertainment) milik salah satu pengajar Harvard yang juga asal korea selatan, Soo-Man Lee. Perekrutan anggota Super Junior dilakukan lewat sebuah casting audition yang diadakan SM Entertainment pada tahun 2000. Super Junior memulai debutnya pada 6 november 2005 dan baru beranggotakan 12 (tidak termasuk Kyu hyun). Super Junior dengan 12 orang memulai debutnya dalam program musik salah satu stasiun tv Korea, yakni SBS Online Songs tentunya pada tanggal 6 November 2005 dengan membawakan single pertama mereka, TWINS (Knock Out). Album perdana mereka terjual 28.536 kopi di bulan pertama rilis dan single debutnya menempatI #3 di chart bulanan pada Desember 2005. Masih pada bulan desember 2005, Super Junior merilis album bersama boyband yang lebih senior, DBSK bertajuk Show Me Your Love yang menjadi single terlaris di korea dan asia pada Desember 2005 dengan 49.945 salinan yang terjual selama bulan itu. Memulai kesuksesan nya di belantika musik korea dan asia, Super Junior menambahkan 1 anggota baru, anggota ketigabelas pada mei 2006 yakni Kyuhyun.

Super Junior banyak meraih sukses, fans nya pun semakin banyak dan tersebar bukan hanya Korea bahkan merambah asia, termasuk Indonesia. Super Junior dibentuk dengan pencitraan sekelompok anak muda, pria yang ceria, bersahabat, tampan, digemari dan dicintai oleh target audience nya yakni sebagian besar terdiri dari wanita dan pelajar, selain itu dicitrakan pula sebagai sekelompok pemuda yang bertalenta terutama menyanyi dan menari. Karena targetnya adalah perempuan yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa dengan kategori umur yang tidak jauh

dari personil Super Junior, yakni maksimal 20-an/dibawah 30-an, maka publikasi dari segala macam bentuk aktivitas, hasil karya, dan program yang menampilkan Super Junior dilakukan lewat internet dan tv cabel sebagai media yang dekat dengan target audience.

Dari awal debut, internet adalah media yang paling berpengaruh dalam menyebarkan demam suju. Single berjudul U yang dirilis masa awal debut bisa di download gratis pada 25 Mei 2006 di website resmi resmi Super Junior. Strategi SM Entertainment untuk emmpopulerkan Super Junior adalah dengan menyebarkan demam suju seluas luasnya dengan menggunakan berbagai media terutama media yang banyak diakses oleh target audience dan bisa dijangkau di seluruh dunia, yakni internet. Single U telah didownload oleh lebih dari 400 ribu pendownload hanya dalam waktu lima jam dan total pendownload mencapai angka lebih dari 1,7 juta pendownload menuju server beberapa jam setelahnya. Di korea, single U pun menduduki peringkat #1 di semua tangga lagu koea dan menjadikan Super Junior boyband paling popular sepanjang tahun. Super Junior meraih bnyak penghargaan tidak lama setelah mereka debut, penghargaanpenghargan tersebut diantaranya menjadi nominasi dalam 7 kategori terpisah acara musik bergengsi dikorean yakni M.NET / KM Musik Festival yang digelar di 17 November, 2007 dan berhasil memenangkn beberapa nominasi diantaranya Netizen Choice Award, Mobile Popularitas, Best Artist of the Year (Daesang) yakni penghargaan tertinggi bagi palku seni di korea selatan.

Dari keempat album yang dirilis oleh Super Junior, yakni Super Junior05/TWINS (2005), Dont Don (2007), Sorry Sorry (2009), dan Bonamana (2010), albumnya yang paling booming di Indonesia adalah album Sorry Sorry dengan single andalannya berjudul sama, Sorry Sorry. Super Junior mulai menjadi perbncangan dimana mana terutama dikalangan pelajar terutama wanita, pengamat hiburan dan tentunya pecinta K-Pop (musik Korea). Para penggemar Super Junior/fans nya pun bergabung membentuk satu wadah/komunitas yang disebut ELF dan di Indonesia disebut ELF Indonesia.

Seberapa-digandrungi nya Super Junior bisa dilihat dari jumlah penggemarnya yang terus menerus bertambah. Seperti yang dilansir dari asiangrup, sebuah situs berita online seputar artis artis asia, Super Junior mendapat gelar artis dengan jumlah follower (pengikut) terbanyak di Twitter versi Star News. Tanggal 4 Mei lalu, Star News mengumpulkan nama-nama artis idola Korea dan, membandingkan jumlah fans mereka di situs jejaring sosial yang mereka punya seperti Twitter dan me2day. Dari survei itu, Super Junior memiliki jumlah fans terbanyak. Selama ini tiga belas personel Super Junior sangat aktif di Twitter. Kecuali Han Geng, Kang In, dan Sung Min, sepuluh personel lainnya memiliki situs Twitter. Star News menulis, Lee Teuk ( 363.930 follower), Hee Chul (463.825 follower), Dong Hae (493.885 follower), Si Won (444.642 follower), Ye Sung (339.883 follower), Shin Dong (352.605 follower), Eun Hyuk (350.564 follower), Ryeo Wook (301.543 follower), Ki Bum (140.802 follower), Kyu Hyun (269.583 follower).

Dari data Star News tersebut terlihat rata rata personil Super Junior memiliki follower lebih dari 100 ribu orang. Star news menyimpulkan bahwa dengan data tersebut Super Junior menempati posisi teratas artis Korea dengan jumlah follower tertinggi dari seluruh dunia. Selain dilihat dari jumlah follower di twitter, banyaknya jumlah penggemar Super Junior pun bisa dilihat dari banyaknya like di facebook page mereka, artinya Super Junior adalah sebuah fenomena dilihat dari angka penggemaranya yang mencapai ratusan ribu.

Di Indonesia tentunya ada banyak fans Super Junior yang biasa disebut ELF. Memang belum ada data pasti tentang berapa jumlah elf di Indonesia. Sebuah EO, promoter musik yang berencana mendatangkan Super Junior ke Indonesia masih berusaha mendata berapa jumlah elf di Indonesia dan pihaknya memperkirakan jumlah elf bisa mencapai angka puluhan ribu, hal itu tergambar dari jumlah like di banyak elf indonesias page di facebook.

Banyaknya elf (penggemar Super Junior) tentu tidak diragukan lagi. Timbul sebuah pertanyaan di banyak pihak yang sadar akan fenomena boyband korea di Indonesia dan Korean wave, apa sebenarnya yang mereka suka dari boyband/artis artis korea terutama Super Junior? Berbagai jawaban didapat para ELF lewat forum forum elf di Internet, dan dari berbagai jawaban yang diberikan, ketampanan adalah alasan pertama yang diikuti skill/talenta lain. Ketampanan pada personil Super Junior memang sebuah nilai plus bagi Boyband ini yang juga menjadi ciri khas dari Super Junior dan tentu saja boyband boyband Korea lain. Jika diperhatikan sekilas ada kemiripan diantara personil personil Super Junior atau boyband Korea lain. Kesamaan/kemiripan tersebut yakni dagu lancip/segitiga, wajah lonjong, tubuh proporsional, wajah dan kulit bersih, baby face, camera face, good looking, bahkan cenderung cantik, terawat, dan fashionable.

Super Junior dicitrakan sebagai boyband dengan anggota yang berjiwa muda, dinamis, hangat, ceria, dan tampan. Untuk menonjolkan pencitraan tersebut, dan untuk menampilkan sisi-sisi dari citra yang ignin dibangun tersebut, Super Junior tidak hanya bernyanyi tapi kerap membintangi sebuah film bioskop berjudul Wonder Boys. Dalam film tersebut sangat ditonjolkan sisi ketampanan dan sisi Charming dari masing masing personil Super Junior, misalnya dengan teknik pengambilan gambar yang kebanyakan close up pada wajah. Selain film, pencitraan yang dilakukan SM Entertainment terhadap Super Junior banyak juga lewat reality show, iklan, video video keseharian Super Junior yang di upload ke internet (youtube), dan lain lain. Usaha tersebut dilakukan agar Super Junior mendapat pengakuan dan semua pihak memiliki pandangan tertentu kepada Super Junior seperti yang dicitrakan, yakni tampan, ceria, berkepribadian hangat, dan bertalenta. Tidak tanggung-tanggung, untuk mendapatkan kesempurnaan dan kesan tampan yang diinginkan, pihak SM Entertainment melakukan operasi plastic pada artis artisnya dan hampir semua personil Super Junior pernah merasakan yang namanya operasi plastic.

Kriteria tampan yang melekat pada boyband Korea terutama Suju ikut juga mempengaruhi pendapat masyarakat terutama ELF dan para penikmat dunia hiburan tentang penilaian mereka terhadap seorang pria. Masyarakat setuju kalau Super Junior itu terdiri dari para pemuda tampan dengan criteria wajah segitiga, kulit putih bersih, fashionable, hidung mancung, tubuh proporsional, dan baby face. Masyarakat terutama remaja wanita di Indonesia pun memuja Suju sampai membeli semua photobook yang harganya bisa mencapai ratusan bahkan jutaan rupiah dan mengikuti konser suju di luar negeri.

Melihat fenomena tersebut, para pengontrol dunia hiburan Indonesia lantas mengikuti dan mengadopsi trend dari negeri gingseng tersebut. Kalau kita melihat layar tv, banyak artis muda bermunculan dengan kriteria yang sama, yakni mengusung konsep Boyband yang fashionable, wajah tampan dengan hidung mancung, dagu segitiga, wajah lonjong, kulit putih, bersih, dan baby face. Dengan kata lain konstruksi media tentang criteria pria tampan yang

direpresentasikan dengan Super Junior telah menyebabkan homogenitas pada pemikiran masyarakat sehingga pemikiran masyarakat menjadi lebih sempit dalam menilai sesuatu.

Teori Jean Budrillard, seorang teoritisi asal perancis barat yang lahir di Reims pada 5 januari 1929, berteori tentang masyarakat postmodern dimana asumsi utamanya adalah bahwa media, simulasi, dan cyberblitz telah mengkonstruksi dan mengkonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan sejarah, dan tipe masyarakat yang baru. Fondasi filsafatnya adalah Entertainment terhadap pemikiran tradisional dan ilmiah yang menurutnya telah mengganti realitas dengan ilusi tentang kebenaran. Lanskap pemikirannya yang luas dipengaruhi oleh semangat zaman yang tengah mengalami krisis modernitas besar (The Great Depression) yang pertama.

Baudrillard telah menghasilkan banyak buku dan artikel lewat pemikiran pemikirannya. Karyakarya awal Baudrillard yang banyak yang mengkaji soal kemungkinan konsumsi. Pemikiran Baudrillard dapat dipetakan sebagai pelacakan terhadap kehidupan tanda-tanda (the life of the

signs)

dan

pengaruh

teknologi

dalam

kehidupan

sosial

(http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/)

Baudrillard banyak membahas tentang makna yang tertanam dalam objek-objek dalam kehidupan sehari-hari dan sistem-sistem struktural melalui objek yang terorganisasi dalam masyarakat modern (misalnya prestise/gengsi atau nilai-tanda sebuah mobil sport baru) yang coba ia tuangkan lewat bukunya. Buku buku tersebut diantaranya 1. tahun 1968 ia menulis buku The System Of Objects yang sangat terpengaruh oleh karya

Barthes yakni The Fashion System (1967). Dalam The System Of Objects Baudrillard mengadopsi metode semiologi Barthesian untuk menggali dan mengetahui hubungan dan mistifikasi objek-subjek yang ada dalam realitas masyarakat modern.

2.

Tahun 1969 atau satu tahun setelah menerbitkan buku pertamanya, buku keduanya berjudul

Communications pun terbit. c mmunication adalah sebuah buku yang membahas mengenai struktur komunikasi tanda (sign) dalam masyarakat Barat pada masa itu (1960-an) dan masih berlaku dan tidak berbeda jauh dengan masa sekarang. 3. Tahun 1970 baudrillard menerbitkan buku berjudul La Societe de Consommation/The

Consumer Society yang membahas tentang consumer society/masyarakat konsumsi Barat 4. Tahun 1972 baudrillard menerbitkan buku kembali berjudul For a Critique of the Political

Economy of the Sign 5. Tahun 1973 baudrillard menerbitkan buku berjudul The Mirror Of Production .

(http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/). Kelima buku yang ditulis baudrillard merupakan karya awal baudrillard dan oleh para pengamat teori kritis karya karya awal baudrillard itu merupakan tahap awal yang disebut sebagai tahap kritis dari baudrillard walau baudrillard sendiri tidak pernah membagi / mengkategorikan pikirannya kedalam bentuk bentuk ata kelompok kelompok khusus.

Karya awal baudrillard dianggap sebagai tahap awal kritisnya salah satunya adalah karena pemikiran baudrillard sangat dipengaruhi oleh beberapa pemikir seperti Marx, Mauss, dan Saussure dengan pemikiran Marx yang paling utama atau dominan. Cara berpikir baudrillard adalah dengan mengadopsi pemikiran pemikiran tokoh tokoh tersebut sehingga menghasilkan pemikiran yang benar benar baudrillard dimana pemikirannya terlihat lebih ke arah konsumsi dan komunikasi massa. Pemikiran kritis baudrillaard yakni bahwa Baudrillard ingin mengkonstruksi ulang masyarakat kapitalis, karena keadaan saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk masyarakat keluar dari kapitalisme seperti yang menjadi harapan Marx dan kini menurut baudrillard, dunia sudah dipenuhi dengan konsumsi dan simbol-simbol.

Berangkat dari inilah, Baudrillard memandang bahwa apa yang dikatakan Marx mengenai nilai guna dan nilai tukar tidak lagi relevan. Bangunan (konstruksi) masyarakat kapitalisme yang memandang produksi sebagai penggerak ekonomi kini harus dibangun ulang bahwa masyarakat kapitalisme melihat konsumsilah sebagai penggerak ekonomi, bahkan pada sosial, politik, dan budaya juga. Mode of production dibawa kearah mode of consumption.

Konsumsi kini disadari dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan dan kegiatan diproduksi bukan semata-mata untuk menghasilkan kebutuhan dasar namun untuk salah satunya untuk meningkatkan kebanggaan simbolik. Seseorang yang menggunakan mobil Lamborgini akan mendapatkan prestise dibandingkan orang yang menggunakan mobil BMW Mini Cooper karena orang dengan mobil sport akan lebih disimbolkan sebagai orang yang maskulin daripada city car.

Jean Baudrillard sering dianggap sebagai pemikir barisan depan yang mengkaji persoalan masyarakat konsumer secara cukup komprehensif karena tidak saja mengkritik filsafat ekonomi politik Marx, melainkan memasukkan perkara konsumsi ini dalam linguistik struktural seperti yang dirintis Saussure dengan semiologinya. Hasil analisis Baudrillard yakni konsumsi dewasa

ini bukanlah konsumsi objek-objek material, melainkan konsumsi akan nilai- nilai; konsumsi atas tanda.

Diskusi tentang masyarakat konsumer (consumer society) Baudrillard dimulai dengan diagnosisnya akan nilai tanda (sign value). Nilai tanda (sign value) adalah ideologi yang dihidupi oleh masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi. Dalam sign value, motif terakhir tindakan konsumsi bukanlah pelayanan dan nilai guna suatu barang, melainkan produksi dan manipulasi penanda-penanda sosial. Konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas sosial, budaya bahkan politik (Kellner,1994: 3).

Terjadi transformasi dari mode of production ke mode of consumption. Transformasi tersebut adalah bentuk pergeseran dari use-value dan exchange-value nya Marx ke arah dominasi nilai tanda dan nilai simbol. Konsumsi menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek. Konsumsi adalah sistem objek-objek yang mengklasifikasi dan membentuk makna dalam kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Sign value dijalankan oleh pergeseran nilai tersebut yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern. Baudrillard pada awalnya tidak memberikan sumbangan pikirannya tersendiri, akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa pemikir walau pada perkembangannya baudrillard emmiliki suara dan pendapatnya sendiri. Bukti bahwa pemikiran baudrillard itu dipengaruhi oleh marx salah satunya yakni bahwa Baudrillard mengeksplorasi kritik terhadap pandangan MarxiSM Entertainment dalam bukunya, The System of Objects yang menyatakan bahwa ketika sebuah produk dikonsumsi, yang dikonsumsi adalah makna-makna yang disebarluaskan melalui media, misalnya iklan. Melalui asumsi tersebut Baudrillard menjelaskan tentang keberlimpahan (profusion) tanda-tanda yang menyebar dengan luas. Relasi antara tanda dan konsumsi ini merupakan poin penting memahami teori konsumsi Baudrillard.

Objek diperlakukan sebagai tanda, konsumsi dan reproduksi dibuat sedemikian rupa melalui iklan, display, kemasan, fashion agar masyarakat konsumer memperlakukan konsumsi sebagai tanda, citra, dan pesan. Pilihan konsumsi bukan lagi berdasarkan pada komoditas.

Baudrillard melihat bahwa dalam masyarakat konsumer, objek-objek dimiliki, diatur, dikonsumsi, dan diinvestasi melalui makna oleh subjek yang kemudian mengubah dan mendefinisikan ulang objek-objek tersebut. Baudrillard percaya bahwa konsumsi objek-objek menentukan tatanan sosial masyarakat. Dengan mengadaptasi teori Strukturalis, Baudrillard berargumen akan adanya relasi timbal-balik antara individu dan sistem makna dalam masyarakat. Sistem makna memaksakan kekuasaannya terhadap individu dengan cara bahwa melalui sistem makna tersebutlah individualitas mendapat makna.

Sistem makna inilah yang menjadi prioritas, bukan interpretasi atau penilaian subjek. Sistem makna dibangun berdasarkan sistem objek yang terorganisasi melalui, salah satunya, kode-kode fashion. Sistem objek ini menjalankan apa yang disebut integrasi ideologis (ideological integration). Integrasi ideologis mengandung makna bahwa subjek baru mendapat makna sebagai seseorang (person) melalui proses personalisasi (personalisation) yang diatur oleh sistem objek dan sistem tanda .

Menjelaskan lebih jauh tentang keterkaitan dari makna, sign, masyarakat consumer, realitas, dan hal lain yang telah disinggung sebelumnya, baudrillard adalah sebuah teoritisi yang khas dengan istilah istilah yang diperkenalkannya dalam pemikirannya yang berhubungan dengan masyarakat consumer, yakni simulasi, simulacra, dan hyperreality.

Media massa dan informasi sekarang ini, yakni media massa dalam masyarakat yang disebut baudrillard dengan consumer society, tidak lagi menjadi sarana komunikasi utuh tetapi menjadi

sarana representasi makna dari simbol simbol (signs) yang merupakan produk kapitalis dengan tujuan menggiring publik kepada hiper-realita dalam sebuah simulacrum.

Ketika peta dunia dibuat, yang harus dilakukan adalah menggambar daerah teritori lalu kemudian membubuhkan garis teritori diatasnya, membuat kontur tanah dan warna untuk membedakan mana dataran tinggi, rendah, lautan, dan lain lain. Peta dunia merupakan bentuk dari simulasi daerah di dunia. Simulasi dunia lewat peta sesungguhnya telah mengacaukan keadaan/ bentuk dunia sebenarnya, bahwa pada dasarnya alam tidak se-simple di peta dengan skala dan berbagai simbol lainnya. Dalam kenyataan, terdapat kerutan kerutan tanah dalam dataran yang tidak tergambar di peta padahal hal tersebut nyata. Manusia menjadikan peta sebagai patokan untuk mengetahui bentuk/isi dari suatu wilayah sehingga yang tergambar dan menjadi mindset menusia tentang bentuk dan keadaan suatu wilayah adalah kenyataan/ simulasi lewat peta. Padahal, kebenaran sebenarnya tentang sebuah daerah tidaklah seperti yang tergambar di peta. Allegori simulasi yang indah seperti peta itulah yang sekarang mengikat dan melingkari kehidupan kita sehingga kita tidak tahu kebenaran yang nyata karena sesungguhnya kebenaran yang nyata itu sedang bersembunyi dibalik sebuah simulasi dengan tingkat advance yang berkembang menjadi sebuah simulacrum.

Perbedaan jelas antara simulasi, simulacra, dan simulacrum yakni simulasi merupakan sebuah tiruan dari sesuatu, objek/keadaan dimana masih mudah/bisa dibedakan atau ditemukan perbedaannya antara yang asli dan palsu/mana realitas sebenarnya dan mana realitas buatan. Ketika sebuah simulasi bercampur dengan kenyataan sebenarnya, direpresentasikan dan dibuat se-nyata mungkin serta melibatkan pengalaman/sisi emosi dari masyarakat maka akan membentuk sebuah simulacra. Simulacra merupakan simulasi yang lebih advance yang mencapai sebuah titik dimana sebuah realita menjadi sulit bahkan tidak bisa dibedakan lagi mana yang kenyataan sebenarnya dan mana kenyataan yang dikonstruksikan (dibentuk). Keadaan tersebut diistilahkan dengan Hyperreal atau realitas yang berlebih.

Simulacra membuat sesuatu menjadi lebih nyata dari yang nyata, itu adalah cara bagaimana sebuah kenyataan sebenarnya terhapus. Simulacrum bisa juga dikatakan sebagai representasi, misalnya dilakukan oleh pencitraan. Sebuah simbol dicitrakan sedemikian rupa menjadi seperti yang diinginkan, padahal sebenarnya tidak seperti itu. tetapi karena terus menerus disuguhi dengan symbol (sign) yang dicitrakan dan memang dibentuk untuk menjadi sesuatu yang diinginkan, maka akan sulit membedakan mana yang nyata mana yang bukan yang sekali lagi ditekankan bahwa keadaaan ini akan menggiring ke sebuah realitas berlebih atau hyperreality.

The simulacrum is never what hides the truth - it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true. -Ecclesiastes-

Dengan segala pemikirannya tentang tanda, system makna, integrasi ideologi, objek, dll tidak semata mata hanya melakukan rekonstruksi namun juga melakukan konstruksi terhadap masyarakat konsumer itu sendiri . Kekurangan dari pemikiran baudrillard adalah bahwa ia tidak pernah memberikan solusi dari bagaimana mengatasi kapitalisme yang semakin berkembang hebat. Budrillard dan pada pemikir yang mempengaruhinya Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran Marx, Masa kapitalisme menandai runtuhnya era feodaliSM Entertainment dan menciptakan struktur baru konsumsi berdasarkan pasar, uang, dan keuntungan. Konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusi, justru malah menjadi suatu kebutuhan yang terpisah dari kebutuhan dasar manusia.

Kapitalisme membangun sistem ideologis konsumsi sehingga masyarakat tersugesti bahwa konsumsi adalah sebuah aspek penting dari kehidupan sehari- hari (Storey, 2008:144). Fetish komoditi yang terjadi di kalangan buruh mengumandangkan kemenangan nilai-tukar atas nilaiguna. Fetish atau pemujaan komoditi memiliki arti bahwa dalam proses produksi, barang-barang tidak diproduksi sebagai sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Barang-barang produksi diberi nilai-nilai baru yang jauh dari nilai aslinya sebagai benda pakai dan bertransformasi menjadi komoditi. Komoditi tidak lain adalah barang produksi yang memiliki nilai-tukar. Komoditi menempati status istimewa dalam mode produksi (mode of production).

Fetishism produksi membuat komoditi memancarkan pesona fetish-nya sebagai objek pemujaan konsumer. Karakter fetish dalam komoditi ini membuat kaum buruh sebagai orang-orang yang memproduksi komoditi justru mengalami keterpisahan dari barang yang mereka produksi. Kaum buruh tidak memiliki kuasa atas komoditi sebab komoditi itu menjadi klaim dari pemilik kapital untuk dipertukarkan dalam pasar untuk memperoleh keuntungan. Untuk memiliki barang tersebut, kaum buruh harus membeli dan menjadi konsumen atas barang-barang yang mereka produksi sendiri. Marx menyatakan bahwa kaum buruh teralienasi dari komoditi yang mereka produksi.

Komoditi sesegera mungkin akan menjadi sebuah sarana standar hidup masyarakat yang memiliki cara khas untuk melaksanakan fungsi relasi dan mengekspresikan relasi sosialnya. Dalam masyarakat pasar, komoditi menyembunyikan dan mengganti bentuk-bentuk relasi sosial antar manusia. Hal ini terjadi karena keterlibatan dari fetishism bahwa produk produk buatan manusia bergeser fungsinya/bertransformasi bertransformasi menggantikan produk-produk sosial yang memungkinkan terjadinya kegiatan produksi barang.

Marx mengistilahkan proses tersebut sebagai reifikasi. Istilah singkat dari reifikasi adalah pematerian, maksudnya jika ada penilaian untuk sebuah kesuksesan, maka kesusksesan itu diukur dari apa yang dimiliki/objek tertentu . Relasi sosial yang mengandung reifikasi itu

didefinisikan oleh kekuatan fetish komoditi. Dengan ini, relasi sosial yang diwakilkan dalam sebuah objek muncul dan berada dibawah control manusia. Dengan demikian, manusia tidak benar-benar sebagai subjek yang independent terhadap dirinya melainkan di stir oleh fetish komoditi.

Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran Mauss, Baudrillard terpengaruh Mauss mengenai gift exchange dalam buku Mauss yang paling terkenal, yaitu Essai sur le don (the Gift). Bagi Mauss, meskipun hadiah itu berupa komoditas yang tak menuntut balasan namun tetap saja ada unsur balasan. Kehadiran hadiah menyiratkantiga kewajiban: memberi, menerima, dan membalas.

Baudrillard dipengaruhi Saussure, Baudrillard dalam pemikirannya menjadi ragu terhadap pemikiran Marx dan menganggap pemikiran Marx menjadi tidak relevan lagi untuk saat ini karena terpengaruh dari semiotika Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes.

Menurutnya dalam masyarakat konsumer, dunia terbentuk dari hubungan berbagai tanda (sign) dan kode acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Sebuah sign bukan lagi representasi dari realitas karena realitas itu dibentuk dan diatur sedemikian rupa jadi bukan realitas yang sebenarnya. Sign yang fakta digabung dengan yang semu lewat produksi citra (pencitraan) sehingga saling tumpang tindih dan bergabung menjadi satu kesatuan yang sulit lagi dibedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata atau mana kenyataan yang benar sebenar benarnya. Realitas itu adalah realitas yang ada dan kita hidupi sekarang.

Analisis Asumsi pemikiran baudrillard, yakni media, simulasi, dan cyberblitz telah mengkonstruksi dan mengkonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan sejarah, dan tipe masyarakat yang baru adalah sebuah penjelasan tentang fenomena pada dunia hiburan kita sekarang dimana terjadi homogenitas dalam menilai ketampanan seorang pria.

Lewat Super Junior, agen bakat dan label rekman SM Entertainment (SM Entertainment) membentuk sebuah hyper-reality dalam masyarakat dan hiper-realitas itu bisa ditemukan di Indonesia. Pihak SM Entertainment bisa dikatakan pandai membaca keadaan pasar. SM Entertainment mungkin telah mengetahui kemungkinan-kemungkinan konsumsi, kecenderungan selera orang, the power of sign, symbol, dan technology.

Menurut baudrilard, keadaan yang terjadi saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk masyarakat keluar dari kapitalisme seperti yang menjadi harapan Marx dan kini menurut baudrillard, dunia sudah dipenuhi dengan konsumsi dan simbol-simbol. Konsumsi kini disadari dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan dan kegiatan diproduksi bukan semata-mata untuk menghasilkan kebutuhan dasar namun untuk salah satunya untuk meningkatkan kebanggaan simbolik. Misalnya orang akan merasa bangga saat bercerita kalau dirinya telah menonton konser Super Junior live di Singapura daripada bercerita telah menonton lewat internet.

Terjadi transformasi dari mode of production ke mode of consumption. Transformasi tersebut adalah bentuk pergeseran dari use-value dan exchange-value nya Marx ke arah dominasi nilai tanda dan nilai simbol. menonton konser Super Junior, atau membeli souvenir atau photo book nya bukanlah sebuah kebutuhan dasar manusia. Jika dipikir lagi untuk apa membeli barang barang seperti itu, dan apa kegunaannya? Tetapi karena telah terjadi transformasi menjadi mode of consumption dan bukan lagi mode of production, seorang elf rela mengeluarkan uang berjutajuta rupiah demi memuaskan konsumsi matanya, konsumsi telinga, dan konsumsi prestigenya.

Media massa dan informasi sekarang ini, yakni media massa dalam masyarakat yang disebut baudrillard dengan consumer society, tidak lagi menjadi sarana komunikasi utuh tetapi menjadi sarana representasi makna dari simbol simbol (signs) yang merupakan produk kapitalis dengan tujuan menggiring publik kepada hiper-realita dalam sebuah simulacrum. Misalnya, di tv jarang

sekali ada tayangan tayangan yang menayangkan performance dari Super Junior tetapi mengapa pengaruh Korean wave terutama Super Junior begitu besar di Indonesia. Hal itu terjadi karena media media lain misalnya internet yang gencar menayangkan symbol symbol dari dunia hiburan korea atau symbol symbol yang khas dari Super Junior, misalnya avatar personil Super Junior, foto foto mereka yang bertebaran di Internet, iklan iklan yang tersebar di mana mana bahkan sampai segala jenis video dari mulai video cuplikan acara yang mereka hadiri/bintangi, sampai video video buatan fans tentang mereka.

Allegori simulasi yang indah seperti ketampanan Super Junior telah melingkari dan mengikat kesadaran dan pikiran kita para penikmat hiburan. Tidak jarang karena banyaknya boyband korea yang diperkenalkakn dan dicitrakan agar digemari public, serta banyaknya actor actor tampan yang membintangi drama korea yang banyak ditayangkan di tv, membuat banyak orang berfikir orang korea itu ganteng-ganteng ya! . Dalam kenyataannya, mungkin tidak seperti itu (semua orang korea ganteng). Drama korea di tv, boyband, termasuk kedalamnya Super Junior merupakan sebuah simulacra, model simulasi yang dibentuk dan dicitrakan sedemikian rupa, bercampur dengan kebenaran yang benar benar nyata sehingga sulit untuk dibedakan mana yang realitas dan mana yang realitas buatan. Keadaan seperti itu disebut oleh baudrillard sebagai hyperreality atau realitas yang berlebih.

SM Entertainment mengadakan sebuah audisi bakat untuk proyeknya yakni Super Junior, sebuah Boyband dengan citra tampan, ceria, hangat, dan bertalenta. Audisi yang dilakukan menghasilkan 13 pemuda yang sekarang tergabung dalam Super Junior. Syarat utama yang diajukan SM Entertainment saat audisi adalah pemuda yang bertalenta, minimal bisa bernyanyi dan menari. Syarat selanjutnya merujuk pada pencitraan yang dilakukan SM Entertainment adalah para pemuda bertalenta yang berwajah tampan. SM Entertainment membuat sebuah simulasi ketampanan lewat Super Junior. Jika diperhatikan, terdapat kemiripan pada wajah ketigabelas personilnya, yakni hidung mancung, baby face, kulit putih besih, bentuk wajah yang segitiga/lonjong, dan badan proporsional.

Untuk membuat simulasi tersebut, SM Entertainment melakukan penyempurnaan kepada wajah ketigabelas personil Super Junior, yakni dengan melakukan operasi plastik. Disebut simulasi karena masih bisa dibedakan, apalagi dengan melihat foto personil sebelum operasi plastic sehingga masih mudah untuk dibedakan bagian wajah yang asli dan hasil operasi.

Selanjutnya SM Entertainment melakukan bimbingan dan pengembangan kepribadian untuk menciptakan citra sebagai kelompok pria yang ceria, hangat,dan bertalenta. Di Korea, bukanlah hal yang mudah untuk bisa menjadi seorang selebritis apalagi selebritis tenaar, pasti ada pengorbanan yang besar. Super Junior misalnya, setiap anggotanya harus mengikuti training dari SM Entertainment, rata rata selama 2-3 tahun bahkan ada yang sampai 5 tahun. Saat training, Super Junior diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan sebagai selebritis dan dibentuk sesuai dengan pencitraan yang dikehendaki SM Entertainment.

Dengan pencitraan yang dibentuk SM Entertainment untuk Super Junior, SM Entertainment membantuk sebuah hiper-realitas dalam masyaarkat consumer. Setelah debut, terbukti Super Junior menyabet banyak penghargaan, artinya Super Junior berhasil untuk menjadi artis yang digemari masyarakat bahkan dalam tingkat asia. Masyarakat terutama penggemar Super Junior tidak terkecuali di Indonesia rata rata memiliki pendapat yang sama dimana mereka mengaku memberi dukungan dan mengidolakan Super Junior karena beberapa hal, yang pertama adalah ketampanan mereka dan kedua kepribadian dan talenta yang dimiliki.

SM Entertainment melakukan konstruksi lewat media, dari mulai cetak sampai Internet yang bisa menjangkau public di seluruh dunia. Dia mengkinstruksikan sebuah ketampanan ideal yang di citrakan dan direpresentasikan lewat Super Junior. SM Entertainment berhasil membuat banyak orang terutama penggemar Super Junior mengakui ketampanan dari personil Super Junior. Konstruksi tersebut mempengaruhi pendapat, kesadaran, dan penilaian dari pihak yang percaya pencitraan tersebut. Jika sebelum menonton konser/pertunjukan suju criteria pria tampan yang saya miliki adalah A, maka setelah menonton pertunjukan suju, bisa sekali, dua kali, ketiga kali,

bahkan jika terus disuguhkan maka lama kelamaan saya akan kehilangan kesadaran dan criteria pria tampan menurut saya tidak lagi A, tapi berubah menjadi Super Junior.

Konsep ketampanan yang dibentuk oleh SM Entertainment dan dicitrakan kepada Super Junior merupakan simulacrum. Ciri simulacrum yakni di masyarakat sudah tidak bisa dibedakan lagi mana ketampanan yang sebenarnya mana ketampanan yang dikonstruksikan. Sebuah ketampanan tidak memiliki sejarah, pandangan orang menjadi sempit dan homogeny ketika mereka terpengaruh oleh sebuah pencitraan yang didukung lewat konstruksi dari media yang terus menyuguhkan sisi sisi tertentu dari Super Junior. saking sudah tidak bisa dibedakan lagi maka criteria ketampanan itu selalu mengikuti konstruksi dari media dan pra pengontrol dalam kapitalis. Misalnya criteria tampan tahun 70-an, atau saat jamannay boyband trio libels akan berbeda di jaman maraknya Boyband K-Pop seperti sekarang.

Rangkaian Konstruksi criteria sebuah ketampanan pria yang dilakukan lewat media terlihat dari beberapa reality show yang menampilkan Super Junior misalnya lewat reality show Exploration Human Body. Exploration Human Body (EHB) adalah sebuah variety shows yang menjawab berbagai pertanyaan tentang keunikan keunikan tubuh misalnya bagaimana caranya untuk mengurangi kepekaan pada indera pengecap, dll. Selama belasan episode, EHB mengeksplore fakta-fakta unik dalam tubuh manusia sambil juga mengeksplore pencitraan dari suju lewat tingkah tingkahnya. EHB episode Super Junior adalah sebuah variety show yang paling banyak ditonton sepanjang sejarah ehb bahkan penggemar yang di Indonesia pun bisa mengakses acara ini lewat internet.

Menurut Marx, Fetish atau pemujaan komoditi memiliki arti bahwa dalam proses produksi, barang-barang tidak diproduksi sebagai sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Barang-barang produksi diberi nilai-nilai baru yang jauh dari nilai aslinya sebagai benda pakai dan bertransformasi menjadi komoditi. Komoditi tidak lain adalah barang produksi yang memiliki nilai-tukar. Komoditi menempati status istimewa dalam mode produksi (mode of production).

Pencitraan terhadap Super Junior mungkin tidak akan begitu mempengaruhi kesadaran seseorang, jika intensitasnya untuk melihat performance Super Junior hanya sedikit atau sekali sekali.

Dalam ilmu Public Relation, pencitraan memiliki tujuan salah satunya agar public merubah perilakunya sesuai dengan yang diharapkan oleh sebuah perusahaan dengat kata lain merubah perilaku public menjadi favorable. Lewat pencitraan Super Junior, harapan SM Entertainment agar suju digemari oleh publiknya yakni remaja wanita yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dll nampaknya tercapai. Fans-fans fanatic yang rela membeli berbagai photobook berharga ratusan ribu bahkan jutaan, harga tiket konser di luar negeri yang bisa menguras kantong orang tua mereka masing masing sudah mengindikasikan sebuah fetish atau pemujaan terhadap barang konsumsi demi sekedar kepuasan dan mendapat prestige atas kepemilikan pengalaman bisa menyaksikan ketampanan Super Junior lewat performance-nya langsung.

Dengan fetish public yang menggemari Super Junior, akan menyebabkan apa yang disebut sebagai alienasi total atau keterasingan total. Sekali mereka suka dan tersihir dengan ketampanan Super Junior, selanjutnya akan memuja Super Junior dan memilikir asa keingintahuan yang besar seputar apa yang sedang Super Junior lakukan, siapa yang dekat dengan mereka, mereka sedang dimana, dll yang sebenarnya masih banyak hal yang bisa diurusi dan lebih penitng untuk disimak misal masalah masalah social di Indonesia. Orientasi para penggemar Super Junior bukan lagi terletak pada musik tetapi pada apa yang dilakukan Super Junior dan pada ketampanannya. Karena menurut pengamat musik sendiri, kualitas vocal Super Junior belum menjadi sebuah ketertarikan khusus.

Pemujaan atau fetish terhadap Super Junior akan menimbulkan apa yang disebut marx sebagai reifikasi. Istilah singkat dari reifikasi adalah pematerian, maksudnya jika ada penilaian untuk sebuah kesuksesan, maka kesusksesan itu diukur dari apa yang dimiliki/objek tertentu . satu orang akan menjadi sorotan dan pusat perhatian ketika memiliki sebuah photobook Super Junior

mahal yang harganya mencapai jutaan rupiah yang tentunya tidak bisa dimiliki anak lain. Populaaritas dalam kehidupan social dengan sendirinya akan naik dengan ia memiliki tiket konser Super Junior atau photobooknya.

Super Junior dalam simulacrum nya, menciptakan sebuah hyper-reality.

Hyper-reality itu

terletak pada konsep pria tampan yang dibentuk lewat simulacrum yang terdiri dari gabungan banyak simbol dan pencitraan atas Super Junior, misalnya dalam aspek fashion, penampakan fisik, dan lain lain.

Dampak dari simulacra konsep/criteria ganteng dengan representasinya yakni Super Junior membuat orang terutama penggemar kehilangan kesadaran akan sebuah konsep ketampanan. Selera mereka menjadi homogen atau sama. Selain itu mereka cenderung memiliki pandangan dan penilaian yang lebih sempit, misalnya jika melihat seorang pria maka pria tersebut akan dibandingkan dengan Super Junior. Sisi kritis akan berkurang bahkan cenderung hilang karena termakan oencitraan dan terjebak dalam hyper-reality tau realitas yang berlebih. Ketika kritis mengahruskan kita untuk tahu mengapa sesuatu itu dikatakan A, maka dengan memuja bahkan menjadikan ciri ciri ketampanan ala boyband layaknya Super Junior sifat kritis akan berkurang karena sesungguhnya hiper realita yang ditimbulkan/simulacra yang ada tidak memilikireferensi atau sejarah/asal usul yang jelas. Siapa yang bisa menjawab seperti apa idealnya pria yang tampan?

Menurutnya dalam masyarakat konsumer, dunia terbentuk dari hubungan berbagai tanda (sign) dan kode acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Sebuah sign bukan lagi representasi dari realitas karena realitas itu dibentuk dan diatur sedemikian rupa jadi bukan realitas yang sebenarnya. Sign yang fakta digabung dengan yang semu lewat produksi citra (pencitraan) sehingga saling tumpang tindih dan bergabung menjadi satu kesatuan yang sulit lagi dibedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata atau mana kenyataan yang benar sebenar benarnya. Realitas itu adalah realitas yang ada dan kita hidupi sekarang.

3.

PENUTUP

Kriteria tampan yang ideal di masyarakat sudah memasuki fase hyper-reality karena simulacra atau tidak bisa lagi dibedakan mana criteria yang sebenarnya, mana criteria yang berasal dari pencitraan dan konstruksi media. Kebenaran atau realita yang ada di masyarakat sekarang, criteria tampan adalah mengikuti konstruksi media dan para pengontrol kapitalisme.

Super junior merupakan representasi dari sebuah konsep ketampanan yang ideal dari konstruksi dan pencitraan dai media. karena pencitraan dan konstruksi yang dilakukan terus menerus tersebut maka penilaian dan kesadaran akan criteria pria tampan menjadi sebuah homogenitas di benak public atau dengan kata lain selera orang menjadi sama. Pandangan dan cara orang menilai pun menjadi sempit karena berpatok kepada konstruksi media dengan representasinya Super Junior.

DAFTAR PUSTAKA

Kellner, Douglas, Baudrillard Reader, Cambridge, Blackwell, 1994 Kellner, Douglas, Jean Baudrillard, diunduh dari http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/, 2007 Pawlett, William, Against Banality The Object System, the Sign System and the Consumption System, 2008) Kellner, Douflas, Baudrillard and the Art Conspiracy, diunduh dari International Journal of Baudrillard Studies, Volume 5, Number 1 (January,

http://gseis.ucla.edu/faculty/kellner/index.html Baudrillard, Jean, Seduction (Terjemahan Brian Singer), New World Perspectives,1990 Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation (Terjemahan Sheila Faria Glaser), Michigan Baudrillard, Jean, The Violance of The Global (Terjemahan Francois Debrix), diunduh dari http://www.ctheory.net/printer.asp?id=385 Baudrillard, Jean, Screened Out (Terjemahan Chris Turner), New York, Verso,2002 Witwer, Julia(ed.), Jean Baudrillard, Vital Illusion, New York, Columbia University Press, 2000 Lane, Richard J, Jean Baudrillard, New York, Routledge, 2001 Radike, Tectona(ed.), Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional (Terjemahan Teguh Wahyu Utomo), Yogyakarta, BACA!, 2010

Anda mungkin juga menyukai