Anda di halaman 1dari 9

Abraham Samad Sosok Advokat Pejuang Keadilan

Saat itu usia Abraham Samad baru saja menginjak sembilan tahun, ketika ayahnya, Andi Samad, seorang tokoh pejuang kemerdekaan 45 berpulang ke Rahmatullah. Memang tak ada yang lebih mennyedihkan ketika harus menghadapi sebuah kenyataan pahit bahwa seorang yang selama ini menjadi penopang hidup keluarga telah dipanggil oleh sang pencipta. Lahir pada tanggal 27 November 1967, di Makassar, Abraham Samad tumbuh dalam pengasuhan ibunya. Sebagai anak yang sejak kecil ditinggal ayahnya, Abraham memang menjadi sangat terikat secara emosional dengan sang ibu. Hubungan ini demikian kuat. Bahkan bagi Abraham, sosok ibunyalah yang senantiasa menjadi pilar dalam menuntut hidupnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Abraham Samad kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasional, Makassar, tahun 1980. Disekolah ini, Abraham semakin tumbuh dalam pribadi yang sangat kritis. Sikap kritisnya ini kemudian tercermin dari sifatnya yang sangat tidak nyaman terhadap proses ketidakadilan yang dijumpainya. Inilah saat-saat di mana Abraham mulai membentuk wataknya yang tidak mengenal kompromi terhadap apa yang dianggapnya sebagai penyimpangan. Pribadi ini kemudian berlanjut dan memperoleh ruang pertumbuhannya ketika ia memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA) Katolik Cendrawasih, Makassar, tahun 1983. Saat itu Abraham terbilang populer diantara kawan-kawannya. Jiwanya yang kritis dan memberontak ini sering meledak dalam dirinya, membuat Abraham seringkali terlibat perkelahian antara sesama siswa (tawuran), hanya

karena keinginan membela kawan-kawannya. Sikap kesetiakawanan ini menjadikan Abraham dijadikan tempat mengadu kawan-kawannya yang sedang terlibat masalah. Setelah menyelesaikan studinya di Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1987, Abraham kemudian melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Pilihannya saat itu cuma satu, Fakultas Hukum sebagaimana yang memang menjadi keinginannya sejak kecil. Abraham pun mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan diterima di sana. Memasuki dunia kampus, bagi Abraham seperti menemukan tempatnya untuk mengaktualisasikan diri. Setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar tahun 1992, Abraham sedikit goyah dalam penentuan karir profesi yang akan digelutinya kelak. Pada satu sisi, ia sangat berkeinginan untuk menekuni profesi advokat, karena pada dunia inilah ia bisa melakukan pengabdian untuk melakukan pembelaan terhadap orang-orang yang hak-haknya terlanggarkan serta dirugikan sesuai dengan pangilan hatinya. Namun di sisi lain, ibunya lebih mengharapkan agar Abraham untuk menjadi seorang Birokrat. Namun sebelum benar-benar terjun pada profesi advokat, Abraham memulainya dengan magang terlebih dahulu. Agaknya, ada hal-hal tertentu yang selalu saja menggelisahkan hati Abraham sejak pertama kali menjejakkan kakinya dalam belantara penegakan hukum di Indonesia. Kegeliasahan tersebut semakin lama semakin membesar ketika ia semakin memahami bahwa sistem hukum Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya. Ada suatu kasus yang ditangani oleh Abraham Samad yaitu kasus bom Makassar beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, Abraham terlihat semakin aktif dalam melakukan pembelaan terhadap korban

perlakuan tidak adil dengan isu teroris yang saat itu sangat sensitif dan cenderung dihindari oleh para advokat lain. Sebagai seorang praktisi hukum sekaligus tokoh pejuang anti korupsi, Abraham sangat prihatin terhadap fenomena budaya korupsi yang merajalela di negeri ini. Dalam pandangannya, dunia hukun dan peradilan di Indonesia sudah sangat terkontaminasi oleh perilaku korupsi ini. Para penegak hukum, termasuk para advokat saat ini telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi itu. Inilah yang menjadikan sistem peradilan kita mengalami proses pengeroposan, dimana budaya korupsi ini secara langsung menyebabkan perlakuan terhadap rakyat kecil menjadi sampai tidak adil, papar Abraham. Dengan demikian, lanjut Abraham, apapun bentuk program yang akan dijalankan untuk mengeliminir kecenderungan budaya perilaku korup ini, bila mafia hukum dan peradilan tidak diberantas, maka semua itu tak akan ada gunanya. Namun sampai saat ini, Abraham sama sekali tidak melihat adanya upaya tersebut.

BUNDA TERESA
Bunda Teresa, seorang yang memberi hatinya untuk melayani di tengah-tengah masyarakat miskin di India.Dilahirkan di Skopje, Albania pada 26 Agustus 1910, Bunda Teresa merupakan anak bungsu dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu. Ia memiliki dua saudara perempuan dan seorang saudara lelaki. Ketika dibaptis, ia diberi nama Agnes Gonxha. Ia menerima pelayanan sakramen pertamanya ketika berusia lima setengah tahun dan diteguhkan pada bulan November 1916. Ketika berusia delapan tahun, ayahnya meninggal dunia, dan meninggalkan keluarganya dengan kesulitan finansial. Meski demikian, ibunya memelihara Gonxha dan ketiga saudaranya dengan penuh kasih sayang. Drane Bojaxhiu, ibunya, sangat memengaruhi karakter dan panggilan pelayanan Gonxha. Ketika memasuki usia remaja, Gonxha bergabung dalam kelompok pemuda jemaat lokalnya yang bernama Sodality. Melalui

keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan yang dipandu oleh seorang pastor Jesuit, Gonxha menjadi tertarik dalam hal misionari. Tampaknya hal inilah yang kemudian berperan dalam dirinya sehingga pada usia tujuh belas, ia merespons panggilan Tuhan untuk menjadi biarawati misionaris Katolik. Pada tanggal 28 November 1928, ia bergabung dengan Institute of the Blessed Virgin Mary, yang dikenal juga dengan nama Sisters of Loretto, sebuah komunitas yang dikenal dengan pelayanannya di India. Ketika mengikrarkan komitmennya bagi Tuhan dalam Sisters of Loretto, ia memilih nama Teresa dari Santa Theresa Lisieux. Suster Teresa pun dikirim ke India untuk menjalani pendidikan sebagai seorang biarawati. Setelah mengikrarkan komitmennya kepada Tuhan, ia pun mulai mengajar pada St. Marys High School di Kalkuta. Di sana ia mengajarkan geografi dan katekisasi. Dan pada tahun 1944, ia menjadi kepala sekolah St. Mary. Akan tetapi, kesehatannya memburuk. Ia menderita TBC sehingga tidak bisa lagi mengajar. Untuk memulihkan kesehatannya, ia pun dikirim ke Darjeeling. Dalam kereta api yang tengah melaju menuju Darjeeling, Suster Teresa mendapat panggilan yang berikut dari Tuhan; sebuah panggilan di antara banyak panggilan lain. Kala itu, ia merasakan belas kasih bagi banyak jiwa, sebagaimana dirasakan oleh Kristus sendiri, merasuk dalam hatinya. Hal ini kemudian menjadi kekuatan yang mendorong segenap hidupnya. Saat itu, 10 September 1946, disebut sebagai Hari Penuh Inspirasi oleh Bunda Teresa.

Selama berbulan-bulan, ia mendapatkan sebuah visi bagaimana Kristus menyatakan kepedihan kaum miskin yang ditolak, bagaimana Kristus menangisi mereka yang menolak Dia, bagaimana Ia ingin mereka mengasihi-Nya. Pada tahun 1948, pihak Vatikan mengizinkan Suster Teresa untuk meninggalkan ordonya dan memulai pelayanannya di bawah Keuskupan Kalkuta. Dan pada 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya ia memakai pakaian putih yang dilengkapi dengan kain sari bergaris biru.

Ia memulai pelayanannya dengan membuka sebuah sekolah pada 21 Desember 1948 di lingkungan yang kumuh. Karena tidak memiliki dana, ia membuka sekolah terbuka, di sebuah taman. Di sana ia mengajarkan pentingnya pengenalan akan hidup yang sehat, di samping mengajarkan membaca dan menulis pada anak-anak yang miskin. Selain itu, berbekal pengetahuan medis, ia juga membawa anak-anak yang sakit ke rumahnya dan merawat mereka. Tuhan memang tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya berjuang sendirian. Inilah yang dirasakan oleh Bunda Teresa tatkala perjuangannya mulai mendapat perhatian, tidak hanya individuindividu, melainkan juga dari berbagai organisasi gereja. Pada 19 Maret 1949, salah seorang muridnya di St. Mary bergabung dengannya. Diinspirasi oleh gurunya itu, ia membaktikan dirinya untuk pelayanan kasih bagi mereka yang sangat membutuhkan. Segera saja mereka menemukan begitu banyak pria, wanita, bahkan anak-anak yang sekarat. Mereka telantar di jalan-jalan setelah ditolak oleh rumah sakit setempat. Tergerak oleh belas kasihan, Bunda Teresa dan rekan barunya itu pun menyewa sebuah ruangan untuk merawat mereka yang sekarat. Pada tanggal 7 Oktober 1950, Missionary of Charity didirikan di Kalkuta. Mereka yang tergabung di dalamnya pun semakin teguh untuk melayani dengan sepenuhnya memberi diri mereka untuk melayani kaum termiskin di antara yang miskin. Mereka tidak pernah menerima pemberian materi apa pun sebagai balasan atas pelayanan yang mereka lakukan. Pada awal 1960-an, Bunda Teresa mulai mengirimkan sustersusternya ke daerah-daerah lain di India. Selain itu, pelayanan dari Missionary of Charity mulai melebarkan sayapnya di Venezuela (1965), yang kemudian diikuti oleh pembukaan rumah-rumah di Ceylon, Tanzania Roma, dan Australia yang ditujukan untuk merawat kaum miskin. Setelah Missionary of Charity, sejumlah yayasan pun didirikan untuk memperluas pelayanan Bunda Teresa. Yang pertama ialah Association of Coworkers sebagai afiliasi dari Missionary of Charity. Asosiasi ini sendiri di setujui oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1969.

Meskipun merupakan afiliasi Missionary of Charity, asosiasi ini memiliki anggaran dasar tersendiri. Selama tahun-tahun berikutnya, dari semula melayani hanya dua belas, Missionary of Charity berkembang hingga dapat melayani ribuan orang. Bahkan 450 pusat pelayanan tersebar di seluruh dunia untuk melayani orang-orang miskin dan telantar. Ia membangun banyak rumah bagi mereka yang menderita, sekarat, dan ditolak oleh masyarakat, dari Kalkuta hingga kampung halamannya di Albania. Ia juga salah satu pionir yang membangun rumah bagi penderita AIDS. Berkat baktinya bagi mereka yang tertindas, Bunda Teresa pun mendapatkan berbagai penghargaan kemanusiaan. Pada tahun 1979, ia menerima John XXIII International Prize for Peace. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Paus Paulus VI. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh penghargaan Good Samaritan di Boston. Setelah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun di India, tentu saja pemerintah India tidak menutup mata akan pelayanannya. Maka pada tahun 1972, Bunda Teresa menerima Pandit Nehru Prize. Setahun kemudian, ia menerima Templeton Prize dari Pangeran Edinburgh. Ia terpilih untuk menerima penghargaan tersebut dari dua ribu kandidat dari berbagai negara dan agama oleh juri dari sepuluh kelompok agama di dunia. Puncaknya ialah pada tahun 1979 tatkala ia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Hadiah uang sebesar $6.000 yang diperolehnya disumbangkan kepada masyarakat miskin di Kalkuta. Hadiah tersebut memungkinkannya untuk memberi makan ratusan orang selama setahun penuh. Ia berkata bahwa penghargaan duniawi menjadi penting hanya ketika penghargaan tersebut dapat membantunya menolong dunia yang membutuhkan. Pada tahun 1985, Bunda Teresa mendirikan pusat rehabilitasi pertama agi korban AIDS di New York. Menyusul kemudian sejumlah rumah penampungan yang didirikan di San Fransisco dan Atlanta. Berkat upayanya ini, ia mendapatkan Medal of Freedom. Pelayanan Bunda Teresa sama sekali tidak mengenal batas. Dipupuk di kampung halamannya, ia mengawali pelayanan di India. Dari India, pelayanannya meluas hingga ke seluruh penjuru dunia. Ia, di

antaranya, berkunjung ke Etiopia untuk menolong korban kelaparan, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa bumi di Armenia. Memasuki tahun 1990-an, kondisi tubuh Bunda Teresa tidak mengizinkannya melakukan aktivitas yang berlebihan, khususnya setelah serangan jantung pada 1989. Kesehatannya merosot, sebagian karena usianya, sebagian karena kondisi tempat tinggalnya, sebagian lain dikarenakan perjalanannya ke berbagai penjuru dunia. Menyadari kondisi kesehatannya yang demikian, Bunda Teresa meminta Missionary of Charity untuk memilih penggantinya. Maka, pada 13 Maret 1997, Suster Nirmala terpilih untuk meneruskan pelayanan Bunda Teresa. Bunda Teresa akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 September 1997 dalam usia 87 tahun. Berbagai petinggi dari 23 negara menghadiri pemakamannya. Upacara pemakaman diadakan pada 13 September 1997, di Stadion Netaji, India, yang berkapasitas 15.000 orang. Atas kebijakan Missionary of Charity, sebagian besar yang menghadiri upacara tersebut adalah orang-orang yang selama ini dilayani oleh Bunda Teresa.

Dominikus

Awal abad ke-13 aliran bidah Albigens dari kota Albi di Perancis Selatan sangat merongrong ajaran Gereja. Mereka memandang segala yang jasmani jahat, mengingkari Tritunggal, menyangkal penjelmaan dan penebusan yang dilakukan oleh Kristus. Semua sakramen, ibadat dan apa saja yang Nampak pada gereja ditolak. Saking fanatiknya mereka merusak gereja dan biara, menghancurkan gambar-gambar suci dan salib. Segala hubungan antara gereja dan Negara ditiadakan. Pada saat yang sangat penting ini, seorang uskup Spanyol bersama pembantunya melintasi daerah bidah itu dalam perjalanan mereka ke Denmark. Mereka bertemu dengan para pengkhotbah utusan paus yang sudah patah semangat. Tak seorang pun mau bertobat. Dua orang Spanyol menasehatkan, supaya mereka melepaskan segala lambing kehormatan dan kekayaan ; dan bersama mereka menjelajahi pedesaan sebagai musafir miskin dan bergaul rapat dengan rakyat yang sesat. Ketika uskup itu meninggal, Dominikus Guzman, pembantunya, terketuk hatinya untuk terjun ke kancah perjuangan ini. Dominikus dilahirkan dari keluarga Kristen saleh di Spanyol. Sepanjang hari ia menelusuri jalan-jalan sehingga sampai ke pusat kubu pertahanan bidah Albigens. Ia berkhotbah menyampaikan Warta Gembira sejati dan mengadakan diskusi baik dib alai kota, bangsal istana maupun di gereja. Meski nyawanya dibayangi oleh pembunuh-pembunuh bayaran, namun ia menyerang ajaran sesat itu tanpa kenal lelah. Dominikus memberikan kuliah khusus untuk meningkatkan mutu imam-imam. Bersama enam rekannya yang tangguh ia mendirikan Ordo Praedicatorumatau Ordo Para Pengkhotbah. Tujuan pokok mordo ini adalah menyebarluaskan ajaran gereja dan membersihkannya dari segala noda kesesatan.

Pada tahun 1216, ordo yang lebih dikenal dengan Dominikan ini disahkan oleh Paus Honorius III. Ordo ini berkembang pesat sehingga Dominikus terpaksa sering berkeliling menekankan kemiskinan, studi dan karya apostolic. Ia tidak menghendaki biara-biara memiliki tanah ; ia menolak kuda dan berjalan kaki menempuh jarak ribuan kilometer, walaupun sudah lanjut usia dan menderita sakit. Dominikus dipanggil Tuhan di biara Bologna pada tanggal 6 Agustus 1221. Kepada saudara-saudaranya ia berpesan : Tetaplah penuh pada cinta kasih dan kerendahan hati, dan jangan tinggalkan nkemiskinan! Dominikus, pendiri Ordo Para Pengkhotbah ; lahir di Kalaruega (Spanyol ; 1170) dan wafat di Bologna (Italia ; 1221)Nama Dominikus berarti milik Tuhan. Santo Dominikus dilambangkan dengan bintang dan anjing dengan obor di moncongnya ; atau Bunda Maria sedang menyerahkan Rosario kepada biarawan yang berjubah putih dengan mantol hitam. Peringatan akan Santo Dominikus diperingati setiap tanggal 8 Agustus.

Anda mungkin juga menyukai