Anda di halaman 1dari 23

Perbudakan Dalam Islam

Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia


Subject: [mus-lim] Pemahaman yang sangat menyimpang Date: Thu, 2 Mar 2000 15:39:01 EST From: MSali95949@aol.com Reply-To: mus-lim@isnet.org To: imsa@imsa.nu, mus-lim@isnet.org

Assalamualaikum, Dalam jawabannya terhadap suatu pertanyaan yang diajukan kepadanya, Gus Dur kembali menyampaikan omongan yang tidak berdasar, baik dari sudut syar'i juga dari sudut fakta di lapangan (lihat potongan berita dari Suara Merdeka di bawah ini). Gus Dur mengatakan bahwa terjadinya pemerkosaan di Saudi diakibatkan oleh pemahaman orang-orang Saudi yang menilai bahwa pembantu Rumah Tangga adalah budak wanita (amatun). Dengan kata lain, menurut Gus Dur, bagi orang Saudi melakukan hubungan dengan pembantunya adalah legal, karena mereka menerapkan hukum Islam kuno, di mana budak wanita dapat digauli begitu saja. Kekeliruan Gus Dur pertama adalah tidak memahami secara kaaffah ruh syariat dalam perihal perbudakan. Selama ini, kata budak wanita dalam Al Qur'an disebut dengan dua istilah: Pertama, jika budak itu disebutkan secara umum bukan dalam konteks hubungan suami-isteri (seksual), maka ia disebut "AMATUN" (wa laamatun mu'minatun khaerun min musyrikatin walaw a'jabatkum" (Al Baqarah: 221). Kedua, jika budak itu disebut dalam konteks hubungan seksual, maka ia disebut "Milkul yamiin" (Aw maa malakat aemaanukum) di S. an Nisa: 4 misalnya. Dari kedua penyebutan di atas jelas, bahwa dalam Islam seandainya memang ada budak, tak akan dibenarkan untuk digauli sampai terjadi proses hukum yang disebut "NIKAH". Jika seorang "AMATUN" tadi dinikahi maka secara otomatis akan berubah statusnya menjadi "Milkul-yamin" (milik tangan kanan, yang dapat diartikan dimiliki secara sah), yang sebenarnya statusnya bukan lagi budak, tapi isteri sah dari bekas tuannya. Contoh terdekat dari kasus ini adalah Ibrahim. Hingga saat ini, orang-orang Yahudi masih memandang rendah orang-orang Arab, karena dianggap keturunan budak. Maklumlah, Ismail itu adalah anaknya "HAJAR" yang merupakan hadiah "budak perempuan" (amataun) dari seorang raja untuk Ibrahim. Namun setelah diizinkan

oleh Sarah untuk dinikahi, statusnya berubah dari budak/amatun menjadi milkul yamiin atau perempuan yang dimiliki secara sah atau isteri. Penjelasan ini sesuai dengan ruh Islam yang datang dengan tujuan, salah satunya, membebaskan perbudakan di atas bumi ini. Salah satunya dengan menganjurkan kepada para tuan untuk mengawini budaknya sehingga secara otomatis terbebas dari perbudakan. Nah, dengan demikian, jelas sekali bahwa pemahaman Gus Dur terhadap ayat-ayat Al Qur'an sangat parsial. Kekeliruan kedua GD adalah mengatakan bahwa perkosaan disebabkan karena anggapan orang Arab yang salah di atas. Saya berani mengatakan, ucapan ini adalah ungkapan yang tidak berdasar serta 100% keliru. Saya pernah tinggal di Saudi kurang lebih 3 tahun. Sebagai orang yang bekerja di Kantor Da'wah, dan banyak berhubungan dengan masyarakat, saya tahu persis apa sesungguhnya yang terjadi di kalangan TKW kita. Pertama, tidak ada jaminan hukum bagi pekerja informil. TKW dalam hubungan antar bangsa diangap sebagai pekerja informil. Ternyata, pembantu rumah tangga Indonesia belum memiliki jaminan hukum yang menjamin hak-haknya. Baik di pihak Saudi Arabia maupun Indonesia. Sehingga, jika terjadi pelanggaran, tidak ada kewajiban formal apapun bagi pihak pemerintah manapun untuk bertanggung jawab, baik pemerintah Saudi maupun Indonesia. Itulah sebabnya, beberapa kali kita lihat pekerja kita punya masalah, namun pihak KBRI tidak tahu menahu, karena memang, secara formal tidak ada kewajiban pemerintah setempat untuk memberitahu pemerintah Indonesia. Ini salah satu penyebab sehingga para majikan itu leluasa untuk memperlakukan pembantu rumah tangganya. Kedua, ketertutupan. Kita tahu bahwa tradisi kehidupan di Saudi sangat tertutup. Sehingga banyak kejadian-kejadian yang sebenarnya dapat diantisipasi sebelum mencapai bahaya besar, namun tidak dapat dilakukan karena ketertutupan tersebut. Ketiga, Tidak adanya penyesuaian. Kehidupan orang-orang Arab adalah tertutup dari kebiasaan "tabarruj". Beberapa TKW kita ternyata belum mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan hidup ini. Sehingga seringkali dianggap pancingan oleh majikannya.

Keempat, dalam beberapa kasus memang moral orang-orang Arab sangat bejat. Adanya TKW di sekelilingnya terkadang dijadikan pelampiasan dari ketertutupan tadi. Kelima, ada juga memang dilakukan secara rela oleh TKW kita. Ini diakibatkan karena kehidupan yang tertutup tadi dengan fasilitas tontonan yang cukup memadai, film-film dari Israel mudah dijangkau di Saudi hingga di Mekah sekalipun. Apalagi, banyak di antara TKW ini yang sudah bersuami lalu berpisah bertahun-tahun dengan suaminya. Dapat dibayangkan, bagaimana naluri kewanitaannya tersebut. Demikian seterusnya, saya kira para pembisik Gus Dur perlu membisiki segera Gus Dur tentang hal ini. Supaya Gus Dur dapat tahu bagaimana ngomong yang benar. Wassalam, M. Syamsi Ali New York

Proses Pendidikan di Dunia Islam Menyambut Gejolak Sains & Teknologi


Oleh Budiman Musthopa, Lc. Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius dalam berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan nilai 'insaniyatul -insan' dengan menciptakan three balance; ruh, akal (rasio) dan jasad. Ketiga unsur tersebut merupakan integritas utuh (setali seikat) yang menolak tindakan dikotomi. Jika benar dikotomi itu terjadi, maka akan hadir karakteristik keilmuan yang justru semakin dipertanyakan timbangan komitmennya ; komitmen ilmiah, komitmen moral dan komitmen spiritual. Dan akhirnya kita semakin yakin dan optimis bahwa profil yang demikian akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat mature of civilization yang bisa dipersaksikan (syuhada 'ala naas) proyek kerjanya. Tidak ada yang mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah peradaban manusia, baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun karena ia adalah amal manusia maka tidak lepas dari evaluasi. Dalam sebuah kesempatan Dr. Munawar Ahmad Anees, seorang pakar biologi yang telah banyak menulis tentang masalah-masalah etika dan moral dalam bidang sains dan teknologi, mencoba mengevaluasi fenomena ini mengatakan "... kemudian diterjemahkan dalam tindakan sosial, maka masyarakat apakah yang akan terbentuk?" Benar apa yang diungkapkan beliau bahwa potret-potret peradaban pada zaman interplaniter ini belum bisa mewakili idealisme kemanusiaan yang kita harapkan.

Negara sosialis dan kapitalis yang notabene beraliansi material dan menerapkan praktek sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru. Kondisi mereka telah disinyalir oleh QS. Al Nahl:26 "Maka Allah Swt hancurkan sendisendi dan fondasi bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta hancurlah apa yang mereka bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka tanpa mereka rasakan." Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka Ismail Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba mencipta kilas balik dalam bentuk Proyek Islamisasi Pengetahuan yang dimulai dari pembenahaan dan penataan kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi pendidikan sains dirasa sangat perlu mengingat sains merupakan salah satu perangkat terpenting untuk maju dan bangkit.
Tentang Visi Pendidikan Islam

Pendidikan ibarat sebuah rahim yang didalamnya terdapat gen-gen dengan komposisi yang rapi dan dengan segala benih-benih kapabilitas yang ada. Ia juga merupakan sebuah iklim yang memenuhi syarat untuk memelihara dan menumbuhkembangkan segala potensi dan kapabilitas yang diperlukan oleh masyarakat yang terpendam pada setiap individu. Maka dari itu perlu adanya usaha penggalian potensi, pengarahan (orientasi) dan perencanaan yang baik. Dikarenakan masih terlalu banyak pos-pos yang kosong yang sangat membutuhkan sebuah profesionalisme (spesialisasi kerja). Dan agaknya memang disini kelemahan kita, kurang berani mengeksploitasi sumber daya, kemudian mengarahkannya kebidang dunia spesialisasi. Kemudian perlu diyakini bahwa proses pendidikan adalah kerja kombinasi, tidak bisa berdiri sendiri. Tidak mungkin ada orang yang berbicara tentang pendidikan tanpa memiliki kecakapan yang cukup dalam bidang agama, sirah (sejarah hidup Nabi Saw) dan sejarah Islam. Karena pada hakekatnya ia merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai spesialisasi dan dari rahimnya akan terlahir produk pendidikan. Tanpa adanya faktor-faktor ini tidak mungkin akan terjadi sebuah kelahiran, karena 'rahim' pendidikan saat itu sudah masuk fase 'monophause'.(1) Kita juga terhenyak ketika Amerika, sebagai policy tunggal dunia dan mendahului Uni Soviet berlayar ke angkasa luar, menemukan sebuah tantangan besar yaitu rusaknya UU pendidikan dan pengajaran serta mengalami defisit sumber daya manusia (para inovator) yang kapabel. Maka dibentuklah sebuah komite yang spesifik menangani fenomena bahaya ini yang mereka sebut dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena rusaknya UU yang mengatur pendidikan dan pengajaran. Bahkan Presiden George Bush (dahulu) dalam setiap kampanye selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi tokoh pendidikan dan pengajaran. Bahkan Robert D Hormats, ahli dan penanggung jawab bidang ekonomi AS, ketika ditanya tentang problem ekonomi AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU pengajaran belum mendapat perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).

Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara gamblang dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema "Intelektualitas Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak meributkan kalangan civitas akademika AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi kalangan pendidikan tingkat tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi dalam menanamkan pengetahuan dasar kepada peserta didik, beliau mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini sedang ditimpa penyakit kelesuan berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi yang jauh dari karakter sense of civilization (rasa peradaban)."(2) Jadi, pendidikan yang sebenarnya adalah yang mampu mengkoordinasikan segala keinginan, menggali segala potensi, mengenali kapabilitas dan kecenderungan yang ada, kemudian membekalinya dengan ketrampilan sehingga mampu berinteraksi dengan realita yang ada dan ikut bangkit mencapai idealisme dan sasaran-sasaran yang memungkinkan untuk di capai.(3) Ini merupakan tujuan pendidikan secara umum, adapun pendidikan Islam sendiri kiranya tidak jauh dari kenyataan pahit semacam itu. Semboyan bahwa risalah Islam itu abadi dan relevan di setiap waktu dan tempat kiranya perlu diterjemahkan secara intensif dalam kerja pendidikan dan pengajaran. Tidak seringnya kita mengulang-ulang semboyan itupun juga tidak akan mengurangi bahwa Risalah Islam abadi dan selalu relevan. Kondisi pendidikan Islam saat ini yang kurang mampu mencetak profil yang ideal diantaranya karena kita selalu berdalih dengan keabadian Risalah (Khulud al Risalah) yang mengesankan tidak ada kilas balik dari ummat ini. Kemudian juga karena pikiran kita yang mengklaim bahwa sarana-sarana pendidikan itu harus 'Islami' masih sangat terbatas penafisrannya, dan perlu pengkayaan kembali maknanya dan pengembangannya hingga mampu menjad 'syuhud al had hari' dan sesuai dengan sifat khulud al risalah.(4) Karena memang benar adanya bahwa: "Al bayan minal sama wa al dalil mina al ardh," (penjelasan/juklak itu dari langit, adapun pembuktian dalam kerja dari bumi). Kemudian visi pendidikan tentang ilmu pengetahuan juga perlu dievaluasi dan diperkokoh jika memang telah benar. Sebab ilmu sendiri merupakan sarana yang mengantarkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang lebih matang. Bangunan ideal yang diharapkan tegak itu tidak akan eksis kecuali jika subyek pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana yang diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut. Yang perlu ditekankan lagi dalam proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah hubungan yang dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal. Visi yang keliru tentang hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas di benua Eropa pada abad-abad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gerejani mandul dalam memegang perannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat dan memerangi ilmu pengetahuan. Selain itu juga menciptakan kondisi yang jumud (ortodox) dan taklid, memborgol kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka bahu-

membahu dengan para tuan tanah dan penguasa menciptakan jurang pemisah antara mereka dan masyarakat marginal. Semboyan yang mereka agung-agungkan adalah: "Iman dahulu baru ilmu (berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan dengan apa adanya (dalam kondisi buta)," dan semboyan yang disambung lewat lidah pastur:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah aku." (5) Adagium-adagium seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah) berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104. "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya," dan QS Al Ahzab:67:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan pembesar kami," atau perkataan: " Sesungguhnya diriku ini tergantung pada manusia." (6) Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan Al Qur'an tentang hal serupa sebagaimana ia menolak bahwa tidak cukup bagi seorang muslim hanya berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu & al Yakin,'(lihat QS al Nisa:157). Al Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai penyeru dan petunjuk ke kawasan iman (lihat QS. Al Hajj:54). Ilmu yang benar akan diikuti proses selanjutnya dengan iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati (wujdan) dengan tunduk dan khusyuk kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu merupakan dalil amal, sebagaimana ia juga dalil iman. Imam Bukhari juga turut meletakkan konsep dasar keilmuan dalam bukunya "Al Jami al Shohih" beliau mengatakan,"Ilmu ibarat pintu, sebelum berucap dan beramal." (7) Dalam arti kecepatan kata dan tindakan seyogyanya tidak melebihi kualitas dan kuantitas keilmuan seseorang, sehingga tidak terbentuk profil split personality (kepribadian yang terpecah-pecah). Bahkan menurut Ibnu al Munir jika muatan kata dan tindakan lebih berat ketimbang muatan ilmu maka ia dianggap sebagai kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam Bukhari dapat ditarik kesan bahwa kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan keuntungan yang berarti pada jajaran kemanusiaan jika tidak menyeberangi jembatan amal dan ini merupakan Islam mainstream, sekaligus sebagai warning bagi mereka yang mengabaikan urgensinya posisi ilmu dan menganggap remeh dalam proses pencariannya. (8) Dan kondisi ummat akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau intelektualitasnya di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang dengan proyek rekonstruksi 'Insaniyatul-insan. Apalagi daerah-daerah yang menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah tersebutlah yang menuntun manusia dalam memandang wujud, kehidupan, tindakan manusia, situasi dan kondisi sekitar, nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua substansi yang ada korelasinya dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9) Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika tidak diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan individu). Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul, berkembang dan dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang diktator. Dan benar apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin kalian

adalah cerminan dari kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin tidak lain hanyalah barang warisan sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya, iklim pendidikannya dan pengetahuannya. Dengan demikian, berarti hubungan antara individu dan jama 'ah (masyarakat) dalam proses pendidikan dan pengajaran dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu menjadi premis dan outcome. Sebab kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan individu-individu yang merubah wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang menjadi catatan penting bahwa gerakan pembaha ruan tidak mungkin berhasil tanpa adanya pembinaan group (educational group). Maka semakin solid perkataan yang berbunyi "Manusia tergantung kepada ideologi penguasanya." Betapa banyak tindakan tirani seorang penguasa menular kepada rakyatnya, mematikan ruh rakyat disebabkan bercokolnya faham Fir'aunisme pada diri penguasa. (11) Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada kepribadian rakyat antara dunia dan akhirat. Sebab siapa yang mengerahkan suatu negara beraliran sekuler, atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado, siapa lagi kalau bukan penguasa?
Tentang Referensi Pendidikan Islam

Kalau poros pendidikan (central reference) hanya terpaku pada kemampuan manusia, sementara kekuatan manusia --baik lahir maupun batin-- nisbi kemana lagi akan disandarkan? Disinilah perlu merujuk kepada konsep penyatuan antara kekuatan 'bayan samawi' dengan 'dalil ardhi', atau kekuatan 'al fikru' dengan sumber 'al dzikru' (Allah Swt). Hal tersebut sangat urgen dikarenakan beberapa alasan (12): 1. Agar tidak terjerumus kepada substansi-substansi yang lemah dan mengancam tegaknya nilai-nilai 'insaniyatul-insan', dikarenakan keterbatasan pemahaman kita. Rasulullah Saw mengingatkan agar kita: "Tidak menghancurkan Ka'bah kemudian membangunnya." Padahal kaum Quraisy saat itu menginginkan agar ka'bah dihancurkan kemudian dibangun oleh mereka, agar mereka bisa berkata bahwa hanya mereka yang membangun ka'bah. Menurut Imam Bukhari hadits-hadits menerjemahkan hadits ini dengan suatu bab yaitu "Bab orang yang meninggalkan sebagian pilihan karena khawatir akan terbatasnya pemahaman sebagian manusia tentang hal itu, sehingga mereka akan terjerumus pada realita yang lebih membahayakan." 2. Agar tidak terjadi fenomena pemubadziran ilmu. Karena setiap disiplin suatu ilmu ada pintu masuknya (ujungnya) dan ada pintu keluarnya ( ekornya). Ini sejalan dengan konsep Imam Mawardi yang mengatakan: "Ketahuilah bahwa setiap ilmu ada permulaannya (preambule) yang mengantrakan ke hulu suatu ilmu dan pengantarnya yang menunjukkan pada hakekatnya. Maka hendaklah mereka yang mencari ilmu memulai studinya dari permulaan agar sampai pada akhir. Dan mulai dari pengantar suatu ilmu agar sampai pada hakikatnya. Janganlah mencari

'akhir' sebelum 'permulaan.' Begitu juga mencari hakikat sebelum pengantarnya, sehingga 'akhir' tidak tercapai begitu juga hakikatnya. Karena sesungguhnya bangunan tanpa fondasi tidak akan tegak berdiri. Dan mengharapkan buah tanpa menanam tidak akan menuainya. 3. Agar ilmu tersebut tidak membuat peserta didik semakin menjauh dan menjaga jarak dengannya, dikarenakan kita tidak menimbang kekuatan rasio mereka.(14) Karena si pencari ilmu jika menjumpai suatu masalah yang tidak ia kuasai akan mengakibatkan kerusakan keseimbangan (equibilirium), atau bahkan membuatnya tersesat di tengah hutan belantara tidak mengetahui dimana ada jalan selamat. 4. Tidak terjebak pada gaya berpikir 'wah'. Karena jika para pemula yang telah menyerap beberapa informasi ilmu pengetahuan kemudian tidak divisualisasikan dalam amal, akan membuatnya terjebak menjadi tukang menjual teori. Mungkin seperti filosof yang menolak konsekuensi iman. 5. Agar kita selamat dari tindak kesalahan. Karena, "Jika setiap orang menceritakan segala hal yang ia dengar maka akan ditemukan banyak salahnya, sehingga ia kaan ditinggalkan oleh manusia dan tidak dijadikan sandaran perkataannya." (15) 6. Untuk menghindari adanya tindakan mengada-ada dalam agama (al Ibtida' fi al din). Seperti berbicara kepada kaum awam yang tidak bisa dipahami dan tidak rasional. Hal itu sering disebabkan karena seseorang tidak menapaki tangga-tangga ilmiah di masa pencariannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syatibi dalam bukunya Al I'tisham, sehingga orang tersebut dijauhkan pribadinya dari kata-kata hikmah, bahkan kemungkinan besar menjadi fitnah. 7. Menjaga agar para penuntut ilmu tidak mencapai titik jenuh sehingga mereka lari meninggalkan sumber ilmu, sekaligus hal tersebut akan mengurangi kharisma seseorang. Luqman al Hakim mengabstraksikan kondisi ini dengan berkata,"Sesungguhnya orang yang alim dan bijak ia akan mengajak manusia kepada ilmunya dengan diam dan merendah diri, sedang orang yang alim tapi pandir ia akan menjauhkan manusia dari ilmunya dengan memperbanyak igauan dan pembicaraan yang tidak jelas arahnya." 8. Menghindari ketidak-seimbangan antara aktivitas ilmu dan aktivitas amal (praktek). Pengalaman para alim yang bijak menunjukkan ketidak-senangan (makruh) mereka jika terjadi ketidakseimbangan antara logika (manthiq) dan rasio (akal). Sebagaimana yang dituturkan oleh Sulaiman Ibnu Abdul Malik,"Kelebihan bobot logika atas rasio adalah penipuan. Dan kelebihan bobot rasio atas logika adalah aib." Bahkan Ahnaf bin Qais mengatakan, "Kematian seseorang tersembunyi di bawah lidahnya."

Sudah sejauh itu Islam telah mengantisipasi 'fitnah' yang akan terjadi jika muncul fenomena yang tidak sejalan dengan semangat Islam. Langkah-langkah antisipasi itu merupakan bingkisan Islam terhadap dunia pendidikan sehingga usaha menciptakan pendidikan yang 'Rabbani-Oriented' (Rabbaniyat al Taklim). Hal tersebut bertujuan mengembalikan posisi ilmu pengetahuan secara proporsional dengan menyatukan unsur-unsur dalam (fitrah) manusia ; ruh, akal dan jiwa. Al Qur'an telah memberikan sinyal-sinyal positif bagi para cendekiawan yang berjuang dalam pengembaraan ilmu agar tidak masuk dalam kategori ilmuwan (experts) yang hanya tahu dan peduli terhadap fenomena keduniaan dengan mendeskreditkan permasalahan metafisik (akhirat/ghaib). (lih. QS al Rum:7). Diharapkan juga mampu menempatkan diri pada posisi yang ideal yang mampu menyatukan antara kekuatan fikir dan dzikir. Atau menyatukan proses natural (ilmi) dengan supernatural (metafisik). Imam Syafi'i sendiri dalam kisah perjalanan ilmiahnya membagi kehidupannya sehari-hari menjadi tiga bagian ; sepertiga untuk aktivitas keilmuwan, sepertiga untuk ibadah (dengan cakupannya yang universal) dan sepertiga untuk istirahat. Bahkan Al Rabi' menuturkan bahwa Imam Syafi'i sendiri --rahimullah-- menamatkan bacaan Al Qur'annya pada bulan ramadhan sebanyak 60 kali, semuanya pada waktu shalat (16), padahal begitu deras dan tajam ujung pena beliau dalam menghasilkan karya-karya yang monumental dan dijadikan pedoman dalam rujukan oleh semua ulama di dunia Islam.
Kearah Strategi Pengembangan

Keabadian risalah dan penutup kenabian (Khatm al Nubuwah) merupakan jaminan samawi yang memerlukan jaminan ardhi (tindak nyata dari bumi). Maka perputaran roda peradaban tetap berjalan sesuai dengan sunnahnya, meskipun ummat ini mempunyai jaminan samawi bahwa mereka akan memimpin peradaban. Tapi bukankah hal itu juga dengan prasyarat 'in kuntum mukminin?' (penterjemahan nilai-nilai iman dalam segala aspeknya). Aspek kausalitas inilah yang sering dipendam dalam-dalam oleh kita, sambil berbangga bahwa kita mempunyai 'guarantee' dari langit. Dengan demikian pada hakikatnya kitalah yang mempunyai tanggung jawab mengemban konsep nubuwwah (al risalah) dengan segala jaminan yang ada. Diantara jaminan samawi yang disambung lewat lidah Rasulullah Saw, sebagai stimulus umat ini untuk selalu mengupayakan aktivitas peradaban dan mencapai sebuah kemajuan dan kebangkitan adalah perkataan beliau,"Ummatku tidak berkumpul dalam hal kesesatan." Ia merupakan jaminan tekstual dan praktekal bahwa ummat ini memiliki kemampuan untuk bangkit dan maju. Ini bukan berarti tanpa hambatan dan tantangan. Diantara tantangan yang menjadi penyakit dalam tubuh ummat ini adalah lesunya instansi-instansi pendidikan untuk menciptakan kantong-kantong pergerakan ummat saat ini yang sehat dan lemahnya instansiinstansi konvensional untuk membaca setengah bagian lagi dari dimensi kehidupan ini, seperti dimensi ilmu-ilmu kemanusiaan dan kemampuan untuk membaca sunnah-sunnah sosial yang terbentang luas dalam kejiwaan manusia dan alam ini.

Dua kelesuan ini; lesunya memahami wacana alam ( kitab al kaun) dan sosial (al ijtima' al basyari), mempunyai kilas balik terhadap kemampuan membaca al kitab dan al sunnah yang rendah. Inilah yang barangkali membuat perputaran roda ummat ini diluar orbit peradaban dunia saat ini. Dus,ditambah dengan kesalahpahaman ummat ini terhadap konsep fiqih tentang fardhu kifayah. Penafsiran fardhu kifayah yang telah beredar di kalangan kita adalah 'kalau ada sebagian ummat (orang) yang melaksanakannya maka terlepaslah dosa bagi mereka yang tidak melaksanakan nya,' padahal yang dimaksud dengan 'qama bihi' (melaksanakannya) adalah melaksanakan suatu perintah dengan profesional (sempurna) hingga mencukupi prosentase sosial (kebutuhan sosial) bukan hanya sekedar melaksanakan. (17) Ini diantara hal yang menjadi evaluasi bagi para perancang kurikulum pendidikan yang berprinsip asal jadi. Dengan demikian, dunia pendidikan Islam sangat membutuhkan langkah-langkah strategis untuk menyambut kebangkitan sains dan teknologi di abad ini. Diantara strategi itu (18): 1. Diperlukan kode etik dalam bidang pemikiran Islam dan penge tahuan Islam yang disandarkan pada konsep-konsep Al Qur'an. Dan dipahami dengan bahasa Arab sebagaimana Rasulullah Saw dan generasi Islam pertama. Poin ini sangat urgen untuk mengantarkan kaum muslimin unutk mencapai produk-produk teknologi yang pernah dicapainya pada abad pertengahan. Ini bukan berarti kita ingin bernostalgia dengan kejayaan kita saat itu. Akan tetapi yang kita inginkan adalah metode pemikiran Islam yang orisinil. Tujuannya untuk menghindari pola pikir yang tunggal material-oriented dalam menyikapi gejolak sains dan teknologi. Konsekuensinya, menuntut dicantumkannya materi ilmu-ilmu alam, hitung dan teknologi menurut visi Islam dalam kurikulum pendidikan Islam konvensional, baik disekolah-sekolah pemula atau perguruan tinggi dengan menanamkan persepsi bahwa semua adalah ilmu Islam. Sebaliknya, dalam kurikulum pendidikan ketrampilan praktis (bidang ilmu dan teknologi) juga tidak bisa menganaktirikan pendidikan ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial visi Islam. Tujuannya tidak lain untuk menghindari adanya split antara dua metode pengajaran ; yang bersifat kontemporer (ilmi) dan syar'i. 2. Perlu adanya dukungan dari siyasah syar'iyah (al Daulah). Karena pada hakekatnya ialah motor utama menuju kebangkitan. Institusi Syariah dan hukumhukumnya merupakan syarat yang sangat vital dalam menyongsong kebangkitan ilmu dan teknologi Islam modern. Dipihak lain menunjukkan bahkan instabilitas politik, chauvisme sosial dan segala tindakan diktator dan otoriter pen guasa mengakibatkan fenomena 'brain-drain' (pemerasan kekuatan intelektualitas), disamping juga atau menghancurkan asas-asas dan basis-basis teknologi dan pemikiran suatu bangsa. Diantara syarat-syarat yang sangat mendukung ke arah pencapaian kemajuan dan kebangkitan ilmu dan teknologi adalah memberantas rasa iri dan dengki, menegakkan prinsip egaliter atau prinsip insaniyatul insan, menciptakan keadilan (termasuk adil di depan hukum) dan membuka kran-kran kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat (dalam bidang sosial, politik dan

pemikiran Islam). Kecemerlangan karya Ibnu Rusyd tidak menutup kemungkinan karena didukung oleh kondisi sosial dan politik saat itu. 3. Perlu adanya kerjasama regional dan internasional diantara kaum muslimin, baik instansi pemerintah atau non-pemerintah. Ini berarti memberi kesempatan semua kalangan, pemerintah dan sipil, untuk turut berkiprah dalam pengembangan sains dan teknologi. Akan tetapi semua itu masih tetap dalam bingkai etika Iptek Islam. 4. Perhatian terhadap pengembangan dan penguasaan bahasa Arab juga sangat urgen untuk mencapai sains dan teknologi Islam. Ia bertujuan agar kaum muslim mampu menguasai dasar-dasar Islam dengan baik dan benar. Selain itu juga sangat diperlukan penguasaan bahasa dunia lainnya demi menjalin hubungan internasional. 5. Perlu adanya perhatian khusus untuk mendirikan pusat-pusat penelitian dan penemuan ilmiah di dunia Islam yang didalamnya terdapat para ilmuwan muslim yang profesional. Adanya para pakar muslim dalam pusat-pusat kegiatan tersebut sangat penting karena merekalah yang akan mengontrol,mengarahkan dan meletakkan petunjuk pelaksanaan kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan sesuai dengan prioritas kerja yang dibutuhkan. Begitu juga diperlukan adanya tunjangan khusus bagi mereka yang berbakat dan berprestasi. Semua ini membutuhkan sebuah kepercayaan diri yang dalam bahwa dunia Islam saat ini sangat membutuhkan Tatanan Dunia Ilmu dan Peradaban Islam yang baru. 6. Mengharuskan adanya usaha dari pihak khusus untuk mengembalikan para petualang intelektual dan profesionalis yang lari ke negara-negara industri, baik mereka itu menjadi penduduk setempat atau sekedar imigran. Baik itu muslim atau bukan. Demi memenuhi kebutuhan keperluan proyek pembangunan, kemajuan dan kebangkitan. Mungkin dengan menempatkan mereka pada posisi atau jabatan penting dalam negara, atau memberikan gaji yang sesuai dengan status ilmiahnya. 7. Adanya tanggung jawab khusus yang dipikul diatas pundak ilmuwan dan profesionalis muslim di dunia Islam manapun. Apalagi dalam kondisi ummat Islam ini yang minim para ahli sains dan teknologi. Mereka seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mengadakan kontak dan tukar pikiran lintas disiplin ilmu. Sejarah Islam mencatat betapa pentingnya peran para utusan Rasulullah Saw dan khalifah ke seluruh negeri Islam saat itu.
Penutup

Memahami dan menangkap suatu pesan dengan benar adalah nikmat yang terbesar yang diberikan Allah Swt pada hambanya. Bahkan tidak ada suatu nikmat yang lebih utama, setelah Islam yang Allah Swt berikan kepada hambanya daripada nikmat 'al fahmu al shalih', bahkan kedua-duanya merupakan soko-guru Islam (19). Permasalahan pendidikan di dunia Islam sangatlah kompleks. Ia memerlukan

pemetaan kerja kembali secara arif dan bijak. Penyatuan konsep orisinalitas dan kontemporer merupakan jalan yang baik. Selain juga membutuhkan skala prioritas kerja yang selaras, serasi dan seimbang sejalan dengan semangat Islam. Tulisan ini tentunya belum mewakili sepenuhnya untuk mengobati kelesuan dunia pendidikan Islam dalam mencapai kemajuan dan kebangkitan yang kita harapkan. Namun penulis berdo'a semoga Allah Swt menggugah para hamba -Nya yang berkompeten dalam masalah ini untuk lebih jauh melangkah ke depan demi kejayaan ummat Islam. Amien

Catatan kaki
1. Umar Abid Hasanah, Murajaat fi al fikri wa al da'wah wa al hadharah, IIIT,Cet I 1991, hal.53-54. 2. Ibid, Cet I, hal 56 3. Ibid 4. Ibid, Cet I, hal 57 5. Dr. Yusuf Qardhawi, Al Rasul wa al Ilm, Cairo, Dar al Shahwah, hal 13. 6. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi: "Janganlah seseorang diantara kamu menjadi orang yang oportunis yang mengatakan, 'Diriku tergantung pada manusia,jika mereka baik maka baiklah saya dan jika mereka rusak maka rusaklah saya.'" 7. Lih. Shahih Bukhari, fath al Bari, Cet Al Halaby, Juz I, hal 169. 8. Dr. Yusuf Qardhawy, Op. Cit, hal.17 9. Sayyid Qutb, MA'alim fi al Thariq, Cairo, Daar al Syuruq, Cet XV, 1992, hal 143 10. Ibnu Taimiyah, Al Fatawa: Qital ahli al baghy, vol.35, hal.20 11. Umar Abid Hasanah, Op.Cit.,hal.77 12. Dr. Adil al Syuaikh, Rabbaniya al Ta'lim, Dar al Basyir, Tanta, Cet III, 1999, hal 13-19. 13. Imam Mawardi, Adab al Dunya wa al din, hal 55 14. lih. Al Ghazali, Ihya ulum al din, Al Manshurah, Dar Fayadh, Vol.1.

15. Lih. Shahih Muslim bi syarh al Nawawy, Cairo, Dar al Hadits, Cet.III,1998, hal.110 16. lih. Al Ghazali, Op.Cit, hal 71 17. Umar Abid Hasanah, Op.Cit, hal 80 18. Dr Sayyid Waqqar al Husain, Al Siyasat al Ilmiah wa al Teknologia 'inda al Muslimin Durus wa Ibar, 'Amman, Maktabah al Durar, Cet. I, 1998, hal.37-41 19. Ibnu Qayyim al Jauziyah, I'lam al Muwaqi'in, Cairo, Dar al Hadits, Cet.III,1997,hal.86.

Hikmah: Salat Berjamaah


Republika Oleh Fuad Rumi Abu Mas'ud r.a., sahabat Nabi saw, menyampaikan sebuah kisah. Suatu ketika, saat hendak shalat berjamaah, Nabi menyentuh setiap bahu kami sambil bersabda: "Luruskan shafmu, jangan bengkok-bengkok. Shaf yang bengkok akan menyebabkan hatimu terpecah-belah." (HR Muslim). Hadis tersebut mengandung makna yang sangat patut kita renungkan. Ternyata ada hubungan yang erat antara keadaan shaf umat Islam ketika salat berjamaah dengan keadaan hati mereka. Padahal, hati itulah yang menentukan rasa persaudaraan, persatuan, dan kesatuan umat. Bahkan Alquran menyatakan bila hati bercerai-berai, kendatipun di luar tampak ada persatuan, itu hanya persatuan semu. "Kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka bercerai-berai," firman Allah swt dalam surat Al-Hasyr: 14. Tapi, di antara sekian banyak pembicaraan mengenai persatuan umat Islam dewasa ini, hampir-hampir tidak pernah kita temukan ulasan atau analisis yang menghubungkannya dengan shaf salat. Padahal, jika ketidaksempurnaan shaf shalat saja bisa mengakibatkan hati umat Islam terpecah-belah, tentu akan lebih besar lagi pengaruhnya jika salat jamaah itu sendiri memang tidak ditegakkan oleh umat Islam. Dari sejarah Nabi kita tahu bahwa sejak salat wajib lima waktu diperintahkan Allah, beliau selalu mengerjakannya secara berjamaah. Bahkan dalam keadaan genting sekalipun, misalnya perang, saalat jamaah tetap ditegakkan. Untuk itu,

beliau telah mengajarkan tata-caranya. Salat jamaah juga tetap dipelihara oleh para sahabat sesudah beliau wafat. Bagaimana keadaan umat Islam kini, khususnya kita, umat Islam di Indonesia yang jumlahnya terbesar dibandingkan negara lain? Jawaban pertanyaan tersebut dapat kita lihat di masjid-masjid setiap waktu salat. Masjid hanya penuh dengan jamaah ketika salat Jumat, salat tarwih, dan salat Ied. Saat salat lima waktu, masjid yang biasanya penuh hanya terisi dua tiga shaf. Terutama saat salat subuh. Mungkin ada yang berkata, salat sendirian juga sah. Perbedaan antara salat jamaah dan salat sendirian hanya pada pahala. Memang itu benar menurut fiqih. Tapi, salat tidak hanya urusan fiqih belaka. Buktinya, Nabi sendiri menghubungkan shaf dengan masalah sosial kemasyarakatan. Alhasil, ketika kita sering prihatin karena mudah dipecah-belah dan diadu domba, salah-satu sumbernya memang mungkin kita sendiri, di masjid. Tepatnya ketika kita tak lagi menegakkan salat jamaah, seperti dicontohkan Nabi. Tapi, untuk itu kita masih merasa punya dalih. Tuntutan jam kerja era modern membuat kita harus sibuk. Jawaban untuk dalih ini adalah sebuah pertanyaan: Adakah yang melebihi kesibukan dan kegentingan perang? Padahal, pada saat seperti itu, Nabi tetap salat jamaah?

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW


Pesantren Virtual - "Pondok Pesantren era Digital" Website: http://pesantren.hypermart.net Email: pesantren@mail.com Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, "Ceritakan padaku akhlak Muhammad!". Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib. Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!." Badui ini menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini..." Ali menjawab, "Engkau tak

sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)" Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa "Khumairah" oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur'an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan AlQur'an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu'minun[23]: 111. Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Palingpaling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini. Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "ah semua perilakunya indah." Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. "Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, 'Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.'" Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah. Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, "berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka. Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan

pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi. Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tibatiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia. Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitabkitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat lain disebutkan, "Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta'wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan." Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." "Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik." Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi. Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur'an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan "Wahai Nabi". Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau. Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: "Angkat Al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai pemimpin." Kata Umar, "Tidak, angkatlah

Al-Aqra' bin Habis." Abu Bakar berkata ke Umar, "Kamu hanya ingin membantah aku saja," Umar menjawab, "Aku tidak bermaksud membantahmu." Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2) Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, "Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia." Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi. Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami" Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah." kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya. Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah! Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang

sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? "Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu." Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak. Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap "membereskan" orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka. Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, "Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, "Allahu Akbar" berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi. Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah...

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, "Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?" Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, "Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah...?" Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, "benar ya Rasul!" Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, "Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!". Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah."Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah" Nadirsyah Hosen Dewan Asaatiz Pesantren Virtual

Membumikan Ajaran Langit


Republika, 05 Nov 1999 Peringatan Isra' Mi'raj kali ini, kiranya menemukan momentumnya yang paling signifikan. Mengapa? Sebagaimana kita ketahui, puncak dari perjalanan Nabi saw -- seperti yang tersebut dalam Alquran -- tak lain dan tak bukan adalah diperintahnya seluruh umat Islam untuk menjalankan ibadah shalat. Dalam simbolisme ibadah ini, terdapat ajaran yang erat kaitannya dengan persoalan kepemimpinan. Suatu kepemimpinan yang diridhoi Tuhan, dan berimplikasi bagi selamatnya kemanusiaan. Elan reformasi yang terdapat pada ajaran/peristiwa Isra' Mi'raj, dapat kita refleksikan pada ayat Alquran yang mengungkap peristiwa tersebut. ''Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat'' (QS Al-Israa' 17:1).

Ayat tersebut, dibuka dengan ''tasbih'' (Subhaana/Maha Suci Allah), yakni suatu etos reformatif -- yang menurut kitab Durratun Nasihin karya Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khaubawi -- menyimpan hikmah; Pertama, bahwa kebiasaan bangsa Arab bertasbih di saat menjumpai hal-hal yang menakjubkan, maka lewat firman-Nya itu seolah-olah Allah kagum dengan rasul-Nya yang sempurna kemanusiaannya (al-insan al-kamil) sehingga di perjalankan-Nya secara menakjubkan. Kedua, dengan bertasbih, Allah bermaksud menepis sinisme masyarakat Arab yang menganggap rasul-Nya telah berdusta, sehingga redaksi ayat tersebut berbunyi, ''Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya....'' Pada banyak ayat di dalam Kitab Suci Alquran, dibuka atau diawali dengan ''tasbih'', baru kemudian ''tahmid'' (pujian bagi Allah). Ini dapat kita lihat misalnya; pada surat Thoha: 130, Qaf: 39, Ath-Thur:48, Al-Furqan: 58. Juga perhatikan bacaan berikut, sebuah bacaan yang disebut sebagian ulama sebagai ''kalbunya Asmaul Husna'' (al-qalbu li al-asmaa al-husnaa), yaitu: Subhaanallaahi wal-hamdu lillaahi wa-laailaahaillallaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan melainkan Allah, dan Allah lah Yang Maha Agung). Dalam bacaan tersebut, ''tasbih'' mendahului ''tahmid''; tasbih merupakan pembersihan, sedang tahmid adalah pemujian/penghiasan. Maka elan dan etos pembersihan mesti harus didahulukan ketimbang penghiasan. Ajaran ini sinkron dengan prinsip/kaidah fiqh yang mengatakan, bahwa: ''Mendahulukan upaya menghindar dari bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kemaslahatan'' (Dar al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih). Apa yang perlu dihindari dan dibersihkan itu? Bahwa salah satu nilai-nilai reformasi yang hingga kini terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, adalah membersihkan (moral) aparatur pemerintahan dari hal-hal yang merugikan rakyat, termasuk diantaranya adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Integritas moral saja tidak cukup, dalam upaya mempersatukan, membangun dan memajukan bangsa, tetapi juga harus dihindari hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan, kerusuhan serta kondisi chaos dan mandeg dalam perjalanan bangsa. Tidak bermaksud kembali mengetengahkan ''Poros Langit'' (yakni, Kiai-kiai khos yang dipimpin oleh Kiai Abdullah Faqih dari Pesantren Langitan) yang sempat melangit pada detik-detik pemilihan Presiden RI, tetapi ajaran langit yang hendak disampaikan di sini memang rada mirip dengan apa yang pernah dilakukan Presiden KH Abdurrahman Wahid yakni, sowan kepada (arwah) para leluhur. Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Usman al-Khaubawi dalam Durratun Nasihin -- bahwa menjelang peristiwa Isra' Mi'raj, tatkala berada di Masjid Haram, dalam keadaan antara tidur dan jaga, Rasulullah saw didatangi oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Kedua Malaikat ini kemudian membelah dan membersihkan dada Nabi dengan air zamzam, setelah selesai, Nabi diminta agar berwudlu. Selanjuttnya,

dengan berkendaraan Buraq, bersama Malaikat Jibril, Nabi melaksanakan perjalanan (Isra'). Di suatu tempat, Buraq itu berhenti, dan Nabi diperintahkan oleh Malaikat agar melaksanakan shalat sunnah. Kepada Nabi, Malaikat Jibril menjelaskan bahwa, ''Ke tempat inilah, kelak Anda akan berhijrah.'' Tempat itu adalah Madinah. Perjalanan diteruskan, dan di suatu tempat, Buraq itu berhenti lagi. Dan di situ, Nabi juga melaksanakan shalat. ''Di tempat inilah, Nabi Musa berdialog dengan Tuhan.'' Itulah bukit Thursina. Perjalanan dilanjutkan, dan di suatu tempat, Buraq itu berhenti. Nabi melaksanakan shalat. ''Di tempat inilah, Nabi Isa dilahirkan,'' kata Jibril. Dan itulah Bait Lehem. Hingga sampailah di Masjid Aqsha. Para malaikat dan para Nabi (terdahulu) rupanya telah menunggu kedatangan Nabi bersama Malaikat Jibril. Selanjutnya Nabi memimpin shalat, di Masjid Aqsha. Dari Masjid Aqsha, Nabi bersama Malaikat Jibril melanjutkan perjalanan (Mi'raj). Di tengah perjalanan, Nabi mendengar suara dari sisi kanan memanggil-manggil beliau, ''Ya Muhammad, turunkanlah kecepatanmu.'' Tetapi suara itu tidak dihiraukan oleh Nabi. Kendaraan terus melaju, tapi dari sebelah kiri, terdengar suara panggilan serupa, dan tidak dihiraukan oleh Nabi. Terakhir, terdengar panggilan suara dari seorang perempuan. Nabi pun tidak menanggapi. Dan dalam perjalanan itu, Jibril menawari Nabi dua jenis minuman, yakni susu dan arak, tetapi Nabi memilih susu. Setelah Nabi selesai minum, Malaikat Jibril menjawab pertanyaan Nabi perihal suara-suara tadi, juga tentang makna minuman itu. Suara yang memanggil-manggil dari sisi kanan, menurut Jibril, adalah provokasi dari Yahudi, sedang dari sisi kiri adalah provokasi dari Nasrani. Tapi untunglah Nabi tidak menanggapi, sehingga -menurut Jibril umatnya kelak tidak mudah terprovokasi untuk memasuki kedua agama tersebut. Adapun tentang minuman, pilihan Nabi terhadap susu dibenarkan oleh Jibril, dengan begitu umatnya kelak akan berupaya sungguh-sungguh melaksanakan ajaran fitrah itu, dan tidak tersesat kemabukan dunia; sebagaimana tidak dihiraukannya suara memanggil-manggil yang datangnya dari seorang wanita (yakni, simbol perhiasan dunia). Perjalanan Mi'raj dilanjutkan, melewati langit demi langit, di mana Nabi dapat bertemu (sowan) dengan para Nabi terdahulu di tiap shaf langit itu. Di antaranya Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Di Sidratul Muntaha (langit tertinggi), Nabi bertemu secara langsung dengan Allah, dan di situ pula Nabi mendapat perintah menegakkan shalat (termasuk umatnya). Para Nabi itu pula, terutama Musa, yang meminta agar kewajiban shalat diperingan, hingga menjadi lima waktu seperti sekarang (dengan perkenan Tuhan). Setelah itu, Nabi kembali ke bumi.

Dari ajaran langit tersebut, nilai-nilai apa kiranya yang signifikan bagi sebuah kepemimpinan? Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra' Mi'raj, yang dimulai dengan ''tasbih'', juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral yang dimulai dari tingkat aparaturnya. Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat pula berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan ini kontiunitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ''Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik'' (Almuhafazah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah). Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi'raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-'adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan -- yang menyangkut kepemimpinan -- secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu'). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri. Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra' Mi'raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ''pencari Tuhan''). Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil'alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ''Kebijaksanaan rakyat'' (Tasharrufu al-imam 'ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah). Dan kelima, amanat Rasulullah saw untuk menegakkan shalat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran shalat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan shalat

itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia (salam). Kepemimpinan dalam shalat, tercermin dengan adanya seorang imam, ketika shalat tersebut tidak dilaksanakan sendirian. Makmum (pengikut/rakyat) diharuskan menegur (dengan cara tertentu) apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya. Bahkan, apabila makmum membiarkan imam melakukan kekeliruan (dengan tanpa kesengajaan) maka makmum-lah yang menanggung dosa kesalahan. Bahwa shalat itu dimulai dengan mengagungkan Asma Allah, hal ini menunjukkan bahwa suatu kepemimpinan (bangsa) haruslah semata-mata didasari rasa amanah (kepercayaan yang diberikan Allah melalui suara rakyat). Karena itu, selain ia harus tulus ikhlas (lillaahi ta'ala) dan mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah SWT, yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga kepercayaan. Ia berupaya mewujudkan cita-cita, serta memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah mempercayainya.

Anda mungkin juga menyukai