Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat. Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir dengan bunuh diri. Depresi merupakan suatu distorsi kognitif (depressogenic schemata) merupakan sesuatu yang mempersepsikan data internal dan eksternal berdasarkan cara-cara yang telah berubah berdasarkan pengalaman sebelumnya Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan kognitif berhubungan dengan gangguan depresi mayor atau major depressive disorder (MDD) yang berarti banyak orang tidak menunjukkan gejala emosional. Berdasarkan usia, Populasi dunia 18-64 tahun, onset depresi antara 24-35 tahun dengan rata-rata usia 27 tahun. Terdapat beberapa perkembangan yang menyatakan bahwa usia yang lebih muda onset depresi meningkat. Sebagai contoh, 40% individu dengan depresi memiliki episode depresi pertama kali pada usia 20 tahun, 50 % episode pertama antara usia 20 sampai 50 tahun, dan 10% setelah usia 50 tahun Tingginya prevalensi dari MDD dengan penyakit medis lainnya menunjukkan bahwa professional kesehatan dan dokter, ataupun internis atau onkologis atau ahli bedah atau kardiologis atau neurologis atau spesialis lainnya, juga harus mengenali dan memberikan tatalaksana depresi klinis pada pasien.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Berdasarkan teori kognitif, depresi merupakan suatu distorsi kognitif (depressogenic schemata) merupakan sesuatu yang mempersepsikan data internal dan eksternal berdasarkan cara-cara yang telah berubah berdasarkan pengalaman sebelumnya. Terdapat triad depresi yang dipostulasikan oleh Aaron Beck, yaitu gambaran mengenai diri sendiri yang negatif, gambaran mengenai lingkungan (kecenderungan untuk mengalami dunia dalam bentuk permusuhan dan menuntut), dan tentang masa depan, yaitu berupa harapan terhadap penderitaan dan kegagalan. Berdasarkan teori perilaku, maka keadaan depresi digambarkan sebagai kehilangan penghargaan akan diri sendiri setelah kejadian eksternal yang menyimpang. Hal ini mengarahkan pada terapi perilaku ke arah pengontrolan terhadap sense dan mastery terhadap lingkungan. (G1) Depresi Mayor merupakan gangguan yang lebih berat, membutuhkan lima atau lebih simptom-simptom selama dua minggu, salah satunya harus ada gangguan mood, atau ketidaksenangan pada anak-anak. Sedangkan episode depresi berat menurut kriteria DSM-IVTR, adalah suasana perasaan ekstrem yang berlangsung paling tidak dua minggu dan meliputi gejala-gejala kognitif (seperti perasaan tidak berharga dan tidak pasti) dan fungsi fisik yang terganggu (seperti perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan dan berat badan yang signifikan, atau kehilangan banyak energi) sampai titik dimana aktivitas atau gerakan yang paling ringan sekalipun membutuhkan usaha yang luar biasa besar. 2.2 Epidemiologi Gangguan depresi mayor memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan gangguan psikiatri lainnya, yaitu berkisar antara 5-17%. Insidensi tahunan adalah 1,59 % (wanita 1,89 % dan laki-laki 1,1%). Secara umum, wanita memiliki prevalensi dua kali lipat dibandingkan dengan laki-laki, tanpa melihat asal Negara dan kebudayaannya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh karena adanya perubahan hormon, pengaruh dari proses melahirkan, adanya stressor psikososial yang berbeda antara wanita dan laki-laki. Untuk onset terjadinya gangguan depresi mayor adalah antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan ini juga dapat dimulai

pada masa anak-anak ataupun ketika usia tua. Insidensi gangguan ini terus meningkat bagi mereka yang berusia kurang dari dua puluh tahun. Gangguan depresi mayor cenderung terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan atau elasi interpersonal yang dekat, serta bagi mereka yang telah bercerai dan berpisah.Tidak ada korelasi antara status sosioekonomi dengan gangguan depresi mayor. Depresi lebih cenderung terjadi pada daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. (G1) 2.3 Etiologi Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi munculnya gangguan depresi mayor, antara lain faktor biologi seperti norepinefrin, dopamine, serotonin, dan histamine dimana terjadi ketidakseimbangan antara neurotransmitter tersebut, faktor genetik juga memiliki pengaruh terhadap gangguan depresi mayor. Jika salah satu orang tua memiliki gangguan mood, maka anaknya memiliki risiko untuk mengalami gangguan mood sebesar 10%-25%. Jika kedua orang tua pernah mengalami gangguan mood, maka risiko menjadi dua kali lipat. Gen yang berpengaruh terjadap gangguan depresi unipolar adalah terletak pada lokus CREB1 pada kromosom 2. Kejadian dalam hidup dan stress lingkungan juga berpengaruh terhadap kejadian depresi. Salah satu nya adalah ketika seseorang kehilangan orang tuanya sebelum usia 11 tahun. Selain kehilangan orang tua, maka kehilangan pasangan hidup dan pengangguran juga menjadi faktor stress dari lingkungan terhadap kejadian depresi. Faktor kepribadian berhubungan dengan gangguan depresi, terutama bagi mereka yang memiliki kepribadian obsesif-kompulsif, histrionic, dan borderline. Sedangkan bagi mereka yang memiliki kepribadian antisocial atau paranoid lebih jarang mengalami depresi, karena memiliki mekanisme defensive berupa proyeksi dan eksternalisasi. Selain itu, yang dimaksud dengan stressor adalah pengalaman pasien yang memberikan efek negatif bagi penghargaan dirinya. (G1) Faktor psikodinamik pada depresi menurut Sigmund Freud dan Karl Abraham, depresi berhubungan dengan terjadinya gangguan hubungan anak dengan ibu selama fase oral (usia 10-18 bulan kehidupan). Depresi juga dihubungkan dengan adanya kehilangan objek nyata atau imajinasi. Terdapat mekanisme defensive berupa introyeksi terhadap kehilangan obyek yang terjadi. Serta oleh karena obyek yang hilang merupakan campuran antara cinta dan benci, maka perasaan marah secara langsung ditujukan ke diri sendiri.
3

Sedangkan menurut Melanie Klein, depresi merupakan ekspresi agresi terhadap orang yang dicintai. Sedangkan Edward Bibring menyatakan bahwa depresi merupakan fenomena ketika seseorang menjadi sadar bahwa terjadi diskrepansi antara hal yang ideal dengan ketidakmampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Edith Jacobson melihat depresi sebagai seorang anak yang tidak berdaya dan tidak mampu dan menjadi korban dari orang tua yang menyiksa. (G1) 2.4 Patofisologi Patofisiologi gangguan depresi mayor belum diketahui secara pasti, tetapi etiologi selalu diasumsikan oleh banyak faktor sebagai diagnosis gangguan depresi mayor dengan melihat beberapa sindrom yang ada dengan gejala yang berhubungan. Faktor biologis, psikologis, dan sosial berkaitan dengan MDD, terutama pada modulasi dari kehidupan pada proses genetic dan neurobiologi 2.4.1 Hipotesis Axis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal Sekarang ini, peran berbagai neurotransmitter menjadi sangat penting pada kelainan mood. Neurotransmitter yang dimaksud adalah neurotransmitter monoamine, yaitu norepinefrin, dopamine, serotonin, dan histamine. Norepinefrin dan serotonin menjadi neurotransmitter yang paling berpengaruh dalam terjadinya kelainan mood. (G1) Terdapat hubungan antara reseptor adrenergic-beta dengan depresi. Aktivasi reseptor presinaps beta-2 mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan.reseptor presinaps beta-2 juga terdapat di neuron serotonergik dan meregulasi jumlah serotonin yang dilepaskan. (G2) Kekurangan serotonin juga dapat mempresipitasi terjadinya depresi, dan pasien yang memiliki impuls bunuh diri memiliki kadar serotonin yang rendah di cairan serebrospinal dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah pada platelet. Aktivitas dopamine juga berkurang pada pasien depresi. Sebagai contoh obat yang mengurangi konsentrasi dopamine (seperti reserpin) dan penyakit yang keadaan dopaminnya berkurang berhubungan dengan gejala depresi. Ada dua teori yang menjelaskan bahwa terdapat disfungsi jaras dopamine mesolimbik dan hipoaktivitas terhadap reseptor dopamine D1.

Neurotransmiter kolinergik memiliki hubungan resiprokal atau interaktif dengan sistem monoamine tiga. Agonis kolinergik dapat memperberat gejala depresi. Aktivitas agonis ini dapat menginduksi perubahan aktivitas aksis hipotalamuspituitari-adrenal dan tidur yang memiliki hubungan dengan depresi berat. Neurotransmiter GABA memiliki efek inhibisi terhadap jaras monoamine asendens, terutrama sistem mesokortikal dan mesolimbik. Berkurangnya GABA pada plasma, cairan serebrospinal, dan otak didapatkan pada keadaan depresi. Pada penelitian dengan binatang, didapati bahwa stress kronis dapat mengurangi kadar GABA. Asam amino glutamate dan glisin terikat pada reseptor NMDA, dan stimulasi glutaminergik yang berlebihan memiliki efek neurotoksik. Glutamat yang bekerja bersamaan dengan hiperkortisolemia memiliki efek buruk bagi neurokognitif yang berhubungan erat dengan depresi berat rekuren. Terdapat hubungan yang jelas antara respons stress yang kronis melalui peningkatan aktivitas HPA dengan depresi. Hiperkortisolemia pada depresi menimbulkan berbagai gangguan, seperti penurunan tonus inhibisi serotonin, peningkatan norepinefrin, asetilkolin, atau corticotrophin releasing hormon/CRH atau berkurangnya inhibisi umpan balik dari hipokampus. Ada tiga neurotransmitter yang memegang peran penting dalam patofisiologi dan tatalaksana gangguan depresi, yaitu norepinefrin, dopamine dan serotonin. Ketiga neurotransmitter ini disebut sebagai sistem neurotransmitter trimonoaminergik. Neuron noradrenergic menggunakan norepinefrin (NE) sebagai

neurotransmiternya. NE diproduksi dari precursor asam amino tirosin, yang dibawa ke sistem saraf dari darah dengan menggunakkan pompa transport aktif. Di dalam neuron, tirosin diubah menjadi norepinefrin dengan menggunakan berbagai reaksi enzimatik. Enzim yang pertama adalah tirosin hidroksilase (TOH), yang merubah tirosin menjadi dopa. Enzim ini merupakan enzim yang paling penting dalam regulasi sintesis norepinefrin. Kemudian dopa dikonversi menjadi dopamine (DA) dengan enzim dopa dekarboksilase (DDC). Dopamine ini merupakan neurotransmitter bagi neuron dopaminergik dan merupakan prekursor dari NE. dengan bantuan enzim dopamine beta hidroksilase (DBH), dopamine dirubah menjadi norepinefrin. Norepinefrin disimpan dalam bentuk vesikel dan dilepaskan jika ada impuls saraf.

Gambar 1. Proses produksi dopamine dan norepinefrin (G3) Aksi NE diterminasi dengan dua jenis reaksi katabolik enzim menjadi metabolit inaktif. Enzim yang pertama adalah monoamine oksidase (MAO) A atau B, yang terletak di mitokondria pada neuron presinaps. Dan enzim kedua adalah catechol-O-methyl-transferase (COMT), yang sebagian besar terletak di luar saraf presinaps terminal. Selain dari aktivitas kedua enzim ini, terminasi terhadap aksi NE dapat dilakukan dengan menggunakan pompa transporter NE (NE transporter/ NET) yang mencegah aktivitas neurotransmitter ini di sinaps tanpa menghancurkannya. NET ini terletak di presinaps nervus noradrenergic terminal. NE ini dapat disimpan untuk digunakkan kembali, atau dihancurkan dengan bantuan enzim penghancur NE.

Gambar 2. Proses destruksi NE (G3) Regulasi neuron noradrenergic dipengaruhi oleh berbagai reseptor untuk NE. Vesicular monoamine transporter (VMT2) melakukan transportasi NE di sitoplasma neuron presinaps ke dalam vesikel. Reseptor NE diklasifikasikan kedalam alfa 1A, 1B, 1C atau alfa 2A, 2B, atau 2C, atau beta 1, beta 2, atau beta 3. Semua reseptor ini terdapat postsinaps, tetapi hanya reseptor alfa 2 yang bekerja sebagai autoreseptor presinaps. Aktivitas reseptor postsinaps dapat memodulasi fungsi fisiologi dan perubahan transduksi sinyal dan ekspresi gen pada neuron postsinaps.

Gambar 3. Reseptor NE (G3) Reseptor alfa 2 presinaps meregulasi pelepasan NE, dan terletak pada akson terminal (reseptor alfa 2 terminal) dan pada badan sel serta dendrite (reseptor alfa 2 somatodendritik). Ketika reseptor alfa 2 presinaps menangkap NE, maka akan terjadi penghentian NE lebih lanjut. Sehingga reseptor ini bertindak sebagai rem dan mencegah neuron terhadap perangsangan. Dengan penghambatan reseptor ini, maka pelepasan NE kana meningkat. Pembentukan neurotransmitter serotonin terjadi melalui reaksi enzimatik, dan membutuhkan bahan baku berupa asam amino triptofan. Penghancuran 5HT terjadi melalui aktivitas enzim MAO

Gambar 4. Proses pembentukan Serotonin (G3)

Gambar 5. Proses destruksi serotonin (G3) Aktivitas 5HT terhadap reseptor terjadi melalui berbagai mekanisme. Reseptor serotonin tidak hanya diatur oleh serotonin itu sendiri, tetapi juga diatur oleh NE melalui reseptor presinaps alfa 2. Sedangkan reseptor presinaps 5HT1D hanya dipengaruhi oleh serotonin, dan memiliki fungsi yang sama dengan reseptor presinaps alfa 2.

Gambar 6. Reseptor-reseptor serotonin (G3) Neuron NE meregulasi neuron serotonin/ 5HT. NE memiliki control ganda terhadap pelepasan 5HT, tergantung dari reseptor mana yang terangsang atau dominan, apakah reseptor alfa 2 akson terminal atau reseptor alfa 1 somatodendritik. Penghambatan pelepasan serotonin terjadi jika yang teraktivasi adalah reseptor alfa 2 akson terminal, sedangkan peningkatan pelepasan terjadi ketika reseptor yang teraktivasi adalah reseptor alfa 1 somatodendritik.

Gambar 7. Interaksi Norepinefrin dengan Serotonin (G2)


10

Gambar 8. Pengaruh Bifasik NE terhadap 5HT (G2) Serotonin juga meregulasi pelepasan NE, sebagai bentuk umpan balik negatif pada reseptor 5HT2A atau 5HT2C. Regulasi ini juga memberikan pengaruh bagi pelepasan dopamine. Regulasi umpan balik negatif 5HT di batang otak (locus coeruleus) melalui reseptor 5HT2A atau 5HT2C terhadap pelepasan NE dan

dopamine (DA) di korteks prefrontal berjalan simultan. Terikatnya 5HT terhadap reseptor 5HT2A di neuron batang otak akan menghambat secara langsung pelepasan DA dan NE di korteks prefrontal. Serta ikatan 5HT pada reseptor 5HT2A neuron GABA di batang otak akan meningkatkan pelepasan GABA, yang akhirnya akan menghambat pelepasan NE dan DA. Pada berbagai area di otak, pengikatan serotonin pada 5HT2A dapat meningkatkan pelepasan dopamin. Sedangkan aktivitas penghambatan reseptor 5HT2C terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui neuron GABA, yang memiliki reseptor 5HT2C. Juga terdapat sirkuit yang mengatur penghambatan 5HT2C terhadap pelepasan dopamine di nucleus accumbens. 5HT bekerja melalui neuron GABA di batang otak, dan kemudian akan menghambat proyeksi dopamine mesolimbik. Selain itu, aktivitas
11

5HT terhadap neuron GABA yang memiliki proyeksi ke korteks prefrontal mengakibatkan terjadinya penghambatan proyeksi glutamate desendens terhadap neuron dopamine di batang otak, dan hal ini akan menghambat pelepasan dopamine di nucleus accumbens. 2.4.2 Hipotesis Monoamine Depresi terjadi oleh karena adanya defisiensi dari neurotransmitter monoamine. Teori monoamine ini mengarah pada terjadinya malfungsi sistem neurotransmitter trimonoaminergik pada berbagai sirkuit otak. Namun hipotesis ini masih menimbulkan banyak perdebatan dan belum da hasil yang seragam. Metabolit serotonin, yaitu 5HIAA (5-hydroxy-indole acetic acid) ditemukan berkurang di cairan serebrospinal pasien depresi. Berkurangnya metabolit ini hanya terdapat pada pasien depresi dengan perilaku impulsive.

Gambar 9. Berkurangnya neurotransmitter monoamine sebagai dasar dari depresi (G3) Sekarang ini terdapat pergeseran hipotesis, dimana lebih difokuskan pada reseptor dan kejadian molekuler ketika reseptor tersebut teraktivasi, termasuk regulasi ekspresi gen. hipotesis reseptor monoamine menjelaskan bahwa berkurangnya aktivitas neurotransmitter monoamine menyebabkan upregulation terhadap

reseptor,neurotransmitter monoamine postsinaps, dan hal ini yang menyebabkan depresi. Upregulation ini merupakan suatu bentuk kompensasi akibat kurangnya neurotransmitter monoamine.

12

Gambar 10. Regulasi reseptor oleh karena kekurangan neurotransmitter sebagai dasar dari penyebab depresi (G3) Pengikatan antara neurotransmitter dengan reseptor postsinaps memicu proses kaskade pada membran dan intraselular yang dimediasi oleh sistem second messenger. Reseptor pada semua membran sel berinteraksi dengan lingkungan intrasel melalui protein G. Protein G kemudian berhubungan dengan berbagai enzim intrasel, seperti adenylate cyclase, phospholipase C, dan phosphodiesterase, yang meregulasi penggunaan energy dan pembentuk second messenger, seperti cAMP dan cGMP, serta fosfatidilinositol (seperti inositol trifosfat dan diasilgliserol) dan kalsium-kalmodulin. Second messenger mengatur fungsi kanal ion membran sel. (G1) Saat ini masih diperdebatkan mengenai defisiensi monoamine, ataukah tidak ada deficit monoamine yang nyata. Penelitian sekarang ini lebih diarahkan ke proses transduksi sinyal neurotrasmiter monoamine dan neuron postsinaps. (G1) Salah satu mekanisme yang dapat menjelaskan hal ini adalah mengenai brain-derived neurotrophic factor (BDNF). Dalam keadaan normal, BDNF meningkatkan viabilitas neuron, tetapi jika terdapat stress maka gen BDNF akan terepresi, dan menyebabkan atrofi dan apoptosis bagi neuron yang rentan di hipokampus. Hal ini yang dapat menjelaskan mengenai kemungkinan berkurangnya ukuran dan fungsi neuron hipokampus. (G2) Perubahan aktivitas neuron dan proses pengolahan informasi pada berbagai regio di otak dapat menunjukkan gejala-gejala depresi tertentu. Setiap regio otak
13

memiliki fungsi yang mengarah pada gejala depresi yang berbeda-beda. Dengan kata lain terdapat topografi gejala depresi untuk setiap regio di otak. (G2) Mood yang depresif berhubungan dengan adanya pengolahan informasi yang tidak efisien di area amygdala dan ventromedial prefrontal cortex(VMPFC). Kedua area ini dipersarafi oleh nucleus serotonergik, noradrenergic, dan dopaminergik yang terletak di batang otak. Oleh sebab itu, kedua area tersebut menjadi hipoaktif dan hal ini akan memberikan gejala berupa mood yang depresif. Gejala apatis atau hilangnya minat sering ditemukan pada pasien depresi, dan dapat ditemukan pada pasien berusia tua dengan depresi tanpa menunjukkan mood yang depresif. Hal ini terjadi melibatkan korteks prefrontal secara luas, melibatkan VMPFC, pusat drive di hipotalamus, dan pusat kenikmatan atau minat di nucleus accumbens. Adanya aktivitas dopamine dan norepinefrin yang berkurang ini dapat diatasi dengan pemberian obat antidepresi. Pemberian antidepresi yang hanya meningkatkan serotonin saja tidak akan memperbaiki gejala ini, bahkan dapat memperburuk gejala ini. Gejala gangguan tidur diatur secara difus oleh berbagai area otak, meliputi hipotalamus, thalamus, basal forebrain, dan korteks prefrontal. Gejala ini diatur oleh ketiga jenis monoamine tersebut. Gejala fatigue atau kehilangan energy terjadi ketika terjadi gangguan fungsi NE dan DA pada korteks prefrontal, striatum, dan nucleus accumbens. Fatigue secara mental lebih diatur oleh bagian korteks prefrontal, sedangkan fatigue secara fisik terjadi akibat defisiensi fungsi NA pada proyeksi desendens spinal cord (SC) serta defisiensi fungsi DA pada striatum, nucleus accumbens, hipotalamus, dan SC. Perubahan berat badan dan nafsu makan, dapat meningkat atau menurun pada keadaan depresi. Hal ini berhubungan dengan komponen hipotalamus yang mendapat proyeksi serononergik dari nucleus di batang otak. Ide bunuh diri dan perasaan bersalah dan tak berharga berhubungan dengan proyeksi serotonin pada sirkuit yang antara amigdala dan area korteks prefrontal, termasuk korteks prefrontal ventromedial (Ventromedial prefrontal cortex /VMPFC) dan korteks orbitofrontal (orbital frontal cortex/OFC).

14

Gejala-gejala depresi dapat dikategorikan ke dalam terlalu sedikit afek positif atau terlalu banyak afek negatif. Dimana adanya disfungsi pada dopamine secara difus berpengaruh pada berkurangnya afek positif. Sedangkan disfungsi serotonin lebih mengarah pada peningkatan afek negatif. Norepinefrin yang mengalami gangguan mempengaruhi kedua hal tersebut. Gejala dari berkurangnya afek positif adalah mood yang depresif, disertai dengan kehilangan kebahagiaan, rasa senang, minta, kenikmatan, kewaspadaan, energy, antusiasme, dan kepercayaan diri. Sedangkan gejala afek negatif yang berlebihan meliputi mood yang depresif diikuti dengan perasaan berdosa, menjijikan, ketakutan, ansietas, permusuhan, irritability, dan kesepian. Hal ini berguna untuk mengatur sasaran terapi bagi pasien yang mengalami gangguan depresi mayor. (G2) Selain dari neurotransmitter triaminergik, asetilkolin juga memiliki peran bagi terjadinya gangguan depresi mayor. Neuron kolinergik memiliki hubungan resiprokal atau interaktif dengan sistem triaminergik. Adanya kadar kolin yang rendah memiliki hubungan dengan kondisi depresi, yang kemungkinan berpengaruh terhadap komposisi fosfolipid. Pada gangguan depresi mayor juga terdapat perubahan pada regulasi hormon. Aktivitas pengkodean gen neurokinin brain-derived neurotrophic growth factor (BDNF) berkurang setelah stress kronis. Stress kronis ini dapat menginduksi perubahan fugnsi neuro dan kematian sel. Berbagai studi mendapatkan bahwa pada pasien depresi, terdapat riwayat trauma sebelumnya dan terjadi peningkatan aktivitas aksis HPA (hipotalamis-pituitari aksis) disertai dengan perubahan structural seperti atrofi dan pengurangan volume pada korteks serebri. Peningkatan aktivitas HPA merupakan respons stress dan merupakan penghubung yang paling jelas antara

depresi dengan stress kronis. Hiperkortisolemia pada depresi terjadi oleh adanya gangguan sentral, seperti berkurangnya tonus inhibisi serotonin, peningkatan NE, asetilkolin atau corticotrophin releasing hormon (CRH), serta berkurangnya inhibisi umpan balik di hipokampus. Selain itu, pada pasien depresi juga terdapat disfungsi dari tiroid, yang ditandai dengan meningkatanya kadar thyroid-stimulating hormon/TSH dan peningkatan respons TSH terhadap pemberian thyroid-releasing hormone/TRH. Hal ini memiiki hubungan dengan peningkatan kadar antibody antitiroid, dan jika tidak

15

ditangani, maka akan mempengaruhi respons terapi antidepresi. Pada pasien depresi, ditemukan kadar somatostatin yang berkurang pada cairan serebrospinal. Gangguan depresi mayor juga mempengaruhi neurofisiologi tidur. Keadaan depresi dapat terjadi kehilangan prematur terhadap fase tidur dalam (slow wave) dan peningkatan nocturnal arousal. Pasien depresi yang mengalami gangguan tidur ini memiliki respons yang kurang terhadap psikoterapi dan memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadi relaps atau rekurensi, dan lebih mendapat manfaat dari terapi farmakologi. Gangguan depresi berhubungan dengan gangguan imunologi, seperti berkurangnya proliferasi limfosit. Terdapat asosisasi antara tingkat keparahan klinis, hiperkortisolisme, dan disfungsi imun. Pada studi pencitraan, terdapat hiperintensitas abnormal pada region subkorteks, seperti region periventrikel, ganglia basalis, dan thalamus. Selain itu juga terdapat penurunan volume hipokampus, nucleus kaudatus. Pada studi positron emission tomography didapatkan penurunan metabolism otak bagian anterior sebelah kiri. Selain itu didapatkan penurunan metabolism serebri anterior secara global, dan peningkatan metabolism glukosa diamati terjadi pada beberapa region limbic. Pada beberapa area otak, didapatkan beberapa pusat yang mengatur emosi secara normal, yaitu korteks prefrontal (PFC), anterior cingulate cortex (ACC), hipokampus dan amigdala. PFC memiliki peran terhadap tujuan dan respons yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Berbagai region PFC memiliki hubungan dengan reward dan punishment. ACC merupakan tempat integrasi antara masukan atensi dan emosi. Terdapat dua subdivisi pada ACC, yaitu afektif dan kognitif. Subdivisi afektif memiliki hubungan yang ekstensif dengan region limbic, sedangkan subdivisi kognitif berhubungan dengan PFC. Hipokampus berperan sebagai pusat belajar dan memori, termasuk pengkondisian rasa takut, serta regulasi penghambatan aktivitas aksis HPA. Sedangkan amigdala merupakan pusat dari pengaturan stimuli. (G1) Berdasarkan studi Maen M, et al., didapatkan bahwa depresi mayor merupakan suatu kelainan inflamasi yang diikuti dengan aktivasi imunitas yang dimediasi oleh sel (CMI/cell mediated immunity). Serta reactive oxygen (ROS) dan

16

nitrogen species (RNS) dan kerusakan oleh oxidative and nitrosative stress (O&NS), termasuk peroksidasi lipid, kerusakan DNA, protein, dan berkurangnya kadar antioksidan dan enzim antioksidan mempunyai andil dalam patofisiologi depresi. Selain itu, disfungsi mitokondria didapati pada pasien yang menunjukkan keadaan neuroprogresif dengan episode rekuren dan perjalanan penyakit yang lebih kronis. Neuroprogression adalah suatu proses progresif berupa neurodegenerasi, apoptosis neuron, dan berkurangnya neurogenesis dan plastisitas neuron. (lihat gambar ) (G4)

Gambar 11. Patofisiologi baru terhadap depresi. Inflam (inflammation), CMI (CellMediated Immunity), O&NS (Oxidative and Nitrosative Stress), AOx (antioxidant), MtD (Mitochondrial disorder), NP (Neuroprogression) (G4) Studi Martin EI dan Nemeroff CB menekankan peran corticotrophin-releasing factor/CRF dalam patofisiologi terjadinya depresi. Pada pasien depresi didapatkan hiperaktivitas sirkuit CRF di hipotalamus, amigdala, dan nucleus stria terminalis. Adanya peningkatan aktivitas CRF ekstrahipotalamus berperan dalam berkurangnya densitas reseptor CRF1 dan ekspresi mRNA reseptor CRF1 korteks. Selain itu, pada pasien depresi didapatkan kadar CRF yang tinggi didalam cairan serebrospinal. Pada pasien depresi, didapatkan peningkatan ekspresi mRNA CRF pada nucleus amigdala. Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa keluaran utama dari amigdala adalah ke

17

region korteks dan batang otak, termasuk sel NA di lokus coeruleus (LC). Pada studi ini juga didapatkan bahwa selain terdapat hiperaktivitas aksis HPA, juga didapatkan gangguan pada mekanisme umpan balik. (G5) 2.5 Diagnosis dan Gejala Klinis Gejala klinis yang muncul pada penderita gangguan ini adalah: penurunan mood, penurunan nafsu makan, sulit berkonsentrasi., penurunan energi, gangguan short-term memory, dan gangguan mengambil keputusan. Selain itu pasien juga akan memiliki kehilangan rasa tertarik kepada akitvitas-aktivitas yang disenanginya, insomnia dan mengalami penurunan berat badan. Pasien juga dapat memiliki agitasi psikomotor dan bisa mengalami retardas mental, meskipun jarang. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasien dapat memiliki pandangan pesimis terhadap kenyataan di sekelilingnya dan dapat memunculkan ide bunuh diri. Menanyakan akan ide bunuh diri pada pasien-pasien yang menderita Major Depression Syndrome sangatlah penting, di mana pasien mungkin tidak akan mengemukakan secara terbuka akan ide tersebut, maka harus dilakukan penggalian akan ide tersebut terhadap pasien. Dengan menggali ide bunuh diri tersebut, maka dapat ditentukan sejauh apa pasien sudah memikirkan akan ide tersebut, apakah hanya berupa ide, ataukah pasien memang sudah menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk bunuh diri. Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam menggali ide bunuh diri adalah: 1. Apakah ada ide bunuh diri? 2. Dengan Cara apakah bunuh diri itu akan dilakukan 3. Apakah sudah ada rencana untuk melakukan ide tersebut? 4. Sudahkah dilakukan persiapan? (peralatan, lokasi, waktu) 5. Hal apa yang membuat pasien belum bunuh diri? Hal-hal tersebut penting untuk ditanyakan, karena dengan mengetahui sejauh mana ide tersebut telah berkembang, maka dapat ditentukan seberapa jauh terapi yang harus diberikan akan ide bunuh diri tersebut. Perlu juga diperhatikan hal apa yang mencegah pasien bunuh diri, karena dengan mengetahui hal tersebut, maka itu akan menjadi modal untuk mendorong pasien untuk menghentikan ide bunuh dirinya. Perlu dilakukan motivasi untuk menghentikan ide bunuh diri dengan menguatkan motivasi pribadi dari pasien itu sendiri.

18

Kriteria Diagnosis Major Depression Syndrome Sesuai dengan etiologinya, untuk mendiagnosis seorang pasien dengan Major Depression Syndrome, perlu dilakukan penggalian riwayat hidup pasien tersebut dari berbagai aspek, baik itu keadaan lingkungan dan diri pasien sendiri pada saat ini, riwayat hidup pasien, riwayat keluarga, aspek psikologis dan adanya penggunaan obat-obatan terlarang. Menurut DSM IV-TR, berikut adalah criteria diagnosis untuk Major Depressive Syndrome: 1. Ada lima atau lebih gejala berikut ini a. Penurunan Mood (pada anak-anak/remaja, dapat berupa mood yang iritabel. b. Anhedonia c. Penurunan nafsu makan atau berat badan d. Gangguan tidur e. Agitasi psikomotor atau retardasi f. Kelelahan g. Merasa tidak berharga atau bersalah h. Penurunan konsentrasi i. Ide-ide bunuh diri Salah satu dari 5 gejala yang muncul harus penurunan mood atau anhedonia. Gejalagejala tersebut harus muncul secara berturut-turut selama 2 minggu. Dan menunjukkan adanya hendaya dibandingkan dengan sebelum ada gejala-gejala tersebut. 2. Gejala-gejala tersebut menyebabkan hendaya dan disfungsi klinis yang bermakna dalam aspek sosial, pekerjaan lain-lainnya 3. Gejala-gejala depresi tidak boleh disebabkan oleh efek fisiologis akibat penggunaan zat tertentu atau akibat kondisi medis tertentu 4. Gejala-gejala yang muncul tidak boleh disebabkan oleh akibat adanya anggota keluraga yang meninggal Perlu diperhatikan juga bahwa gejala-gejala di atas tidak boleh disertai dan/atau diselingi oleh episode Manic/Hypomanic/Mixed. Hal ini yang membedakannya dengan gangguan bipolar. Sedangkan menurut ICD-10, Major Depression Syndrome disebut sebagai Recurrent Depressive Disorder. Menurut ICD-10, Recurrent Depressive Disorder memiliki karakteristik
19

adanya episode depresi berulang, (penurunan konsentrasi dan atensi, penurunan kepercayaan diri, perasaan tidak berguna dan tidak berharga, pesimis, adanya ide bunuh diri, dll) baik dalam stadium ringan, sedang maupun berat, tanpa adanya riwayat peningkatan mood atau overactivity yang memenuhi kriteria mania. Berdasarkan ICD-10, tidak diperlukan adanya rentang waktu untuk menentukan diagnosis ini. Artinya, munculnya episode depresi berulang yang kurang dari dua minggu durasinya, tetap dapat dimasukkan sebagai Recurrent Depressive Disorder. Begitu juga dengan onset dan frekuensi dari episode depresi tersebut, tidak diberikan batasan oleh ICD-10 dan dikatakan bervariasi. 2.6 Klasifikasi Major Depression Syndrome Berdasarkan DSM-IV TR Setelah kita mengetahui kriteria diagnosis dari Major Depression Syndrome, maka perlu diketahui juga bahwa DSM-IV TR telah melakukan pengklasifikasian akan Major Depression Syndrome, yaitu dibagi menjadi: 1. Major Depression Syndrome Single Episode 2. Major Depression Syndrome Recurrent Episode Penggolongan ini kemudian diberikan kriteria diagnosisnya masing-masing, yaitu: 1. Major Depression Syndrome Single Episode A. Adanya satu episode depresi Mayor B. Episode tersebut tidak boleh disebabkan oleh schizoaffective disorder dan tidak bersamaan dengan adanya gangguan schizophrenia, schizophreniform disorder, gangguan waham atau gangguan psikotik lain C. Tidak pernah ada riwayat manik sebelumnya atau hipomanic maupun mixed episode. Dan eksklusi ini tidak berlaku jika keadaan-keadaan yang dimaksud diakibatkan oleh penggunaan zat-zat tertentu atau efek fisiologis dari suatu kondisi medis. Jika kriteria diatas ditemukan pada pasien, maka harus ditentukan status klinis saat itu: Episode depresi ringan, sedang atau berat dengan atau tanpa gejala psikotik Kronis Dengan ciri Catatonic Dengan ciri Melankolik Dengan ciri yang atipikal Bersamaan dengan kondisi post-partum

20

Dan jika kriteria Major Depression Syndrome tidak ditemukan pada pasien di saat itu, maka juga harus ditentukan status klinis pasien saat itu: Sudah mengalami remisi partial atau full remission Kronis Dengan ciri Catatonic Dengan ciri Melankolik Dengan ciri yang atipikal Bersamaan dengan kondisi post-partum

2. Major Depression Syndrome Recurrent Episode A. Adanya dua atau lebih episode depresi berat. Catatan: untuk dikatakan sebagai dua episode terpisah, harus ada interval minimal 2 bulan di mana pasien di dalam keadaan yang tidak memnuhi kriteria untuk episode depresi berat. B. Episode tersebut tidak boleh disebabkan oleh schizoaffective disorder dan tidak bersamaan dengan adanya gangguan schizophrenia, schizophreniform disorder, gangguan waham atau gangguan psikotik lain C. Tidak pernah ada riwayat manic sebelumnya atau hipomanic maupun mixed episode. Dan eksklusi ini tidak berlaku jika keadaan-keadaan yang dimaksud diakibatkan oleh penggunaan zat-zat tertentu atau efek fisiologis dari suatu kondisi medis. Jika kriteria diatas ditemukan pada pasien, maka harus ditentukan status klinis saat itu: Episode depresi ringan, sedang atau berat dengan atau tanpa gejala psikotik Kronis Dengan ciri Katatonik Dengan ciri Melankolik Dengan ciri yang atipikal Bersamaan dengan kondisi post-partum

Dan jika kriteria Major Depression Syndrome tidak ditemukan pada pasien di saat itu, maka juga harus ditentukan status klinis pasien saat itu: Sudah mengalami remisi partial atau full remission Kronis Dengan ciri Catatonic Dengan ciri Melankolik Dengan ciri yang atipikal

21

Bersamaan dengan kondisi post-partum

2.6.1 Major Depression Syndrome dengan ciri Melankolik Istilah Melancholia sejak abad ke-4 digunakan untuk menggambarkan adanya mood yang buruk akibat depresi. Sampai saat ini, istilah itu masih digunakan untuk menggambarkan depresi yang dikarakterisasi oleh adanya anhedonia berat, bangun tidur pada saat masih subuh, penurunan berat badan dan adanya perasaan bersalah. Tidak jarang pasien depresi dengan ciri melankolis memiliki ide bunuh diri. Melancholia diasosiasikan dengan adanya perubahan pada SSO dan fungsi endokrin, oleh sebab itu, melankolia sering dianggap sebagai Endogenous Depression atau depresi yang muncul tanpa adanya strssor dari luar. 2.6.2 Major Depression Syndrome dengan ciri Atipikal Pasien-pasien yang mengalami depresi dengan ciri atipikal memiliki dua karakteristik yang utama: overeating dan oversleeping. Jika kita membandingkan pasien depresi ciri atipikal dengan ciri yang lain, maka dapat dilihat bahwa pasien dengan ciri atipikal memiliki onset usia yang lebih muda, ganggaun psikomotor yang lebih berat, dan secara bersamaan sering memiliki gangguan panik, penggunaan obat obatan terlarang dan gangguan somatisasi. Akibat seringnya muncul gejala cemas pada pasien-pasien dengan ciri atipikal, pasien-pasien ini sering salah di-diagnosis sebagai gangguan cemas. 2.6.3 Major Depression Syndrome dengan ciri katatonik Gambaran klinis dari ciri katatonik didominasi oleh minimal dua gejala dari 5 gejala di bawah ini: 1. Imobilitas motorik 2. Aktivitas motorik berlebihan 3. Negatifitas berlebihan atau mutisme 4. Gerakan volunter yang aneh (lihat dari postur tubuh), mannerism, atau grimace 5. Echolalia atau Echopraxia 2.6.4 Major Depression Syndrome Kronis Kriteria kronis dapat dipenuhi jika ditemukan adanya gejala-gejala depresi mayor yang berkelanjutan selama minimal 2 tahun. 2.6.5 Major Depression Syndrome Post-Partum Onset

22

DSM-IV-TR memasukkan munculnya gejala-gejala depresi mayor selama 4 minggu setelah melahirkan.

2.7 Diagnosa Banding Major Depression Syndrome Perlu diperhatikan bahwa pasien psikiatri baru dapat diklasifikasikan sebagai penderita Major Depression Syndrome hanya jika memiliki episode-episode depresi berat. Dan hal ini dapat dibedakan dengan Minor Depression yang memiliki gejala-gejala yang lebih ringan dari pada Major depression syndrome. Selain itu, ada beberapa diagnosa banding yang memiliki gejala yang mirip dengan Major Depression Syndrome. a.Bipolar Disorder Gangguan Bipolar yang dalam episode depresi memiliki gejala yang sama dengan episode depresi pada Major Depression Syndrome, tetapi yang membedakannya adalah bahwa pada gangguan bipolar, pasien memiliki riwayat pernah mengalami episode manik. b.Schizoaffective Disorder Gangguan Schizoaffective memiliki ciri berupa adanya episode depresi yang muncul bersamaan dengan gejala psikotik. Pada pasien-pasien Major Depression Syndrome, gejala psikotik juga dapat muncul, namun gejala-gejala ini muncul tidak bersamaan dengan episode depresinya. 2.8 Formulasi dan Implementasi dari Rencana Terapi a. Manajemen Psikiatri Komponen esensial termasuk mengedukasi pasien dan keluarga tentang depresi, mendiskusikan pilihan terapi dan intervensi yang dapat dilakukan, serta terapi yang adekuat. Terdapat beberapa elemen dari manajemen psikiatri yaitu : 1. Membangun dan memelihara hubungan terapeutik yang baik Pemeriksaan psikiatri dimulai dari membina raport yang baik dengan pasien serta mempertahankan hubungan tersebut. Dalam hal ini psikiatris harus sensitif terhadap masalah pasien. Budaya dan agama dapat menjadi faktor yang mempengaruhi pandangan pasien terhadap depresinya serta pengobatan. Psikiatris dapat mengidentifikasi keinginan pasien dalam pengobatan dan mencocokannya dengan pilihan terapi yang efektif, serta mengembangkan patient-centered care.

23

Jika memungkinkan, keluarga dapat dilibatkan untuk mengetahui tentang penyakit pasien serta terapinya.

2. Melengkapi pemeriksaan psikiatri Pasien dengan gejala depresi harus dilakukan pemeriksaan melalui biopsikososial untuk menentukan diagnosis adanya gangguan depresi mayor dan identifikasi gangguan mental lainnya. Evaluasi yang dilakukan meliputi riwayat penyakit sekarang dan gejala yang ada, termasuk gejala manua atau psikosis. Banyak pasien dengan depresi yang disebabkan oleh obat-obatan yang dijual bebas, obat diet, konsumsi kafein, tembakau, alkohol, maupun substansi lain yang dapat mencetuskan timbulnya gejala depresi. Riwayat pribadi termasuk pemeriksaan perkembangan psikologis yaitu riwayat perkembangan seksual, adanya trauma termasuk fisik, seksual maupun emosi atau tidak diperdulikan. Pemeriksaan status mental merupakan hal yang krusial untuk identifikasi gejala dari depresi yang berhubungan dengan psikosis, defisit kognitif, dan faktor yang mempengaruhi resiku bunuh diri (ide bunuh diri, cemas). Riwayat kelurga termasuk orang tua, kakek dan nenek, serta hubungan saudara dan anak-anak juga perlu ditelusuri. Kondisi medis spesifik yang dapat menyebabkan timbulnya episode depresi mayor termasuk kondisi neurologis (stroke, penyakit Parkinson, demensia, sklerosis multiple), gangguan tiroid, kondisi metabolic (hiperkalsemia), keganasan, dan penyakit infeksi. Pengobatan untuk menangani kondisi medis umum seringkali menimbulkan sindrom depresi seperti penolakan pada saat transplantasi, kemoterapi, steroid, beberapa antibiotik, dan lainnya. 3. Evaluasi keselamatan pasien Adanya peningkatan angka kejadian bunuh diri pada pasien dengan depresi menyebabkan evaluasi dari faktor resiko terhadap bunuh diri menjadi penting. Pemeriksaan lengkap meluputi faktor yang mencetuskan ide bunuh diri, seperti riwayat percobaan bunuh diri, adanya gejala psikotik, kecemasan yang berat, serangan panik, impulsif, serta penggunaan zat lain. Tabel 1. Faktor-Faktor untuk Pemeriksaan Resiko Bunuh Diri Riwayat hidup, kejadian serius, jumlah kejadian yang sudah berlalu dan kejadian yang belum terselesaikan. Riwayat dahulu maupun sekarang tentang ide bunuh diri yang dalam

24

perencanaan. Mencari tahu maksud dari bunuh diri juga kemungkinan menggunakan senjata api. Adanya perasaan tidak memiliki harapan, nyeri fisik, penurunan rasa percaya diri. Riwayat dahulu dan sekarang adanya agresif dan kekerasan. Timbulnya gejala psikotik, halusinasi yang menyuruh atau nilai tes terhadap realita yang buruk. Adanya riwayat masuk rumah sakit akibat penyakit psikiatrik. Adanya penggunaan alkohol ataupun zat lainnya Riwayat keluarga Riwayat trauma pada masa kanak-kanak

4. Memberikan terapi yang cocok Psikiatris dapat memberikan terapi yang cocok setelah melakukan evaluasi terhadap kondisi klinis pasien, termasuk gejala dan derajat keparahan. Pasien dengan ide bunuh diri maupun membunuh membutuhkan monitor yang ketat. 5. Evaluasi perbaikan fungsi dan kualitas hidup Secara keseluruhan yang menjadi tujuan dari terapi depresi mayor adalah perbaikan terhadap gangguan fungsional dan meningkatkan kualitas hidup untuk mencapai gejala resolusi dan episode remisi. 6. Memonitor status psikiatri pasien Tabel 2. Hal yang diperhatikan Status simptomaik, meliputi status fungsional dan kualitas hidup Derajat membahayakan diri sendiri maupun orang lain Gejala perubahan ke mania Kelainan mental lainnya, termasuk alkohol dan gangguan akibat penggunaan zat Kondisi medis umum Respon terhadap pengobatan Efek samping pengobatan Kepatuhan terhadap pengobatan 7. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya
25

Edukasi merupakan bagian yang penting karena disini diberitahukan informed concent mengenai terapi yang diberikan. Edukasi seharusnya juga melibatkan anggota keluarga. Pasien dan keluarga diberitahukan untuk mengetahui gejala awal dan gejala dari episode baru serta stressor pencetusnya. Pasien diinstruksikan untuk menjalankan terapi yang adekuat untuk mencegah eksaserbasi dan komplikasi. Edukasi mengenai gaya hidup yang sehat, seperti tidur yang cukup, kebersihan, dan mengurangi konsumsi tembakau, kafein, alkohol, dan zat lain yang berpengaruh, olahraga teratur juga dapat mengurangi prevalensi dari gejala depresi pada populasi umum. b. Fase Akut 1. Pemilihan terapi inisial Pemberian terapi dilakukan minimum 6-12 minggu, selama fase ini, tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi remisi dan mengembalikan fungsi pasien ke awal. Terapi dapat meliputi farmakoterapi atau terapi somatic lainnya (ECT, terapi cahaya), psikoterapi focus pada depresi, kombinasi antara psikososial dan terapi somatic. Psikoterapi dapat pula menjadi monoterapi untuk pasien dengan depresi ringan hingga sedang. Terapi Elektrokonvulsif dapat digunakan sebagai terapi potensial bagi pasien dengan gangguan depresi mayor dengan gejala psikotik atau katatonia, atau bagi pasien yang membutuhkan terapi dengan respon yang cepat. Modalitas Derajat keparahan penyakit Farmakoterapi Psikoterapi fokus depresi Kombinasi Terapi Elektrokonvulsif

pada Farmakoterapi dan Psikoterapi

Ringan - Ya sedang

Ya

Bermanfaat bagi dengan masalah psikososial atau hubungan interpersonal, konflik intrafisik.

Ya,untuk pasien

pasien tertentu

26

Berat tanpa gejala psikotik Berat dengan gejala psikotik

Ya

Tidak

Ya

Ya

Ya, dibutuhkan antidepresan dan antipsikotik

Tidak

Ya, dibutuhkan antidepresan dan antipsikotik

Ya

Tabel 3. Terapi Yang Disarankan Dalam Fase Akut Untuk Gangguan Depresi Mayor 2. Farmakoterapi Pengobatan dengan antidepresi telah dikelompokkan menjadi : 1. TCAs yaitu antidepresan tetrasiklik maprotiline; 2. SSRIs termasuk fluoxetine, sertraline, paroxetine, fluvoxamine, citalopram, dan escitalopram; 4. Antidepresan lainnya termasuk bupropion, nefazodone, trazodone, dan mirtazapine; dan 5. MAOIs termasuk phenelzine, tranylcypromine, dan formulasi transdermal dari selegiline. Nama Generik Selective Serotonin Reuptake Inhibitors Citalopram Escitalopram Fluoxetine Paroxetine Sertraline Dopamine Norepinephrine Reuptake Inhibitor Bupropion, 150 300-450 20 10 20 20 50 20-60 10-20 20-60 20-60 50-200 Dosis awal (mg/hari) Dosis harian (mg/hari)

27

immediate release Bupropion, extended release Bupropion, sustained release Serotonin Noreponephrine Reuptake Inhibitor Venlafaxine, immediate release Venlafaxine, extended release Desvenlafaxine Duloxetine Serotonin Modulator Nefazodone Trazodone NorepinephrineSerotonin Modulator Mirtazapine Tricyclics Tetracyclics Amitriptyline Doxepin Imipramine Desipramine Nortriptyline Trimipramine 25-50 25-50 25-50 25-50 25 25-50 100-300 100-300 100-300 100-300 50-200 75-300 and 15 15-45 50 150 150-300 150-600 50 60 50 60-120 37.5 75-375 37.5 75-375 150 300-450 150 300-400

28

Protriptyline Maprotiline Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) Phenelzine

10-20 75

20-60 100-225

15

45-90 30-60 30-60

Tranylcypromine 10 Isocarboxazid Ireversibel MAOIs Selegiline transdermal Reversibel MAOIs Moclobemide 150 6 10-20

6-12

300-600

Tabel 4. Farmakoterapi Major Depression Syndrome Dosis awal yang rendah direkomendasikan bagi orang usia tua, dan juga untuk pasien dengan gangguan panik, gangguan cemas maupun gangguan hati, serta gangguan medis umum lainnya. Efek samping Kardiovaskular Aritmia TCAs Tidak boleh untuk pasien dengan instabilitas jantung atau iskemia. Interaksi Jenis Antidepresan Tatalaksana

dengan anti-aritmia Hipertensi SNRIs, bupropion Monitor tekanan Pertahankan seminumal darah. dosis mungkin.

Tambahkan anti-hipertensi Krisis Hipertensi MAOIs Jika hipertensi berat

tambahkan

antihipertensi

29

iv

(labetalol,

sodium mungkin

nitroprusside) dibutuhkan Peningkatan kolesterol Hipotensi ortostatik TCAs, Trazodone, Tambahkan fludocortisone. Mirtazapine Tambahkan statin

Nefazodone, MAOIs

Tambahkan garam dalam diet Antikolinergik Konstipasi TCAs Hidrasi yang adekuat dan obat laksatif Delirium TCAs Evaluasi kemungkinan

lain yang menyebabkan delirium Mulut kering TCAs, SNRIs, bupropion Sarankan mengkonsumsi

permen dengan kadar gula rendah Hesitansi berkemih Perubahan penglihatan Neurologi Nyeri kepala SSRIs,SNRIs,bupropion Memeriksa etiologi lain (kafein,bruxisme,migrain, nyeri kepala tipe tegang) Mioklonus Kejang TCAs,MAOIs Tambahkan clonazepam etiologi TCAs Tambahkan pilokarpin tetes mata TCAs Tambahkan bethanechol

Bupropion,TCAs,amoxapine Memeriksa lain,tambahkan antikonvulsan,

jika

terdapat indikasi klinis Seksual Disfungsi TCAs,SSRIs,SNRIs Tambahkan sildenafil,

30

ereksi Disfungsi orgasme Priapismus Lainnya Aktivasi Akathisia SSRIs,SNRIs,bupropion SSRIs, SNRIs TCAs,SSRIs,venlafaxine, desvenlafaxine,MAOIs Trazodone

tadalafil, buspiron Tambahkan sildenafil,

tadalafil, buspiron Evaluasi urologis

Beta

bloker

atau

benzodiazepine Bruxisme Diaforesis SSRIs TCAs, SSRIs,SNRIs beberapa Tambahkan antagonis alfa 1

adrenergic

(terazosin), agonis alfa 2 sentral (clonidine) Resiko jatuh TCAs, SSRIs Monitor tekanan darah

untuk melihat hipotensi atau orthostasis, sedasi, pandangan modifikasi kabur; lingkungan

untuk mengurangi resiko Perdarahan gastrointestinal SSRIs Identifikasi pengobatan adanya yang

menimbulkan efek pada pembekuan Hepatotoksik Nefazodone Edukasi dan monitor

disfungsi hepar. Insomnia Mual, muntah SSRIs, SNRIs, bupropion SSRIs, SNRIs, bupropion Gunakan hipnotik-sedatif Digunakan setelah makan atau dosis terbagi Osteopenia SSRIs Monitor densitas mineral tulang dan tambahkan

terapi yang spesifik untuk mencegah penurunan masa tulang (suplemen calcium

31

dan

vitamin

D,

bisfosfonat, agen selektif reseptor estrogen) Sedasi TCAs, trazodone, Tambahkan modafinil atau methylphenidate Evaluasi emergensi

nefazodone, mirtazapine Sindrom serotonin Peningkatan berat badan MAOIs

SSRIs, mirtazapine, TCAs, Olahraga, diet MAOIs Tabel 5. Efek samping pengobatan Antidepresan

Terapi somatik lainnya berupa : a. Terapi elektrokonvulsif (ECT) ECT telah dihubungkan dengan perbaikan yang signifikan pada kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup. ECT dapat digunakan sebagai terapi lini pertama untuk gangguan depresi mayor yang berat disertai dengan psikotik, katatonia, resiko bunuh diri, ataupun penolakan terhadap makanan yang dapat menyebabkan penurunan asupan nutrisi. ECT merupakan terapi yang aman dan hampir tidak ada kontraindikasi absolut. ECT dapat memiliki efek terhadap kardiovaskular akibat perubahan pada saraf autonom dan kejang. b. Psikoterapi a. Cognitive and behavioral therapies Tujuan dari CBT dalah untuk mengurangi gejala depresi dengan mengajak dan membalikkan kepercayaan pasien dan perilaku pasien dengan penguatan untuk merubah pandangan pasien yang salah dan perilaku mereka di kehidupan. b. Interpersonal psychotherapy Terapi ini focus pada perubahan hidup. Tujuan dari terapi adalah mengintervensi dengan cara identifikasi pencetus munculnya gejala depresi. 3. Memantau respon dan terapi yang adekuat Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tidak merespon terhadap terapi, yaitu :

32

a. Diagnosis yang tidak akurat b. Ada kondisi medis yang lain atau gangguan psikiatri, termasuk penyalah gunaan zat c. Pemilihan terapi yang tidak tepat d. Dosis terapi yang inadekuat atau jumlah psikoterapi yang tidak mencukupi e. Durasi dari terapi yang tidak adekuat c. Fase lanjutan Lama terapi yang dianjurkan adalah 4-9 bulan (debfab asumsi yang baik serta kontrol yang teratur dari gejala depresi). Tujuan utama dari terapi lanjutan adalah untuk mencegah relaps. Dalam 6 bulan pertama selama masa penyembuhan dari depresi mayor, relaps seringkali muncul dengan prevalensi 25%. Cognitivebehavioral therapy dapat mencegah munculnya relaps dari depresi. d. Fase perawatan Terapi perawatan seharusnya diberikan pada pasien dengan faktor resiko tambahan yang kuat dalam mempengaruhi episode rekurensi, seperti adanya gejala residual, stressor psikososial, serta riwayat keluarga adanya gangguan mood. Terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan rekurensi dari gangguan depresi mayor, yaitu : a. Adanya gejala depresi yang menetap b. Adanya riwayat timbulnya episode multiple dari gangguan depresi mayor c. Gejala awal yang sudah parah d. Onset usia yang lebih tua e. Adanya diagnosis psikiatri yang lain f. Adanya gangguan medis umum yang kronis g. Adanya stressor psikososial h. Gangguan tidur yang persisten e. Penghentian terapi Jika fase perawatan tidak diperlukan, maka terapi untuk penghentian tidak diperlukan. Penelitian mengenai waktu yang dibutuhkan untuk menghentikan pengobatan dan psikoterapi belum dipelajari secara sistematis. Pasien harus dimonitor secara hati-hati selama dan sesegera setelah penghentian terapi untuk meyakinkan bahwa remisi telah stabil. Resiko relaps tinggi pada 2 bulan pertama setelah penghentian obat. Setelah farmakoterapi dihentikan, akan lebih baik jika dosis di taper selama beberapa minggu.
33

2.9 Prognosis Beberapa pasien, MDD dapat menjadi kronis, penyakit yang berulang. Relaps terjadi pada enam bulan pertama dari masa penyembuhan terjadi pada 25% pasien, 58% akan relaps setelah lima tahun, dan 85% akan relaps setelah 15 tahun setelah penyembuhan yang terdahulu. Individu yang mengalami dua episode depresi terdahulu memiliki 70% kemungkinan untuk menjadi ke tiga kalinya, dan yang sudah mengalami episode ke tiga memiliki kemungkinan 90% untuk relaps. Berdasarkan prodres dari penyakitnya, interval antara episode depresi menjadi lebih pendek dan lebih berat untuk setiap episodenya menjadi lebih luas. Lebih dari 20 tahun, kekambuhan terjadi sekitar lima sampai enam kali. Proporsi yang signifikan dari individu dengan depresi kronis meunjukkan gejala yang bervariasi. Sekitar dua per tiga dari pasien dengan episode depresi mayor akan sembuh dengan sempurna, dimana satu per tiga pasien dengan depresi hanya sembuh sementara atau menjadi kronis. Pada penelitian, pasien dengan satu tahun terdiagnosis post MDD, 40% mengalami penyembuhan tanpa ada gejala depresi, 20% mengalami gejala berulang tetapi tidak memenuhi kriteria MDD, dan 40% tetap menjadi menalami episode depresi mayor. Individu dengan gejala depresi residual yang menetap memiliki resiko tinggi untuk kambuh, bunuh diri, fungsi psikososial yang buruk, dan tingkat mortalitas yang tinggi dari kondisi medis lainnya. Sebagai tambahan, 5-10% individu depresi yang memiliki pengalaman dari episode depresi mayor akan sangat memungkinkan terjadinya manic atau episode campuran yang mengindikasikan kepada gangguan bipolar. Beberapa penemuan sudah difokuskan kepada indicator prognosis yang dapat memprediksikan kemungkinan nilai dalam penyembuhan dan kemungkinan dalam tingkat kekambuhan pada individu dengan depresi.

Daftar Pustaka Alan J. Gelenberg, Marlene P. Freeman, et al. Practise Guideline for the treatment of patients with ajor Depressive Disorder. 3rd edition. American Psychiatric Association. May 2010. http://psychiatryonline.org/guidelines.aspx

34

W. Long P. Mayor depressive Disorder. [online]. Updated on 2011. Cited on [13 Maret 2012]. p 1-6. Available from : http://www.mentalhealth.com

BAB III KESIMPULAN

35

Anda mungkin juga menyukai