Anda di halaman 1dari 9

CINTAKU BUKAN LAUTMU

Celtia Adilanang

Hari sudah sore ketika Gea pulang dari kerja sambilannya seusai sekolah. Ia berlari kecil menyusuri jalan setapak menuju rumah berdinding batu di ujung jalan. Baru sekali ini ia terlambat dan orang tuanya pasti sudah bersiap-siap menyambut di ruang tamu dengan pertanyaan. Aku harus bilang apa nih? gumamnya sambil terengah. Kurang dari enam rumah lagi ia sudah akan berada di depan pagar pekarangan dan masih belum punya alasan yang cukup baik agar tidak dimarahi. Apalagi kalau harus jujur mengatakan bahwa ia terlambat karena janji ketemu Erwin di samping ruko tempatnya kerja. Masih segar dalam ingatannya sebuah obrolan yang membuat hati berdebar tak karuan.

Hai, nama kamu Gea, kan? tanya Erwin waktu itu. Anak senior yang paling dikagumi cewek seantero sekolah. Tampan, tinggi, dan punya mata coklat bening yang bisa bikin cewek demam tinggi kalau ditatap terlalu lama. Kabarnya ia anak baru, pindahan dari luar kota. Entah kenapa, dari sekian banyak yang cantik-cantik, pemuda itu memilih Gea untuk bertemu sembunyi-sembunyi. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Gea sendiri tak menyangka sebelumnya kalau Erwin-lah yang menaruh surat kaleng di laci tempat duduknya tadi pagi. Jelas ia kaget sekali.

Y-ya, jawab Gea gugup. Erwin mencegatnya persis di samping ruko. Ia tak mungkin mengelak. Kamu yang menaruh surat ini tadi pagi? diacungkannya selembar surat tak beramplop. Erwin mengangguk. Maaf kalau aku kurang sopan, katanya sambil garuk-garuk kepala. soalnya aku nggak kenal kamu. Nanti malah aneh kalau ngomong langsung di depan anak-anak yang lain. Kamu marah? Gea buru-buru menunduk sambil sedikit memalingkan wajah yang mendadak bersemu merah. Enggak. Nggak apa-apa. Baiknya aku langsung saja. wajah Erwin berubah serius. Aku nggak bermaksud main-main. Ini soal puisi yang kamu pasang di MaDing seminggu yang lalu.

Puisi? tanya Gea sambil mengingat-ingat. Yang mana? Yang kamu pasang sebelum puisi tentang alam dan manusia. Itu lho, tentang impian dan keinginan kamu untuk suatu saat meninggalkan kebisingan kota dan bertualang keliling Pulau Jawa. Advonturir. Oh, yang itu. Ya, aku ingat. Memangnya kenapa? Bertanyapun Gea masih tak berani menatap mata Erwin langsung. Ia malah menyandarkan punggung ke tembok sambil mengutiki kuku yang rapih dan selalu dipotong. Erwin melangkah mendekat. Sialan! Nggak tau mukaku makin merah, ya? Maki Gea dalam hati. Panik. Dadanya berdegup tak karuan. Tubuh serasa menciut sampai muat bersembunyi di dalam sepatu. Kini jarak mereka tak sampai dua jengkal. Erwin berkata lagi, Aku suka sekali puisi itu. lalu diam menunggu jawaban. Gea malah membisu. Kamu tau, aku juga punya mimpi yang sama. Gea masih tak menanggapi. Andai saja Erwin tahu bahwa sebenarnya Gea hampir tak tahan dan ingin sekali kabur dari tempat itu. Ia senang, namun sekaligus gugup luar biasa. Tak tahu harus bersikap bagaimana.

Terimakasih kalo kamu suka. Gea memaksakan diri bersuara. Jadikamu juga suka jalan-jalan? Erwin tersenyum. Aduh Mak! Senyumnya itu, boo...! Hanya beberapa kali ke beberapa kota di Jawa. Masih banyak yang ingin aku lihat. Biasanya sama siapa? Ajaib! Kini bicaranya mulai lancar. Gea jadi heran sendiri. Teman-teman pecinta alam. Biasanya mereka juga ngajak naik gunung. Tapi aku nggak begitu suka naik gunung. Terus terang, lebih suka laut. Wajah Erwin seperti menerawang.

Kok bisa? tanya Gea. Erwin tak segera menjawab. Wajahnya masih melamun. Eh,..yah, mungkin karena rasanya lebih tenang. jawab Erwin buru-buru. Bikin rileks. Kenapa? Kamu suka naik gunung? Erwin balik bertanya. Menggeser tubuh ke samping, ikut-ikutan bersender tembok.

Nggak juga. Aku takut ketinggian. Lebih suka jalan-jalan biasa. Liat-liat pemandangan, tempat-tempat bersejarah. Laut? Nggak tau juga. Belum pernah ke laut. Diam-diam Gea mendesah lega. Belum pernah? Yang beneer? tukas Erwin tak percaya. Kalo gitu...., mau nggak kapan-kapan aku antar kamu jalan-jalankemana aja, dan kita sempatkan ke laut? Liburan, barangkali? Gea menoleh. Pandangan mereka bertemu. Ada harap-harap cemas di mata Erwin. Kelihatannya ingin benar mewujudkan ajakan. Gea buru-buru menunduk lagi. Bingung harus jawab apa. Ia juga ingin sekali bisa jalan-jalan seperti itu, apalagi bersama Erwin. Masalahnya, apakah orangtua bakal kasih izin? Apalagi mereka belum lama kenal.

Waduh, sori. Aku lancang, ya? ujar Erwin minta maaf. Yah, rasanya memang terlalu cepat kalo begitu. Lupain deh. Aku nggak bermaksud kurang ajar, kok. Bener! Kini giliran Gea tersenyum melihat Erwin kelimpungan. Ia tak menjawab, tapi bagi Erwin, senyum itu sudah cukup. Eem..., kayaknya udah mulai gelap nih. Aku antar pulang yah? tanya Erwin kemudian, seperti hendak mencairkan kegugupan. Diingatkan soal waktu, Gea tersentak kaget. Ya ampun! Matik aku! serunya tak sadar. Sudah berapa lama mereka berdiri mengobrol begini? Rasanya belum ada jam tiga sewaktu ia keluar ruko untuk pulang. Sekarang tahu-tahu udah hampir maghrib. Ah, betapa cepat waktu berlalu. Boleh. Tapi hanya sampai ujung jalan saja. Dari situ aku bisa sendiri. jawab Gea. It shall be as you say, My Lady. Erwin nyengir dan melangkah lebih dulu.

Jam dinding di kamar tidur menunjukkan pukul tujuh empat lima ketika Gea menyalakan lampu meja belajar buat persiapan besok pagi. Satu-dua PR Bahasa Inggris dan sedikit esei Biologi. Ia sudah selesai mandi dan berganti baju tidur. Album All The Way...-nya Celine Dion mengalun lembut mengisi ruangan. Rasanya segar benar. Mestinya tak akan lama menyelesaikan tugas-tugas sekolah malam ini sebelum tidur.

Mestinya. Tapi kenapa sekarang ia malah bengong membolak-balik lembaran buku? Asik memutar-mutar bolpen sambil senyum-senyum sendiri. Tanpa dipaksa pikirannya mengulang detil kejadian sore ini. Bak memutar rekaman film saja. All the smile, the moves, the conversations... Even the smells and atmosphere,... Gea... Sebuah usapan lembut di pundak membuyarkan lamunan. Entah sejak kapan ibu berdiri di situ, di sampingnya. Tersenyum. Pulang telat, lagu cinta, bau wangi, dan sekarang ngelamun sambil senyum-senyum sendiri. ujar wanita paruh baya itu berputar mengamati sekeliling. Putriku sedang jatuh cinta, ya? Tak ada tekanan di suara itu. Hanya godaan lembut penuh pengertian.

Gea memutar posisi duduk. Menunduk. Ibu nggak suka? Usiamu sudah tujuh belas, Gea. Wajar, kok. jawabnya sambil mengecilkan volume musik. Lalu duduk di tepi tempat tidur. Selama nggak melupakan kewajiban utamamubelajar, Ibu nggak punya alasan untuk keberatan. Gea mengangguk. Bapak gimana, Bu? tanya Gea hati-hati. Ibu memang pengertian, tapi Bapak lain cerita. Biar ibu yang bicara. Kamu nggak usah cemas. Ibu cuma ingin tau anaknya seperti apa? Kapan-kapan dia main ke rumah, kan? Yah, barangkali. Nggak tau kapan. Orang ketemu langsung aja baru sore tadi. Teman sekolah? Gea mengangguk. Kelas tiga. Pindahan dari Bandung. Kami belum ngobrol banyak. Baru ngalor-ngidul soal hobi dan jalan-jalan. Resmi-pun belum Nggak usah resmi-resmian, Gea. Jalanin aja. Bapakmu dulu juga nggak pernah omong gombal macam-macam. Toh, perasaan kalian yang lebih bisa menentukan. ujarnya bernasihat. Iya, Bu. Omong-omong, Ibu nggak keberatan kalo nantikapan-kapan, Gea jalan-jalan ke luar kota? Sama temen-temen, naik gunung. Atau ke laut? Pokoknya jalan-jalan?

Ibu terdiam. Alisnya bergerak. Kenapa nggak sama Ibu atau Bapak? Yaah...kan lain, Bu. rajuk Gea.

Emangnya kamu mau ngapain? Ibu tertawa. Satu-satu dong, Gea. Tadi soal asmara, sekarang soal gunung dan laut. Lagipula, liburan juga belum. Ia bangkit mengelus rambut putrinya dengan sayang. Kamu ini anak Ibu satu-satunya. Bagaimanapun kami harus hati-hati. Nantilah kita bicarakan lagi. Sekarang, selesaikan PR kamu. Ayoh, nanti keburu malam.

Gea tersenyum memeluk Ibu. Terimakasih, Bu. Diciumnya pipi wanita itu kanan dan kiri. Gea sayang Ibu.

Begitu, ya? Dasar jahat!! sebuah suara cempreng mengejutkan Gea dari belakang. Tanpa melepaskan gigitan dari tahu goreng yang baru dibeli, Gea menoleh. Duh, makhluk cerewet ini lagi. Gumamnya. Belum ada lima menit sejak bel istirahat kedua berbunyi, ia harus berurusan dengan Tina. Apa, Tina? jawab Gea sambil mengunyah. Mengambil lagi sebuah cabe dan melangkah keluar kantin, ke deretan bangku kosong di bawah pohon rambutan tak jauh dari situ. Gea bisa menyaksikan anak-anak kelas satu bermain basket di lapangan. Tampaknya cukup seru, karena hampir seluruh siswa berkerumun di sekeliling. Sorak sorai dan bunyi bola menghantam lantai berbaur ramai.

Geaa..., rajuk Tina. Ia mengintil di belakang. Lengan baju Gea ditarik-tarik. Apa siih? Duduk sini. Ngomong yang jelas. Ia duduk sambil menepuk bangku di sebelahnya. Gea sudah bisa menebak apa maunya anak ini. Pasti soal pertemuan dengan Erwin kemarin. Biasanya ia memang selalu cerita soal apapun karena mereka kawan akrab dan duduk sebangku. Tapi entah kenapa, soal yang satu ini Gea belum mau bicara banyak.

Oy, cerita dong. desak Tina. Gue kan juga baca surat itu. Siapa dia? Gue kenal apa enggak? Gimana ceritanya? Kamu nanya apa belanja? Borongan gitu. Geaa....! Iya, iya,.... Erwin. jawab Gea kalem. Matanya melirik, melihat bola mata Tina yang kini membesar dua kali lipat.

Erwin? Erwin yang itu? Curang! Kok nggak ngomong? Bisanya dia tau kamu? Kamu udah kenal lama ya? Sss..h! tukas Gea cepat. Duh! Ribut amat sih kamu. Ini aku ceritain. Tapi jangan heboh begitu. Nggak enak didengar yang lain. Sori, sori,.. jawab Tina cekikikan menyadari kehebohan sendiri. Tapi ini emang berita besar. Gimana? Orangnya asik? Sudah nembak kamu? Gea menggeleng. Sekali borongan tetep borongan, ya? Tahu sudah habis. Tinggal sepotong cabe yang kini asik digigiti. Tina melihat dengan ngeri. Dia memang nggak doyan pedas.

Ih, kok bisa sih? Bisa dong. Mestinya kamu juga kalo mau cepet gede. Gede apanya? Nggak connect. Nggak nyambung. Ayo dong, cepetan cerita! Iya, iya,... bagian mana dulu? Orangnya gimana? Asik nggak? Asik itu relatif. Tapi dia oke juga. Sopan. Oya, dia juga suka puisiku. Puisi kamu? Yang mana? Kamu udah baca, kan? Yang sekarang masih nempel di MaDing. O.., trus? Kalian ngobrolin puisi? Awalnya begitu. Lantas dia cerita kalo dia juga suka jalan-jalan. Naik gunung,..eh, nggak ding, sebetulnya dia lebih suka ke laut. Lebih tenang, katanya. Bikin rileks. Aku sendiri nggak bisa komentar. Aku kan nggak pernah ke laut. Nggak pernah? Yang benee..r? potong Tina tak percaya. Apaan sih? Kayaknya semua orang udah pernah ke laut kecuali aku, deh! tukas Gea bersungut-sungut. Tapi dia jadi makin penasaran. Whats so special about the sea? Gea jadi teringat Erwin yang sempat melamun waktu membicarakan laut. Cobalah sekali-sekali. Duduk di pinggir pantai sore hari, memandang matahari terbenam yang seolah membakar cakrawala, dengan seseorang di sisimu, segelas kopi,....

Kok malah kamu yang pacaran? Hei! Tiinaaa..., Gea menyorongkan tangan ke muka Tina. Yang dipanggil tersentak ketawa. Sori. Ngelamun gue. Tapi beneran, Gea. Asik lho. Lagian, orang yang suka laut biasanya romantis.

Trus, ngobrol apa lagi? Dia nganter kamu pulang? Gimana reaksi orangtua kamu? berondong Tina lagi. Gea hanya menatap diam. Sebelah alisnya terangkat. Ups, borongan lagi ya? Terserah kamu deh, mau jawab yang mana dulu. Urutan juga boleh. Setelah itu, nggak banyak bahan lagi. Dia ngajak aku bertualang kapan-kapan. Tapi aku bingung mau jawab apa. Masak cuma berdua? Shit! potong Tina. Wajahnya lemas. Apa lagi? Konfirmatif kalo begitu. Itu kan cara lain bilang Ai lap yu. Emangnya kamu mau saingan? Lagian, bisa aja itu cuma basa-basi. Nggak ada harapan. Tina mendengus. Dan nggak ada enaknya saingan ama temen sendiri soal begituan. Trus? Wise thought, pikir Gea. Teruu...s, dia antar aku pulang. Tapi cuma sampe ujung jalan. Gila aja pulang sore-sore bareng cowok. Tapi aku udah ngomong sama ibuku. Trus? wajah Tina tegang. Selama raporku nggak kebakaran, kayaknya doi oke-oke aja. Gea bangkit, menepuk-nepuk belakang rok. Jeritan bel membubarkan keasikan anak-anak di lapangan basket. Yuk. ajak Gea. Oya, aku pinjam catatan Biologi, ya? Yang tadi itu aku lagi males nyatet.

Yaa.. baru diajak ngobrol udah males nyatet. Gimana ntar kalo dicium? Tina mengintil di belakang. Jangan ngaco! tukas Gea. Itu karena bolpenku macet. katanya memberi alasan. Makanya aku juga mau pinjam bolpen nanti. Alasan! dengus Tina. Wajahnya tiba-tiba berubah nakal. Gue jadi penasaran, gimana reaksi anak-anak kalo tau berita heboh ini. Mereka sudah hampir sampai di depan kelas ketika tiba-tiba Gea berhenti melangkah. Rona wajahnya berubah dari pucat lalu bersemu merah. Di situ, sambil bersandar di pintu masuk, tampak Erwin sedang menanti. Pandangan mereka bertemu. Hihi, gue masuk dulu deh. ujar Tina. Kayaknya sebentar lagi bakal ketauan kayak apa hebohnya.

Rumah itu sedikit lebih besar dari rumah Gea. Tembok dicat putih dengan genting coklat tua, halamannya terawat rapih dan sejuk. Beberapa pot bunga anggrek dan jenis lain digantung di teras yang menghadap ke kebun kecil di samping rumah. Mebel teras terdiri dari meja dan dua kursi besar anyaman rotan berwarna cerah. Gea duduk di salah satu kursi itu, membolak-balik halaman majalah remaja yang baru dibeli. Hampir seminggu berlalu sejak pengumuman resmi Erwin di pintu kelas tempo hari. Seminggu yang amat manis buat Gea, karena selama itu hari-harinya jadi penuh warna dan mimpi-mimpi indah. Obrolan mereka makin meluas dan menarik. Erwin banyak cerita soal hobinya membaca kisah-kisah fantasi karangan penulis asing. Dunia imajinatif berbasis dongeng serta legenda Eropa zaman Raja Arthur Pendragon, penyihir Merlin,... the world of knight and magic. Erwin yang tahu kalau Gea merasa amat tertarik, tak keberatan meminjamkan sebuah buku dari koleksinya.

Gea menghela nafas. Ia masukkan majalah ke dalam tas, lalu mengeluarkan novel tebal bersampul merah itu. Ditimang perlahan. Sebenarnya buku ini belum habis dibaca, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat ia ingin segera mengembalikan. Dan karena Erwin tidak masuk sekolah tadi pagi, Gea terpaksa menyambangi ke rumah seusai sekolah. Lagipula, ada hal lain yang tidak bisa dibicarakan di sekolah.

Sori, lama nunggunya? tanya Erwin sambil menyuguhkan es jeruk buatan sendiri. Jadi nggak enak, nih. Sampe ditengokin segala. Tapi aku udah enakan, kok. Yang jenguk kamu sih. katanya sambil duduk. Gea tersenyum. Nggak apa. Lagian aku ke sini juga karena mau ngembaliin buku kamu. Disorongkannya buku itu. Lho, kan baru kemarin kamu pinjam. Sudah selesai? Hebat sekali! ujar Erwin kagum. Win, aku kembalikan buku itu karena di dalamnya juga ada ini. Gea menatap mata Erwin, tangan mengacung selembar foto. Erwin terkesiap. Wajahnya pucat seketika. Gea,.. Suaranya bergetar. Wajahnya memang mirip sekali denganku. Tapi aku yakin benar itu bukan aku. Di baliknya juga ada puisi singkat tentang laut. Gea meletakkan foto itu di atas meja

Hes actually shaking tak lepas memandang Erwin yang kini menunduk tak tahan. pelan-pelan. Matanya now . Itu puisi buatanmu? Bukan. jawab Erwin lirih setelah lama terdiam. Tasya yang membuatnya enam bulan lalu. Tak lama sebelum ia tenggelam bersama keluarganya di Bali. Erwin mendongak. Pandangannya memelas. Gea,..aku minta maaf. Aku...aku nggak... Ia terdiam melihat isyarat tangan Gea. Aku nggak bisa, Win. Gea menggeleng. Bukan begini caranya. Erwin menunduk lagi. Ia tak punya jawaban. Hanya karena kamu nggak berani ngadepin kenyataan, kamu tega menyakiti diri sendiri dan orang lain. Tak seorangpun rela jadi bayang-bayang, Win. Terimakasih buat seminggu ini. ujarnya lembut. Tulus. Aku belajar dan mengalami banyak tentang cinta dan kasih sayang dari kamu. Tapi sampai kapanpun, laut itu tetap milikmu.

Erwin hanya mampu berdiri ketika Gea melangkah pulang dan tak menoleh lagi. Gea tak ingin menyeka pipinya yang basah.

***

Jakarta, 11 Februari 2000

Anda mungkin juga menyukai