Anda di halaman 1dari 18

HUKUM HAM DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

Islam Adalah agama samawi, agama yang di turunkan kepada nabi Muhammad Saw. Adalah wahyu Allah terakhir untuk manusia. Oleh karena itu,agama ini sudah sempurna dan senantiasa sesuai dengan tingkat perkembangan manusia sejak di turunkannya, 21 abad yang lalu hingga akhir peradaban manusia atau kiamat nanti. Ada suatu syariat atau ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT setelah melalui proses panjang selama 23 tahun berangsur-angsur agar mudah di serap dan di pahami oleh manusia yang meliputi berbagai macam pokok pembahasan di ataranya: a. Akidah b. Ibadah c. Ahlaq d. Muamalat e. Hukum Dalam pelaksanaannya islam memiliki sumber hukum atau norma yang nantinya menjadi pedoman bagi kaum muslimin, untuk menentukan hukum suatu tindakan, dan menuntunnya kepada jalan menuju tujuan tersebut, dan menjelaskan tentang hakikat kehidupan manusia dalam berhubungan dengan tuhannya ataupun sesama manusia. Adapun sumber-sumber hukum yang utama dalam islam adalah : 1. Al Quran 2. As sunnah 3. Ijtihad Sumber-sumber hukum di atas harus di terapkan dalam kehidupan dan tingkah laku kita di muka bumi ini agar terciptanya kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Sumber hukum di atas memberikan petunjuk kepada kita sebagai umat muslim untuk menuju arah pencapaian kebahagiaan yang hakiki.

A. HUKUM ISLAM ADALAH HUKUM YANG BERSUMBER DAN MENJADI DASAR AGAMA ISLAM 1. Al Quran Secara terminologi Al Quran adalah kalamullah yang di turunkan kepada Nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Al Quran tertulis dalam mushaf dan sampai kepada manusia secara mutawatir. Dan membacanya bernilai ibadah, diaawali dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas. Al Quran memiliki sejumlah nama yang di dalam namanya itu terkandung fungsi dan peranannya bagi manusia.

a. Qaraa yang berarti bacaan atau sesuatu yang di baca sehari-hari. Dalam nama ini terkandung bahwa Al Quran bagi umat islam merupakan bacaan harian, karena membacanya merupakan ibadah, karena itu, setiap muslim harus biasa membaca Al Quran. kata Al Quran sebagai nama kitab, ini di nyatakan dalam firman Allah (QS. Al-Hasyr, 59:21)

Yang artinya : Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. b. Alkitab yang berarti tulisan atau yang di tulis karena ayat-ayat Al Quran itu tertulis, terdiri dari huruf, kalimat, dan ayat-ayat. Dengan tulisan itu orang dapat membaca dan memahami isinya dan sekaligus dapat mengabadikannya. Penamaan Al Quran dengan Alkitab ini diungkapkan dalam firman Allah (Al-Kahfi, 18:1)

Yang artinya :
2

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (AlQuran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya. c. Alfurqaan yang berarti pembeda atau pemisah dengan memahami Al Quran orang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Hak adalah nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang datang dari Allah SWT sebaliknya batil adalah keburukan dan kesalahan yang harus di jauhkan. Penamaan Al Quran dengan Alfurqaan dinyatakan dalam firman Allah (QS. Al-Furqaan, 25:1).

Yang artinya : Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hambaNya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.

2. As Sunnah Menurut bahasa As-sunnah berarti perjalanan, pekerjaan atau cara. Menurut istilah sunnah berarti perkataan Nabi, perbuatan dan keterangannya (taqrir), yaitu sesuatu yang dikatakan atau perbuatan yang di lakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan definisi di atas sunnah di bagi menjadi 3 yaitu : a. Sunnah qauliah adalah dalam bentuk pekataan atau ucapan Rosululloh Saw. Yang menerangkan hukum-hukum dan maksud Al Quran. b. Sunnah filiyah yaitu sunnah dalam bentuk perbuatan, yang menerangkan cara melaksanakan ibadah misalnya cara berwudu,sholat dan sebagainya. c. Sunnah taqririyah adalah ketetapan Nabi, yaitu diamnya Nabi atas perkataan atau perbuatan sahabat, tapi tidak ditegur atau dilarangnya. Al Quran dan As-Sunnah adalah rujukan yang pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat islam sehinga tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan, seperti firman Allah (QS, An-nisa, 4:59) :

Yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Disamping itu As-sunnah merupakan rujukan perilaku yang dikehendaki oleh Al Quran. segala yang diinginkan oleh Al Quran dapat di lihat dari apa yang dilakukan oleh Rosulullah. Beliau menjadi tauladan yang nyata bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana firman Allah (QS, Al-ahzab, :21) :

Yang artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

3. Ijtihad Ijtihad berarti menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menentukan hukum syara dengan jalan mengeluarkan hukum dari kitab dan sunnah. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, yaitu ahli fikih yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat (dzan tehadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al Quran dan As-Sunnah. Kebenaran hasil ijtihad tidak bersifat mutlak, melahirkan dzanniyah (persangkaan kuat kepada benar). Oleh karena itu, mungkin saja antara mujtahid satu dengan mujtahid yang lain hasilya berbeda. Hal ini di sebabkan perbedaan pengalaman, ilmu serta adat kebiasaan yang berpengaruh kepada hasil ijtihad mereka. Bahkan bisa saja hasil ijtihad di suatu tempat berbeda dengan hasil ijtihad di tempat lain, karena seorang mujtahid tidak terlepas dari lingkungan budayanya dan pada akhirnya berpengaruh kepada hasil ijtihadnya. Demikian pula hasil ijtihad yang dilakukan pada suatu waktu dapat berbeda dengan hasil yang didapatkan pada waktu yang lain.

Kendati pun demikian, tidak berarti bahwa setiap mujtahid itu benar atau salah. Karena yang dapat mengukur kebenaran secara mutlak hanya Allah semata. Hal ini diisyaratkan oleh nabi dalam sabdayna yang berarti: Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran,maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala.(HR.Bukhori, Muslim). Tidak semua masalah agama dapat diijtihadkan, hukum-hukum yang sudah pasti tidak boleh diijtihadkan lagi. Oleh karena itu, masalah yang diijtihadkan adalah hukum-hukum syara yang tidak mempunyai dalil qathi (pasti). a. Macam-macam ijtihad Dilihat dari pelaksanaan, ijtihad dapat di bagi kepada dua macam, yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad jamai. ijtihad fardhi adalah ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid secara pribadi. Sedangkan ijtihad jamai atau ijma adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara berkelompok. Dilihat dari segi materi, ijtihad terdiri atas tigamacam: 1. Qiyas. Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan lainnya dan mempersamakannya. Menurut istilah adalah menetapakan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah di tentukan oleh nash, disebabkan oleh adanya persamaan di antara keduanya. 2. Ijma Ijma menurut bahasa adalah sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat atau kesepakatan semua ahli ijtihad ummat setelah wafatnya Nabi pada suatu masa tentang suatu hukum. Ijma terdiri atas ijma qauli (ucapan ), dan ijma sukuti (diam ).ijma qauli maksudnya para ulama mujtahidin menetapkan pendapatnya baik dengan ucapan maupun dengan tulisan yang menerangkan persetujuanya atas pendapat mujtahid lain di masanya . ijma sukuti adalah ketika para ulama mujtahidin berdiam diri; tidak menengelurkan pendapatnya atas hasil ijtihad para ulama lain, diamnya itu bukan karena takut atau malu. Ijma pada masa sekarang dihadapkan pada persoalan banyaknya para ulama dan tempat tinggalnya yang tersebar di seluruh pelosok dunia. Antara kelompok ulama yang satu dengan ulama lainya tidak mungkin dapat disatukan pendapatnya. Karena itu, kemungkinan perbedaan antara ijma ulama di suatu tempat dengan tempat yang lain sangat besar. Namun, hal ini bukan sesuatu yang menghambat pelaksanaan hukum Islam.
5

3. Istihsan Istihsan adalah menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip- prinsip atau dalil-dalil yang berkaitan dengan kebaikan, keadilan, kasih saying, dan sebagainya dari Al Quran dan hadis. 4. Mashalihul mursalah Mashalihul mursalah adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiah atas dasar pertimbangan kegunaan dan kemanfaataan yang sesuai dengan tujuan syariat islam, sekalipun tidak ada dalil-dalil secara ekplisit dari Al Quran dan hadis.

B. HAM MENURUT ISLAM Sebagai agama yang diperuntukan bagi seluruh manusia, maka Islam bukan hanya mengandung ajaran kemanusiaan, tetapi juga mewajibkan proses aplikasi bagi tumbuhnya aspek kemanusiaan yang universal dengan melihat dan mengapresiasi tradisi-tradisi local yang beragam, jika islam kita tangkap sebagai ajaran yang universal, maka hal itu tidak saja menghasilkan pandangan bahwa ia berlaku untuk semua tempat dan waktu. Universalisme Islam juga menghasilkan pandangan dari arah lain, yang bahwa kebenaran Islam dapat didekati melalui angle berbagai pola budaya. Logikanya ialah, jika Islam itu universal, dan jika keuniversalannya menghasilkan diutusnya rasul-rasul untuk setiap bangsa dan masa, maka berarti bahwa kebenaran juga dapat ditentukan pada setiap bangsa dan masa, kapan saja dan di mana saja, sebagai warisan para Utusan Tuhan yang pernah datang ke bangsa yang bersangkutan. Ada beberapa hak kemanusiaan yang secara tekstual digariskan dalam Alquran. setidaknya kita menjumpai adanya limabelas hak yang tertera dan harus dijamin oleh setiap manusia dengan jelas dalam Al Quran. Pertama, hak persamaan dan kebebasan. Al Quran sangat berkepentingan dalam penjaminan bagi persamaan seluruh entitas kemanusiaan, serta memberikan kebebasan bagi mereka untuk berbuat apa saja, termasuk di dalamnya untuk menjadi penentang Tuhan. Karena itu agama Islam kemudian juga sangat dikenal sebagai agama pembebas. Terutama bagi orang-orang yang tertindas. Baik tertindas karena kultur mauoun struktur. Citra pembebasn dan persamaan itu dapat kita lihat dalam QS. Al-imran; 104 & 110&159, Al-Nisa; 58&105&135,Al-Thur; 21. Al-Syura; 10&38. Altahrim;10.Al-Araf; 185&199. Kedua,hak hidup. Al Quran sangat menekankan perlunya kehidupan seseorang demi suatu tujuan yaitu menyembah penciptanya.karenanya Al Quran mengutuk seseorang yang membunuh nyawa tanapa suatu alas an yang dapat membenarkannya. Barang siapa membunuh tanpa alas an yang benar, baginya juga
6

mendapat hukuman kematian (qishas). Dan barang siapa membunuh satu jiwa, Al Quran menganggap sama dengan membunuh jiwa-jiwa yang lainnya. Pengakuan itu dapat kita baca dalam Q.S. Al-Baqarah; 256. Al-Isra; 45. Al-maidah; 17-18&45.AlBayinah; 5. Al-Nur; 27&28. Ketiga,hak memperoleh perlindungan. Al Quran sangat menghargai bagi seseorang yang mau saling menolong dan saling melindungi. Terutama berkenaan dengan hal-hal yang dianjurkan oleh agama. Sikap ini terdapat dalam Q.S.Al-ihsan; 8.Al-balad;12-17. Keempat.hak kehormatan pribadi. Al Quran meminta kepada semua orang tanpa kecuali untuk menghormati dan menjaga kehormati seseorang. Sampai-sampai, bagi orang muslim apabila diminta untuk melindungi orang musrik diwaktu perang diapun harus melindunginya. Orang islam juga dilarang memasuki rumah tetangga kecuali setelah mendapat izinnya. Hal ini dilakukan demi menjaga kehormatan yang punya rumah. Juga dilarang mengolok-olok sesama manusia. Sikap dan perintah ini dapat kita lihat dalam Q.S.An-nur:27, At-toubah: 6. Al-Hujarat: 11-12. An-Nisa:148149. Kelima,hak menikah dan berkeluarga. Al Quran menyarankan bagi setiap orang untuk menikah dengan etika yang yang dijelaskan kemudian. Karena keluarga adalah tulang punggung agama dan Negara. Sehingga setiap orang punya hak yang sama untuk berkeluarga. Hal ini terdapat dalam Q.S.Al-Bakoroh:187&221&223; ArRum: 21; An-nisa: 17&32&34; At-Tahrim: 6; At-taha: 132. Keenam,hak sederajat. Setiap orang tanpa kecuali dijamin kesamaannya. Yang membedakan dari setiap orang hanyalah ketakwaanya. Jaminan kesederajatan ini dapat dilihat dalamQ.S. Al-Hujarat: 13 and Al-Bakarah: 228. Ketujuh,hak anak terhadap orang tuanya. Setiap anak mempunyai hak yang dijamin juga oleh Al Quran. dengan jaminan tersebut, orang tua tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap anak-anaknya. Hal ini terdapat dalamQ.S. Al-Baqarah: 233; Al-Israa: 23-24. Kedelapan,hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam pengembangan iptek. Al Quran sangat menganjurkan setiap manusia untuk berpikir, bertindak dan berbuat sesuai dengan kaidah ilmiah. Sehingga kaum Muslim diharuskan pandai dalam segala urusannya. Hal tersebut terdapat dalam Q.S. AtTaubah: 122, Al-Alaq: 1-5. Kesembilan, hak bebas memilih agama, Al Quran juga menjamin kebebasan seseorang dalam beragama, bahkan untuk tidak beragama. Bagi siapa saja yang ingin beragama selain Islam, Al Quran menyatakan harus mempertanggung jawabkannya di hadapan tuhan. Sehingga menjadi urusan privat antara Tuhan dan manusia yang bersangkutan. Hal tersebut terdapat dalamQ.S. Al-Baqarah: 217 & 256; Al-Kahfi: 29: Yunus: 99; Al-Nahl: 125; Al-Ankabut:46.
7

Kesepuluh,hak bebas bertindak dan mencari suaka. Setiap orang yang merasa terancam, dapat meminta suaka atau perlindungan pada siapa pun. Dan bagi siapa saja yang diminta perlindungan atau suaka, harus memberikannya tanpa pandang bulu. Kecuali nantinya terbukti, orang tersebut berbuat salah. Hal ini terdapat dalam Q.S. An-Nisa: 97; Al-Mumtahanah: 9. Kesebelas,hak untuk bekerja. Al Quran menyarankan seseorang untuk beribadah, tetapi dengan tidak melupakan tugas kerja selama di dunia. Tugas itu juga setingkat mulianya dengan beribadah. Bahkan beribadah dan bekerja dalam Islam harus seimbang. Sikap Itu dapat dilihat dalam Q.S. Al-Baqaraah: 105&286; Al-Mulk: 15. Keduabelas,hak memperoleh kesempatan yang sama. Al Quran menjamin setiap orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam setiap hal tanpa pandang bulu. Al Quran sangat tidak menyukai setiap soal yang dilewati dengan unsur-unsur non-kwalitatif (KKN). Hal ini terdapat dalamQ.S. Al-Baqarah: 275; Aliimran: 130; Al-Nisa: 161. Ketigabelas, hak memiliki harta pribadi. Seseorang dijamin haknya untuk memiliki harta, dengan catatan tidak berlebihan dan diamalkan untuk berjuang di jalan Tuhan. Karena itu Islam melarang seseorang hidup dalam kemiskinan, sebab akan mendekatkan diri pada kekufuran. Dengan begitu, harta pribadi seseorang harus cukup. Hal ini terdapat dalam Q.S. Al-baqarah: 29 dan Al-Nisa: 29. Keempatbelas, hak menikmati hasil untuk produk ilmu. Setiap orang mempunyai otak yang dapat dan harus dipergunakan untuk menerima ilmu, memproduksi ilmu dan menyebarkannya. Karena itu setiap orang Islam punya hak yang sama dalam pengolahan dan penikmatan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Hal ini terdapat dalam Q.S. Al-Ahqaf: 19; Al-Qashas:77. Dan kelimabelas adalah hak menjadi tahanan dan narapidana. Siapa saja yang dianggap bersalah berhak mendapat perlindungan sampai adanya pengadilan yang memutuskan perkaranya. Dan sebelum itu, dia berhak menjadi narapidana atau tahanan yang dijamin keselamatannya dari siapa pun. Hal ini terdapat dalam Q.S. AlMumtahanah: 8; Al-Nahl: 125, dll. C. PERBEDAAN DIANTARA KONSEP HAM DALAM PANDANGAN ISLAM DAN BARAT. 1. Ham menurut pandanga barat Bahwasannya yang dikehendaki dengan rakyat oleh demokrasi modern sebagai yang terkenal di dunia barat, ialah bangsa, yang hidup dalam suatu Negara, anggota-anggotannya diikat oleh persamaan darah, jenis, bahasa dan adat istiadat. Jelasnya,demokrasi tidak terlepas dari prinsip kebangsaan yang menimbulakan kefanatikan kepada bangsa sendiri.
8

Tujuan demokrasai barat baik yang modern ataupun yang kuno, adalah terbatas untuk tujuan keduniaan atau materil belaka. Dia hanya bermaksud mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu seperti meningkatkan pendapatan (kekayaan) atau memperoleh kemenangan dalam perang. Kekuasaan umat ( rakyat) dalam demokrasi barat, adalah mutlak. Umat itulah yang mempunyai siyadah. Atau majelis yang dibentuknya, yang mempunyai hak membuat undang-undang atau yang membatalkannya.ketetapan yang yang dikeluarkan oleh majelis ini, menjadi undang-undang moral, untuk ketinggian bangsa atau untuk menguasai pasaran dunia. Untuk memperoleh yang demikian itu ditumpahkanlah darah manusia. 2. Ham menurut pandangan Islam Dalam Islam. Umat Islam tidaklah diikat oleh kesatuan tempat, darah dan bahasa. Semua ini dipandang pengikat-pengikat yang sekunder. Tetapi pengikatpengikat yang pokok, ialah kesatuan akidah. Segala orang yang akidah Islam, dari jenis apapun, warna kulit apapun, dan tanah air yang manapun, maka dia itu seseorang anggota di dalam Negara Islam. Maka pandangan Islam, ialah prikemanusiaan, dan ruangnya, adalah universal. Walaupun demikian, hal ini tidak menghalangi adanya Negara-negara, adanya iklim, adanya kebangsaan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan umum. Dalil untuk ini, ialah bahwasanya Rosululloh adalah Rosul yang diutus kepada segenap manusia. Ibnu khaldun dalam menakrifkan imamah mengatakan: imamah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syara harus dikaitkan dengan kemaslahatan akhirat. Pemerintah islam wajib melihat dalam segala gerak-geriknya kepada urusan-urusan akhirat,karena dialah tujuan pokok dan wajib menyelesaikan segala amal kebajikan yang diperintahkan oleh agama, yang menyampaikan kepada keridhaan Allah dan mewujudkan tuntutan kejiwaan manusia, sebagaimana harus menjadikan agama (qanun akhlaqy) ukuran yang dipergunakan untuk mengukur pekerjaan umat dan tindak tanduknya. Akan tetapi di dalam islam, kekuatan umat itu tidak mutlak, tetapi dibatasi oleh syariat agama Allah yang dipeluknya. Rakyat tidak boleh bertindak di luar batas undang-undang itu. Undang-undang inilah yang diliputi oleh Al Quran dan As Sunnah. Kita mengakui bahwasannya kehendak umat merupakan salah satu sumber undangundang. Akan tetapi kehendak umat ini haruslah berdasarkan kepada apa yang terdapat di dalam Al Quran dan As Sunnah. Al Quran dan As Sunnah memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan sesuatu, dengan ketentuan tidak menyimpang dari yang telah digariskan oleh kedua sumber ini. Rakyat di dalam Islam (di dalam demokrasi Islam) diharuskan mengikuti undang-undang akhlak dan prinsip-prinsipnya.

Agama telah memfardhukan atasnya beberapa kewajiban, telah memberatkannya dengan beberapa kewajiban dan beberapa pertanggung jawaban. D. DEMOKRASI DALAM ISLAM Asal kata demokrasi adalah demos, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan cratio atau crato yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Istilah demokrasi, sebagaimana halnya istilah sosial-politik lainnya, tidak memiliki definisi yang pasti. Sebagian besar definisi demokrasi berhubungan dengan prinsip pemikirannya. Pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi. Sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh. Aristoteles menamakannya pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Abu Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam pemerintahan utama (madinah fadhilah). musyawarah dan ijma merupakan hal yang penting dalam kaum muslim karena merupakan unsur-unsur terbentuknya demokrasi dalam umat islam

1. MUSYAWARAH Syuuraa atau musyaawarah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia, khususnya kaum muslimin. Bahkan, karena pentingnya, kata syuuraa menjadi salah satu nama surat Al Quran, yaitu surat ke-42. Di dalam Alquran, masalah musyawarah disebut pada tiga ayat. Pertama, kita bisa lihat dan baca pada QS 'Ali 'Imraan [3]: 159. Dalam ayat Alquran ini, Allah berfirman, "..., maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan (tertentu/yang penting), kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya." Kedua, kita bisa simak pada QS Al-Syuuraa [42]: 38.Dalam ayat ini, Allah berfirman, "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi, menyambut) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat (dengan sempurna), sedangkan tentang urusan mereka, mereka memutuskannya dengan musyawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka."

Musyawarah sesama muslim, tanpa terkait dengan jabatan dalam kekuasaan kenegaraannya, dalam ajaran Islam disebut Musyawarah sesama Rakyat (Syura bainar-raiyah). Islam mewajibkan adanya kepemimpinan kenegaraan untuk
10

memelihara, membangun,dan memimpin rakyat ke jalan yang benar. pastilah terbentuk pemerintahan. Para pejabat negara ini juga diwajibkan bermusyawarah. Ini untuk pertama kalinya diwajibkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui ayat 159 Surat Ali Imran: Artinya : "Maka disebabkan rahmat Allah jualah engkau (Muhammad) berlaku lemahlembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar Lagi berhati keras tentulah mereka menjauhkan diri darimu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka,dan bermusyawarahlah denagan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang bertawakalah kepadaNya"(Q.S. Ali Imran: 159). Oleh karena ayat ini termasuk ayat Madaniyah, maka perintah kepada Nabi saw agar bermusyawarah ditujukan kepada baginda dalam kepastiannya sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Tegasnya pada pejabat pemerintahan wajib bermusyawarah dengan rakyatnya. Dengan ajaran Islam ini disebut Syura baina Ihakim wa rraiyah.

a. Ketentuan dan Batasan Musyawarah Islami merupakan prinsip yang ideologis berkenaan dengan semua persoalan suatu bangsa. Teknis pelaksanaan dan kelengkapan-kelengkapan operasionalnya tidaklah ditetapkan secara baku, melainkan diserahkan kepada masyarakat itu sendiri. Sebab prinsip terpenting didalam Syura itu ialah terwujudnya kehidupan yang baik dan maju, dan tidak terpasungnya kemerdekaan yang merupakan hak semua pihak; adanya negara dan pemerintahan tidak menghapuskan kemerdekaan individu, adanya wakil-wakil rakyat, jika dibentuk, tidak untuk mengelabui rakyat, adanya pemerintahan tidak menjadi lembaga yang menjajah rakyatnya. Semua harus terjamin hak dan kemerdekaannya, semua pihak dituntut bertanggung jawab atas keputusan-keputusan Syura, semua orang diminta untuk betawakal dan berahlakulkarimah, semua harus mengamankan dan mensejahterakan semua. Para Ulama sepanjang masa mencatatkan dua batas mengenai Syura ini, yaitu: Pertama: Tidak dibenarkan memusyawarahkan suatu ketetapan agama yang telah diputuskan secara jelas dan tegas oleh Al-Quran dan Sunnah. Dalam kaitan ini musyawarah hanya boleh dilakukan untuk memecahkan soal-soal teknis pengaturan dan pelaksanaanya saja. Kedua: Keputusan-keputusan yang diambil dalam Syura (musyawah) itu dinyatakan tidak sah bila bertentangan dengan syariat Islam, dan atau bertentangan dengan hukum-hukum Islam .

11

Seseorang yang akan terjun ke gelanggang musyawarah, menurut Imamal Mawardi, perlu memiliki lima kelengkapan: 1. Kematangan pikiran yang dilengkapi dengan pengalaman yang cukup. Dengan bekal ini dapat diharapakan akan timbul pertimbangan-pertimbangan yang baik dan melegakan. 2. Beragama dan bertaqwa dengan baik. Rasullah saw pernah mengatakan bahwa orang yang beragama dan bertaqwa dengan baik itu merupakan jalan menuju keputusan yang baik pula. 3. Berkemauan untuk menuju kebenaran dan penuh kasih sayang. Kedua sifat ini meyuburkan dan menyegarkan akal pikiran serta meniadakan sifat hasud dan dengki. 4. Bebas dari hal-hal yang mengganggu ketenangan berpikir, dan hal-hal yang membuat emosinya tidak stabil. 5. Materi yang dibahas dalam forum musyawarah itu tidak ditempatkan dalam kungkungan subyektifitasnya, seperti target-target pribadi atau hawa nafsu yang hendak dipuaskan. Kelima bekal inilah yang seharusnya dimiliki, baik oleh ahli Syura dari kalangan rakyat atau wakil rakyat maupun dari kalangan pengemban mandat pemerintahan. Musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat-syarat demikianlah yang bisa dijamin akan membawa rahmat. Rasullah saw bersabda: yang artinya : "Siapa melakukan musyawarah tidaklah akan kehilangan kepintaran. Siapa meninggalkan musyawarah belum tentu terjamin dari kesalahan". Inilah sebabnya Rasullah sering bermusyawarah dengan sahabat-sahabat, baikberkenaan masalah-masalah kehidupan masyarakat luas maupun dalam menghadapi peperangan melawan musuh. Meski ada ketentuan dan batasan musyawarah, tapi tetap saja ada kemungkinan beda pendapat yang boleh jadi disebabkan oleh perbedaan sudut pandang atau oleh perbedaan skala prioritas menurut ruang, waktu, dana dan daya. Perbedaan seperti ini dibenarkan, dan oleh para Ulama disebut Ikhtilafu Tanawwu yang dapat ditolerir. Bila perbedaan dimaksudkan tidak dapat diselesaikan dalam waktu musyawarah karena menemui jalan buntu, maka Islam menganjurkan agar kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasullah bersabda: yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman ! taatilah Allah dan taatilah RasuluNya dan Ulil Amri di kalangan kamu. Maka jika kamu berbeda pendapat tentang suatu (urusan), kembalilah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasullah (Sunnah) jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Yang demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik kesudahannya". (QS an-Nisa:59)

12

2. IJMA Ijma ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn alQur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits 1. pengertian ijma' Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang ( ) yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu." Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'. 2. Dasar hukum ijma' Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran. a. Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nis': 59) Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

13

Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103) Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. Firman Allah SWT:

Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nis': 115) Pada ayat di atas terdapat perkataan sablil mu'minna yang berarti jalan orangorang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka." b. AI-Hadits Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
14

c. Akal pikiran Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan. 3. Rukun-rukun ijma' Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut: 1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang. 2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'. 3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid. 4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.

15

4. Kemungkinan terjadinya ijma' Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu: 1. Periode Rasulullah SAW; 2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan 3. Periode sesudahnya. Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid. Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat pada jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya. Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

16

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW; 2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam. Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undangundang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal. Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nis' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka. Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang. 5. Macam-macam ijma' Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam. Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas: 1. ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;

17

2. Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari. Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada: 1. ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain; 2. ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain. Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah: 1. Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW; 2. Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi; 3. Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab; 4. Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam; 5. Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

18

Anda mungkin juga menyukai