Anda di halaman 1dari 5

Polifarmasi Pada Usia Lanjut

Prof. Iwan Darmansjah, SP FK

Masalah yang dihadapi


Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Istilah ini mengandung konotasi yang berlebihan, tidak diperlukan, dan sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi outcome penderita dalam hasil pengobatannya. Ia mengandung juga pengertian mubazir, sehingga meninggikan biaya pengobatan, tanpa justifikasi profesional. Yang lebih penting lagi ialah bahwa diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya. Bila semua obat memang benar dibutuhkan, hal ini tidak digolongkan sebagai polifarmasi, walaupun berbedaan antara memakai banyak obat bersamaan (multiple medications) dan polifarmasi tidak selalu jelas. Agaknya dewasa ini polifarmasi sudah diartikan pemakaian banyak jenis obat secara umum dan arti spesifik seperti dijelaskan diatas sudah agak kabur. Bila dipersoalkan jumlah berapa dapat dianggap sebagi polifarmasi, sulit disebutkan angka, karena itu pengertian umum agak kurang baik karena tidak membedakan penggunaan lebih dari satu obat yang memang ditopang dengan bukti penelitian (hipertensi, diabetes, payah jantung) dan tidak dianggap redundant, walaupun interaksi dan efek samping masih merupakan issue. Sehingga dalam arti asalnya terdapat unsur mubazir (tidak perlu dan merugikan) yang memang merupakan masalah yang ada, karena dalam keadaan multipatologis perlu dipakai lebih banyak obat (diperlukan dan ditopang evidence). Beberapa interaksi obat yang penting ialah: cerivastatin dengan gemfibrozil (rhabdomyolisis, kreatin-kinase meningkat), azathioprin dengan alopurinol (sifat sitotoksik azathioprin meningkat 3-4 kali), grapefruit juice (menghambat absorbsi karbamazepin, felodipin, dan simvastatin), St Johns wort merangsang metabolisme warfarin, indinavir, dan cyclosporin; cisapride dengan makrolid, ketokonazol, kinidin, atau grapefruit juice (torsade de pointes dan kematian mendadak), coumarin dengan antiplatelet (perdarahan), dsb.

Interaksi Farmakokinetik
Fungsi Ginjal Perubahan paling berarti dalam menapak usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, dengan akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada

lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen.1 Digoksin juga mempunyai waktuparuh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug. Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering mengurangkan fungsi ginjal dan ekskresi obat. Dalam setiap keadaan kita perlu memakai dosis lebih kecil bila dijumpai penurunan fungsi ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia. Daftar interaksi obat sangat panjang, namun tidak semuanya klinis penting. Di lain pihak pengaruh interaksi kinetik sulit diperkirakan karena selalu akan timbul fenomen baru dengan adanya obat baru ataupun lama. Pharmacovigilance merupakan cara paling ampuh hingga kini untuk mempelajari interaksi baru, karena 69% sebenarnya dapat diprediksi dan dihindarkan .2 Fungsi Hati Penurunan fungsi hati tidak sepenting penurunan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan karena hati memiliki kapasitas yang lebih besar, sehingga penurunan fungsi tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Ini merupakan kehati-hatian dan bukan kontraindikasi absolut. Memakai methylpredisolon misalnya merupakan contoh, karena prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat2 tertentu. Suatu daftar terbatas yang diambil random dari suatu kepustakaan menurut relevansinya ialah: alopurinol. amoksisilin-clavulanic acid (untuk komponen klavulanat), flukloksasilin, klorpromazine, clonazepam, diazepam, dekstrometorfan, eritromisin, flukonazol, metformin, metoklopramid, morfin, ofloksasin, fenitoin, rifampisin, kotrimoksasol, valproic acid, dan warfarin. Dalam hal ini lansia akan dipaparkan kepada risiko yang lebih besar; misalnya suatu studi menganjurkan flukloksasilin diberikan dengan hati-hati pada orang tua diatas 55 tahun karena pemberian jangka panjang (lebih dari 1 minggu) menimbulkan frekuensi hepatitis naik mencolok. Perlu ditambahkan bahwa flukloksasilin adalah obat terpilih untuk infeksi dengan Staph aureus seperti furunkel atau karbunkel.
1

Darmansjah I:Dosing Schedule of Second Generation Sulfonylureas in the Treatment of Non-Insulin Dependant Diabetes Should be Revised. Med J Univ Indon 1994;3:122-123 2 Pillans PI, Mathew TH, Coulter DM. Pharmacovigilance in Australia and New Zealand: towards 2000 (editorial) Med J Aust 1999;170:245-6

First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui V. porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberi secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral. Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Inipun bisa terjadi dengan aspirin yang mempunyai waktuparuh plasma hanya 15 menit. Banyak obat geser-menggeser dalam proses protein-binding bila beberapa obat diberi bersamaan. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita.

Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik antara dua obat (atau lebih) lebih mudah diperkirakan dibandingkan interaksi kinetik. Dengan mengenal mekanisme kerja obat pada organ mudah bisa diramalkan apa yang akan terjadi secara dinamik bila obat dikombinasi. Biasanya ini ditimbulkan karena reseptornya dirangsang (atau dihambat) berbarengan oleh dua obat yang mempengaruhi organ secara sama. Misalnya atropin dan CTM akan bersinergi menimbulkan mulut kering lebih hebat karena CTM juga memiliki efek antikolinergik (atropinik) yang kuat. Namun, usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan bahwa kadang2 dosis harus disesuaikan dan sering berarti dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia. Mekanisme kompensatoir seperti terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya.

Polifarmasi
Sistem memberi obat di rumah sakit sangat liberal, setiap dokter/konsultan memeriksa pasien dan menuliskan pendapatnya di status serta pengobatannya. Bila 5 konsultan yang memeriksanya, maka boleh dipastikan bahwa pasien harus menelan 5 kali 5-6 obat (belum yang disuntikkan), yaitu 25-30 obat-jadi sekaligus, sering beberapa kali sehari. Tidak ada dokter dalam

team yang diberi hak dan kuasa untuk mempertanyakan dan menyederhanakan skema pengobatan ini dalam suatu sistem. Studi di rumah sakit di New Castle, NSW, Australia menunjukkan bahwa 30% dari lansia menerima 6-10 jenis obat, dan 13% menerima lebih dari 10 jenis setiap harinya.3 Perawatan gawat darurat untuk lansia dilaporkan hingga 22% disebabkan karena masalah kesalahan obat. Keadaan di Australia ini diperkirakan lebih baik dari yang kita saksikan di Jakarta, walaupun tidak ditopang perbandingan angka statistik. Kapan timbul polifarmasi dalam arti mubazir? Pertama, dimulainya goyah evaluasi klinis terhadap pengobatan seorang penderita berawal dari masalah diagnosis sehingga memakai semua obat untuk segala kemungkinan diagnosa dan gejala yang ditemukan (defensive therapy). Kesalahan diagnosis selalu akan terjadi dan disebut fallible necessity oleh Atul Gawande, seorang dokter ahli bedah, dalam bukunya berjudul Complications yang menyebutkan, misalnya, bahwa dari kasus otopsi (bedah mayat) di AS dilaporkan dokter gagal mendiagnosa 25% dari infeksi fatal, sekitar 33% dari serangan jantung, dan hampir dua-per-tiga dari kasus emboli paru2 luput terdiagnosa. Dari kasus otopsi juga terdapat beberapa studi (1998 dan 1999) yang menemukan bahwa 40% yang dicantumkan sebagai sebab kematian ialah tidak benar dan sekitar 1/3 dari ini diperkirakan akan bisa ditolong dengan pengobatan yang adekuat. Yang mencengangkan ialah bahwa seorang patolog, George Lundberg di Journal of the American Medical Association, melaporkan bahwa keadaan ini tidak berubah sejak tahun 1938, hingga tahun 1960-70-80an, walaupun sudah terdapat diagnostic imaging yang canggih. Ini jangan dirasakan sebagi kritik pedas, tapi kenyataan pahit dan merupakan kesulitan dasar nyata dalam berpraktek kedokteran, yang kita semua harus selalu berusaha memperbaikinya. Bayangkan saja bila diagnosis pasti penyebab demam (lihat slide dibawah) tidak diketahui, berapa kemungkinan bisa ditafsirkan sebagai penyebabnya? Bayangkan berapa banyak antibiotik dan obat lain atau tindakan (diantaranya operasi) bisa diberikan bila ada 2-3 kemungkinan sebagai working diagnosis? Contoh ini membawa kita ke problematik: apakah semua gejala dan kemungkinan diagnosis perlu diobati? Strategi pengobatan hendaknya diarahkan pada kemungkinan diagnosis terbesar, kecuali hal ini tidak dapat dilakukan karena kondisi pelik yang dihadapi, seperti tidak dapat menentukan dengan educated guess kuman apa yang biasanya menghinggapi infeksi tertentu. Dengan demikian mengobati influenza tidak perlu diberi antibiotika dan hanya obat-obat simtomatik karena kemungkinan terbesar 90 % tidak terkena infeksi bakterial sekunder. Selain itu masih cukup waktu bila tidak ada tanda-tanda yang lebih gawat yang membutuhkan antibiotik dan demam flu akan sembuh dalam waktu 1-5 hari dengan tindakan sederhana saja.

Nair B. Older people and medications: what is the right prescription? Austr Presc 1999;22:130-1

Banyak obat yang tidak efektif-pun dipasarkan di Indonesia, dan keberadaan ini jarang dipahami dokter. Memakai obat2 yang efektivitasnya meragukan atau jelas tidak-ada seperti vitamin-mineral berlebihan, carbazochrome, ATP, hepato-protector (istilah ini does not exist yet as a drug class, only in experimental rats), ketosteril, ensim, isoprinosine, berbagai suplemen untuk kebugaran dan brain enhancers, dan banyak lagi melengkapkan problematik polifarmasi, karena mubazir dua kali. Banyak telah ditulis mengenai evidence-based-medicine pada usia lanjut seperti dalam bidang kardiovaskuler, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia, dsb. Pemakaian obat dan efek samping selalu dibahas, namun kapan kita perlu menghentikan pengobatan kurang disoroti. Misalnya kapan pengobatan hipertensi bisa dihentikan, apakah pada lansia berumur 80 tahun juga harus diteruskan? Kapan kita bisa menghentikan obat antikolesterol? Banyak guidelines menganjurkan seumur hidup; apakah ini juga ditopang dengan evidence? Polifarmasi merupakan suatu medical error yang menyangkut pengobatan, karena tidak semua gejala penyakit perlu diberi obat dan menggunakan obat sesedikit mungkin adalah kebijakan yang paling baik dan aman. ***

Anda mungkin juga menyukai