Anda di halaman 1dari 6

makna simbolis yang terdapat pada batik jogjakarta dan surakarta Motif dan Warna dari Batik Yogyakarta

Hampir mirip dengan batik Solo, motif pada batik Yogyakarta juga memiliki makna-makna simbolis kebudayaan Hindu. Bahkan, di Yogyakarta terdapat larangan memakai batik-batik yang coraknya digunakan oleh keluarga sultan atau keturunan keraton. Motif batik Yogyakarta kebanyakan merupakan perpaduan dari bentuk-bentuk geometris dan non-geometris yang ukurannya cenderung lebih besar dan tegas dengan motif batik Solo. Dalam hal pewarnaan, batik Yogyakarta jauh berbeda dengan batik Solo. Jika batik Solo cenderung menggunakan warna-warna cokelat yang mengarah gelap, maka batik Yogyakarta kebanyakan memakai warna-warna terang dan bersih. Di mana hitamnya cenderung kebiruan. Motif batik paling dikenal dari Yogyakarta, di antaranya: Sumbagen Huk, Kawung, dan Parang.

BEBERAPA MAKNA SIMBOLIS BATIK SURAKARTA (SOLO)

2 Votes

BATIK DENGAN MOTIF SEMEN 1. Batik Semen Semen Rama (masa Pakoe Boewono IV) Motif mengacu pada Wejangan Prabu Ramawijaya kepada R. Wibisono, adik Dasamuka dari Alengko. Dengan ajaran Hasta Broto yang intinya ajaran : 1. Kemakmuran (dilambangkan dengan bentuk tumbuhan atau hayat) 2. Melindungi bumi, (dilambangkan dengan motif Gunung) 3. Adil, keteguhan hati, keluhuran (dilambangkan dalam bentuk gambar garuda, kedudukan dilambangkan iber-iber/burung) 4. Kedudukan tinggi, kesaktian (dilambangkan dengan api) 5. Pemaaf (dilambangkan dalam bentuk naga) 6. Motif ini hanya dikenakan oleh Raja, Pangeran dan kerabat Raja saja 2. Batik Semen Gendhong (masa Pakoe Boewono IX, akhir abad XIX)

Nama Gendhong artinya mengangkat atau menjunjung. Lambang atau gambaran gedhong adalah supaya bisa mengangkat tinggi derajat keluarganya. Batik Gendhong bisa dipakai untuk acara apa saja dan dapat digunakan semua golongan. 3. Batik Semen Prabu Semen-Prabu dikonotasikan dengan kedudukan tinggi atau kedudukan seseorang. Suatu permohonan untuk mencapai Kalenggahan Luhur yang bisa, memberikan pengayoman dalam kehidupannya. Batik ini dapat dipakai siapa saja, tergolong batik tengahan. Batik ini termasuk Semen latar hitam. 4. Batik Semen Wijaya Kusuma Dinamakan Wijaya Kusuma adalah mengambil salah satu nama bunga pusaka milik Prabu Kresno dalam pewayangan. Maknanya suatu keindahan seperti bunga, yang mengandung daya perbawa sebagai lambang panguriban. Tujuannya supaya diberi kehidupan yang indah atau kehidupan yang mencukupi dan disegani di dalam masyarakat. Batik Wijaya Kusuma termasuk Batik Semen latar putih.

Rumah adat :Minang kabau.

Rumah Gadang, Simbol Budaya Minangkabau

Di Minangkabau rumah tempat tinggal dikenal dengan sebutan rumah gadang (besar). Besar bukan hanya dalam pengertian fisik tetapi lebih dari itu, yaitu dalam pengertian fungsi dan peranannya yang berkaitan dengan adat. Rumah gadang berfungsi sebagai tempat tinggal dan melastarikan adat budaya di keluarga mereka. Orang Minangkabau menganggap Rumah Gadang sebagai simbol budaya yang harus dipertahankan sesuai pesan leluhur. Sayangnya, banyak Rumah Gadang yang sudah terkikis zaman. Ukuran ruang tergantung dari banyaknya penghuni dirumah itu. Namun jumlah ruangnya biasanya ganjil spt lima ruang, sembilan ruang dan malahan ada yang lebih. Sebagai tempat tinggal rumah gadang mempunyai bilik-bilik sebelah barisan belakang yang didiami oleh anak-anak, wanita yang sudah berkeluarga, ibu dan

nenek.Yang penting lagi fungsi rumah gadang adalah sebagai inggiran adat, tempat melaksanakan seremonial adat seperti kematian, kelahiran, perkawinan, mendirikan kebesaran adat, tempat mufakat dan lain sebagainya. Perbandingan ruang tempat tidur dengan ruangan umum adalah 1/3 untuk ruangan tidur dan 2/3 untuk kepentingan umum. Perbandingan ini memberi makna bahwa kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan pribadi. Pola rumah gadang Minangkabau berbentuk kapal yaitu kecil kebawah dan besar ke atas. Bentuk atapnya punya bubungan yang lengkung ke atas yaitu lebih kurang setengah lingkaran. Denah dasar berbentuk empat persegi panjang dan lantai berada diatas tiang-tiang. Tangga tempat masuk berada ditengah-tengah dan merupakan serambi muka. Ada juga yang membuat sebuah ujung, ditempat mana biasanya terdapat dapur. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat beberapa bangunan kecil yang disebut Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi Yang menarik adalah tonggak utama yang terdapat pada Rumah Gadang disebut dengan Limpapeh,.Di dalam kehidupan masyarakat Minang dikenal ungkapan Bundo Kanduang Limpapeh Rumah Nan Gadang. Artinya seorang ibu menjadi tumpuan kekuatan dari sebuah rumah gadang. Apabila peran ibu ini ambruk, maka tonggak lainnya akan ambruk juga. Dalam masyarakat Minangkabau, seorang ibu mempunyai kedudukan yang istimewa, sangat penting dan menentukan. Perempuanlah yang melahirkan dan menjaga keturunan yang juga akan menentukan watak manusia yang di lahirkannya. Setiap Rumah Gadang akan dikelolah oleh seorang Ibu [Bundo]. Maka berbicara tentang Rumah Gadang sangat erat kaitannya dengan peran perempuan di ranah minang. Ranahnya perempuan. Zaman sekarang rumah gadang dengan arsitektur asli itu sudah jarang ditemukan, di setiap kampung hanya terdapat beberapa saja. Tapi meskipun begitu fungsi perempuan dalam sebuah rumah masih kuat sampai hari ini, mungkin karena sistim matrilineal yang dianut sangat kuat untuk bisa terhapus. Bagi masyarakat Minangkabau, Rumah Gadang adalah satu di antara simbol budaya. Rumah Gadang yang berarti rumah besar bahkan menjadi milik berharga suatu kaum di Ranah Minang. Menurut pesan leluhur, mempertahankan Rumah Gadang adalah tugas mulia yang harus didahulukan. Sayangnya, tak semua Rumah Gadang dalam kondisi baik. Ketiadaan dana membuat sebagian rumah adat Minang tersebut harus menyerah dimakan usia atau dimakan lapuk, bahkan

dimakan kemajuan jaman. Tak jarang, malah dihancurkan untuk bangunan baru yang lebih modern. Satu di antara sedikit Rumah Gadang yang masih bertahan adalah yang dipelihara Datuk Panghulu Basa sebagai pemangku adat sukunya. Rumah Gadang itu terletak di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Menurut Datuk Panghulu Basa, barubaru ini, rumah warisan keluarganya telah berusia sekitar 350 tahun. Bangunan bersejarah itu dibangun Datuk Panghulu Basa yang pertama, sedangkan ia adalah datuk yang kelima. Selama berabad-abad, bangunan tersebut tetap terjaga keasliannya. Walau rayap memangsa di sana-sini, Rumah Gadang milik Datuk Panghulu Basa itu tetap tegak berdiri. Menurut Datuk Panghulu Basa, kuncinya terletak pada pemilihan serta pengolahan kayu. Awalnya, si pembuat Rumah Gadang mengumpulkan kayu juara sekitar setahun. Batang-batang kayu tersebut kemudian direndam selama enam bulan. Setelah melewati proses ini, Datuk Panghulu Basa I segera mengumpulkan kaumnya. Selanjutnya, secara bergotong royong, mereka mulai membangun simbol budaya tersebut selama setahun. Seiring perjalanan waktu, Rumah Gadang tersebut kini menjadi tanggung jawab Datuk Panghulu Basa V. Di dalam Rumah Gadang, juga masih tersimpan beberapa alat rumah tangga yang digunakan di masa lampau. Rumah peninggalan itu juga masih memiliki tungku kuno atau tempat memasak yang terbuat dari tanah. Bila hendak dipergunakan untuk memasak, menurut Datuk, sepasang batu harus ditaruh di atas tungku. Lebih jauh Datuk mengungkapkan, seperti Rumah Gadang lainnya, banyak ritual adat yang digelar di bangunan tersebut. Upacara perkawinan adalah satu di antaranya. Bahkan, 200 tamu dapat tertampung sekaligus di dalam Rumah Gadang itu. Hingga saat ini, bangunan peninggalan leluhur itu masih kerap dipergunakan dalam acara pernikahan. Meski ratusan tamu memenuhi Rumah Gadang, sejumlah penari masih dapat mempertunjukkan kebolehan mereka. Misalnya, Tari Piring. Fungsi Rumah Gadang tak cuma sebagai tempat melangsungkan pernikahan. Rumah Gadang juga berfungsi mempertahankan sistem matrilinealsistem kekerabatan dari garis ibu yang dianut etnis Minangkabau. Buktinya, tujuh bilik atau kamar di Rumah Gadang diperuntukkan bagi anak dan kemenakan perempuan. Datuk mencontohkan, seumpama seorang anak atau kemenakan perempuannya melangsungkan pernikahan, maka dia bersama sumandomenantu laki-lakitidur di sana pada malam harinya. Sedangkan anak laki-laki yang belum

menikah diharuskan tidur di surau. Bila sudah kawin, mereka harus berdiam di kediaman istri masing-masing. Sekadar diketahui, bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang adalah segi empat atau empat persegi panjang. Ini juga ditentukan oleh jumlah ruang di dalamnya yang selalu ganjil, yakni tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Konon, pada masa lampau, ada yang mempunyai 17 ruang. Keunikan bangunan adat yang berbentuk rumah panggung itu adalah atapnya yang lancip. Lengkungan pada atapnya juga mirip dengan bentuk tanduk kerbau. Sedangkan badan rumahnya juga melengkung, landai seperti badan kapal. Untuk menaiki Rumah Gadang harus melalui tangga yang terletak di muka rumah. Di atas tangga ini diberi atap yang menjulang ke depan. Rumah Gadang juga merupakan bangunan induk dari sejumlah bangunan lainnya. Masing-masing adalah Balairung, Rangkiang, dan Musala. Bentuk Rangkiang atau lumbung padi sangat mirip Rumah Gadang. Rangkiang juga merupakan bangunan pelengkap Rumah Gadang yang berada tepat di halaman depan.

Anda mungkin juga menyukai