Anda di halaman 1dari 13

1

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN --MASALAH DAN SARAN KEBIJAKSANAAN--*)
NYOMAN SUTAWAN Guru Besar Sosial konomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Rektor Universitas Warmadewa

ABSTRACT This paper discusses problems related to water resources. Based on the study of literatures, some problems are identified. These are among others: water crisis in some provinces; conflict due to increasing competition in the use of water amongst various users; water resources degradation; declining of irrigated agricultural land due to conversion for non agricultural uses; unclear water use rights; weak coordination among departments in managing water resources; and weaknesses in water resource policy. To overcome such problems, appropriate water resources policy is deemed necessary. In order to sustain the availability of water resources that supports the sustainability of agricultural sector the following steps need to be taken: increasing and continuing efforts for preservation and protection of water resources; planning and implementation of programs for thrift and efficient use of water; the issuance of clear regulations on water use rights; strict control on irrigated land conversion; the establishment of institution at national level responsible for coordinating and integrating water resources policy and implementation; and water resources policy adjustments.
Key Words: Water resources problems, sustainable agriculture, water resources policy.

PENDAHULUAN Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan. Jika air tidak tersedia maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumberdaya air menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan pertanian khususnya pertanian beririgasi. Pertanian berkelanjutan

(sustainable agriculture) secara sederhana diartikan disini sebagai upaya memelihara, memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Guna mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya pertanian seperti air dan tanah yang tersedia perlu dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kebutuhan akan sumberdaya air dan tanah cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup, sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga semakin tajam baik antara sektor pertanian dengan sektor non-pertanian maupun antar pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri.

*) Pernah disampaikan pada Seminar Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Tanah dan Air yang Tersedia untuk
Keberlanjutan Pembangunan, Khususnya Sektor Pertanian, diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada tanggal 28 April 2001 di Auditorium Universitas Udayana..

Makalah ini mencoba membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan sumberdaya air. Beranjak dari permasalahan tersebut selanjutnya diketengahkan langkah-langkah kebijaksanaan yang kiranya perlu ditempuh dalam pengelolaan sumberdaya air guna mendukung pertanian bekelanjutan.

PERMASALAHAN SUMBERDAYA AIR Berbagai permasalahan sumberdaya air antara lain adalah sebagai berikut: 1. Adanya Gejala Krisis Air Gejala krisis air rupanya sudah mulai nampak dewasa ini. Krisis air dapat diukur dari Indeks Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan air. Semakin tinggi angka IPA semakin memprihatinkan ketersediaan air di suatu wilayah. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75 1,0 maka dikatakan keadaan kritis.Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan sangat kritis atau defisit air, sedangkan jika IPA -nya berkisar antara 0,30 0,60 tergolong normal dari segi ketersediaan air . Pada tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah termasuk kategori sangat kritis karena untuk Jawa dan Madura diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa Tenggara Barat tergolong dalam keadaan kritis dengan IPA 0,92. Di daerah-daerah lain kecuali Nusa Tenggara Timur ( dengan IPA sekitar 0,73) kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA di bawah 0,50 ( Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997). Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan prilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah. Selain itu tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang masih rendah kiranya dapat menjadi kendala dalam upaya menurunkan IPA. Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di berbagai negara Asia kurang lebih 20% air irigasi hilang di perjalanan mulai dari dam sampai ke jaringan primer; 15 % hilang dalam perjalanannya dari jaringan primer ke jaringan sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan Nusyirwan, 1997). Sebagai akibat dari persaingan dalam pemanfaatan air akan semakin tajam pada masa-masa mendatang, maka dapat diantisipasi bahwa air terlebih lagi air bersih (air minum) relatif semakin langka dan karenanya akan menjadi economic good. Suatu saat mungkin akan terjadi suatu situasi dimana kalau si pengguna tidak punya uang untuk membayar air yang dibutuhkannya maka ia tidak akan mendapatkan air (no money no water). Dengan demikian maka orang akan terpaksa harus

berhati-hati dan hemat dalam menggunakan air termasuk air untuk irigasi. Dengan kata lain, gejala krisis air menuntut pengelolaan sumberdaya air yang lebih cermat , lebih hemat dan lebih efisien.

2. Degradasi Sumberdaya Air Keluhan-keluhan disertai protes oleh masyarakat tentang adanya pencemaran air telah

bermunculan di beberapa tempat sebagai akibat adanya limbah industri termasuk limbah dari industri pariwisata seperti hotel dan restoran. Kecenderungan menurunnya kualitas air akan meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri yang mengeluarkan limbah, pertumbuhan perumahan secara eksponensial dan pertambahan penggunaan bahan-bahan organik sintetis. Di Bali misalnya pemerhati lingkungan telah mendesak pihak hotel untuk melakukan program penanggulangan limbah karena akumulasi limbah hotel dan rumah tangga di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar diyakini sudah tergolong memprihatinkan yaitu telah mencapai 24%, sedangkan pencemaran air sungai di seluruh Bali secara umum mencapai 7% (Bali Post, Kamis 12 April 2001). Intrusi air laut juga telah terjadi di beberapa tempat karena eksploitasi yang berlebihan terhadap air tanah. Pembabatan hutan dengan semena-mena tanpa kendali mengakibatkan berkurangnya

kuantitas air dan tidak jarang menimbulkan banjir terutama pada musim penghujan. Air tanah dan air permukaan mulai terkontiminasi zat-zat kimia yang mengandung racun akibat limbah industri, maupun limbah domestik. Degradasi

limbahan dari saluran irigasi yang mengandung pestisida

sumberdaya air dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat. Air irigasi yang tercemar juga dapat berakibat buruk terhadap hasil panen, sehingga secara keseluruhan tercemarnya sumberdaya air dapat mengancam kesejahteraan masyarakat.

3. Konflik Akibat Persaingan yang Semakin Tajam antar Pengguna Air Meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk serta pembangunan di segala bidang menuntut terpenuhinya kebutuhan akan air yang terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.Persaingan yang menjurus ke arah konflik kepentingan dalam pemanfaatan air antara berbagai sektor terutama antara sektor pertanian dan non- petanian cenderung meningkat di masa-masa mendatang. Hal ini dapat dipahami karena air yang sebelumnya dimanfaatkan lebih banyak untuk pertanian, sekarang dan di masa-masa mendatang harus dialokasikan juga ke sektor non-prtanian. Sebenarnya konflik akibat persaingan dalam pemanfaatan air sudah sering terjadi di kalangan petani padi sawah, terutama di tempat-tempat yang langka air, lebih-lebih lagi pada musim kemarau seperti misalnya pada kasus subak di Bali. Konflik antar petani dalam pemanfaatan air irigasi,

biasanya terjadi antara kelompok petani hulu dan kelompok petani hilir, namun pada umumnya tidak berkepanjangan dan tidak sampai menimbulkan bentrokan fisik. Akibat persaingan yang semakin tajam dalam pemanfaatan air maka di masa yang akan datang konflik akan timbul bukan saja antar petani tetapi juga antara kelompok petani melawan kelompok bukan petani. Kasus petani-petani di Desa Penebel ,Bali yang memprotes keras pengambilan air di Yeh Gembrong oleh Pemda Tabanan untuk kebutuhan air minum sekitar tahun 1990-an, adalah satu contoh nyata akibat persaingan pemanfaatan air. Demikian juga halnya kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yaitu pengusiran petugas PDAM oleh 300 orang petani bersama penduduk di tiga kampung sekitar Daerah Irigasi Ciherang. Petani-petani marah karena petugas PDAM menggali pipa air di Daerah Irigasi Ciherang untuk menyadap air di bagian hulu Sungai Cisangkuy yang juga merupakan sumber air bagi petani Ciherang (Kurnia, G. dkk., 1996). Masih banyak konflik pemanfaatan air yang juga terjadi di daerah-daerah lain seperti pernah diberitakan oleh berbagai media masa.

4. Menyusutnya Lahan Pertanian Beririgasi Akibat Alih Fungsi Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang menunutut pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu niscaya membutuhkan tanah. Misalnya selama kurun waktu 1984-1990 di Jawa Barat telah terjadi alih fungsi lahan sawah untuk non-pertanian seluas 27.768 ha atau rata-rata 5.554 ha per tahun. Selanjutnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata 37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ). Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000 ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di sekitar kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya.

Alih fungsi lahan sawah beririgasi

ke non-pertanian merupakan proses yang bersifat

irreversible atau tidak dapat balik.Alih fungsi lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi,sosial,budaya ,dan politik masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan Winoto. 1996). Khusus untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal sawah beririgasi terus berlanjut , dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan warisan leluhur dan sudah terkenal sampai ke manca negara akan terancam punah. Kalau subak hilang, apakah kebudayaan Bali tidak akan mengalami degradasi karena diyakini bahwa subak bersama lembaga tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Selain dari pada itu yang tidak kalah

memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai pengendali banjir dan pelestarian lingkungan ( flood control and environment preservation). Banjir yang terjadi di beberapa kota besar di Jepang seperti Ichikawa di Propinsi Chiba, Soka di Propinsi Saitama dan Ueno di Propinsi Mie menurut Nagata (1991) disebabkan karena menciutnya areal persawahan di sekitar kota-kota tersebut. Pemerintah setempat telah berusaha keras menanggulangi masalah banjir itu melalui berbagai program, diantaranya program drainase, dan program pemberian subsidi untuk memperlambat proses alih fungsi sawah beririgasi. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik sawah di bagian hilir akan terkena

dampaknya yakni berupa pengurangan air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996).

5. Kurang Jelasnya Ketentuan Hak Penguasaan Air Pemerintah memang sebenarnya telah menetapkan susunan prioritas penggunaan air dengan urutan kepentingan sebagai berikut: (1) air minum, rumah tangga, pertahanan / keamanan , peribadatan, dan usaha perkotaan; (2) pertanian dalam arti luas yaitu termasuk peternakan, perkebunan dan perikanan; dan (3) ketenagaan, industri, pertambangan, lalu lintas dan rekreasi. Akan tetapi pada kenyataannya , urutan prioritas yang kedua yakni pertanian, sering dikalahkan oleh urutan prioritas ketiga seperti misalnya untuk kebutuhan pembangunan industri. Dalam hal seperti ini, keberlanjutan pertanian di hilir sungai bisa terancam akibat pemberian izin oleh pemerintah atas pengambilan air di hulu sungai untuk keperluan industri yang tidak jarang menimbulkan pencemaran sungai.

Perangkat peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini rupanya belum secara tegas dan eksplisit memberikan jaminan kepastian hukum dalam memperoleh hak guna air kepada petani yang sudah berlangsung secara turun temurun. Para petani yang sudah berabad-abad memanfaatkan air sungai untuk keperluan irigasi ada dalam posisi yang lemah. Jika ada pendatang baru seperti misalnya PDAM atau bahkan pengusaha air minum kemasan yang mengambil air di hulu sungai,maka terpaksa harus mengalah dengan resiko mengalami gagal panen atau tidak bisa melanjutkan usahataninya karena kekurangan air. Jika ini terus berlanjut dan meluas maka

keberlanjutan pertanian bisa terancam. Tidak jelasnya hak penguasaan air yang dimiliki oleh para pengguna air khususnya air di sepanjang sungai dapat memicu konflik antar pemanfaat air seperti kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya. Oleh sebab itu, pengaturan alokasi air sungai yang jelas dan adil kepada para pengguna (pertanian, pemukiman, industri, dll) perlu diupayakan melalui perangkat peraturan dan perundangundangan. Mengingat air berfungsi sosial dan harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka hak-hak masyarakat setempat atas sumberdaya air yang ada perlu dilindungi. Sementara itu, kepentingan masyarakat luas untuk mendapatkan air besih juga harus diperhatikan.

6. Lemahnya Koordinasi antar Instansi dalam Menangani Sumberdaya Air Dalam menangani sumberdaya air di Indonesia ternyata banyak instansi yang terlibat. Dalam kabinet pemerintahan terdahulu, instansi yang terlibat adalah: Depertemen Pekerjaan Umum(DPU); Depertemen Pertanian; Departemen Kehutanan; Departemen Kesehatan; Departemen Pertambangan; Departemen Pariwisata,Pos dan Telekomunikasi; Departemen Perhubungan; dan Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup. Masing-masing departemen merencanakan dan melaksanakan kegiatannya sendiri secara parsial dan sektoral , hampir tidak ada koordinasi antara satu dengan lainnya. Akibatnya, kegiatan sering tumpang tindih dan bahkan ada kalanya tidak saling mendukung. (Martius, 1997; dan Mahar, 1999). Seperti dicontohkan oleh Mahar (1999), perencanaan pengelolaan sungai oleh DPU tidak sinkron dengan perencanaan pengelolaan daerah tangkapan (catchment area) yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, sehingga tidak mustahil bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya perlu segera diberikan penanganan khusus, justru terjadi sebaliknya karena pengelolaannya masih parsial .

7. Kelemahan dalam Kebijaksanaan Sumberdaya Air Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia selama ini masih mengandung beberapa kelemahan. Antara lain ( Osmet, 1996; dan Helmi, 1997): (1) masih berorientasi pada segi penyediaan (supply-side management); (2) lebih menekankan pada

pengembangan satu sistem irigasi dan kurang memperhatikan keterkaitan hidrologis antar sistem dalam satu sungai; (3) lebih berorientasi pada pengembangan jaringan utama sistem irigasi; dan (4) arena pengelolaan air ada pada tingkat sistem irigasi bukan pada tingkat sungai. Ciri-ciri dari supply-side management seperti dikemukakan oleh Osmet (1996) antara lain: air diperlakukan sebagai sumberdaya yang ketersediannya tidak terbatas; peran pemerintah sangat dominan dengan fungsi utama menyediakan air kepada pengguna dengan biaya yang relatif rendah dan bahkan gratis seperti dalam bidang irigasi; lebih menekankan pada pengembangan sarana dan prasarana fisik dengan perhatian utama terpusat pada efisiensi teknis. Memang pendekatan pada sisi persediaan seperti ini telah berhasil dalam meningkatkan produksi pangan namun tidak luput dari kelemahan. Yaitu, mengakibatkan ketergantungan petani kepada pemerintah menjadi begitu kuat. Jika ada

keperluan perbaikan jaringan irigasi petani cenderung bersikap menunggu saja dan berharap agar pemerintah segera turun tangan. Implikasi dari kebijaksanaan yang berorientasi pada pembangunan satu sistem irigasi tanpa memperhatikan keterkaitan hidrologis adalah bahwa alokasi air yang sebelumnya tidak bermasalah akhirnya bisa jadi bermasalah jika tiba-tiba di hilir terganggu karena ada bendung baru yang dibangun di hulu sungai. Selanjutnya, kebijaksanaan yang diorentasikan pada pembangunan jaringan utama dalam arti membangun atau memperbaiki bangunan pengambilan permanen seperti bendung dan

mempermanenkan saluran utama, dalam banyak kasus dapat menyulut konflik antar kelompok petani hilir dan hulu. Kebijaksanaan seperti ini menciptakan timbulnya rasa ketidak- adilan di kalangan para petani. Sebab, yang lebih menikmati bertambahnya ketersediaan air pada sistem irigasi yang bersangkutan adalah petani yang sawahnya paling dekat dengan sumber air. Arena pengelolaan air yang terpusatkan pada masing-masing sistem irigasi lebih menekankan pada urusan bagaimana air dipergunakan dalam sistem irigasi yang bersangkutan tanpa memperhatikan bagaimana ketersediaan air di sungai dapat ditingkatkan dan dialokasikan secara lebih adil antara sistem irigasi di sepanjang sungai. Pada umumnya sistem irigasi di hilir sungai cenderung kekurangan air terutama pada musim kemarau, sedangkan yang di hulu mendapat air secara berlebihan dan umumnya boros menggunakan air. Tanpa pengorganisasian pola alokasi air yang baik antar sistem

irigasi di sepanjang sungai maka sistem irigasi yang ada di hilir cenderung senantiasa kekurangan air dan akhirnya bisa mengancam pertanian yang berkelanjutan.

SARAN-SARAN KEBIJAKSANAAN Menyimak berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya air seperti terurai di atas, maka diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan yang meliputi:

Pelestarian dan Perlindungan Sumberdaya Air Pelestarian dan perlindungan sumberdaya air untuk menjamin keberlanjutan tata air dan pada akhirnya juga keberlanjutan pertanian perlu lebih ditingkatkan. Beberapa cara dapat ditempuh seperti misalnya: (1) Pelaksanaan analisa dampak lingkungan bagi proyek-proyek pembangunan atau investasi. Proyek yang secara potensial dapat mengganggu kelestarian sumberdaya air agar secara tegas dilarang atau dihentikan. (2) Penerapan aturan siapa yang melakukan pencemaran dialah yang harus menanggung beban biaya penanggulangan pencemaran tersebut (polluters pay principle ) dan kepada pelakunya juga harus dikenai sanksi sesuai aturan yang berlaku. (3) Pengendalian pencemaran atas mutu sumberdaya air dengan cara antara lain: (a) pengolahan air tercemar pada badan-badan air seperti sungai dan danau; (b) pengolahan air limbah pada sumber-sumber tercemar seperti pabrik dan pemukiman; dan (c) pengembangan teknologi pengendalian pencemaran (4) Penerapan teknologi irigasi air limbah. Irigasi air limbah adalah suatu metode pengolahan air limbah yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Teknologi ini telah berkembang pesat di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Israel dan bahkan India (Asmanto, 1993). (5) Rehabilitasi kerusakan daerah hulu sungai (daerah tangkapan). Kerusakan daerah hulu sangat fatal karena dapat mengakibatkan banjir. Adanya erosi karena penggundulan hutan di daerah hulu berakibat pengendapan lumpur pada waduk dan bangunan irigasi. Rehabilitasi kerusakan daerah tangkapan dapat dilakukan antara lain melalui penghijauan dan reboisasi.

Perencanaan dan Pelaksanaan Program Hemat Air Gerakan Hemat Air yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tanggal 16 Oktober 1994 perlu ditindak lanjuti dengan perencanaan dan pelaksanaan program hemat air sehingga menjadi lebih operasional guna mencegah terjadinya krisis air di masa depan. Program-program yang relevan antara lain kampanye secara nasional tentang arti pentingnya penghematan air; penyusunan peraturan dan kebijakan yang secara eksplisit mengatur hemat air; penerapan teknologi yang lebih efisien dalam pemanfaatan air; dan penerapan tehnik budidaya tanaman yang dapat menghemat air.

Pengendalian Alih Fungsi Lahan Beririgasi Guna menghindari berbagai kerugian dan dampak negatif dari alih fungsi lahan maka daerahdaerah yang telah memiliki Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) perlu memberlakukan RUTR itu secara ketat dan konsisten. Bagi daerah-daerah yang belum memilikinya, agar menyusun RUTR dengan memasukkan potensi dan kebutuhan air pada wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya RUTR yang telah disepakati agar disosialisasikan kepada masyarakat dan para perancang dan pelaku program pembangunan. Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan selain penyusunan dan pemberlakuan RUTR secara tegas adalah: (1) Penetapan mekanisme ganti rugi aset negara dan masyarakat yang terkena alih fungsi misalnya fasilitas irigasi yang tidak dapat berfungsi lagi; dan ganti rugi bagi petani karena air irgasinya terputus. (2) Berbagai peraturan dan perundangan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan agar benar-benar ditegakkan secara konsekuen dengan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang melanggar. (3) Jika diizinkan akan ada alih fungsi maka organisasi P3A beserta PU Pengairan perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan guna menghindari timbulnya konflik di belakang hari.

Pembuatan Peraturan tentang Hak Guna Air Peraturan atau perundang-undangan tentang hak guna air sangat diperlukan untuk antar

mengantisipasi meningkatnya kompetisi pemanfaatan air yang cenderung memicu konflik

pengguna air. Peraturan ini agar secara jelas memberikan perlindungan terhadap hak pengguna air. Peraturan tentang hak guna air harus jelas, aman, bisa ditransfer dan adil bagi semua pihak yang membutuhkan. Hak historis pengguna pertama perlu mendapat perhatian. Dalam peraturan ini mungkin

10

ada baiknya jika ketentuan-ketentuan mengenai kriteria dan prosedur pemberian izin pemanfaatan air juga dicantumkan.

Pembentukan Lembaga di Tingkat Nasional untuk Menangani Sumberdaya Air Mengingat kompleksitas permasalahan sumberdaya air dan begitu banyaknya instansi yang terlibat dalam menanganinya sehingga sering berakibat tidak adanya senergi pengelolaan, maka perlu dipertimbangkan adanya suatu lembaga yang khusus mengurus dan mengatur sumberdaya air secara terpadu. Apapun nama lembaganya, apakah itu Badan Air Nasional, ataukah Badan Pengelola Sumberdaya Air kiranya tidak begitu penting. Yang penting adalah bahwa lembaga itu diberikan tugas untuk mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya air yang meliputi koordinasi dan integrasi kebijaksanaan termasuk koordinasi dan integrasi operasionalnya.

Penyesuaian Kebijaksanaan Sumberdaya Air Perlu ada penyesuaian atau reorientasi kebijaksanaan di bidang sumberdaya air yang mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Pengelolaan sumberdaya air yang berorientasi pada sisi persediaan (supply-side management) perlu diorientasikan ke arah pengelolaan sumberdaya air yang memperhitungkan nilai air dalam kaitannya dengan biaya penyediaan dan memperlakukan air sebagai barang ekonomi ( demandside management) (2) Kebijakan sumberdaya air yang menekankan pada pengembangan pada satu sistem irigasi perlu disesuaikan yakni menuju pengembangan dan pengelolaan air dalam satu daerah aliran sungai (DAS) yang memperhatikan keterkaitan antara berbagai pengguna air sepanjang sungai, keterkaitan antara air permukaan dan air tanah, perlindungan daerah tangkapan (catchment area) serta mengembangkan sistem pengelolaan one river, one management. (3) Pengelolaan secara tersentralisasi agar dirubah menjadi terdesentralisasi yaitu dengan melibatkan berbagai pengguna khususnya kelembagaan lokal seperti P3A yang ada dalam setiap tahapan kegiatan keirigasian mulai dari perencanaan, pemeliharaan sampai pemanfaatan. Pemerintah telah menyadari akan kelemahan dari pendekatan yang tersentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya air. Oleh sebab itu, sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada P3A dalam pengelolaan jaringan irigasi. Ini terbukti dari adanya program PIK (Penyerahan Irigasi Kecil) untuk sistem irigasi yang kurang dari 500 ha , sedangkan untuk yang di atas 500 ha petani diwajibkan membayar iuran atas pelayan irigasi (

11

IPAIR). Sebegitu jauh belum banyak ada laporan evaluasi yang mendalam tentang pelaksanaan program-progaram ini. (4) Dalam rangka implementasi program PIK dan IPAIR perlu kiranya memotivasi petani agar menjadikan P3A sebagai lembaga irigasi yang mampu berfungsi ganda yakni selain sebagai pengelola sistem irigasi dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) tetapi juga sebagai pengelola agribisnis. (5) Dalam pengelolaan irigasi, para petani perlu dimotivasi untuk membentuk wadah koordinasi antar P3A atau Federasi P3A baik dalam lingkungan satu sistem irigasi yang terdiri dari beberapa P3A maupun dalam lingkungan yang lebih luas yaitu daerah aliran sungai (DAS). Hal ini dimaksudkan agar air dapat dialokasikan secara lebih adil berdasarkan kesepakatan semua P3A yang terkait. Selain itu, melalui Federasi P3A ini pengaturan dan ketentuan pola tanam dan jadwal tanam yang mendukung pemanfaatan air secara lebih efisien dan adil dapat dirumuskan bersama.
(6) Tanggung jawab pengelolaan DAS memang seyogyanya ada dalam satu tangan. Sebab, DAS

merupakan satu kesatuan topografi, satu kesatuan tata air dan satu kesatuan ekosistem dengan batas-batas geografis yang jelas sehingga wajar jika dikelola dalam satu kesatuan managemen. Dengan demikian, maka perencanaan pemanfaatan air sungai dan pengembangan sumberdaya air dalam DAS dapat disesuaikan antara kebutuhan dan potensi yang tersedia (Mahar, 1999). Meskipun otonomi segera akan diberlakukan, maka dalam kaitannya dengan pengelolaan sungai, tidak berarti bahwa tiap propinsi lebih-lebih lagi kabupaten harus diberikan kewenangan penuh dalam pengelolaannya. Ini disebabkan karena banyak sungai yang melintasi beberapa kabupaten dan bahkan beberapa propinsi. Jadi dalam hal ini tanggung jawab atau koordinasi pengelolaan sebaiknya ada di tangan pemerintah pusat untuk sungai yang melintasi beberapa propinsi dan di tangan pemerintah propinsi bagi sungai yang melintasi beberapa kabupaten.

PENUTUP Beberapa masalah sumberdaya air telah diidentifikasi dan dibahas secara singkat. Permasalahan tersebut antara lain: (1) adanya gejala krisis air; (2) meningkatnya konflik akibat persaingan pemanfaatan air yang semakin tajam; (3) menurunnya kualitas sumberdaya air; (4) menyusutnya lahan pertanian beririgasi akibat alih fungsi; (5) tidak jelasnya ketentuan hak atas air; (6) lemahnya

koordinasi antar departemen dalam menangani sumberdaya air; dan (7) adanya beberapa kelemahan dalam kebijaksanaan sumberdaya air.

12

Guna mengatasi permasalahan tersebut di atas, diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan yang kiranya perlu ditempuh oleh para pengambil keputusan yaitu antara lain sebagai berikut: (1) peningkatan upaya-upaya pelestarian dan perlindungan sumberdaya air; (2) perencanaan dan pelaksanaan program hemat air; (3) pembuatan peraturan dan ketentuan hak guna air; (4) pengendalian alih fungsi lahan pertanian beririgasi; (5) pembentukan suatu lembaga tingkat nasional untuk mengatur dan mengurus sumberdaya air; dan (6) penyesuaian kebijaksanaan sumberdaya air. Hal-hal yang telah diuraikan dalam makalah ini pada hakekatnya hampir tidak ada yang baru. Sebagian besar telah pernah diwacanakan oleh pakar-pakar dalam berbagai kesempatan. Makalah ini hanya menghimpun pemikiran dan informasi yang ada dalam berbagai kepustakaan seperti tertuang dalam Daftar Pustaka. Walaupun demikian semoga masih bermanfaat dan dapat merangsang diskusi lebih lanjut guna menelorkan gagasan cemerlang dalam mengantisipasi krisis air di masa depan dengan berbagai implikasinya. Bagaimanapun juga makalah ini sangat terbuka untuk mendapat kritik dan tanggapan dari berbagai pihak.

DAFTER PUSTAKA Anonim, 2001. Memprihatinkan Limbah Hotel dan Rumah Tangga di Badung dan Denpasar,. dalam Bali Post, Kamis 12 April. Atmanto, Sudar Dwi., 1993. Pertanian dan Irigasi Air Limbah., dalam Irigasi Petani No.11/V/1993. hlm. 1-3, Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Irigasi (PSPI), LP3ES. Helmi., 1997. Kearah Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangan dan Agenda untuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi di Masa Depan. Dalam VISI Irigasi Indonesia Nomor 13 (7) 1997.hlm. 3-12, Jakarta: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas. Mahar, Mahyudi., 1999. Pendekatan Watershed Management dalam Pengelolaan Sungai, dalam Dinamika Petani No. 34 Tahun X / 1999. hlm. 10-14.Jakarta: Pusat Studi Pengembangan Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES. Martius, Endry., 1997. Penyesuaian Peran Birokrasi dan Pemberdayaan Ekonomi Petani: Etika Pendayagunaan Sumberdaya Air di Indonesia, dalam VISI Irigasi Indonesia Nomor 13 (7) 1997. hlm. 12-32. Padang: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas. , Nagata, Keijiro., 1991. The Maturation of the Japanese Economy and the Role of Agriculture, dalam The Committee for the Japanese Agriculture Session, XXI IAEE Conference (ed). Agriculture and Agricultural Policy in Japan., hlm.189-201,Tokyo: University of Tokyo Press.

13

Nasoetion , Lufti dan Joyo Winoto., 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan, dalam Hermanto., Pasaribu, Sahat M.., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan., hlm.64-82. Jakarta: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian . Kurnia, G., Arianto, T., Judawinata, R., Sufyandi,A., Rija., dan D. Hermajanda. 1996. Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Air, dalam Hermanto, Pasaribu., Sahat M.., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. hlm.190-207. Jakarta: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian . Osmet.,1996. Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, dalam Hermanto., Pasaribu, Sahat M.., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Tergadap Keberlanjutan Swasembada Pangan.hlm.208-225. Jakarta: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Sugandhy, Aca., 1997. Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air, Makalah pada Seminar Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Air Tingkat Nasional diselenggarakan oleh Deputi Bidang Prasarana BAPPENAS, di Jakarta tanggal 30 September 1997. Yakup dan Nusyrwan, 1997. Reaktualisasi Pengelolaan Air dan Kelembagaan Petani, dalam Dinamika Petani No.30 Tahun 1997. hlm.1-4. Jakarta: Pusat Studi Pengembangan Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai