Anda di halaman 1dari 2

Disorientasi Historiografi 1965 Pasca Soeharto

Pasca lengsernya Soeharto 21 Mei 1998, wacana historiografi Indonesia disibukan oleh perdebatan seputar peristiwa ketika Soeharto beserta rezimnya berkuasa. Berbagai kajian kemudian muncul saling beradu bahkan saling berkompromi dengan kajian-kajian yang muncul pada masa berkuasanya rezim tersebut. Salah satu tema manarik yang kemudian menjadi trend hingga saat ini adalah tema peristiwa 1965 dan tragedi sesudahnya. Indikasi dari ditemukanya trend tersebut adalah membudlaknya berbagai buku dengan tema seputar peristiwa 1965 di rak-rak toko buku di berbagai penjuru Indonesia. Namun yang mejadi pertanyaan disini adalah fenomena membludaknya berbagai kajian tersebut lantas mengandaikan bahwa orientasi historiografi Indonesia mengarah pada kondisi yang lebih baik? Atau tidak lebih hanya dalih untuk meraup keuntungan di tengah kehausan masyarakat untuk memperoleh informasi yang lain tentang diri mereka? Lebih jauh lagi fenomena semacam ini pernah terjadi pada kajian-kajian historis pasca kolonial, sejarawan Sartono Kartodirjo mengistilahkan fenomana tersebut sebagai Booming Period. Booming Period tersebut dilontarkan oleh Sartono sebagai kritik atas realitas historiografi pascakolonial, yang menurutnya lebih bersifat spontanitas dan kadang ditulis dengan fakta yang tidak lengkap. Dalam konteks historiografi 1965 pasca Soeharto, munculnya tema-tema tersebut tidak lantas menandakan bahwa ada upaya untuk melihat sejarah secara jujur, namun seperti yang sudah dikatakan diatas, munculnya kajian tersebut tidak lebih hanyalah trend yang orientasinya masih perlu dipertanyakan. Mendadak jadi sok peduli, dan penuh simpati terhadap para survivor 1965, dan inilah yang menjadi kekhawatiran Neitzche bahwa historiografi justru akan mengaburkan pandangan tentang masa lalu itu sendiri. Memang kita harus akui, di satu sisi munculnya kajian-kajian histroriogarfis 1965 dengan berbagai versi yang melingkupinya tersebut membawa kita ke arah pemahaman historis yang lebih komprehensif. Setidaknya membawa angin segar setelah mengalami represi pengetahuan selama lebih dari tiga dasawarsa. Namun yang harus dicatat disini adalah kebanyakan kajian tersebut berkutat pada pertanyaan siapa, siapa, dan siapa dalang dari peristiwa 65 tersebut (lihat Hermawan Sulistyo Palu Arit di Ladang Tebu). Alih-alih menyuarakan kebenaran justru menghadirkan dominasi baru terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Sejarawan Ong Hok Ham bahkan menyangsikan tentang obyektifitas pada kajian historis terkait peristiwa 1965, kesangsian dari Ong Hok Ham ini tentu saja didasarkan pada tugas sejarawan yang tidak mungkin menulis tanpa bukti-bukti yang memadai. Menurutnya terkait dengan G 30 S 1965, bukti yang ada jauh dari kata mencukupi, hal ini disebabkan banyak pelaku yang terlibat dalam gerakan itu, telah dibunuh setelah peristiwa itu terjadi. Dengan kata lain ketiadaan bukti langsung dari pelaku tersebut menandakan bahwa G 30 S 1965 penuh kabut misteri mungkin sama misteriusnya dengan pembunuhan presiden John F.Kennedy, sedemikian misteriusnya G 30 S, sehingga dua ratus tahun pun tidak akan terpecahkan, tegasnya. Untuk itu kita perlu alternatif lain untuk mengkaji peristiwa sejarah terutama terkait dengan peristwa 1965, melepaskan diri dari kajian-kajian yang bersifat konvensional dan keluar dari dominasi pertanyaan tentang siapa..siapa...dan siapa dalang dari peritiwa tersebut??? Langkah ini penting agar kita terhindar atas sikap justifikasi atas masa lalu. Hesri Styawan dalam kata pengantar buku Mematahkan Pewarisan Ingatan karya Budiawan mengatakan bahwa historiografi alternatif diperlukan untuk menuntun kita agar bisa berdamai dengan masa lalu dan membentuk sikap Forgive but Not Forget! (ES, 31/1/2012)

Anda mungkin juga menyukai