1.1 LATAR BELAKANG : Solo Sebuah kota di Jawa tengah yang masih lekat sekali dengan budaya Jawa. Dengan slogan SOLO the Spirit of Java. Solo bertekad terus menjaga dan melestarikan budaya jawa. Kota Solo memang merupakan salah satu tempat wisata belanja kain batik terkenal di Indonesia. Di sini banyak sekali terdapat sentra kain batik, yang tersohor antara lain kawasan Kampung Batik Laweyan dan kawasan Kampung Wisata Batik Pilang. Batik adalah salah satu produk kota dan telah menjadi Icon kota solo. Khas batik solo sudah di kenal di seluruh Indonesia dan menjadi produk andalan ekspor. Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan Sidomukti dan Sidoluhur.
1.2 TUJUAN : Agar siswa dapat mengetahui dibahan,warna,sampai menjadi kain batik, dan mengenal lebih dekat budaya jawa terutama yang berkaitan dengan kesultanan solo dan seni batik
BAB II : PEMBAHASAN 2.1 OBSERVASI BATIK: Batik adalah salah satu unsur budaya dasar bangsa Indonesia. Sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia sudah membuat batik. Hal ini terbukti dengan ditemukannya hiasan dengan motif batik pada keramik. Indonesia kaya akan macam-macam batik dengan teknik, ragam hias yang sangat beragam. Kampung Batik Pilang adalah salah satu sentral Batik di Solo. Kampung ini Tentunya ada banyak sekali sejarah yang tertinggal di kapung ini dan menjadi icon Batik Solo. Batik merupakan hasil karya seni tradisional yang banyak ditekuni masyarakat pilang.
2.1.1
Batik Indonesia
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa Amba yang berarti menulis dan Titik. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya Wax-Resist Dyeing. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuanperempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya Batik Cap yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak Mega Mendung, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak
2
bebungaan seperti bunga tulip dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah seperti gedung atau kereta kuda, termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta. Meskipun batik identik dengan pakaian adat Jawa, namun kini batik sudah menjadi pakaian nasional bagi masyarakat Indonesia, bahkan sudah banyak pula dikenal di manca negara. Penggunaannyapun tidak lagi sebagai pakaian adat tetapi sudah mengikuti perkembangan mode busana baik bagi wanita maupun pria, bahkan biasa digunakan sebagai desain interior dan perlengkapan rumah tangga. Macam batik dapat dibedakan menjadi :
2.1.2 Batik Klasik Batik klasik mempunyai nilai dan cita rasa seni yang tinggi, dengan pengerjaan yang rumit dan dalam waktu berminggu-minggu. Batik klasik mempunyai pola-pola dasar tertentu dengan berbagai macam variasi motif, seperti kawung, parang, nitik, tuntum, ceplok, tambal, dan lain sebagainya. Bahan dasar batik berupa kain katun putih kwalitas halus, juga kain sutera putih, batik dengan bahan sutera akan menghasilkan warna yang lebih hidup.
2.1.2.1 Proses Pembuatan Batik Klasik Hampir setiap orang pernah melihat batik. Bahkan banyak diantaranya yang pernah melihat cara pembuatan batik. Mereka mengira bahwa mereka melihatnya dalam perjalanannya di Jawa sewaktu kunjungan ke sebuah tempat kerja batik dimana para wanita menggambar desain-desain pada kain putih dengan sebuah canting. Bagian ini merupakan penerapan malam sebagailangkah proses yang harus dilakukan untuk menjadikan suatu barang bernama batik.
a. Persiapan Kain katun putih dengan lebar kira-kira 110 cm dan panjang 240 cm dikerjakan sebelumnya agar bisa dipakai untuk pengolahan selanjutnya. Penggarapan ini terdiri dari mencuci, menganji, menjemur dan mengetuknya, suatu proses yang memakan waktu berhari-hari.
b. Desain Jika kain sudah siap untuk proses selanjutnya, maka motif-motif digambar dengan mengikuti pola yang sudah tersedia pada kertas atau langsung menggambar pada kain bagi pengrajin batik yang telah ahli. Setelah desain dibuat maka satu persatu diberi warna. Namun bisa juga menggambar keliling desain dulu supaya bidang-bidangnya bisa ditutupi. Cara menggambar dilakukan dengan cairan malam yang keluar dari canting dalam bentuk pancuran halus, sedangkan ukuran canting pun bervariasi. Canting berbentuk seperti poci teh kuningan kecil sebesar kepala pipa tembakau dan bertangkai kayu. Semakin kecil canting semakin halus aliran
malam yang keluar. Sebelumnya malam dicairkan dengan cara memanaskan lebih dulu, yang terpenting adalah menjaga suhu agar tepat. Kemudian pada permukaan kain sebaliknya, dilakukan desain dan pengerjaan yang sama agar tidak terdapat perbedaan di kedua sisi kain batik.
Pewarnaan/pencelupan ini diulang berkali-kali hingga hasilnya tercapai. Pada produk-produk bermutu tinggi pewarnaan hingga 30 kali adalah suatu keharusan. Pewarna tradisional adalah indigo, keistimewaan warna ini adalah warnanya baru timbul sesudah kain yang diberi pewarna ini dijemur dan terkena udara. Jika kain masih basah maka bagian-bagian desain yang akan diberi warna coklat, dikerik malamnya. Setelah itu bagian-bagian yang diberi warna biru dan tetap harus berwarna biru juga ditutup dengan malam. Kemudian kain dicelup ke dalam pewarna coklat. Bahan pewarna tradisional untuk coklat adalah soga, sejenis kulit pohon tertentu. Penggarapan warna yang baik memakan waktu 15 hari, dengan 3 macam pewarnaan perhari. Bagian-bagian yang mula-mula diwarna biru dan kemudian diwarna coklat menjadi hitam warnanya. Dengan demikian terjadilah tiga warna dari dua bahan pewarna, yaitu biru, coklat dan hitam. Dan disamping itu beberapa bagian tetap berwarna putih.
d. Penghilangan Malam Setelah pengulangan pewarnaan dilakukan sehingga sesuai. Selanjutnya seluruh malam dapat dilepaskan, hal ini dilakukan dengan meng-godog hingga cair, dan cairan malam akan mengapung di permukaan. Setelah itu kain dicuci lagi. Pengerjaan batik pada kain sutera digunakan tehknik yang berbeda, karena memerlukan malam dan bahan pewarna yang berbeda agar tidak merusak kain suteranya. Hasil proses pembuatan batik tersebut di atas disebut batik tulis. Jenis lainnya adalah batik cap, dimana pada proses penggambaran dengan canting
pada batik tulis digantikan dengan menggunakan cap (seperti gambar di bawah ini) untuk menerapkan malam pada kain. Batik klasik dikenal dengan bermacam ukuran dan penamaan yakni batik kain panjang dengan lebar 110 cm X panjang 240 cm, batik kain sarung (sekitar 105cmX200cm), selendang (45~60cmX200~300cm), iket kepala (90cmX90cm) dan kemben (60cmX200cm). Pada penggunaan sehari-harinya batik banyak ditemui dalam berbagai bentuk seperti berbagai macam pakaian resmi pada pria dan wanita, dan bermacam bahan untuk dekorasi interior rumah, kantor ataupun hotel, juga variasi rumah tangga seperti, taplak meja, napkins, place mats, tas, sarung bantalan, bedcover, bed sheet, dan lainnya.
2.1.3 Batik Modern Berbeda dengan batik klasik, pada batik modern motif maupun pewarnaan tidak tergantung pada pola-pola dan pewarnaan tertentu seperti pada batik klasik, namun desainnya bisa berupa apa saja dan warna yang beraneka macam. Batik modern juga menggunakan bahan-bahan dan proses pewarnaan yang mengikuti perkembangan dari bahan-bahan pewarnanya. Terkadang pada beberapa area desain, canting tidak dipergunakan namun dengan menggunakan kuas dan untuk pewarnaan kadang diterapkan langsung dengan menggunakan kapas atau kain. Dengan kata lain, proses pembuatan batik modern hampir seperti batik klasik namun desain dan pewarnaannya terserah pada citarasa seni pembuat dan tergantung bahan-bahan pewarnanya. Bahkan dengan
berkembangnya bahan dasar kain dan bahan kain berwarna, batik modern menjadi semakin bervariasi, seperti misalnya batik pada bahan katun lurik Jogja , bahan kain poplin, bahan piyama, bahan wool, dsb.
2.1.3.1 Proses Pembuatan Batik Modern Pengerjaan pada batik modern memiliki prinsip yang sama seperti pada proses pembuatan batik klasik karena batik modern merupakan perkembangan dari variasi batik klasik.
a. Persiapan Kain katun yang akan dibatik terlebih dahulu dicuci agar terbebas dari bahan-bahan yang masih dikandung oleh kain ketika proses
penenunan/pembuatan kain, ini dimaksudkan agar pada proses pewarnaan nantinya tidak akan berpengaruh oleh bahan-bahan tersebut. Selanjutnya kain yang dipersiapkan dikeringkan.
b. Desain Desain dilakukan langsung di atas kain dengan menggunakan pensil atau apapun yang jika nantinya dicuci pada akhir pemrosesan batik maka coretan tersebut bisa hilang, atau desain dapat pula menggunakan pola-pola yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Setelah desain siap maka dilakukan pembatikan awal dengan menggunakan canting ataupun kuas pada coretan desain tersebut. Pada proses pembatikan perlu diperhatikan bagian mana yang akan diberi warna berbeda, mengikuti desain dan hasil warna yang dikehendaki.
c. Pewarnaan Proses pewarnaan berbeda-beda tergantung dari bahan pewarna dan teknik mewarna yang ingin digunakan. Pada dasarnya pada pewarnaan tahap pertama warna yang digunakan adalah warna yang lebih muda dahulu, ini disebabkan pada proses batik pewarnaan nantinya akan dilakukan secara berulang-ulang tergantung dari banyaknya warna yang diinginkan. Bahan-bahan pewarna tersebut antara lain Naphtol, Indigosol, Basis, Procion, dsb. Pada proses ini juga masih dilakukan pembatikan pada warna-warna yang ingin dicapai pada akhir proses. Setelah proses pewarnaan selesai maka dilakukan proses penghilangan malam batik/dilorod dengan cara memasukkan
kain tersebut ke dalam air panas, setelah seluruh malam batik hilang dari kain selanjutnya kain dicuci hingga bersih.
2.2 Teknik Pembuatan Batik Batik merupakan teknik rekalatar, pengerjaannya dengan menggunakan perintang warna sejenis lilin yang dikenal dengan nama malam. Adan 3 teknik pembuatan batik, yaitu batik tulis, batik cap, dan batik printing. 2.2.1. Batik Tulis Batik ini dibuat dengan cara melukiskan pola pada kain dengan menggunakan tangan. Pembuatan batik tulis diperlukan alat-alat sebagai berikut.
Canting adalah alat pokok dalam membuat batik. Canting terbuat dari tembaga gunanya untuk melukis dengan menggunakan cairan malam (lilin batik).
Gawangan adalah kayu yang dipakai untuk membentangkan kain yang akan dibatik.
Wajan/Grengseng adalah kuali yang terbuat dari tanah liat untuk mencairkan malam.
Anglo adalah perapian yang terbuat dari tanah liat, api dinyalakan dengan menggunakan arang kayu.
Tepas/Tipas digunakan untuk membesarkan api. Jegol adalah kuas yang terbuat dari kumpulan benang digunakan untuk menutupi bidang blok yang besar.
2.2.2 Batik Cap Batik cap adalah motif pada kain yang dihasilkan dari proses pencelupan dengan alat terbuat dari lempengan tembaga dengan ukuran 20 cm x 20 cm atau 24 cm x 2 cm sesuai dengan motifnya. Dalam proses mencetak yang perlu diperhatikan adalah sambungan pada sisinya (sanggit) sehingga motif tidak terlihat terkotak-kotak, namun menjadi satu kesatuan. Cara menempelkan cap pada kain adalah dengan menggunakan setrika.
2.2.3.
Batik Printing Batik Printing adalah pembuatan batik yang proses pembuatannya hampir
sama dengan pembuatan tekstil lainnya yang menjadi pembeda adalah motifnya batik. Batik dengan printing agar terjaga keawetannya jika dicuci tidak boleh dengan menggunakan sabun. Sebagai gantinya adalah buah lerak atau daun dilem. Pada waktu menjemurnya, jangan langsung terkena sinar matahari.
2.3. Macam-Macam Ragam Hias Batik Jika dilihat dari ornamennya, batik di daerah-daerah Indonesia banyak yang bersumber dari ragam hias zaman prasejarah seperti motif geometris dan perlambangan. macam-macam batik dapat dilihat dari motif yang dipakai. Seperti halnya kebudayaan, ragam hias pada batikpun mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Ragam hias batik dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, yaitu batik yang menggunakan motif-motif berikut. 1. Motif Geometris dengan pola hias tumpal, meander dan pola pilin. 2. Motif tumbuhan, contohnya mengambil bentuk dari tumbuhan menjalar, tumbuhan air, bunga. 3. Motif hewan, contohnya singa barong, kupu-kupu, dan sebagainya. 4. Motif benda alam, seperti kapas, padi, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu ragam macam-macam batik dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, batik Keraton adalah batik yang tumbuh di lingkungan istana khususnya berkembang di daerah Jawa Tengah. Motif yang dihasilkan berdasarkan pada filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai spiritual. Kedua, batik pesisir adalah batik yang dihasilkan di lingkungan luar keraton yang mengalami pertumbuhan yang berbeda dengan batik keraton.
2.5. Mistik dan mitos di seputar batik Mitos di seputar cerita tentang keris atau wayang sering kita dengar. Tetapi mitos di seputar pembuatan batik, barangkali hanya sedikit yang pernah beredar. Misalnya saja mitos penciptaan motif batik sidoluhur yang menuntut pencipta awalnya untuk menahan nafas berlama-lama. Atau tentang batik parang yang tercipta karena kekaguman seorang Panembahan Senopati kepada alam sekitarnya, atau juga tentang truntum yang konon tercipta karena dorongan sebuah pengharapan seorang garwa ampil kepada rajanya dan sebagainya. Ya, sebagaimana keris, batik juga mempunyai mitos-mitos yang melingkupinya. Motif sidoluhur yang diciptakan Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri Mataram Jawa, serta cucu dari Ki Ageng Selo itu Motif sidoluhur Konon motif sidoluhur dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai dapat berhati serta berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi masyarakat banyak. Menurut seorang pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri adalah seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi
10
Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut. Sampai sekarang pun, secara umum, proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Laki-laki membuat motif, yang wanita mencanting. Pada proses penciptaan motif parang juga seperti itu. Panembahan Senopati (bertahta 1540 1553 M) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pafa saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut. Tetapi ada pengkecualian dalam proses penciptaan motif truntum. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 17491788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan. Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian. Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). Ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan, begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum. Cerita lain menyebutkan, Paku Buwono III juga seorang kreator motif batik. Dia memerintah pada masa penuh guncangan pasca perjanjian Giyanti (1755). Seluruh pusaka dan batik kraton telah dibawa ke Jogja oleh Pangeran
11
Mangkubumi. Dimulailah perang dingin itu. Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja. Batik Solo motif krambil sesungkil dan slobok yang dipakai para isteri bangsawan untuk melayat, di Jogja dipakai untuk para punakawan dalam kisah pewayangan. Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif kawung yang dipakai untuk melayat, di Solo dipakai oleh para punakawan. Benar-benar ejekan yang sangat menghina pada waktu itu.
Antara lain, hal seperti itulah yang membuat Paku Buwono III terguncang, kata Winarso Kalinggo. Untuk meredam guncangan tersebut ia mencari ilham. Ia melakukan teteki dengan cara kungkum (berendam) di Kali Kabanaran. Lokasi ini persis di dekat makam Ki Ageng Henis. Hal itu dia lakukan pada malam hari dan hanya ditemani oleh penerangan dari teplok. Waktu dini hari, hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Profil hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya teplok itulah yang kemudian hari menjadi motif udan riris. Periode Paku Buwono IV (bertahta 17881820 M) adalah periode kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Sebelum PB IV, batik dijadikan alat untuk menjalankan kekuasaan maka pada masa PB IV banyak motif batik yang lahir dari rakyat biasa. Mitos pun bermunculan. Antara lain adalah kisah batik yang digunakan sebagai pembungkus atau popok bayi (kopohan). Kopohan adalah batik yang digunakan oleh satu keluarga batih secara turuntemurun. Kopohan digunakan sesekali saja, sebagai pembungkus bayi saat bayi baru lahir. Kemudian dicuci hanya oleh pihak keluarga. Setelah itu lalu disimpan di lemari dengan wewangian dari akar lara setu. Kain tersebut baru boleh dikeluarkan dari lemari sebagai suwuk (terapi magis) bagi si bayi di saat sakit. Mitos akan motif batik yang terbaru adalah mitos motif kembang bangah. Kembang bangah diciptakan oleh Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro (Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Orang Jawa Sejati, penulis Roestopo ). Batik kembang bangah adalah ungkapan protes terhadap keadaan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata, melainkan pada
12
kapitalisme. Kembang bangah adalah bunga bangkai yang berkelopak indah tapi baunya sangat busuk. Persis seperti gambaran saat itu. Bagi kebanyakan orang, kembang bangah adalah ramalan tentang ontran-ontran (kerusuhan) yang terjadi di tahun 1992. Mulai dari rusuh sebelum Pemilu sampai pada aksi para buruh di Tyfountex Solo.
13
2.6 Observasi di Keraton Solo Selama tahun 1680 1745, Keraton Kartasura Hadiningrat menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah. Tapi karena keraton hancur, sejak tanggal 17 Februari 1745, Susuhunan Pakubuwono II dan keluarganya pindah ke keraton baru yang berlokasi di sebuah desa di tepi Sungai Bengawan bernama desa Solo. Keraton itu diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat, yang dibangun antara tahun 1743 1746. Secara harafiah Suro berarti gagah berani, Karto makmur, Hadi besar, dan Rat berarti negara. Jadi Surakarta Hadiningrat dapat diartikan sebagai Negara Besar yang Gagah Berani dan Makmur. Keraton, seperti halnya Keraton Surakarta Hadiningrat, adalah sebuah tempat yang mempunyai makna spiritual yang tinggi. Menurut kepercayaan tradisonal Jawa, angka 7 merupakan angka yang sempurna. Itulah kenapa Candi Borobudur misalnya, mempunyai 7 tangga dan 7 gerbang. Begitu juga dengan Keraton Surakarta Hadiningrat yang mempunyai 7 pelataran dan 7 gerbang. Tujuh pelataran yang ada di Keraton Surakarta Hadiningrat adalah: 1. Pamuraan Njawi 2. Pamuraan Nglebet 3. Alun-alun Lor 4. Siti Hinggil 5. Kemandungan 6. Sri Manganti 7. Plataran
14
Dan tujuh gerbangnya adalah: 1. Gladag 2. Gapuro Pamuraan 3. Kori Wijil 4. Kori Brojonolo 5. Kori Kamandungan 6. Kori Mangun 7. Kori Mangarti
2.6.1. Tata Ruang, Arsitektur, dan Maknanya Kalau kita perhatikan, ada banyak kesamaan antara Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Keduanya memiliki tembok tebal yang mengelilingi jalan kecil dan halaman di dalam keraton. Mereka juga mempunyai dua buah lapangan besar, sebuah masjid, dan komplek kediaman keraton sebagai pusatnya. Perbedaan yang paling mendasar dari keduanya adalah bahwa Surakarta tidak mempunyai jalan besar (utara dan selatan) yang biasa dilalui oleh arak-arakan. Apabila kita memasuki komplek Keraton Surakarta dari bagian depan keraton, kita akan sampai di Alun-alun Utara. Di tengah Alun-alun, ada dua pohon beringin yang melambangkan perlindungan dan keadilan. Di situ kita juga bisa menemukan Bangsal Sasono Semowo atau Pagelaran yang letaknya menghadap ke Alun-alun. Di masa lalu bangsal ini digunakan sebagai tempat Susuhunan atau raja mengirim dan menerima pesan dari para pemegang pemerintahannya, yang dibacakan oleh Patih (Perdana Menteri). Terus ke arah selatan, kita akan sampai di Siti Hinggil (tanah tinggi), tempat dimulainya upacara Garebeg. Garabeg adalah sebuah upacara besar yang dilangsungkan 3 kali setahun pada hari-hari raya Islam, yaitu Maulud pada tanggal 12 Rabiulawal, Puasa, tanggal 1 Syawal, dan Besar, tanggal 10 Zulhijah. Melewati gerbang utama yang bernama Kori Brojonolo, kita akan sampai di pelataran Baluwerti. Kori Brojonolo didirikan pada zaman Susuhunan Pakubuwono III, bersamaan dengan dibangunnya tembok Baluwerti, yang
15
awalnya hanya terbuat dari bambu. Secara harafiah, Brojo berarti senjata tajam, dan Nolo berarti hati. Maksudnya adalah ketika memasuki Baluwerti (Cepuri Keraton), hendaknya kita menggunakan ketajaman hati, atau Landeping Rasa . Sebelum kita melangkah melewati pintu gerbang, di sebelah kiri dan kanan kita akan melihat dua buah bangsal kecil yang bernama Bangsal Brojonolo (semacam pos jaga yang terletak di kiri dan kanan gerbang. Satu untuk golongan Keparak Kiwo, dan satu lagi untuk golongan Keparak Tengen). Di sebelah dalam Kori Brojonolo, juga ada dua bangsal kecil bernama Bangsal Wisomarto, yang juga berfungsi sebagai pos jaga bagi golongan keparak Kiwo dan Keparak Tengen. Secara harafiah Wiso berarti bisa/racun, dan Marto berarti penawar. Maksudnya adalah, segala niat buruk hendaknya kita tinggalkan atau menjadi luluh ketika kita menuju Keraton. Terus ke arah selatan, kita akan sampai di pintu gerbang Kori Kamandungan. Di situ ada sebuah cermin besar. Di situ pula lah hendaknya kita Bercermin, apakah wujud beserta pakaian kita telah cukup rapi, sehingga kita memang pantas untuk masuk ke dalam Keraton. Ketika itu jugalah kita diharapkan menginstrospeksi diri, apa sebenarnya kekurangan kita selama ini. Setelah kita Bercermin, dan kemudian melanjutkan perjalanan kita, maka kita akan sampai di Pelataran Baluwerti atau Pelataran Kemandungan. Di sini kita akan menemukan bangunan-bangunan Jawa berbentuk limasan yang dulu digunakan antara lain sebagai tempat para bupati menghadap raja, dan tempat pelantikan para perwira atau opsir. Salah satu yang menarik adalah sebuah panggung bersisi delapan yang bernama Panggung Songgobuwono, Sebagian orang percaya bahwa tempat ini digunakan oleh Sri Susuhunan melanjutkan tradisi para pendahulunya untuk bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Pantai Selatan). Hal ini paling tidak dilakukan pada saat perayaan hari penobatan/ pengangkatan beliau sebagai raja. Kalau kita terus berjalan ke arah selatan, kita akan sampai di pintu gerbang Kori Sri Manganti. Atap Kori Sri Manganti berbentuk Semar Tinandu, dan di atas pintu terdapat lukisan lambang kerajaan Jawa, Sri Makuta Raja, sedangkan di sebelah kanan-kiri pintu terdapat lukisan Kapas Pari yang melambangkan
16
kemakmuran. Sebelum memasuki Kori Sri Manganti, kita juga akan melihat sebuah cermin besar, dan sekali lagi kita dimohon agar mau mengoreksi lahir maupun batin kita. Setelah Bercermin, baru kita masuk ke Keraton. Hal ini juga dilakukan bagi mereka yang ingin menghadap Sri Susuhunan. Di luar maupun di dalam pintu terdapat bangsal bernama Bangsal Sri Manganti. Secara harafiah Sri berarti raja, dan Manganti berarti menanti/menunggu. Di sinilah tempat orang menunggu sebelum diperkenankan masuk ke Keraton, atau ketika ingin menghadap Sri Susuhunan. Sri Susuhunan juga menggunakan tempat ini untuk menunggu bila ada tamu atau raja lain yang ingin bertemu beliau. Akhirnya, sampailah kita di Pelataran Keraton, bagian utama Keraton. Dari timur ke barat, kita akan melihat beberapa bangunan Kedaton Jawa. Salah satunya adalah Maligi, sebuah bangunan Jawa berbentuk limasan jubang, tidak berserambi, bertiang delapan, yang didirikan di tahun 1882. Tempat ini digunakan untuk mengitankan putera Sri Susuhunan. Berdasarkan falsafah Jawa, seorang ibu yang hendak melahirkan anaknya, harus berbaring dengan kepala di barat Mujur Ngulon, sehingga sang anak akan lahir menghadap timur dimana matahari terbit. Itulah kenapa upacara khitanan dilakukan pagi hari, saat matahari terbit, dan yang dikhitan pun duduk menghadap timur. Di tengah-tengah Pelataran Keraton, terdapat sebuah pendopo besar berbentuk joglo pengrawit dengan serambi, yang disebut Sasono Sewoko. Secara harafiah Sasono berarti tempat, dan Sewoko berarti menghadap ke satu arah, Tuhan Yang Maha Esa. Pendopo Agung Sasono Sewoko dipakai Sri Susuhunan untuk bersemedi (meditasi), mengheningkan cipta, memohon kesejahteraan bagi seisi Keraton. Tempat ini juga digunakan untuk Sri Susuhunan bertemu atau bertatap muka dengan keluarganya, abdi dalem, bahkan rakyatnya. Bangunan lain yang berada di komplek Keraton ini adalah Sasono Handorowino, tempat Sri Susuhunan menerima para tamu, dan makan bersama kembul bujono. Awalnya orang menyebut tempat ini Pendopo Ijo, karena dahulu bercat hijau.
17
Satu bangunan yang juga menarik untuk dikunjungi adalah apa yang disebut dengan Pringgitan, sebuah pendopo kecil yang dipakai untuk pertunjukan wayang kulit. Sekarang kita tinggalkan Keraton, dan terus melangkah ke selatan. Kita akan sampai di Magangan, sebuah halaman yang biasa dilewati oleh para petinggi Keraton menuju tempat suci (tempat bermeditasi). Di sana ada sebuah paviliun yang digunakan oleh putri bermeditasi. Dari sini, kita melangkah terus selatan. Sampailah kita di gerbang Kori Brojonolo, pintu masuk ke Siti Hinggil Selatan. Keluar dari Siti Hinggil Selatan, kita sampai di Alun-alun Selatan. Alun-alun bisa dibilang sebagai suatu tempat atau ajang pertempuran, dimana setiap musuh yang datang diserang dari sini. Jalan yang mengelilingi Alun-alun disebut Supit Urang (supit berarti penjepit; dan urang berarti udang), yang melambangkan taktik untuk mengalahkan para pengacau atau penyelundup. Beberapa pasukan prajurit disiapkan di Pagelaran. Di sinilah taktik pertempuran diputuskan. Sementara itu pasukan cadangan disiapkan di Pelataran Kemandungan, dan untuk tempat beristirahat, mereka menggunakan Pelataran Sri Manganti.
18
BAB III : Penutup 3.1 Simpulan Bahwa kerajinan batik di solo sudah sangat terkenal di seluruh Indonesia karena kaya akan motif ,corak,dan warna yang mengandung unsur simbolis baik dengan proses secara manual atau modern seperti:batik cap dan batik printing. Seni batik banyak di sukai di berbagai Negara terutama sudah dalam bentuk pakaian sehingga pengerajin batik di solo bisa terus berproduksi dan bisa menjadi mata pencarian bagi pengerajin batik di solo. Kegiatan Tengah Semester di tempat-tempat di solo adalah kegiatan yang sangat positif dan bermanfaat yang dapat dicontoh dan dikembangkan di kemudian hari.
3.2 Saran Kegiatan Tengah Semester yang akan datang sebaiknya diadakan kegiatan serupa, yang membuka wawasan baru, berguna,dan positif.
19
LAMPIRAN
20
21
22
23