Anda di halaman 1dari 3

GEPENG, ANJAL DAN YAYASAN SOSIAL Oleh Tasroh *) Selama ramadan, salah satu pemandangan yang jamak terjadi

di banyak sudut kota Purwokerto, Banyumas adalah maraknya gelandangan, anak jalanan dan pengemis. Data Bakesbangtiblinmas Kab. Banyumas sejak awal ramadan, tercatat per hari muncul gepeng dan anak jalanan tak kurang dari 30 - 50 orang. Mereka datang dari pelosok kampung dari wilayah Banyumas hingga luar daerah. Diakui atau tidak, selain minimnya peluang kerja, ada sebab lain yang lebih fundamental terkait fenomena kian maraknya gepeng dan anjal ini yakni perlakuan masyarakat yang keliru terhadap gepeng dan anjal. Sadar atau tidak, selama ini masyarakat terjebak oleh rasa iba dan belas kasihan menyaksikan mereka sebagai manusia normal keleleran, kurus kering seperti kucing kepanasan. Banyak juga masyarakat yang akhirnya terjebak sekedar memberi uang recehan kepada mereka tanpa reserve. Memang memberi uang recehan demikian tak memberatkan para dermawan, tetapi di pihak lain, sadar atau tidak belas kasihan sebagian masyarakat kepada gepeng justru telah banyak menjerumuskan mereka dari kubangan kemelaratan akut. Di lain pihak, bahkan, rasa kasihan itu kemudian selalu dijadikan senjata bagi gepeng dan anjal untuk memperoleh uang. Tak mengherankan, jika gepeng dan anjal juga dijadikan "komoditas kasihan" oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan. Jamak dijumpai, di perempatan jalan besar atau di sepanjang jalan menuju tempat ibadah, banyak 'ibu-ibu' yang meminta-minta sembari menggendong anak dengan wajah yang memelas dan ngenes. Sebuah riset dari LPM Unsoed (2011) baru-baru ini menemukan fakta bahwa tak semua gepeng dan gelandangan demikian sial nasibnya. Karena banyak dari mereka yang justru pemain lama yang telah menjadikan gepeng dan gelandangan sebagai sindikat. Lebih tragis lagi, anak-anak itu dikelola oleh suatu koordinator (mafia/ sindikat) yang berniat mengeruk pendapatan dari hasil meminta-minta para anak jalanan. Bila dilihat dari pendapatan mereka mengemis, dalam sehari para gepeng dan anjal bisa memperoleh uang sekitar Rp50 ribu - Rp100 ribu. Artinya, dalam sebulan mereka bisa memperoleh uang sekitar Rp 1,5 juta. Jumlah yang cukup besar tentunya tanpa harus bekerja keras. Tidak heran jika mereka memilih untuk tetap di jalanan. Uang tersebut biasanya mereka berikan kepada orang tuanya (jika masih ada), koordinator, atau untuk diri mereka sendiri. Tetapi, ada beberapa anak yang menggunakannya, selain untuk menyambung hidup, juga untuk biaya sekolah. Namun parahnya, ada di antara mereka yang memanfaatkan sebagian besar uang tersebut untuk berjudi, mabuk, merokok, bahkan membeli narkoba. Memang, banyak usaha telah dilakukan untuk membantu mengeluarkan mereka dari kehidupan jalanan. Banyak pihak dan yayasan berusaha menolong mereka dengan menyediakan sekolah gratis, makan gratis, dan rumah singgah. Banyak pula peraturan dibuat oleh pemerintah daerah Banyumas untuk mengatur keberadaan anjal. Namun kenyataannya, mereka tetap saja kembali ke jalanan. Aneka upaya suci

mengangkat harkat gepeng dan anjal pun bertepuk sebelah tangan. Apa sebabnya? Mengapa hal itu bisa terjadi? Pemberdayaan yayasan Sosial Di Banyumas terdapat lebih dari 25 yayasan sosial dan panti-panti asuhan baik milik pemerintah ataupun milik swasta (dibawah yayasan NU, Muhammadiyah dan Al-Irsyad). Namun peran yayasan sosial dan panti asuhan itu kini kian merana lantaran subsidi pemerintah (baik lewat lembaga vertikal dari dana APBN ataupun lembaga horisontal, pemda dan lembawa swasta lainnyared), belum menampakkan makna yang jelas dan terorganisir secara profesional. Jika dicermati, beberapa usaha tersebut terkendala akibat sikap easy money (mudahnya memberi uang) di antara kita. Faktanya, meski telah dibina di rumah singgah dengan diberikan bimbingan pendidikan, keterampilan, dan pemberian kesempatan kerja, beberapa anjal yang telah keluar dari rumah singgah itu ternyata hanya bisa bertahan di luar beberapa bulan saja. Demikian pula bagi para gepeng dan anjal yang disekolahkan atau yang biaya hidupnya ditanggung, mereka banyak yang kembali ke jalanan. Kenapa demikian? Konon, mereka merasa lebih mudah memperoleh uang di jalanan ketimbang harus bekerja atau kembali ke sekolah. Apa artinya, bahwa memberikan uang secara cuma-cuma kepada pengemis dan anak jalanan, akan berdampak sangat serius bagi nasib mereka. Karena, secara tidak langsung, dengan uang pemberian tersebut, malah akan menginvestasikan sifat dan kondisi kemalasan, kebodohan, tingkat kriminalitas, dan masa depan suram bagi para PMKS. Sebagai solusi terkait masalah PMKS ini, yang paling urgen bisa dilakukan adalah berusaha berhenti memberi mereka uang secara cuma-cuma. Dengan berhenti memberi uang, berarti ikut menjadi relawan pasif dalam usaha pemulihan hak asasi anak. Diakui, ada rasa kasihan melihat mereka, namun memberi uang secara terus-menerus tidak menyelesaikan permasalahan. Bila mereka tidak lagi diberi uang, diharapkan bisa membantu masa depan mereka menjadi lebih baik. Asumsinya, dana sumbangan atau bantuan itu disumbangkan dan dikelola oleh yayasan-yayasan sosial. Sehingga, uang bantuan tersebut akan berjalan dengan lebih terorganisir, digunakan untuk memberikan kepastian masa depan para gepeng dan anjal agar lebih terjamin. Dalam konteks mengelola dan memanfaatkan uang bantuan (subsidi negara) jika disalurkan secara tepat, tentu bisa menjelmakan sebuah wujud konkrit dan berguna dalam jangka panjang. Setidaknya ada empat langkah yang mendesak dilakukan yayasan dan organisasi sosial itu untuk membantu meringankan beban hidup gepeng dan anjal sekaligus secara perlahan mencegah mereka terjun bebas lagi menjadi gepeng-anjal yaitu: Pertama, tanpa henti melakukan pendidikan ketramilan (sof skill) berupa pendampingan aneka ketrampilan hidup secara rutin dan terukur. Perlakuan keluarga dan lingkungan yang tidak ramah menyebabkan pengemis dan anak jalanan terkadang merasa tersingkirkan dan tidak dikasihi, hidup jauh dari ketrampilan hidup. Dalam hal ini, uang bantuan tersebut dapat dialokasikan untuk mendampingi mereka dalam proses pemulihan kepercayaan dirinya atas "luka masa lalu" mereka melalui pelatihan soft skill sesuai bakat mereka. Pemda dapat menggandeng lembaga pendidikan-ketrampilan di Banyumas yang kini jumlahnya sudah mencapai lebih dari 53 buah. Itung-itung juga menggugah

lembaga ketrampilan mengembangkan sayap sosialnya untuk turut memecahkan masalah sosial ini. Kedua, bantuan pendidikan langsung. Gepeng dan anjal dibantu dalam kegiatan belajar, memberikan efek kesempatan bersekolah lagi dengan beasiswa dari bantuan yang terkumpul. Dana beasiswa digunakan untuk berbagai kegiatan pendidikan bagi mereka. Ketiga, bantuan kesehatan yang ditujukan untuk mengatasi masalah kesehatan gepeng dan anjal dengan memberdayakan sarana kesehatan mulai dari puskesmas, poliklinik dan bahkan rumah sakit. Untuk keperluan ini, pemda harus menghidupkan kembali kebijakan bantuan kesehatan masyarakat miskin yang sempat alpa pada periode lalu. Keempat, bantuan pangan. Kian melambungnya harga sembako membuat rakyat miskin-marginal tak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hal ini, uang tersebut dapat kita konversikan dalam bentuk bantuan pangan. Penulis meyakini bahwa hakikatnya siapa pun tak mau menjadikan diri dan keluarganya hidup mlarat terlunta-lunta, termasuk para gepeng dan anjal itu. Karenanya, untuk mengembalikan harkat dan harga diri mereka, gepeng dan anjal membutuhkan pencerahan baru dari berbagai pihak, terutama dari pihakpihak yang langsung bertugas memberdayakan mereka, yakni keberadaan yayasan sosial dan pemda. Dengan kerjasama dan koordinasi yang baik antara pihak-pihak ini, diharapkan gepeng dan anjal kian berkurang kini dan nanti. Nah, di bulan Ramadan-lebaran dimana menjadi momentum perkembangbiakkan gepeng dan anjal justru semestinya menjadikan kerja sosial lembaga sosial yang ada kian kreatif melahirkan strategi baru mengatasi masalah sosial, dan bukan malah justru bergabung dengan Satpol PP yang sekedar mengusir mereka untuk pergi dari Purwokerto/Banyumas tanpa solusi yang berkelanjutan. Ingat, mereka juga sama seperti manusia normal, hanya karena keadaan mereka membuat mereka terpaksa bertindak seperti hewan! Kasihan mereka! *** (Tasroh, S.S.,MPA,.MSc; Pegiat Banyumas Policy watch dari Purwokerto dan Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan)

Anda mungkin juga menyukai