Anda di halaman 1dari 36

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Eksploitasi suatu cadangan minyak dan gas bumi yang relatif terbatas di perairan lepas pantai yang dalam. Pada saat itu kondisi harga minyak bumi yang terus melambung mencapai di atas 100 Dolar Amerika setiap barel pada tahun 2004 dan awal tahun 2009 harga minyak turun menjadi 45 dolar Amerika dan konsumsi minyak bumi yang terus meningkat karena dampak meningkatnya perkembangan dan populasi manusia. Sehingga untuk membuat operasional suatu anjungan terpancang (fixed platform) menjadi tidak ekonomis apabila dibandingkan dengan anjungan terapung (floating platform) yang dapat dengan mudah berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Shuttle tanker adalah fasilitas terapung yang dipasang di sekitar ladang minyak dan gas bumi lepas pantai yang fungsinya untuk menerima, menyimpan dan menyalurkan atau mengirim minyak dan gas bumi. Pemilihan jenis shuttle tanker didasarkan pada kemudahannya dalam berpindah tempat (mobile platform), sehingga sangat menguntungkan secara ekonomis bila ditempatkan pada daerah marginal atau pada daerah yang sumber minyak dan gas buminya berada pada lokasi yang berpencar.

Gerakan (motion) yang terjadi pada shuttle tanker saat melakukan operasinya (Storage atau off-loading) disebabkan oleh beban lingkungan (arus, gelombang, dan angin). Untuk menjaga shuttle tanker agar tetap pada posisinya, maka dibutuhkan sistem tambat (mooring system) yang berguna sebagai pengikat shuttle tanker. Motion dari shuttle tanker menyebabkan adanya gaya yang bekerja (tension force, restoring force dan damping) pada sistem tambat (mooring system). Gaya-gaya yang terjadi pada sistem tambat (mooring system) bergantung pada karateristik motion shuttle tanker, begitu juga sebaliknya. Hal ini merupakan suatu alasan untuk melakukan analisa operabilitas dan keselamatan sistem dapat tetap terjaga. Dalam beroperasi di
1

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

lepas pantai shuttle tanker membutuhkan sistem tambat untuk pengambilan minyak dari sumur pengeboran disalurkan ke shuttle tanker dan kemudian di transmisikan ke darat. Salah satu sistem tambat yang bisa digunakan shuttle tanker adalah single buoy mooring (SBM). Single buoy mooring (SBM) dapat menjaga posisi dari shuttle tanker pada saat beroperasi dari beban lingkungan yang terjadi. Sehingga single buoy mooring (SBM) merupakan salah satu fasilitas yang penting untuk menjaga shuttle tanker dalam keadaan pada posisinya. Karena single buoy mooring (SBM) terdiri dari beberapa konfigurasi dari mooring yang menjaga posisi dari buoy itu sendiri.

Operabilitas dari bangunan lepas pantai (offshore structure) tergantung dari bebanbeban lingkungan yang terjadi pada struktur tersebut. Cara pengukuran kemampuan untuk bekerja di suatu kondisi lingkungan dengan membandingkan waktu kerja dengan total waktu dan merupakan peluang bahwa pekerja dapat diselesaikan (limited condition). Pengukuran ini merupakan pengukuran produktivitas system offshore dengan hanya melihat cuaca sehingga dilakukan perbandingan dari sistem yang berbeda.

Dalam tugas ini akan dilakukan perhitungan analisa kekuatan single buoy mooring (SBM). Dimana yang menjadi fokus dalam tugas ini adalah gerakan dinamis saat proses tandem, analisa kekuatan mooring akibat accident limit state (ALS) dan ultimate limit state (ULS), serta analisa dimensi chain dari mooring.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam laporan tugas ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana menentukan dimensi chain yang terbaik untuk singlr buoy mooring

(SBM) kapal shuttle tanker ini?


2. Bagaimana analisa dinamis proses tandem direct conection bow?

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

3. Bagaimana kondisi mooring dalam kondisi ultimate limit state (ULS) dan accidental limit state (ALS)?

1.3 Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai dari tugas olah gerak bangun apung ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menentukan dimensi chain yang terbaik untuk singlr buoy mooring (SBM)

kapal shuttle tanker ini.


2. Untuk mengetahui analisa dinamis proses tandem direct conection bow.

3. Untuk mengetahui kondisi mooring dalam kondisi ultimate limit state (ULS) dan accidental limit state (ALS).

1.4 Manfaat Manfaat yang ingin dicapai dalam tugas olah gerak bangun apaung ini adalah pemahaman yang lebih mendalam dalam analisa mooring line dalam berbagai, serta pemahaman penggunaan software yang berhubungan dengan bangunan apung.

1.5 Sistematika penulisan Sistematika penulisan laporan tugas olah gerak bangun apung (OGBA) ini dimulai dengan bab satu yang berisi pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang penelitian yang akan dilakukan, perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai dalam tugas ini, manfaat yang diperoleh, batasan masalah dan sistematika penulisan laporan.

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Dasar teori dan tinjauan pustaka yang menjadi sumber referensi dalam tugas akhir ini dibahas dalam bab dua. Secara rinci bab dua ini berisikan dasar-dasar teori, rumusrumus dan code yang digunakan dalam penelitian tugas akhir. Bab tiga pada penulisan laporan tugas ini menjelaskan metodologi penelitian yang digunakan untuk mengerjakan tugas akhir. Penjelasan tentang langkah-langkah yang ada dan data-data yang digunakan dalam pembuatan tugas. Analisa penulisan dalam tugas ini akan dibahas dan diterangkan pada bab empat. Bab ini akan membahas pengolahan data hasil dari perhitungan hingga menghasilkan kesimpulan yang menjadi tujuan dari tugas akhir. Dimana kesimpulan beserta saran yang diperlukan untuk penelitian lebih lanjut dari tugas ini akan diterangkan pada bab lima.

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Pembebanan Dalam proses perancangan struktur lepas pantai (offshore structure), penentuan kemampuan kerja struktur dipengaruhi oleh beban yang bekerja pada struktur tersebut. Perancang harus menentukan akurasi beban yang dipakai dalam perancangan offshore structure terlebih dahulu. Beban-beban yang harus dipertimbangkan oleh perancang dalam perancangan offshore stucture adalah sebagai berikut:
1. Beban mati (dead load).

Beban mati adalah beban dari semua komponen kering serta peralatan, perlengkapan dan permesinan yang tidak berubah dari mode operasi pada struktur, meliputi: berat struktur,berat peralatan dan berat permesinan yang digunakan dalam proses pengeboran ketika sedang tidak dioperasikan.
2. Beban Hidup (live load).

Beban hidup adalah beban yang yang terjadi pada struktur selama digunakan/berfungsi dan tidak berubah dari mode operasi ke mode operasi lain. Contoh yang termasuk dalam beban hidup ini adalah beban yang diakibatkan oleh pengoperasian mesin atau peralatan lainnya pada suatu struktur dengan operasi struktur tersebut termasuk beban pengopesian crane. 3. Beban akibat kecelakaan (accidental load).

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Beban kecelakaan merupakan beban yang tidak dapat diduga sebelumnya yang terjadi pada struktur, misalnya tabrakan dengan kapal pemandu operasi, putusnya tali tambat (mooring) dan kebakaran. 4. Beban lingkungan (environmental load). Beban lingkungan adalah beban yang terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dimana suatu struktur lepas pantai dioperasikan atau bekerja. Beban lingkungan yang digunakan dalam perancangan adalah beban angin, arus dan gelombang.

2.1.2 Beban Angin Beban angin merupakan beban dinamis, tetapi beberapa struktur akan meresponnya pada model statis yang paling mendekati. Dalam perancangan sebuah offshore structure pada umumya, perhitungan beban angin disyaratkan untuk didasarkan pada besarnya kecepatan ekstrim dengan waktu pengulangan 50 atau 100 tahun. 2.1.3 Beban Arus Beban arus merupakan salah satu beban lingkungan yang memberikan gaya terhadap offshore structure. Arus akibat pasang surut memiliki kecepatan yang semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman sesuai fungsi non-linier. Sedangkan arus yang disebabkan oleh angin memiliki karakter yang sama, tetapi dalam fungsi linier. 2.1.4 Steady Drift Force Perhitungan beban gelombang pada offshore structure merupakan salah satu tahapan utama yang sulit dalam proses perancangan karena adanya kompleks aspek interaksi antara gelombang dengan struktur. Selain itu, beban gelombang merupakan beban yang terbesar yang ditimbulkan oleh beban lingkungan pada offshore structure (Indiyono 2003). Menurut API RP 2P 2nd edition (1987), terdapat tiga jenis gelombang yang berkaitan denga desain mooring system, yaitu: 1. Steady state mean drift force. 2. Respon surge, sway dan yaw pada periode predominan dari gelombang. 3. Osilasi drift force pada periode natural dari sistem massa/spring mooring.
6

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Steady state mean drift adalah tipe gelombang yang lebih yang lebih dibanding gaya gelombang yang membangkitkan respon surge dan sway. Bagaimanapun, drift force tetap memberikan kontribusi yang signifikan pada total gaya lingkungan yang bekerja.

2.1.5 Gaya Gelombang Syarat pemilihan teori untuk perhitungan gaya gelombang didasarkan pada perbandingan antara diameter struktur (D) dengan panjang gelombang () sebagai berikut: D/ > 1 valid. D/ > 0.2 valid. D/ < 0.2 = Persamaan Morison valid. Berikut adalah teori yang digunakan pada perhitungan gaya gelombang, yaitu (Indiyono 2003): 1. Teori Morisson. Persamaanm Morisson mengasumsikan bahwa gelombang terdiri dari komponen gaya inersia dan drag (hambatan) yang dijumlahkan secara linier. Persamaa Morisson lebih tepat diterapkan pada kasus struktur dimana gaya drag merupakan komponen yang dominan. Hal ini biasanya dijumpai pada struktur yang ukurannya (D) relatif kecil dibanding dengan panjang gelombangnya (). 2. Teori Froude-krylov. Froude-Krylov digunakan apabila gaya hambatan relatif kecil dan gaya inersia dianggap lebih berpengaruh, dimana struktur dianggap kecil. Teoriini mengadopsi metode tekanan gelombang incident dan bidang tekanan pada permukaan struktur. Keuntungan dari teori ini adalah untuk struktur yang simetris, perhitungan gaya dapat dilakukan dengan persamaan terangkai (closed-form) dan koefisien-koefisien gayanya sudah ditentukan. = Difraksi gelombang perlu diperhitungkan, persamaan Morison tidak = Gelombang mendekati pemantulan murni, persamaan Morison tidak

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

3. Teori Difraksi. Apabila suatu struktur mempunyai ukuran yang relatif besar, yakni memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan panjang gelombang, maka keberadaan sruktur ini akan mempengaruhi timbulnya perubahan arah pada medan gelombang disekitarnya. Dalam hal ini difraksi gelombang dari permukaan struktur harus dipertimbangkan dalam evaluasi gaya gelombang. Teori perhitungan gaya gelombang yang tepat untuk analisa mooring pada FPSOadalah teori difraksi. Dimana persamaan Navier-Stokes merupakan persamaan yang sering digunakan pada permasalahan difraksi dan teori gelombang yangdigunakan gelombang linier (airy). Gaya gelombang difraksi mempuyai efek yang signifikan terhadap floating structure diperairan laut dalam. 2.2 Teori Gerak Kapal Akibat Eksitasi Gelombang. Pada dasarnya benda yang mengapung mempunyai 6 mode gerakan bebas (SDOF-six degree of freedom) yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 3 mode gerakan translasional dan 3 mode gerakan rotasional. Berikut adalah keenam mode gerakan tersebut: 1. Mode gerakan translasional. Surge, gerakan transversal arah sumbu x Sway, gerakan transversal arah sumbu y. Heave, gerakan transversal arah sumbu z. 2. Mode gerak rotasional. Roll,gerakan rotasional arah sumbu x. Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y. Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z.

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 1. Six degree of freedom (SDOF) pada FPSO 2.3 Gerak Kapal di Atas Gelombang Acak Gerakan kapal di atas gelombang acak dapat dilakukan dengan mentransformasikan spektrum gelombang menjadi spektrum gerakan kapal. Hal ini dapat dilakukan dengan spektrum mengkalikan harga pangkat dua dari response amplitude operator (RAO) dan mode gerakan tertentu dengan ordinatspektrum gelombang, pada frekuensi yang sama. Pendekatan yang diusulkan oleh St. Denis dan Pierson ini valid bila harga RAO merupakan normalisasi amplitudo gerakan dengan amplitudo gelombang. Spektrum gerak kapal merupakan hasil perkalian antara RAO2 dengan spektrum gelombang. Untuk kapal yang kecepatan u maka persamaan spektrum gerakannya (contoh untuk gerakan heave) adalah:

Untuk benda/kapal yang bergerak, frekuensi gelombang yang dialami oleh kapal akan berbeda dengan frekuensi gelombang sebenarnya yang datang. Fenomena ini terjadi karena adanya gerakan relatif dari kapal yang mempunyai kecepatan dengan progresi gelombang. Frekuensi papasan (encounter, frekuensi, e). Hubungan antara e, kecepatan
9

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

kapal U dan frekuensi gelombang insiden, , arah kapal relatif terhadap gelombang, adalah :

Diferensiasi persamaan (2.2) terhadap dapat ditulis sebagai berikut:

Sehingga hubungan interval frekuensi menjadi:

Dengan mengikuti proses ini, maka spektrum gelombang papasan mempunyai hubungan dengan spektrum gelombang insiden sebagai berikut:

Atau:

Setelah spektrum gerakan diperoleh dengan prosedur di atas, maka besaranbesaran seperti amplitudo signifikan gerakan, kecepatan dan percepatan dapat ditentukan dengan menghitung momen spektrum. Dalam perancangan kapal seringkali diperlukan informasi kondisi ekstrem yang akan terjadi bila kapal berjalan di atas gelombang. Untuk masalah ini, Ochi (1973) telah memperkenalkan formulasi stokastik harga ekstrem. Untuk kapal yang bergerak di atas gelombang yang mempunyai karateristik tertentu (spektrumnya tetap), maka gerakan terbesar yang paling terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut:

10

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Dengan n adalah jumlah observasi depresi gerakan. Harga n dapat dihitung dengan mempertimbangkan lamanya (waktu) kapal di atas gelombang tersebut (misalnya T jam) yang perumusannya adalah :

2.4 Respon Struktur Respon pada struktur offshore akibat gelombang reguler dalam setiap frekuensi, dapat diketahui dengan menggunakan metode spectra. Nilai amplitudo pada suatu respon secara umum hampir sama dengan amplitudo gelombang. Bentuk normal suatu respon dari sistem linier tidak berbeda dengan bentuk amplitudo gelombang dalam fungsi frekuensi. Respon amplitude operater (RAO) atau sering disebut transfer function adalah fungsi respon yang terjadi akibat gelombang dalam rentang frekuensi yang mengenai sruktur offshore. RAO disebut sebagai transfer function karena RAO merupakan alat untuk transfer beban luar (gelombang) dalam bentuk respon pada suatu struktur. Bentuk umum dari persamaan RAO dalam fungsi frekuensi (Chakrabarti 1987) adalah sebagai berikut: dengan: () = amlitude gelombang (m) RAO merupakan fungsi respon gerakan dinamis struktur yang disebabkan akibat gelombang dengan rentang frekuensi tertentu. RAO merupakan alat untuk mentransfernya gelombang menjadi respon gerakan dinamis struktur. Menurut Chakrabarti (1987), persamaan RAO dapat dicari dengan rumus sebagai berikut:

dimana: Xp() () = amplitude struktur = amplitude gelombang

2.5 Perhitungan Minimum Panjang Tali Tambat (anchoring line)


11

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Panjang minimum tali tambat (anchoring line) menurut jenis catenary persamaannya adalah sebagai berikut:

Dengan L h hm hc p FH T D = minimum panjang tali tambat (anchoring line) (m) = hm + hc = kedalaman perairan (water depth) (m) = height of fairlead above water level (m) = berat anchoring line yang terapung persatuan panjang (N/m) = gaya horizontal pada anchoring line pada titik akhir (N) = tension in the at the fairlead (N) = safety length resting on the seabed (m)

Safety Length

Untuk anchor lines wire rope 200 -300 m Untuk anchor lines chain 50 -100 m

2.6 JONSWAP (Joint North Sea Wave Observation Project) Hasselman dan kawan-kawan pada tahun 1973, menemukan bahwa gelombang tidak pernah sesuai dengan teori fully developed sea. Karena pada kenyataannya gelombang terbentuk secara tidak linear. Gelombang dan angin terus berinteraksi selama perjalanan menuju tepi pantai. Sehingga kemudian, Hasselman dan kawan-kawan mendapatkan rumusan spektrum sebagai berikut:

12

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Untuk itu, komponen-komponen yang digunakan dalam persamaan spektrum di atas dapat didapatkan dengan rumusan sebagai berikut:

Dimana F adalah nilai dari Fetch (jarak dari awal berhembusnya angin)

Dengan x adalah nilai fetch.

Berikut hasil gambar spektrum dari rumus JONSWAP:

13

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 2. Spektrum Jonswap (sumber: Department of Oceanography , Texas A&M University. Robert H. Stewart, November 15 2006)

2.7 MOSES MOSES adalah suatu program yang dapat digunakan untuk analisis hampir semua bangunan yang akan di launching atau diletakkan di laut. Sebagai contoh dari bangunan laut yang dapat dianalisis di MOSES adalah offshore structure. Salah satu proses yang dapat dianalisa di MOSES adalah saat jacket dipindahkan dari barge untuk didudukkan di dasar laut. Proses inilah yang dinamakan proses launching jacket. Selain proses launching jacket, proses analisis bangunan laut lain yang dapat dihitung menggunakan MOSES adalah proses offloading baik tandem maupun side by side. Begitu juga menghitung tegangan chain dari FPSO dan menghitung RAO dari struktur yang dianalisa.

14

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Berikut adalah contoh hasil permodelan yang menggunakan MOSES:

Gambar 3. Contoh permodelan MOSES Biasanya untuk mempermudah permodelan kapal pada MOSES, banyak engineer yang menggunakan MAXSURF terlebih dahulu. Maksud dari penggunaan MAXSURF adalah untuk mempermudah mendapatkan koordinat yang kemudian dapat dimasukkan dalam command MOSES.

Berikut adalah contoh hasil permodelan yang menggunakan MAXSURF terlebih dahulu:

Gambar 4. Contoh permodelan MAXSURF

2.8

Mooring dan Mooring Analysis

Mooring sistem digunakan pada kapal dan terdiri dari satu atau lebih mooring line. Mooring lines ini biasanya dihubungkan pada bagian depan atau belakang dari kapal. Saat eksplorasi dan produksi minyak dan gas offshore dimulai, kebutuhan akan mooring line yang permanen menjadi penting. Sistem mooring terdiri dari 2 macam, yaitu spread mooring dan single point mooring.

15

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 5. Konfigurasi mooring lines Fungsi dari sistem mooring adalah untuk memaintain floating structure dengan spesifikasi toleransi offset dan konfigurasi riser. Sistem mooring ini memberikan gaya pengembali yang berfungsi sebagai pelawan gaya lingkungan yang mendorong struktur keluar dari koordinat yang sudah ditentukan. Untuk mooring analysis, yang diperhitungkan adalah Mooring Load, Kondisi Lingkungan, dan banyak faktor lain. Sebagai langkah awal untuk mooring analysis ini adalah survey kondisi lingkungan tempat platform akan diinstal, menentukan dimana mooring line akan dipasang di permukaan air laut, menentukan peletakan chain stopper dan akses untuk inspeksi, dihitung nilai excursie dan berat maksimum dari rantai mooring, kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah menghitung kemungkinan terjadinya gesekan yang dapat menyebabkan bending pada struktur. Hasil dari mooring analysis ini nantinya adalah tegangan yang dialami oleh rantai mooring dan berat serta kekuatan rantai. Selain itu, juga akan ditemukan ukuran rantai optimum yang dapat menahan motion dari struktur.

16

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

2.9 Konfigurasi Kapal Saat Offloading Saat melakukan offloading (penyaluran minyak ataupun gas dari satu vessel ke vessel lain), FPSO mempunyai beberapa konfigurasi: 1. Tandem Vessel penyalur minyak atau yang akan disaluri minyak posisinya berada di belakang FPSO. Posisi ini juga terdiri dari 2 macam yaitu tandem direct connection bow (bagian depan FPSO yang berhadapan dengan vessel) ataupun tandem direct connection stern (bagian belakang FPSO yang berhadapan dengan vessel).

Gambar 6. Offloading Tandem FPSO 2. Side by Side Vessel penyalur minyak atau yang akan disaluri minyak posisinya berada di samping FPSO.

Gambar 7. Offloading Side by Side FPSO

2.7 SBM (Single Buoy Mooring)


17

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Adalah buoy yang terpasang dan ditopang oleh jangkar yang digunakan sebagai titik mooring. Maksudnya titik mooring disini adalah bahwa kapal tanker atau FPSO bisa menambatkan kapalnya pada SBM selama proses operasi dan sambil menunggu kapal pengangkut atau pendistribusi minyak atau gas datang mengambil muatan minyak atau gas. Penambatan ini akan terus berlangsung selama proses operasi. (Wikipedia, 2010)

Gambar 8. Single Buoy Mooring

BAB III

18

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

METODOLOGI
Diagram alir (flowchart) tahapan dalam pembuatan tugas ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini: START

Studi Literatur

Modelling of Shuttle Tanker dalam Maxsurf dan Moses 7

Running Model dan analisa dengan MOSES 6.0

Analisa RAO FPSO dan tension tiap Chain Line dan perhitungan SF

Penyususan laporan dan kesimpulan

FINISH Gambar 9. Diagram alir (flowchart) pembuatan tugas

Adapun penjelasan dari gambar diagram alir diatas adalah sebagai berikut:

19

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

1. Studi literatur dilakukan dengan mencari teori konfigurasi kapal dalam kondisi

offloading, teori Jonswap Spektrum, mooring line, teori gerak kapal diatas gelombang, srta pemahaman tentang software moses. Dimana dasar teori yang didapatkan dalam proses studi literatur didapatkan dalam berbagai sumber mulai dari buku dan media elektronik (dalam hal ini internet).
2. Permodelan untuk mendapatkan dimensi awal dari shuttle tanker dilakukan pada

software maxsurf. Setelah didapatka dimensi kapal, permodelan dilanjutkan dengan menggunakan software moses 7. Untuk permodelan tug boat hanya dimodelkan berupa titik dalam moses 7.
3. Setelah mendapatkan permodelan dari moses 7 dilakukan running program.

Untuk mendapatkan RAO dari permodelan running program dilakukan dalam moses 6. 4. Setelah mendapatkan hasil running program dalam moses 6, dilakukan analisa RAO dari shuttle tanker dalam kondisi ULS dan ALS. 5. Setelah dilakukan analisa, maka dilanjutkan dengan penyusuan laporan dan pembuatan kesimpulan.

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN


20

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

4.1 Data inputan dan Konfigurasi Mooring Dalam laporan ini, struktur yang dimooring adalah Shuttle Tanker 75.000 DWT dengan tipe SPM 8 lines. Kami ditugaskan untuk membuat 2 kondisi pembebanan pada mooring dan Shuttle Tanker. Yakni in line dan between line. Analisa yang dilkukan adalah membandingkan perbedaan RAO yang terjadi akibat kondisi in-line dan between line pada ULS dan ALS.

Pada kondisi ULS, mooring line ada 8. Kondisi yang terjadi adalah in-line dan betweenline pada saat operasi dan badai. Jadi pada kondisi ALS kondisi yang terjadi adalah inline dan between-line pada kondisi badai. RAO yang dihasilkan nanti akan menyajikan grafik gerakan surge, heave, roll, pitch, sway. Pada kondisi badai, input beban yang dimasukkan pada command program adalah beban 100 tahunan. Dimana kondisi lingkungan paling ekstrim terjadi 100 tahun sekali.

Pada tugas ini, digunakan mooring lines dengan 70 mm dengan jenis R4-RQ4. Menurut rules vryhof chain anchor, dimensi yang sesuai dengan mooring lines kami adalah sebagai berikut. 515,6 kN untuk breaking load dan memiliki berat sebesar 107 kg/m. Untuk pretension digunakan 10% dari breaking load.

21

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

4.2 Grafik RAO 4.2.1 Grafik RAO Shuttle Tanker Kondisi 100 tahunan

Gambar 10. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 100 tahunan sudut 0o

22

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 11. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 100 tahunan sudut 45o

23

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 12. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 100 tahunan sudut 90o

Gambar 13. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 100 tahunan sudut 135o

24

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 14. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 100 tahunan sudut 180o

Kondisi 1 tahunan

Gambar 15. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 1 tahunan sudut 0o


25

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 16. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 1 tahunan sudut 45o

Gambar 17. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 1 tahunan sudut 90o

26

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 18. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 1 tahunan sudut 135o

Gambar 19. Grafik RAO Shuttle Tanker kondisi 1 tahunan sudut 180o

27

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

4.2.2 Grafik RAO SPM Hasil kalkulasi grafik RAO SPM dalam ms. Excel menunjukkan tidak ada perubahan. Sehingga dalam laporan ini hanya disertakan satu grafik untuk mewakili setiap kondisi operasi. Kondisi 100 tahunan

Gambar 20. Grafik RAO SPM kondisi 100 tahunan

Kondisi 1 tahunan

28

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Gambar 21. Grafik RAO SPM kondisi 1tahunan 4.3 Hasil Analisa Safety Factor Rumus mencari safety factor (SF) adalah Breaking/Tension. Dimana breaking yang digunakan adalah 515, 6 KN dan besar tension didapatkan hasil runing program, yaitu pada bagian magnitude (MAG.)

4.3.1 Safety Factor ULS

In Line Position (1 tahunan) Tabel 1. Tension dan safety factor sudut 180o

Name LINE_ 1 LINE_ 2 LINE_ 3 LINE_ 4 LINE_ 5 LINE_ 6 LINE_ 7 LINE_ 8

FX 37.5 8.56 22.55 39.27 26.01 4.99 34.48 50.61

FY 28.74 35.56 28.33 -3.58 34.87 41.45 33.84 -2.67

FZ 12.24 23.87 32.41 32.84 23.12 11.88 -4.56 -5.41

MX 0 0 0 0 0 0 0 0

MY 0 0 0 0 0 0 0 0

MZ 0 0 0 0 0 0 0 0

MAG. 48.81 43.68 48.6 51.31 49.26 43.4 48.53 50.97

Ten/Br k 0.09 0.08 0.09 0.10 0.10 0.08 0.09 0.10

SF 10.56 11.80 10.61 10.05 10.47 11.88 10.62 10.12

In Line Position (100 tahunan) Tabel 2. Tension dan safety factor sudut 180o

Name LINE_ 1 LINE_ 2 LINE_ 3 LINE_ 4 29

FX 0.82 5.82 5.73 14.05

FY 15.19 18.97 -5.61 15.63

FZ 13.03 0.73 -7.06 71.9

MX 0 0 0 0

MY 0 0 0 0

MZ 0 0 0 0

MAG. 20.03 19.85 10.69 74.91

Ten/Br k 0.04 0.04 0.02 0.15

SF 25.74 25.97 48.23 6.88

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

LINE_ 5 LINE_ 6 LINE_ 7 LINE_ 8

46.42 38.02 -3.28 -7.77

26.06 16.65 5.88 -5.35

58.86 3.55 5.73 18.54

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

79.36 41.66 8.84 20.8

0.15 0.08 0.02 0.04

6.50 12.38 58.33 24.79

Between Line Position (1 tahunan) Tabel 3. Tension dan safety factor sudut 202.5o

Name LINE_ 1 LINE_ 2 LINE_ 3 LINE_ 4 LINE_ 5 LINE_ 6 LINE_ 7 LINE_ 8

FX 33.5 10.26 15.76 36.85 33.34 -7.92 18.09 37.02

FY 16.33 30.12 26.25 6.75 22.95 36.18 30.99 11.36

FZ 15.06 19.93 22.09 20.01 14.39 -9.72 -8.25 -10.6

MX 0 0 0 0 0 0 0 0

MY 0 0 0 0 0 0 0 0

MZ 0 0 0 0 0 0 0 0

MAG. 40.2 37.54 37.75 42.47 42.96 38.29 36.82 40.15

Ten/Br k 0.078 0 0.072 8 0.073 2 0.082 4 0.083 3 0.074 3 0.071 4 0.077 9

SF 12.83 13.73 13.66 12.14 12.00 13.47 14.00 12.84

Between Line Position (100 tahunan) Tabel 4. Tension dan safety factor sudut 202.5o

Name LINE_ 1 LINE_ 2 LINE_ 30

FX 14.69 21.24 -

FY 2.21 -5.63 -7.53

FZ 18.02 5.13 -

MX 0 0 0

MY 0 0 0

MZ 0 0 0

MAG. 23.35 22.56 21.83

Ten/B rk 0.045 3 0.043 8 0.042

SF 22.08 22.85 23.62

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

3 LINE_ 4 LINE_ 5 LINE_ 6 LINE_ 7 LINE_ 8

17.72 14.12 13.22 -23.5 7.55 -2.47 -9.53 32.43 44.19 -9.07 11.08

10.28 32.22 57.74 15.19 -3.85 20.36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36.45 67.53 52.3 12.41 23.31

3 0.070 7 0.131 0 0.101 4 0.024 1 0.045 2

14.15 7.64 9.86 41.55 22.12

4.3.2 Safety Factor ALS Hasil safety factor pada kondisi accidental limit state (ALS) mengasumsikan satu line mengalami kegagalan atau putus. Dalam tabel yang disajikan dibawah ini, nomor line mooring yang tidak terdapat dalam tabel menandakan bahwa line tersebut telah putus atau mengalami kegagalan.

In Line Position Tabel 5. Tension dan safety factor sudut 180o

Name LINE_ 1 LINE_ 2 LINE_ 3 LINE_ 5 LINE_ 6 LINE_ 7 LINE_ 8

FX 39.53 9.26 -31.3 30.11 9.7 38.77 54.44

FY 35.78 44.31 46.15 35.11 -37.7 32.71 1.63

FZ -7.5 15.01 30.25 -42.8 28.15 14.08 -7.97

MX 0 0 0 0 0 0 0

MY 0 0 0 0 0 0 0

MZ 0 0 0 0 0 0 0

MAG. 53.84 47.69 63.44 63.02 48.04 52.65 55.05

Ten/Br k 0.10 0.09 0.12 0.12 0.09 0.10 0.11

SF 9.58 10.81 8.13 8.18 10.73 9.79 9.37

31

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

Dalam tabel 5 terlihat pada arah pembebanan 180o line mooring yang mengalami kegagalan adalah line 4 Between Line Position Tabel 6. Tension dan safety factor sudut 202,5o
Name LINE_ 1 LINE_ 2 LINE_ 3 LINE_ 4 LINE_ 6 LINE_ 7 LINE_ 8 FX 13.44 18.24 -4.65 13.99 16.84 5.83 -4.47 FY 1.03 -7.59 -6.54 14.23 18.38 4.15 11.04 FZ 15.29 4.86 -3.87 46.23 7.2 3.36 17.35 MX 0 0 0 0 0 0 0 MY 0 0 0 0 0 0 0 MZ 0 0 0 0 0 0 0 MAG. 20.39 20.35 8.91 50.35 25.95 7.91 21.04 Ten/Br k 0.04 0.04 0.02 0.10 0.05 0.02 0.04 SF 25.29 25.34 57.87 10.24 19.87 65.18 24.51

Dalam tabel 6 terlihat pada arah pembebanan 202,5o line mooring yang mengalami kegagalan adalah line 5.

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Diameter chain pada single bouy mooring yang digunakan adalah 70 mm dengan breaking load 515,6 KN. Untuk penggunaan diameter 70 mm untuk shuttle tanker Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma 4307.100.022 4307.100.028

32

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

seberat 75000 ton SF yang didapatkan memenuhi semua sehingga chain pada single bouy mooring ini aman digunakan, akan tetapi SF yang dihasilkan begitu besar (>> 1.67) sehingga diameter chain untuk single bouy mooring ini bisa dikurangi untuk mendapatkan konstruksi yang tidak over design. 5.2 Saran Iterasi diameter chain hendaknya dilakukan beberapa kali sehingga didapatkan SF yang mendekati akan tetapi harus lebih besar dari 1,67 sehingga desain chain mooring tersebut merupakan desain yang tidak over design namun aman dari kondisi lingkungannya baik secara ekstrim.

LAMPIRAN

33

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

1. Inline Position Pada Kondisi ULS 1 Tahun Dengan Arah Pembebanan 1800

2. Inline Position Pada Kondisi ULS 100 Tahun Dengan Arah Pembebanan 1800

34

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

3. Between Line Position Pada Kondisi ULS 1 Tahun Dengan Arah Pembebanan

202.50

4. Between Line Position Pada Kondisi ULS 100 Tahun Dengan Arah Pembebanan

202.50

35

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

OLAH GERAK BANGUN APUNG

January, 2011

6. Between Line Position Pada Kondisi ALS Dengan Arah Pembebanan 202.50

36

Angga Santoso Ngr. Gd Santha Dharma

4307.100.022 4307.100.028

Anda mungkin juga menyukai