Mengakhiri Kolusi Dokter Dan Perusahaan Farmasi
Mengakhiri Kolusi Dokter Dan Perusahaan Farmasi
Kolom
Apakah kolusi dokter dan perusahaan farmasi itu riil? Apa bentuknya? Apa akibtanya? Siapa yang dirugikan? Apa sanksinya? Inilah antara lain pertanyaan yang banyak disampaikan konsumen.
etika Anda berobat ke dokter, pasti harapannya adalah kesembuhan. Anda tidak tahu apa penyakit Anda, sebagaimana Anda juga tidak tahu pilihan obat yang tepat untuk kesembuhan Anda. Sehingga Anda datang berobat ke dokter, karena dokterlah yang bisa mendiagnosis penyakit dan memilih obatnya. Dalam hubungan itu Anda menyerahkan sepenuhnya pilihan obat untuk kesembuhan Anda kepada dokter, yang kemudian menuliskan resep. Namun tanpa disadari, begitu Anda datang berobat ke dokter, ada kepentingan lain di luar hubungan Anda dan dokter. Perusahaan-perusahaan farmasi berharap bagaimana agar dokter yang memeriksa Anda meresepkan obat-obatan produksi mereka. Obat yang diresepkan sang dokter kemudian Anda tebus ke apotik. Dan sesaat kemudian Anda terkejut. Ternyata obat yang sangat diperlukan untuk kesembuhan Anda sangatlah mahal, malah bisa di luar perkiraan semula. Dalam keadaan demikian hanya dua pilihan: pembelian obat ditunda atau Anda menebus separohnya. Anda tidak akan tahu mengapa obat yang dibutuhkan itu mahal, sepertihalnya Anda tidak tahu mengapa dokter meresepkan obat yang mahal. Dan kita juga tidak akan pernah tahu apakah jenis dan kualitas obat mahal yang diresepkan dokter berguna atau tidaknya bagi kesembuhan anda. Obat resep dokter ya mahal. Kenapa? Karena obat berasal dari perusahaan farmasi yang punya kepentingan finansial terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya pasien dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Apakah Anda tahu itu? Mungkin menduga-duga. Tetapi perusahaan farmasi sejatinya tidak menginginkan Anda tahu hubungan mutualisma mereka. Anda sakit, ingin sembuh, lalu berobat ke dokter, terus dokter memberi resep obat, Anda tebus ke apotik dan harganya mahal. Kalau ingin sembuh, bagaimanapun Anda harus membelinya. Take it or leave it. Begitulah fenomena di tengah masyarakat yang seolah dijustifikasi. Mahalnya harga obat dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar, tanpa berusaha menggali akar permasalahan dan mencari solusinya. Naifnya lagi, pemikiran ini juga ada pada mereka-mereka yang menerima amanah rakyat untuk mengurus masalah kesehatan di negeri ini. Adanya kolusi dokter dan perusahaan farmasi menjadi penyebab mahalnya harga obat dinegeri ini. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) - Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007). Keadaan ini diakui Prof. Agus Purwa-
vice oriented atau social oriented?. Masalahnya, harga obat tetap tinggi dan kolusi diduga tetap berjalan. Perusahaan farmasi maupun dokter akan selalu menyiasati dengan berbagai cara menghindar dari ketentuan KODEKI maupun Etika Promosi Obat yang notabene tidak memiliki kekuatan hukum apapun, baik sanksi maupun eksekutorialnya. Cara yang lazim dilakukan antara lain melampirkan brosur seminar/temu ilmiah pada lembar transfer bank dan mengalokasikan komisi dokter pada jumlah gaji staf marketing guna menghindari keterlibatan perusahaan secara lansung. Kolusi sebagai tindak pidana korupsi Wantan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) Syahruddin Rasul mengatakan, bahwa korupsi itu terjadi karena power tidak disertai dengan akuntabilitas (Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 01 Maret 2006). Makna akuntabilitas adalah pertanggung jawaban dari seseorang yang diberi amanah untuk melaksanakan tugas kepada pihak yang memberikan amanah. Dokter sebagai tenaga professional memiliki power dan kewenangan untuk memutuskan diagnosis apa yang dia yakini benar, kewenangan memberikan perawatan dan pengobatan atas diagnosis yang telah diputuskan. Mengacu pada model yang dikemukakan Syahruddin Rasul, maka power dan kewenangan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesional harus akuntabel. Seandainya tidak akuntabel atau tidak bisa diaudit keputusan-keputusannya, maka peluang korupsi akan tercipta. Dasar hukum untuk melakukan audit terhadap semua keputusan dokter berupa diagnosis dan tindak lanjutnya tertuang dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Menkes/SK/X/ 1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Menurut regulasi ini, seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, dapat dibuktikan merupakan kata kunci yang memberi peluang untuk dilaksanakannya audit terhadap semua keputusan yang ditetapkan dokter dalam menggunakan power dan kewenangannya itu. Relevan dengan itu, UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa uang, ticket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar. Dengan demikian, kolusi dokter perusahaan farmasi berpotensi untuk dibawa ke ranah korupsi. Konsumen yang merasa dirugikan ulah dokter dan perusahaan farmasi bisa melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Celakanya, hingga saat ini KODEKI dan Etika Promosi Obat belum bisa sepenuhnya mengubah prilaku dokter dan perusahaan farmasi.
* Penulis adalah advokat di Jakarta. Ketua Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Konsumen Indonesia (LABHKI), dan Sekjen Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI). hukumonline.com