Anda di halaman 1dari 41

Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia

Seperti yang sering dialami oleh sejarahwan, mereka selalu mengalami kesulitan dalam menyusun sejarah Indonesia, terutama penulisan sejarah dalam periode abad 16 ke bawah. Minimnya data serta tidak terbiasanya dilakukan pencatatan secara tertulis pada jaman dulu, benar-benar sangat memerlukan penelitian-penelitian yang lebih mendalam. Walaupun ada informasi, namun hanya berwujud secuil info saja, yang harus dikorek dan digali lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar dan lebih jelas. Jika menyusun sejarah Indonesia secara umum saja sudah sedemikian susah, apalagi membuat penelitian sejarah yang lebih spesifik lagi, yaitu mata uang! Ibarat menyusun sebuah "puzzle", bagian ujung sudah terisi, tetapi yang di tengah belum ada. Bagian atas sudah tersusun, tapi yang bawah masih gelap. Perlu waktu bertahun-tahun untuk melengkapi agar suatu tulisan sejarah mata uang ini dapat menjadi suatu kesatuan yang berkesinambungan. Memang ada buku-buku yang ditulis pada jaman-jaman tersebut, seperti misalnya buku Nagarakartagama, namun uraian tentang mata uang hampir tidak pernah ada sama sekali. Untuk periode abad ke VII ke atas, yaitu sejak kedatangan VOC di Nusantara, data lebih mudah didapatkan karena lengkapnya catatan-catatan mereka dalam melaporkan setiap perkembangan kepada dewan direksi (The Seventeen Gentlemen) di negeri Belanda. Setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, maka jadilah suatu rangkaian sejarah mata uang yang diberi judul: Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia. Adapun maksud dari perkembangan di sini adalah: semua mata uang, baik mata uang tersebut buatan lokal maupun asing, yang dahulu pernah beredar dan dapat diterima sebagai alat pembayaran di wilayah Indonesia. Sebagai contoh, koin VOC dan Belanda. Walaupun bukan koin asli Indonesia, tetapi selama kurang lebih 350 tahun koin-koin tersebut pernah beredar sebagai alat tukar menukar yang dapat diterima oleh masyarakat. Koin-koin Cina dengan ciri khas mempunyai lubang ditengah, itupun bukan koin Indonesia. Namun koin-koin tersebut pernah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, bahkan dalam kurun waktu yang lebih lama dari koin-koin Belanda! Koin kepeng Cina telah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia selama kurun waktu 900 tahun atau 9 abad! Bahkan di Bali, koinkoin Cina tersebut masih dipakai sebagai alat pembayaran sampai dengan jaman Republik tahun 1950! Dalam melakukan penulisan ini, saya yakin, bahwa tulisan ini pasti masih ada bagian yang bolong-bolong, namun kekurangan itu diharapkan tidak sampai mempengaruhi keutuhan dari rangkaian sejarah itu sendiri. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bukan saja bagi kita kalangan Numismatik, tetapi dapat berguna juga bagi negara dan bangsa Indonesia! Berdasarkan jamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode 1. Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/850 1.300 Masehi) 2. Jaman Perdagangan 1. Perdagangan dengan Cina (8501900) 2. Perdagangan dengan VOC (1602-1799) 3. Jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1945) 1. Pendudukan Perancis (18061811) 2. Pendudukan Inggris (18111816) 4. Jaman Pendudukan Jepang (19421945) 5. Jaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945-sekarang) 1. Sukarno (19451967)

2. Suharto (19671998) 3. B.J Habibie (19981999) 4. Abdurrachman Wahid (19992001) 5. Megawati Sukarnoputri (2001-2004) 6. Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang) 6. Mata uang lainnya 1. Kerajaan-Kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep) 2. Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh 3. Kerajaan Palembang 4. Kerajaan-Kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka) 5. Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton) 6. British East India Company di Sumatra 7. Token-token perkebunan dan pertambangan Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/8501.300 Masehi) Berdasarkan inskripsi-inskripsi jaman dulu, koin Indonesia yang dicetak pertama kali adalah sekitar tahun 800-850 Masehi, yaitu pada jaman kerajaan Mataram Syalendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan, yaitu dari perak dan emas. Dan berdasarkan Prasasti Bulai sekitar tahun 860 Masehi, standar untuk berat dan nilainya adalah: Masa (biasa disingkat Ma), mempunyai berat standar 2,4 gram Atak, adalah setengan dari Masa, atau mempunyai nilai dua Kupang (dua Ku). Berat standar satuan Atak adalah 1,2 gram. Kupang (disingkat Ku), mempunyai berat standar 0,60 gram, dan biasanya disebut seperempat Masa.

Koin-koin emas dan perak yang dicetak pada jaman dinasti Syailendra mempunyai bentuk sangat kecil. Koin emasnya berbentuk seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) Pada bagian depanya terdapat huruf Devanagari "Ta" (Singkatan dari "Tahil"). Di belakangnya terdapat incuse (lekukan kedalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik pola ini dinamakan "Sesame Seed" pattern. Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari "Ma" (Singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola bunga cendana. Dalam perkembangannya, Kerajaan Syailendra pada waktu itu semakin meluaskan wilayahnya, bahkan sampai ke daerahdaerah Jawa Timur. Adapun pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak berdatangan para pedagang dari mancanegara. Jawa Timur sebagai daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan daerah agraris. Pada waktu itu (Jaman Dinasti Tang, tahun 618-907 Masehi), orang-orang Cina sudah mulai banyak berdatangan ke tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa mata uang sendiri yang disebut "Cash" atau "Caixa", Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengahnya. Koin-koin Cina ini lambat laun dapat diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Pada kira-kira tahun 928 Masehi, gunung Merapi meletus dahyat, yang mengakibatkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan di atas, serta makin majunya daerah Jawa Timur, maka pada tahun 929 diputuskan untuk memindahkan

ibukota kerajaan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Walaupun koin-koin tetap dicetak dengan berat seperti standar awal, tetapi lama kelamaan mengalami proses perubahan bentuk dan disainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk kecubung, dengan diameter antara 13-14 mm. Pada Jaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) merupakan puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang. Bersamaan dengan kedatangannya, dibawa juga koin-koin kepeng Cina untuk dipakai sebagai alat pembayaran. Saking banyaknya jumlah peredaran uang kepeng tersebut, yang akhirnya menyisihkan mata uang lokal yang terbuat dari perak dan emas Masa dan Tahil. Hal-hal yang mungkin dapat dijadikan alasan, karena uang kepeng mempunyai lubang ditengahnya, sehingga praktis untuk dibawa kemanamana dan tidak mudah hilang. Biasanya uang itu direnteng dalam ikatan 1.000 buah per ikatnya. Alasan lainya bahwa koin perak dan emas lokal merupakan mata uang dalam pecahan besar. Masyarakat sangat membutuhkan uang-uang dalam nilai pecahan kecil, yang sangat diperlukan untuk perdagangan. Sebagai contoh, satu ekor kambing pada akhir abad ke IX, dapat dibeli dengan 4 perak Masa!

Sebenarnya koin-koin perak dan emas yang sudah mengalami perubahan bentuk itu merupakan produk dari kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, yaitu Daha dan Jenggala. Namun karena kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya kita menamainya sebagai koin-koin emas dan perak Majapahit. Padahal sejak akhir abad ke XIII, mata uang yang digunakan sebagai pembayaran adalah koin-koin kepeng dari Cina.

Jaman Perdagangan
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa pada periode tersebut diklasifikasikan sebagai jaman-jaman perdagangan? Apakah pada waktu itu hanya orang-orang Cina dan Belanda (melalui perusahaan VOC) saja yang berdagang di Indonesia? Nama Jawa sejak jaman dulu mempunyai daya tarik tersendiri bagi semua orang asing, entah itu Portugis, Inggris, Belanda, Spanyol, India ataupun Cina. Jika orang Itali pada jaman dulu banyak yanag melakukan eksodus ke tanah emas Amerika, maka orangorang Cina pada waktu itu melihat "Nan-Yang" atau Negara-negara Asia Tenggara, terutama Pulau Jawa sebagai Tanah Harapan. Sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) saja yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan mata uang "Kompeni" inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik Indonesia.

Perdagangan Dengan Cina


Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada jaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Namun jauh sebelum itu, nama Jawa sudah ada dalam catatan sejarah di Cina. Dengan Jung-jungnya (kapal Cina), mereka mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti di Tuban, Gresik dan

Surabaya. Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya, disamping kulit penyu, cula badak, gading, emas dan perak. Dalam melakukan perdagangannya, orang-orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin Cina (Cash) sebagai alat tukar, yang akhirnya dapat diterima oleh penduduk sebagai alat pebayaran. Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Dinasti Sung di Cina (960-1279), dimana berjutajuta keping koin Cina membanjiri Jawa, yang mengakibatkan koin lokal emas dan perak Masa akhirnya tidak digunakan lagi sebagai alat pembayaran, diganti fungsinya dengan koin-koin Cina itu. Setelah terjadi penyerbuan oleh Dinasti Yuan / Mongol (12791368 Masehi) ke tanah Jawa pada tahun 1291 Masehi, yang akhirnya memunculkan kerajaan besar "Majapahit", maka terjadi stagnasi dalam hubungan perdagangan kedua negara tersebut. Tetapi stagnasi ini juga tidak berlangsung lama. Hubungan diplomatik mulai diperbaiki, dan akhirnya perdagangan mulai berjalan seperti semula. Pada waktu bertahtanya kaisar Yong Le (1403-1425 Masehi) dari Dinasti Ming, raja memerintahkan Laksamana Cheng Ho untuk melakukan perjalanan muhibah ke banyak negara, yang salah satunya adalah tanah Jawa. Pada tahun 1405 Masehi, Cheng Ho untuk pertama kalinya mendarat di kota Tuban, Jawa Timur. Setelah itu mereka pergi ke Gresik, lalu ke Surabaya, dan akhirnya ke Majapahit, dimana raja bertempat tinggal. Dalam misinya, Cheng Ho ditemani oleh seorang juru tulis dan juga sebagai penerjemah yang sama-sama pemeluk agama Islam, yang bernama Ma Huan. Berikut ini beberapa petikan dari buku "Ying Yai Sheng Lan" yang ditulis oleh Ma Huan (terbit tahun 1416), mengenai apa yang dilihatnya pada waktu itu: "Koin-koin Cina dari berbagai dinasti, umum digunakan disini"......."Dalam melakukan transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti"......."Orang-orang disini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif Hijau bunga, kain sutra, manik-manik,dll. Mereka membelinya dengan uanguang cash"...... Pada tahun 1478, Majapahit diserang oleh kerajaan Islam Demak, yang berakhir dengan kemenangan Demak. Untuk selanjutnya Majapahit berstatus sebagai negara bawahan dari kerajaan Demak, hingga akhirnya pada kira-kira tahun 1528 kerajaan Majapahit dibumihanguskan oleh Demak. Dengan matinya Majapahit di bagian Timur, telah muncul kota dagang lainnya yang semakin hari semakin ramai di bagian barat, yaitu Bantam (Banten). Pada akhir dinasti Ming (1368-1644 Masehi), orang-orang Belanda melalui perusahaan VOC tahun 1602 mulai masuk ke Indonesia. Pada awalnya VOC membawa koin-koin perak Real (Real Baru dan Real Bundar) untuk transaksi perdagangan, yang ternyata mata uang yang dipakai sebagai alat perdagangan adalah uang Cina. Pada jaman Ming pula pernah terjadi keguncangan moneter di Cina akibat dari kelangkaan uang yang beredar disana. Hal ini disebabkan karena banyaknya mata uang cash yang diekspor ke Jawa. Akhirnya pemerintah Ming melakukan larangan untuk mengeksport uang Chiien tersebut ke luar negeri, termasuk Jawa. Walaupun nantinya kran dibuka kembali, namun larangan tersebut telah mengakibatkan kekosongan mata uang dalam pecahan kecil. VOC akhirnya melakukan import uang-uang tembaga bolong dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea, dan Vietnam. Disamping itu mulai dibuat uang-uang Picis (Tiruan dari koin-koin Cina), yang terbuat dari timah (tin) atau dari timbal (lead). Koin-koin dari Jepang, Korea dan Vietnam diatas, serta uang-uang Picis tiruannya, sampai sekarangpun masih dapat ditemui di tanah Jawa. Pada tahun 1723 Jepang yang kali ini menghentikan export uang Cash. Karena Jung-jung Cina yang biasa mempunyai suply belum datang, maka pada waktu itu terjadi kekosongan uang pecahan kecil. Oleh karena itu, VOC meminta kepada negeri Belanda untuk dibuatkan koinkoin bernilai kecil, yang pertama kalinya dicetak pada tahun 1726. Naum koin-koin cash tetap beredar bersamaan dengan doit tembaga versi Belanda. Pada waktu berkuasanya dinasti Qing di Cina tahun 16441911, import koin cash tetap dilakukan oleh Belanda guna dipakai di Jawa dan Bali. Terutama di Bali, Belanda telah berkali-kali mencoba mencetak doit dengan tengahnya yang berlubang untuk menggantikan koin cash Cina yang biasa dipakai di Bali.

Perdagangan Dengan VOC (16021799)

Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Coernelis dan Frederick de Houtman, dengan armadanya yang terdiri dari 4 kapal dengan 249 awak kapal dan 64 meriam. Mereka mendarat di pelabuhan Banten untuk membeli rempah-rempah yang pada waktu itu sangat menguntungkan di pasaran Eropa. Setelah beberapa lama di Banten, karena memang perangainya yang kasar, Cornelis terlibat keributan yang akhirnya ditahan oleh penguasa Banten, dari bulan September 1595 sampai Februari 1596. Namun akhirnya dia bisa kembali kenegerinya setelah dibayar uang tebusan untuk pembebasannya. Keberhasilan de Houtman ini akhirnya diikuti oleh perusahaanperusahaan Belanda lainnya, dan mulailah masa perlombaan mencari rempah-rempah di Indonesia, terutama di Jawa dan Maluku. Pada bulan Maret 1599, Jacob van Neck untuk pertama kalinya berhasil mencapai "pulau rempah-rempah" Maluku. Dari ekpedisi tersebut, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Setelah itu dua perusahaan Belanda, Yaitu United Amsterdam Company (15941602), dan United Zeeland Company (15971602), juga ikut meramaikan ekspedisi ke Indonesia. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran. Pada tahun 1601 Amsterdam Company mencetak koin-koin perak dengan pecahan , , 1, 2, 4 dan 8 Reals. Sedangkan Zeeland Company mencetak koin peraknya dengan pecahan 8 Reales pada tahun 1602. Koin-koin dari kedua perusahaan Belanda tersebut sangat langka sekali, dan mempunyai nilai jual yang sangat mahal.

Perlombaan mencari rempah-rempah di Nusantara akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Harga rempah-rempah melonjak tajam, sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi semakin tipis. Akhirnya pada bulan Maret tahun 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Dalam melakukan perdagangannya, VOC diberi mandat penuh oleh pemegang saham untuk merekrut pasukannya sendiri, mengumumkan perang, mendirikan benteng-benteng, dan yang terutama sekali menghancurkan musuh-musuh dagangnya, seperti Portugis, Spanyol dan Inggris. VOC harus memberikan laporan-laporan kegiatanya kepada "ke 17 Tuan-tuan di negri Belanda" yang disebut "Heeren XVII" atau "The Seventeen Gentlement". Tuan-tuan ini adalah wakil dari 6 daerah di Belanda, yang merupakan pemegang saham dari perusahaan VOC. Selama lebih dari seabad sejak tahun 1602 VOC melakukan monopoli perdagangan di kepulauan Indonesia, mereka tidak pernah mencetak koinnya sendiri untuk diedarkan di Hindia Belanda. Walaupun pernah dicetak koin-koin dengan lambang VOC pada tahun 1644 dan 1645, namun koin-koin tersebut adalah koin darurat (Emergency coin) guna menanggulangi langkanya koin-koin dalam pecahan kecil, dan bukan produk resmi dari VOC. Yang pertama adalah berbahan tembaga, dicetak kira-kira pada bulan Agustus tahun 1644, dengan pecahan dan Stuiver. Koin-koin ini dicetak oleh seorang Cina yang tinggal di Batavia, yang bernama Conjok. Namun pada tanggal 21 September 1644, koin-koin tersebut ditarik karena The Seventeen melarang koin-koin tersebut digunakan dalam peredaran.

Sedangkan koin-koin dengan 1645 adalah koin-koin perak, dengan pecahan 12, 24, dan 48 Stuiver. Koin-koin ini juga dicetak oleh Conjok bersama seorang ahli emas bangsa Belanda yang tinggal di Batavia, yang bernama Jan Ferman, kira-kira pada bulan Maret 1645. Setelah koin-koin ini diedarkan, muncul banyak sekali pemalsuan, sehingga pada tanggal 23 September 1647, koin-koin inipun harus berhenti dalam peredaran. Koin perak Batavia dengan tahun 1645 ini keberadaanya sangat langka sekali. Koin dengan pecahan 48 Stuiver pernah dilelang pada tahun 1989 dengan nilai US$32.000! Koin VOC yang pertama kali dicetak secara resmi adalah koin tembaga 1726 dengan pecahan 1 Doit (Duit). Koin-koin tersebut pada awalnya dicetak di Dordrecht, Holland, dimana pada satu sisi terdapat lambang VOC dan pada sisi lainya terdapat lambang provinsi Holland. Setelah itu dicetak koin-koin dari provinsi lainnya seperti Gelderland, Utrecht, West Friesland, dan Zeeland. Koin-koin ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda, Karena hanya diedarkan hanya untuk daerah dimana VOC berada. Peredaran doit tembaga ini cukup luas karena diedarkan juga di daerah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon. Adapun nilai penukaran untuk 1 Stuiver = 4 Doit. Karena kebutuhan uang dengan nilai nominal yang lebih kecil, maka untuk pertama kalinya tahun 1749 Holland mencetak mata uang tembaga dengan pecahan setengan Doit. Selain dari tembaga, koin-koin Doit dan setengah doit juga dicetak dengan bahan perak. Walaupun demikian koin-koin bolong Cash Cina tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, bersamaan dengan Doit Kompeni tersebut. VOC juga mencetak koin-koin perak dengan sebutan "Ducaton" atau "Silver Ryder". Dinamakan Silver Ryder karena koin yang terbuat dari perak itu pada sisi mukanya terdapat gambar seorang menaiki kuda. Nilai tukar untuk satu Dukat sama dengan 60 Stuiver atau bernilai 240 Doits. Disamping koin dukat penunggang kuda, dicetak juga koin perak dengan pecahan , 1, dan 3 Gulden, dengan gambar Dewi Pallas yang sedang berdiri sambil memegang tongkat. Orang lokal menyebut koin ini sebagai "Koin Tongkat", dimana untuk setiap guldennya mempunyai nilai 20 Stuivers atau sama dengan 80 Doit. Tahun 1743, setelah era Sultan Agung berakhir, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Berdasarkan hak tersebut, VOC membuat uang dengan desain tulisan dalam huruf arab pada kedua sisinya. Uang ini dikenal dengan nama "Derham Djawi" atau "Java Ducat" atau "Gold Rupee" (untuk koin emas), dan "Silver Java Rupee" (untuk koin Peraknya). Percetakan uang di Batavia yang diberi kesempatan untuk mencetak koin ini pada tahun 1744, koin yang pertama kali dicetak oleh VOC di Batavia. Desain koin dibuat oleh Mintmaster Theodorus Justinus Rheen, yang pada tahun 1745 digantikan oleh Paulus Dorsman sebagai Mintmaster di Batavia. Pada bagian muka terdapat tulisaan dalam bahasa Arab: "Lla djazirat Djawa al-kabir", sedang di bagian belakangnya: "Derham min Kompani Welandawi". Yang artinya: "Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar". Koin derham emas ini mempunyai nilai sebesar 16 Silver Rupee atau 16 Gulden. Dalam peluncuranya, koin emas Djawi ini sangat disukai oleh masyarakat, sehingga pada tahun 1747-1750 mulai dibuat koin perak Jawa Rupee. Rupanya pemalsuan uang bukan hanya dilakukan oleh orang-orang jaman sekarang saja. Begitu Derham Djawi diluncurkan, beberapa tahun kemudian telah muncul koin-koin palsu beredar dipasaran. Akibatnya pada tahun 1751 koin-koin ini ditarik dari peredaran, dan pencetakan uang di Batavia untuk sementara tidak berproduksi. Pada tahun 1765, diberitakan peraturan bahwa orang-orang pribadi yang mempunyai emas dapat meminta emas yang dimilikinya itu dikonversi menjadi koin. Dengan peraturan itu, maka pada tahun 1765 mulai dibuat koin-koin emas Java Rupee, dengan pecahan 1, 2 dan 4 emas

Rupee. Koin-koin inipun pada tahun 1768 harus ditarik kembali karena mulai banyak koinkoin palsu yang beredar di pasaran. Koin-koin dengan nilai pecahan kecil selalu menjadi kendala dalam peredaran uang. Untuk memecahkan persoalan itu maka pada tahun 1764 dicetak koin-koin pitis dari tembaga merah yang bernilai setengah Doit. Pada bagian muka tercetak: "Duyt Javas", sedangkan di baliknya dalam bahasa Arab Melayu: "Doewit Djawa". VOC mulai menunjukan ketidakberesan manajemen dan keuangannya sejak tahun1795. Akhirnya pada tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasannya diambil alih oleh pemerintah Belanda, yang saat itu bernama Republik Batavia. Demikianlah masamasa VOC di Indonesia, yang berakhir dengan sangat mengenaskan. Walaupun pada mulanya kehadiran VOC adalah untuk berdagang, namun VOC merupakan cikal bakal dari kolonialisasi Belanda, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain dimana VOC membuka markas besarya. Karena dengan wewenang yang diberikan kepadanya, VOC bahkan dapat membasmi seluruh penduduk yang tidak mau memberikan hak monopoli kepadanya, seperti yang dialami pada penduduk Banda pada tahun 1645!

Yang menjadi persoalan hingga dicetak "Emergency coin" atau uang-uang darurat adalah tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Biasanya hal ini terjadi karena tidak adanya kiriman koin-koin dari negeri Belanda, atau belum datangnya Jung-Jung Cina yang biasa menyuplai. Salah satu bentuk uang darurat adalah apa yang dinamakan Bonk, yang merupakan potongan-potongan dari batangan tembaga ex Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standard, dan tidak dicetak dalam beberapa pecahan, seperti , 1 atau 2 Stuiver (1 Stuiver = 4 Doit). Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf "N" diatasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis: 1 Duyt 1796 / 7 karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka doit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan doit-doit timah itu menjadi sangat langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu hasil leburan dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, dan timbal (lead). Pada sisi muka dicetak: JAVA 1799 / 1800, dan di baliknya dicetak : 1 Stuiver.

Jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1845)


Setelah runtuhnya VOC mulai tahun 1795, maka kontrak VOC yang berakhir pada tahun 1799 tidak diperpanjang lagi. Pada waktu itu Belanda termasuk negara protektorat Perancis, yang akhirnya merubah sistem pemerintahan di Belanda menjadi Republik Batavia (The Batavian Republik), dari tahun 1799-1806. Setelah pemerintahan Belanda mengambil alih seluruh harta dari kekuasaan VOC, maka mulailah jaman Pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya. Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang yag berlangsung selama 5 tahun, dari bulan Mei 1825 dampai dengan Maret 1830. Perang besar ini dikenal dengan nama "Perang Diponegoro", yang mengakibatkan kira-kira 8000 orang Eropa (termasuk pasukan Belanda) dan lebih dari 7000 pasukan Jawa menjadi korbannya. Pada waktu itu, jumlah penduduk Yogyakarta telah berkurang hampir setengahnya!

Tahun 1906 Bali dapat ditundukkan. Perang di Bali terkenal dengan julukan "perang puputan" yang dapat diartikan melakukan perlawanan sampai mati. Di Sumatra, Kesultanan Aceh yang tidak pernah terjamah pada masa VOC di Indonesia, mulai dirambah. Timbul peperangan yang sangat besar, yang dimulai sejak 1873. Perang di Aceh ini dikenal dengan nama "Perang Aceh" atau "De Aceh Oorlog", dimana hingga mundurnya Belanda dari Aceh pada tahun 1942, mereka tidak dapat menguasai Aceh sepenuhnya. Dalam numismatik Indonesia, koin-koin Belanda sangatlah umum dikoleksi oleh para kolektor. Mereka sangat akrab dengan koin-koin tersebut, karena koin-koin itu pernah lama sekali beredar di Indonesia. Sehingga tidaklah lengkap bagi para kolektor koin di Indonesia jika tidak mengoleksi koin-koin Belanda Koin-koin asli yang dicetak langsung dari negeri Belanda juga berlaku sah di negeri-negeri jajahan tersebut, seperti koin-koin dengan gambar wajah raja-raja Willem 1, 2, 3, serta ratu Wilhelmina. Uraian mengenai koin-koin asli Belanda tersebut akan dijelaskan dalam artikel tersendiri. Pada masa pemerintahan Raja Willem 1 (1815-1840), untuk negeri Hindia Belanda dicetak koin-koin perak dengan gambar Willem I, dengan nominal , , dan 1 Gulden. Selain itu dicetak juga Doit-doit tembaga dengan nilai pecahan kecil. Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849) ada dua hal penting yang patut dijelaskan disini. Yang pertama adalah dicetak ulangnya koin-koin tembaga VOC dengan lambang propinsi Utrecht, yang semuanya bertahun 1790. Koin-koin ini dicetak di rumah produksi uang Batavia dan Surabaya dari bulan April tahun 1840 sampai dengan akhir 1843, dengan pecahan 1 dan 2 Doit. Koin-koin tembaga VOC ini sampai sekarang masih banyak dijumpai di pasaran. Kejadian penting kedua adalah ditutupnya percetakan uang Batavia dan Surabaya untuk selamalamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada akhir tahun 1843. Koin-koin cetak ulang VOC tahun 1790 inilah koin yang terakhir kali diproduksi oleh kedua percetakan uang Batavia dan Surabaya. Sejak ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka mulai saat itu semua mata uang untuk peredaran di Indonesia dikirim langsung dari negeri Belanda. Pada jaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Setengah Ketip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah cetakan kedua tahun 1855. Pada masa ini pula dicetak koin tembaga dengan pecahan 1 dan 2 Sen. Koin 1 sen mulai dicetak sejak tahun 1855, sedangkan pecahan 2 sen sejak tahun 1856. Dalam peredaranya ternyata koin dengan nilai 2 sen itu tidak begitu populer dimasyarakat. Orang Jawa menamai koin ini dengan sebutan "Gobang" atau "Benggol". Walaupun tidak sesukses dalam peredaran, namun koin ini sangat populer dengan fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat "kerokan". Pada waktu Ratu Wilhelmina bertahta di Belanda pada tahun 1890-1948, timbul perang Dunia II yang sangat hebat, dimana pada tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga Kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Dan di tempat pelariannya itu, Ratu membentuk "Pemerintahan dalam Pengasingan". Koinkoin tetap dicetak, bukan di Belanda, tetapi di Amerika Serikat. Pada koin-koin dengan tahun 1941-1945, terdapat tambahan huruf kecil di bagian belakang bawah. Hurf "D" adalah singkatan dari "Denver" (1943-1945), "P" adalah "Philadelphia" (1941-1945), dan "S" untuk "San Francisco" (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahanya di bagian timur telah memproklamirkan kemerdekaanya menjadi Republik Indonesia.

Uang Logam di Indonesia

contoh uang logam Rp500 Dan lebih hebatnya, di pelelangan uang kuno megha menemukan uang logam Indonesia keluaran tahun 1974 senilai SERATUS RIBU RUPIAH Menurut kabar yang beredar, ini adalah uang kuno yang beredar di Demak

kalau gak salah ini nominal 5 dan 10 sen

Nominal uang 5, 50 dan 100 rupiah

Nominal 25 Rupiah

Nah yang ini nominal 1 rupiah

Dan ini versi lengkapnya

Perjalanan Uang Kertas Indonesia dari Jaman Kemerdekaan sampai Sekarang ini (2011)
Uang kertas pertama kali digunakan di kepulauan Indonesia adalah pada saat pendudukan pemerintah India Belanda di nusantara . Mata uang Gulden oleh pemerintahan India Belanda digunakan sejak tahun 1815, dan mulai tahun 1827 mata uang gulden ditangani oleh De Javasche Bank . Semenjak pendudukan Jepang atas Indonesia pada tahun 1942, mata uang Gulden tetap dikeluarkan oleh 'Pemerintah Jepang' di Indonesia namun kemudian diganti menjadi 'roepiah' pada tahun 1943. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama negara merdeka. Setelah Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, Indonesia masih belum mempunyai mata uang sendiri. Saat itu mata uang yang digunakan adalah mata uang Hindia Belanda, Jepang dan De Javashe Bank. Indonesia pertama kali menerbitkan rupiah Indonesia sendiri pada tahun 1946 setelah perang kemerdekaan dengan Belanda , kemudian menyusul deklarasi kemerdekaan sepihak oleh Indonesia pada akhir Perang Dunia II pada 17 Agustus 1945. Uang ini kemudian dikenal sebagai ' Oeang Republik Indonesia ' ('oeang' sebagai ejaan lama dari 'Uang', atau 'money' dalam bahasa Inggris ). ORI (Oeang Repiblik Indonesia) yang dikeluarkan pemerintah juga dimaksudkan untuk mencegah perkembangan mata uang NICA pada tanggal 26 Oktober 1946. Dan sejak saat itu ketiga mata uang yang dulu ada dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, sehingga sejarah uang hanya ada 2 mata uang saat itu. Ternyata kebijakan itu didukung oleh rakyat. Setelah perjanjian damai yang dinegosiasikan di Den Haag tahun 1949, 'ORI' (embel embel 'sen') ditarik dari peredaran untuk digantikan dengan uang yang diakui secara internasional yaitu ' rupiah Indonesia '. Oeang Republik Indonesia Seri 1, '1945 ' Uang ORI pertama kali dicetak pada tahun 1946 dan mulai diberlakukan pertama kali di Jawa pada 10 Oktober 1946 dengan pecahan 1, 5 dan 10 sen, ditambah , 1, 5, 10, dan 100 rupiah. Tampak Depan Tampak Belakang 1 1945 Sen

5 1945

Sen

10 1945

Sen

1/2 1945

Rupiah

1 1945

Rupiah

5 1945

Rupiah

10 1945

Rupiah

100 1945

Rupiah

Seri 2, '1 Januari 1947 ' Seri kedua dari ORI diterbitkan dari 'Yogyakarta', karena saat itu ibu kota negara Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Uang seri ke-2 ini dicetak dengan emisi 1 Januari 1947 dengan pecahan 5, 10, 25, dan 100 rupiah. Tampak Depan Tampak Belakang 5 1947 10 1947 25 1947 Rupiah

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

~Maap, belum dapet potonya~

Rupiah

100 1947

Rupiah

Seri 3, '26 Juli 1947 ' Untuk edisi baru berikutnya adalah dengan emisi 26 Juli 1947 yang terdiri dari pecahan , 2 , 25, 50, 100, dan 250 rupiah. Tampak Depan Tampak Belakang 1/2 1947 Rupiah

2 1/2 Rupiah 1947

25 1947 50 1947 100 1947 250 1947

Rupiah

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

~Maap, belum dapet potonya~

Rupiah

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

~Maap, belum dapet potonya~

Seri 4, '23 Agustus 1948 ' Uang kertas baru dikeluarkan oleh pemerintah nasional pada tahun 1948, dalam pecahan yang aneh seperti 40, 75 100, dan 400 rupiah, ditambah sebuah uang 600 rupiah. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda merebut Yogyakarta kembali sehingga kantor pusat bank sentral Republik Bank Negara Indonesia kembali menjadi ke De Javasche Bank dan kantor DJB juga dibuka kembali di Surakarta dan Kediri . Direncanakan pada tahun 1949 untuk merevaluasi nilai tukar rupiah (yang saat itu banyak beredar di Jawa). Untuk itu, " Rupiah Baru " dicetak dan tidak diterbitkan di Jawa, tetapi di daerah di luar Jawa seperti beberapa dikeluarkan di Sumatera, Irian dan lainnya. Pecahan yang dicetak adalah 10 sen (biru atau merah), (hijau atau merah), 1 (ungu atau hijau), 10 (hitam atau coklat), 25, dan 100 rupiah. Tampak Depan Tampak Belakang

40 1948

Rupiah

75 1948

Rupiah

100 1948

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

~Maap, belum dapet potonya~

400 1948

Rupiah

600 1948

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

1950 dan seterusnya: setelah kemerdekaan Indonesia diakui 1950-1952: Gulden / roepiah -> Uang dengan pecahan rendah Pihak Belanda pada tahun 1947 mengeluarkan uang dengan menggunakan bahasa Indonesia yaitu 10 sen dan 25 sen. Dikarenakan kurangnya mata uang dan juga karena desain mereka relatif masih ramah dan pantas untuk digunakan di republik ini, maka pemerintah Indonesia masih mencetak uang tersebut dan disahkan sampai mata uang rupiah Indonesia seluruhnya selesai dicetak hingga jumlahnya cukup untuk menggantikan uang dari belanda tersebut. Tampak Depan Tampak Belakang

10 Sen 1947

25 Sen 1947

-> Uang dari De Javasche Bank Perundingan damai dengan Belanda dinegosiasikan di Den Haag pada bulan November 1949, menghasilkan kesepakatan salah satunya bahwa De Javasche Bank menjadi bank sentral atau bank utama di Indonesia , dan cetakan pertama rupiah yang dikeluarkan pasca kemerdekaan setidaknya harus sama seperti mata uang keluaran sebelumnya. Maka diputuskan bahwa De Javasche sebagai Bank tanggal hanya akan merevisi uang dibagian warna, seperti uang kertas 5 gulden berubah dari ungu ke merah dan hijau, 10 gulden dari hijau ke ungu, dan 25 gulden dari merah ke hijau. Selain itu, 50 gulden, 100 gulden, 500 gulden, dan 1000 gulden mulai ditambahkan, dan tertulis tahun emisi 1946. Karena adanya uang kertas 10 dan 25 sen (yang masih menjadi alat pembayaran yang sah dan masih akan terus dicetak), maka terjadi kesenjangan antara 25 sen Indonesia dan 5 gulden De Javasche Bank. Maka diisilah dengan cetakan 1/2 rupiah, 1 rupiah, dan 2 rupiah, yang semua tertulis tahun emisi 1948. Kata-kata di uang kertas ini mirip dengan pecahan 5 gulden keatas, tapi teks bahasa Indonesia ('roepiah') ditempatkan di atas tulisan berbahasa Belanda ('gulden'). Uang kertas itu semua diprint / dicetak oleh Johan Enschede en Zonen (the Dutch printer). Tampak Depan Tampak Belakang 5 Rupiah 1946

10 1946

Rupiah

25 1946

Rupiah

50 1946

Rupiah

100 1946

Rupiah

500 1946

Rupiah

1000 1946

Rupiah

1/2 1948

Rupiah

1 1948

Rupiah

2 1/2 1948

Rupiah

Uang Lainnya (unik)

10 Sen 1949

Baru

100 Rupiah Baru 1949

Republik Indonesia Serikat money "Republik Indonesia Serikat" atau RIS mengeluarkan undang-undang pada tanggal 2 Juni 1950 yang memungkinkan Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas baru, yaitu pecahan 5 dan 10 rupiah. Namun hal ini tidak bertahan lama, karena RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950 (5 tahun setelah deklarasi kemerdekaan yang sebenarnya). Uang uang tersebut dicetak oleh Thomas De La Rue dari Inggris dan memiliki tanggal emisi '1 Januari 1950 ' yang tertulis pada uang kertas tersebut. Tampak Depan Tampak Belakang 5 Rupiah 1950

10 Rupiah 1950 Nasionalisasi De Javasche Bank: Uang kertas pertama Republik Indonesia Dengan nasionalisasi De Javasche Bank melalui Undang-Undang Darurat tahun 1951, telah ditetapkan bahwa pemerintah akan mampu mengeluarkan uang pecahan 1 dan 2 rupiah. Dengan demikian, uang kertas ' Republik Indonesia ' tahun emisi 1951 dikeluarkan pada pecahan 1 dan 2 rupiah. Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, pertama seri (lanskap), 1951, dicetak oleh Perusahaan Percetakan Uang Kertas Keamanan (AS) Tampak Depan Tampak Belakang 1 Rupiah 1951

2 1/2 Rupiah 1951

Pembentukan Bank Indonesia dari De Javasche Bank: kedua Republik Indonesia uang kertas Dengan transformasi dari DJB menjadi Bank Indonesia, Undang-Undang Darurat tahun 1951 diperbaharui menjadi Undang-undang Mata Uang 1953, dan uang kertas 1 dan 2 rupiah

tahun emisi 1951 dikeluarkan kembali dengan ditambah tanda tangan Menteri Keuangan dan tahun emisi 1953. Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri kedua (lanskap), 1953, dicetak oleh Perusahaan Percetakan Uang Kertas Keamanan (AS) Tampak Depan Tampak Belakang 1 Rupiah 1953

2 1/2 Rupiah 1953

1953-1954: Uang Kertas Pertama Bank Indonesia Uang kertas baru dari De Javasche Bank yang telah dinasionalisasi menjadi ' Bank Indonesia ' telah siap diedarkan dengan tahun emisi 1952 dalam pecahan mulai dari 5, 10, 25, 50, 100, 500, dan 1000 rupiah, ditandatangani oleh Indra Kasoema sebagai Direktur, dan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur. Uang kertas mulai beredar dari Juli 1953 sampai November 1954. 1952; Uang Kertas Bank Indonesia (' seri budaya ') Tampak Depan Tampak Belakang 5 1952 Rupiah

10 1952

Rupiah

25 1952

Rupiah

50 1952

Rupiah

100 1952

Rupiah

500 1952

Rupiah

1000 1952

Rupiah

Meski telah memiliki uang kertas baru sendiri dan uang kertas yang bertuliskan nama DJB seharusnya tidak lagi dicetak, namun pada kenyataannya uang bertuliskan DJB beredar sejak 1950. Sehingga beberapa Uang kertas DJB tua dicabut, diantaranya sebagai berikut: 2 Maret 1956: Uang kertas 1000 gulden emisi '1946 ' yang berasal dari tahun 1950 ditarik dari peredaran dan efektif pada tanggal 5 Maret 1959, karena pemalsuan merajalela. 22 November 1957: Uang kertas DJB pecahan 1 dan 2 rupiah emisi '1948 ' ditarik, efektif 1 Desember 1957, karena denominasi uang kertas adalah hak penerbitan pemerintah di bawah Undang-undang Mata Uang 1914 yang berlaku dan karenanya De Javasche Bank sudah tidak lagi memiliki otoritas untuk menangani masalah uang. Beberapa uang kertas pemerintah Hindia Belanda (semua pecahan rendah) yang masih sah dan kemudian dicabut antara lain sebagai berikut: 1 Januari 1954: semua uang kertas pemerintah 'Nederlandsch Indie' pecahan 1 / 2, 1, dan 2 gulden ditarik dari peredaran karena semua uang itu berasal dari awal Perang Dunia 2, 1940 1 Januari 1957: Uang kertas ' Indonesia ' pecahan 10 sen dan 25 sen '1947' ditarik (uang ini dikeluarkan oleh Republik Indonesia) Pada tahun 1954, pemerintah Indonesia mendesain ulang uang kertas pecahan 1 dan 2 rupiah, kemudian mengganti tahun emisi dan tanda tangan Menteri Keuangan yang baru di tahun 1956. Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri ketiga (orang etnis), 1954, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran Tampak Depan Tampak Belakang 1 Rupiah 1954

2 1/2 Rupiah 1954 Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri keempat (orang etnis), 1956, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran 1 Rupiah 1956

2 1/2 Rupiah 1956 1958-1959 seri Hewan - Seri Kedua dari Uang Kertas Bank Indonesia Pada tahun 1957, Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara menugaskan Thomas De La Rue & Co untuk membuat uang kertas seri baru. Namun, karena keterlibatan Syafruddin dengan PRRI maka ia digantikan oleh Loekman Hakim pada Januari 1958 sebagai gubernur . Spesimen yang diproduksi dalam pecahan 5, 10, 25, 50, 100, 500, 1000, dan 5000 rupiah, dan yang pertama kali diedarkan adalah pecahan 100 dan 1000 rupiah. Masalah keuangan agak terganggu oleh devaluasi mata uang pada 24 Agustus 1959, sehingga 500 (harimau) dan 1000 (gajah) rupiah didevaluasi menjadi 50 (buaya) dan 100 rupiah (tupai) pada September 1959. Untuk 2500 dan 5000 rupiah dinyatakan tidak perlu untuk devaluasi. Untuk 2500 Rupiah pada akhirnya terbit tiga tahun kemudian karena inflasi yang terus naik, sedangkan mata uang pecahan 5000 rupiah tidak pernah diterbitkan. Pecahan 10 dan 25 rupiah hanya diedarkan selama 3 hari, meskipun mereka tetap menjadi alat pembayaran yang sah. Di samping 8 uang kertas yang sedang didesain, Loekman juga menugaskan membuat uang kertas baru, 2500 rupiah. Terlepas dari uang kertas 100 dan 1000 rupiah, uang kertas pecahan yang juga tinggi yaitu 500 rupiah dirilis pada tanggal 6 Januari 1959. Seri Hewan (not dated, pertama dicetak 1957, kecuali untuk 2500 rupiah), semua dicetak Thomas De La Rue Tampak Depan Tampak Belakang 5 Rupiah 1957

10 Rupiah 1957

25 Rupiah 1957

50 Rupiah 1957

100 Rupiah 1957

500 Rupiah 1957

1000 Rupiah 1957

2500 Rupiah 1957

5000 Rupiah 1957

1959: Indonesia Pertama dirancang catatan, seri 'kerajinan' 8 September 1959, Indonesia murni pertama kali merancang uang kertas dan diterbitkan oleh percetakan negara 'Pertjetakan Kebajoran' yaitu uang kertas pecahan 5 dan 100 rupiah. Tampak Depan Tampak Belakang 5 1958 Rupiah

100 1958

Rupiah

1960: Uang Kertas Bunga Thomas De La Rue dan Burung Satu lagi rangkaian uang kertas baru, kali ini dengan seri 'bunga' yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tahun 1960 (memperlihatkan bunga di bagian depan dan burung di sebaliknya), tertanggal emisi 1 Januari 1959, namun diterbitkan pada tahun 1960. uang uang kertas ini dicetak oleh Thomas De La Rue & Co Ltd dari Inggris. Seri bunga dan burung, tertanggal '1 Januari 1959 ', diterbitkan pada tahun 1960, dicetak oleh Thomas De La Rue Tampak Depan Tampak Belakang 5 Rupiah 1959

10 Rupiah 1959

25 Rupiah 1959

50 Rupiah 1959

100 Rupiah 1959

500 Rupiah 1959

1000 Rupiah 1959 2500 Rupiah ~Maap, belum dapet potonya~ 1959

~Maap, belum dapet potonya~

1960-1961: uang kertas Pemerintah Sebuah desain uang kertas pemerintah Indonesia yang baru untuk pecahan 1 dan 2 rupiah diterbitkan pada tahun 1960 memperlihatkan buruh tani, tertanggal emisi 1961 dengan tanda tangan Menteri Keuangan yang baru. Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri kelima (tema pertanian), 1960, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran Tampak Depan Tampak Belakang 1 Rupiah 1960

2 1/2 Rupiah 1960 Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri keenam (tema pertanian), 1961, dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran 1 Rupiah 1961

2 1/2 Rupiah 1961

1961-1964: seri Lengkap kerajinan Indonesia juga mengeluarkan uang kertas dengan seri kerajinan tangan menggantikan TDLR pada tahun 1961 dan 1962, dengan pecahan 5 sampai 1000 rupiah. Uang kertas dengan gambar Kerajinan / rumah asli Indonesia , dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran, diterbitkan tahun 1959, 1961, 1962, 1963, 1964 - seri pertama Tampak Depan Tampak Belakang 5 Rupiah 1958

10 Rupiah 1958

25 Rupiah 1958

50 Rupiah 1958

100 Rupiah 1958

500 Rupiah 1958

1000 Rupiah 1958

5000 Rupiah 1958

10000 Rupiah 1964

Karena terjadinya inflasi, Uang kertas pecahan 2.500 rupiah dengan desain 'hewan' akhirnya diterbitkan pada bulan September 1962, kemudian menjadi pecahan teratas. Suatu respon lanjutan terhadap inflasi yang datang maka diterbitkannya pecahan 5000 (coklat) rupiah tertanggal emisi 1958 pada bulan Oktober 1963. Pada bulan Agustus 1964, dirasa perlu untuk menambahkan uang kertas 10.000 rupiah (merah), tertanggal emisi '1964 ', melengkapi seri buruh kasar (manual workers).. 1965: Pembaruan Uang Kertas seri Kerajinan Pada tahun 1965, di tengah inflasi yang melonjak, semua uang kecuali 5 rupiah kebawah dan 500 rupiah dengan seri kerajinan tangan direvisi dan diterbitkan kembali. Uang kertas dengan gambar Kerajinan / rumah asli Indonesia , dicetak oleh Pertjetakan Kebajoran, diterbitkan tahun 1965 - seri kedua Tampak Depan Tampak Belakang 10 Rupiah 1963

25 Rupiah 1964

50 Rupiah 1964

100 Rupiah 1964

100 Rupiah 1964

1000 Rupiah 1958

5000 Rupiah 1958

10000 Rupiah 1964

10000 Rupiah 1964

1965-1968: seri pertama uang kertas (' Soekarno ') Hiperinflasi awal tahun 1960-an mengakibatkan pembacaan 'rupiah baru' dianggap hanya senilai 1.000 rupiah lama. Penarikan uang lama berarti sama dengan penerbitan uang kertas baru, dengan Keputusan Presiden 13 Desember 1965. Keputusan resmi Bank Indonesia untuk menerbitkan uang kertas fraksional untuk pertama kalinya (meski uang pecahan 1 dan 2 rupiah masih dikeluarkan oleh pemerintah sendiri), dalam pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen tertanggal emisi 1964 menampilkan gambar para 'sukarelawan'. Tetapi kenyataannya bahwa rupiah hanya didevaluasi 10, bukan 1000 kali, sehingga membuatnya tidak berharga pada saat penerbitan dan jutaan uang kertas tidak pernah diedarkan. Semua uang kertas yang tersisa menampilkan Presiden Soekarno pada bagian depan, dan berbagai penari disebaliknya; seri ini diterbitkan oleh ' Republik Indonesia (ORI) ' dalam pecahan 1 dan 2 rupiah tertanggal emisi 1964, dan Bank Indonesia tertanggal emisi 1960 dalam bentuk pecahan 5, 10, 25, 50 , dan 100 rupiah; Uang kertas mulai dari pecahan 500 sampai 10.000 rupiah dianggap tidak perlu dikeluarkan karena terjadinya devaluasi. Untuk menyelesaikan masalah devaluasi, uang kertas lama ditarik kembali selama tahun 19651966. Pada tahun 1967, karena sifat yang terbatas dari devaluasi, maka dirasa perlu untuk menambahkan pecahan 500 dan 1.000 rupiah namun dalam desain yang sama. the 'New Rupiah' (1965 devaluasi), Republik Indonesia Tampak Depan Tampak Belakang 1 1961 Rupiah

2 1/2 Rupiah 1961

1 1964

Rupiah

2 1/2 Rupiah 1964 the 'New Rupiah' (1965 devaluasi, ditambah penambahan denominasi 1967), Bank Indonesia 1 1964 Sen

5 1964

Sen

10 1964

Sen

25 1964

Sen

50 1964

Sen

5 1960

Rupiah

10 1960

Rupiah

25 1960

Rupiah

50 1960

Rupiah

100 1960

Rupiah

500 1960

Rupiah

1000 1960

Rupiah

2500 1960

Rupiah

5000 1960

Rupiah

1968-1970: Uang kertas seri kedua ('Sudirman') Pada tahun 1968 masa Orde Baru Suharto telah dibentuk, dan Bank Indonesia sejak 1968 diberi hak tunggal untuk mengeluarkan / mengedarkan uang kertas (termasuk uang di bawah 5 rupiah) serta uang logam (yang sebelumnya menjadi persoalan pemerintah pusat) dengan demikian ORI sudah tidak diterbitkan lagi. Oleh karena itu, edisi uang kertas baru dari pecahan 1 sampai 1.000 rupiah, tertanggal emisi 1968 semuanya dari Bank Indonesia. Uang kertas baru kali ini menampilkan pahlawan revolusi Jenderal Sudirman, didukung oleh berbagai macam pemandangan berbagai industri. Uang kertas itu diterbitkan pada tahun 1968 dan 1969. Pada tahun 1970, uang kertas dengan tema yang sama (tapi menggunakan watermark yang berbeda) pecahan 5.000 dan 10.000 rupiah juga diedarkan, sehingga memulihkan pecahan uang yang sama dengan yang telah beredar sebelum terjadi devaluasi tahun 1965. Uang kertas edisi Sudirman / industri, '1968', Bank Indonesia: Uang kertas seri Kedua pascadevaluasi, Dicetak oleh PN Pertjetakan Kebajoran Tampak Depan Tampak Belakang

1 Rupiah 1968

2 1/2 Rupiah 1968

5 Rupiah 1968

10 Rupiah 1968

25 Rupiah 1968

50 Rupiah 1968

100 Rupiah 1968

500 Rupiah 1968

1000 Rupiah 1968

5000 Rupiah 1968

10000 Rupiah 1968

Seri Diponegoro (tidak diterbitkan) Sebuah seri baru uang kertas Indonesia kali ini dimulai dari pecahan 100 rupiah, didesain dengan tema Diponegoro pada tahun 1971 (tapi dicetak tanpa tanggal emisi), namun seri ini tidak pernah diterbitkan, meskipun uang kertas pecahan 1000 rupiah pada seri ini kemudian ditambahkan tanggal emisi dan diterbitkan pada tahun 1976 (lihat di bawah), namun bagian belakang pada uang pecahan 5000 rupiah (seri ini ) juga digunakan untuk uang kertas 5000 rupiah tahun 1976, tetapi dengan desain bagian depan yang baru (bukan diponegoro lagi). Rangkaian pembatalan uang kertas ini adalah yang terakhir di Indonesia dengan tema yang konsisten, yaitu uang kertas baru biasanya mempertahankan warna yang sama dengan yang lama dari pecahan yang sama. Uang kertas edisi Sudirman / industri, '1968', Bank Indonesia: Uang kertas seri Kedua pascadevaluasi, Dicetak oleh PN Pertjetakan Kebajoran Tampak Depan Tampak Belakang 100 1971 Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

500 1971

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

1000 1971

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

5000 1971

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

10000 1971

Rupiah

~Maap, belum dapet potonya~

1976-1978: Uang Kertas seri ketiga; rupiah baru Karena pemalsuan uang kertas seri Sudirman yang merajalela, semua uang kertas pecahan 1.000, 5.000 dan 10.000 rupiah didesain ulang, tertanggal emisi 1975 dan diterbitkan pada tahun 1976. Uang kertas Sudirman 1000 rupiah keatas ditarik dari peredaran secara resmi tanggal 1 September 1977. Pendesainan ulang uang kertas pecahan 100 dan 500 rupiah diikuti pada tahun 1978, sehingga melengkapi seri ketiga dari uang kertas yang akan diterbitkan sejak devaluasi mata uang tahun 1965. Uang kertas edisi Sudirman / industri, '1968', Bank Indonesia: Uang kertas seri Kedua pascadevaluasi, Dicetak oleh PN Pertjetakan Kebajoran

Tampak Depan 100 Rupiah 1977

Tampak Belakang

500 Rupiah 1977

1000 Rupiah 1975

5000 Rupiah 1975

10000 Rupiah 1975

Selama periode tahun 1970-an, Bank Indonesia mengeluarkan 6 macam pecahan yang terdiri dari: 100 badak - 1977 500 anggrek - 1977 1000 Diponegoro - 1975 5000 nelayan - 1975 10000 relief candi Borobudur - 1975 10000 gamelan - 1979 (Lihat dibawah) Dari ke 6 macam uang kertas ini yang paling sulit ditemukan dan tentu saja bernilai paling tinggi adalah pecahan 10.000 relief candi Borobudur karena mempunyai motif dan gambar yang sangat menarik selain bergambar relief candi Borobudur di bagian depan juga gambar barong di bagian belakang sehingga sangat digemari oleh kolektor mancanegara. 1979-1982: Uang Kertas rupiah baru Seri 4 Pada tahun 1979, uang kertas pertama kali yang perlu diganti lagi adalah 10.000 rupiah (pada saat itu bernilai sekitar US $ 16). Selanjutnya uang kertas didesain ulang dan diikuti disemua pecahan kecuali 100 rupiah pada tahun 1980 dan 1982. Uang kertas rupiah '1979 ', '1980', '1982', dicetak oleh Perum Peruri Tampak Depan Tampak Belakang 500 1982 Rupiah

1000 1980

Rupiah

5000 1980

Rupiah

10000 1979

Rupiah

1985-1988: Uang Kertas rupiah baru seri 5 Uang kertas 100 rupiah yang berasal dari tahun 1977 akhirnya digantikan pada tahun 1985, penggantian semua uang pecahan diikuti pada tahun 1985, 1987 dan 1988. Uang kertas rupiah '1979 ', '1980', '1982', dicetak oleh Perum Peruri Tampak Depan Tampak Belakang 100 1984 Rupiah

500 1988

Rupiah

1000 1987

Rupiah

5000 1986

Rupiah

10000 1985

Rupiah

1992: Seri keenam uang kertas rupiah baru Di tahun 1992 terlihat suatu perbaikan yang lengkap dari semua pecahan uang kertas untuk pertama kalinya sejak 1968. Selain itu, pecahan baru uang kertas 20.000 rupiah juga ditambahkan dengan nilai US $ sekitar $ 10 pada saat itu. ini adalah pecahan baru pertama sejak 10.000 rupiah diterbitkan pada bulan April 1970 (saat itu senilai sekitar US $ 26). Sebelum tahun 1990-an di bagian bawah setiap uang kertas tercantum tulisan seperti berikut:

HERU SEOROSO DEL pada pecahan 100 rupiah 1984

SOERIPTO DEL pada pecahan 500 rupiah 1988 Kata Del berasal dari kata delineavit yang berarti "di gambar oleh", sehingga Soeripto DEL artinya "di gambar oleh Soeripto" demikian juga dengan Heru Soeroso DEL artinya "di gambar oleh Heru Soeroso". Dari sinilah edisi ke depannya, sejak memasuki tahun 1990-an, maka uang kertas kita tidak lagi mencantumkan kata-kata tersebut. Sebagai gantinya uang kertas Indonesia, tahun emisi dituliskan dalam bentuk teks kecil di tepi uang kertas (pojok bawah), dan tahun yang paling menonjol pada uang kertas itu adalah tahun kewenangan (misalnya, "Direksi 1992").

1000 Rupiah - 1992 Series printed in year 1994. Date of Authority printed in the middle of "PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP 1994" the note represents The Indonesia Currency mint 1994 Cetakan Rupiah seri '1992', dicetak oleh Perum Peruri Tampak Depan 100 1992 Rupiah

Tampak Belakang

500 1992

Rupiah

1000 1992

Rupiah

5000 1992

Rupiah

10000 1992

Rupiah

20000 1992

Rupiah

1993: Peringatan Soeharto - 50.000 rupiah Pada tahun 1993 sebuah uang kertas 50.000 rupiah (bernilai sekitar US $ 22) diterbitkan untuk merayakan "25 Tahun Pembangunan" dibuat dengan bahan polimer dan berhologram, uang ini diterbitkan secara terbatas hanya lima juta lembar saja, dan dalam bungkus penyajian / cover / folder dijelaskan rencana 25-tahun pertumbuhan sejak tahun 1969, dengan harga nilai nominal ganda : 100.000 rupiah. Desain ini menampilkan Soeharto di bagian depan dan bandara Soekarno-Hatta di bagian belakang, dengan sebuah pesawat yang sedang lepas landas melambangkan pertumbuhan Indonesia. Namun, diyakini karena penjualan yang buruk, beberapa uang polimer dikurangi. Sebuah versi lain berbahan kertas namun dengan desain serupa juga dicetak pada tahun 1993 dan 1994.

Rp50,000 Polymer note issued with folder is the first Indonesian Polymer Banknote Uang kertas Rupiah seri Soeharto '1993' Tampak Depan 50000 1993 Rupiah

Tampak Belakang

50000 Rupiah (polimer) 1993

1995: penambahan benang pengaman pada uang kertas 1992/1993 ke atas Pada tahun 1995 menjadi tahun pengenalan bagi benang pengaman untuk uang kertas Indonesia, sebuah fitur baru di semua uang kertas pecahan besar (10.000 keatas) dengan '1995 Direksi' dan yang lebih baru. Uang kertas 20.000 rupiah (tahun emisi 1992) dan 50.000 (emisi 1993) juga diberi benang pengaman. Uang kertas '1995' pembaruan benang pengaman, dicetak oleh Perum Peruri Tampak Depan Tampak Belakang 20000 1995 Rupiah

50000 1995

Rupiah

Perbaruan

untuk

pecahan

tinggi,

diperkenalkannya

100.000

rupiah

Uang kertas pecahan tinggi, 10.000, 20.000 dan 50.000 rupiah diganti pada tahun 1998 dan 1999. Ditambahkan juga sebuah uang polimer baru 100.000 rupiah (pada saat itu hanya bernilai sekitar US $ 10) diimpor dari Australia. Uang 100.000 ini tidak lagi dicetak menyusul pengenalan desain baru pada tahun 2004-2005 dan tidak lagi menjadi alat pembayaran yang sah sejak 31 Desember 2008, meskipun uang 100.000 ini tetap dapat ditukarkan di kantor Bank Indonesia hingga 10 tahun lebih lanjut. Dalam menerbitkan uang polimer, Indonesia mempunyai maksud tertentu, dan inilah penjelasannya : Bank Indonesia akan mengeluarkan uang dalam pecahan Rp100.000 pada tanggal 1 November 1999 sebagai alat pembayaran resmi. "Uang itu akan dibuat dari substrat polimer (plastik) yang lebih tahan lama dan sulit untuk dipalsukan dari pada bahan kertas" dikutip dari gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin. Untuk menghindari penipuan, uang tersebut telah dilengkapi dengan elemen anti pemalsuan yang dapat dilihat secara kasat mata dan dapat disentuh agar masyarakat akrab dengan keaslian uang. Gubernur Bank Indonesia menjelaskan bahwa penerbitan uang dengan emisi baru ini adalah untuk mempermudah dan mempercepat transaksi tunai. Gambar utama di depan uang adalah Dr Ir. Soekarno dan Dr H. Mohammad Hatta, sementara di sisi lainnya bergambar gedung DPR yang bertujuan untuk mempromosikan penghargaan kami kepada keduanya dan lembaga tertinggi untuk nilai demokratis mereka. Penerbitan diumumkan dalam Berita Negara tahun 1999 nomor 206, sementara itu bank-bank, kantor pos dan kantor kantor pelayanan masyarakat akan menerima poster uang sebagai pengumuman penerbitan di kantor mereka dan di tempat umum lainnya. Pengumuman ini juga tersedia di situs web Bank Indonesia. Jakarta, 27 Oktober 1999 BIRO GUBERNUR Uang kertas '1995' pembaruan benang pengaman, dicetak oleh Perum Peruri Tampak Depan Tampak Belakang

10000 1998

Rupiah

20000 1998

Rupiah

50000 1999

Rupiah

100000 1999

Rupiah

Uang pecahan 100.000 rupiah bergambar Sukarno Hatta ini merupakan uang polimer kedua yang diterbitkan oleh Indonesia. Sampai saat ini sekitar 36 negara yang sudah menerbitkan uang berbahan dasar polimer, sehingga mengoleksi uang polimer sudah menjadi cabang numismatik tersendiri. Seri saat ini Uang pecahan rendah, 2000 dan 2001 Pecahan rendah, 1.000 dan 5.000 rupiah diperbarui pada tahun 2000 dan 2001 dengan gambar pahlawan nasional, dan terus akan dicetak hingga hari ini. Pecahan terendah sebelumnya, 100 dan 500 rupiah sudah tidak ada lagi karena rupiah telah jatuh nilainya hingga 80% dibanding pecahan edisi sebelumnya pada tahun 1992. Rupiah seri 2000, 2001 Tampak Depan Tampak Belakang 1000 2000 Rupiah

5000 2001

Rupiah

Pembaruan pecahan tinggi 2004/2005 Uang kertas pecahan 10.000 - 100.000 diganti pada tahun 2004 dan 2005, dan uang 100.000 kembali ke desain kertas dan dicetak di Indonesia . sebagai catatan, polimer ternyata menyulitkan mesin bank untuk melakukan penghitungan, dan sebaiknya semua uang kertas diberi perangkat anti-pemalsuan saja (tidak dibuat dengan bahan polimer). Rupiah seri '2004', '2005' - Printed by Perum Peruri Tampak Depan Tampak Belakang

10000 2005

Rupiah

20000 2004

Rupiah

50000 2005

Rupiah

100000 2004

Rupiah

Uang kertas baru 2000 rupiah Setelah tertunda beberapa kali, menyusul pengumuman awal bahwa uang kertas pecahan 2000 rupiah akan menggantikan uang 1000 rupiah sebagai pecahan terendah, pecahan baru, 2.000 rupiah akhirnya resmi dirilis, dan beredar bersamaan dengan pecahan lainnya pada bulan Juli 2009. Selain uang pecahan 2000 rupiah ini, Bank Indonesia mengeluarkan uang kertas baru yang ditandatangani oleh Budiono. Walaupun bergambar sama, uang kertas 2009 mempunyai beberapa ciri yang berbeda antara lain : 1. Tanda tangan Gubernur BI yang berbeda 2. Tahun di bagian depan tercetak 2009 3. Tahun emisi yang tercetak di bagian bawah uang masih tetap sesuai dengan tahun pertama kali uang itu diterbitkan. Rupiah seri '2009' (Gubernur : Boediono) - Printed by Perum Peruri 1000 2009 Rupiah

5000 2009

Rupiah

10000 2009

Rupiah

20000 2009

Rupiah

50000 2009

Rupiah

100000 2009

Rupiah

Rupiah seri '2009' (Gubernur : Miranda S. Goeltom) - Printed by Perum Peruri Tampak Depan Tampak Belakang 2000 2009 Rupiah

Dengan demikian uang yang berlaku hingga saat ini (Des 2011) bisa dibilang dari seri 2000. Di seri ini, pecahan uang kertas (dari tahun 2000) memiliki pola yang sama (mirip) sehingga menyerupai satu seri. Mungkin dengan demikian kita bisa menyebut seri tahun 2000-an ini dengan seri pahlawan. Sampai saat ini berarti semua pecahan uang kertas telah diganti dengan uang baru yang lebih baik dalam segala hal termasuk desain, kualitas maupun keamanannya. Uang kertas bersambung / belum dipotong (Uncut) Pada tahun 2004 dan 2005 bersamaan dengan dikeluarkannya uang baru, Bank Indonesia menerbitkan uang kertas bersambung (uncut) untuk yang pertama kalinya yang terdiri dari pecahan 10.000, 20.000, 50.000 dan 100.000 rupiah dalam edisi yang sangat terbatas. Kemudian pada tahun 2009 bersamaan pula dengan dikeluarkannya uang baru pecahan 2000 rupiah, Bank Indonesia juga menerbitkan uang kertas bersambung untuk pecahan 2000 rupiah. Masing-masing pecahan uang bersambung terdiri dari 2 tipe uncut yaitu 2 lembar (2x) dan 4 lembar (4x). Setiap uang uncut dilengkapi dengan folder / wadah mewah yang berisi penjelasan dan sertifikat keaslian dan hanya diterbitkan secara terbatas (limited edition). Saat ini sangat sulit menemukan jenis uncut yang beredar di pasaran, rupanya semua uncut yang ada sudah di tangan para kolektor, harganya pun sudah tidak jelas lagi.

Uncut Series

2000 2009

Rupiah

Sheet of 2 uncut rupiah notes in the Rp 2000 denomination: Rp 50,000

2000 2009

Rupiah

Sheet of 4 uncut rupiah notes in the Rp 2000 denomination: Rp 80,000

10000 2005

Rupiah

Sheet of 2 uncut rupiah notes in the Rp 10,000 denomination: Rp 70,000

10000 2005

Rupiah

Sheet of 4 uncut rupiah notes in the Rp 10,000 denomination: Rp 200,000 20000 2004 Rupiah

Sheet of 2 uncut rupiah notes in the Rp 20,000 denomination: +/- Rp 300.000

20000 2004

Rupiah

Sheet of 4 uncut rupiah notes in the Rp 50,000 denomination: Rp -

50000 2005

Rupiah

Sheet of 2 uncut rupiah notes in the Rp 50,000 denomination: Rp 140,000

50000 2005

Rupiah

Sheet of 4 uncut rupiah notes in the Rp 50,000 denomination: Rp 400,000 100000 Rupiah 2004

Sheet of 2 uncut rupiah notes in the Rp 100,000 denomination: Rp 500,000

100000 Rupiah 2004

Sheet of 4 uncut rupiah notes in the Rp 100,000 denomination: Rp Selain uang tipe uncut 2x dan 4x, Bank Indonesia juga mengeluarkan tipe uncut 45x yaitu 45 lembar uang dalam 1 lembar dengan pecahan 10.000 dan 50.000 rupiah. Uncut 45x bisa didapatkan hanya melalui lelang. Regional Issues Terbit di daerah 5 1960 Irian Barat Rupiah

10 1960 Irian Barat

Rupiah

100 1960 Irian Barat

Rupiah

1 1961 Riau

Rupiah

5 1960 Riau

Rupiah

Specialized Issues 1 Rupiah 1947 Residen Banten

5 Rupiah 1947 Residen Banten

10 1947

Rupiah

1 1948 Keresidenan Lampung

Rupiah

1 1959 PRRI

Rupiah

Miscellaneous Local Issues, Stocks, Bonds, Cou

25 (Kupon) 1947

Rupiah -

100 Gulden (Kupon) 1948 Karesidenan Sabang

500 Gulden (Kupon) 1948 Karesidenan Sabang Uang kertas pertama kali digunakan di kepulauan Indonesia adalah pada saat pendudukan pemerintah India Belanda di nusantara . Mata uang Gulden oleh pemerintahan India Belanda digunakan sejak tahun 1815, dan mulai tahun 1827 mata uang gulden ditangani oleh De Javasche Bank . Semenjak pendudukan Jepang atas Indonesia pada tahun 1942, mata uang Gulden tetap dikeluarkan oleh 'Pemerintah Jepang' di Indonesia namun kemudian diganti menjadi 'roepiah' pada tahun 1943. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama negara merdeka. Setelah Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, Indonesia masih belum mempunyai mata uang sendiri. Saat itu mata uang yang digunakan adalah mata uang Hindia Belanda, Jepang dan De Javashe Bank. Indonesia pertama kali menerbitkan rupiah Indonesia sendiri pada tahun 1946 setelah perang kemerdekaan dengan Belanda , kemudian menyusul deklarasi kemerdekaan sepihak oleh Indonesia pada akhir Perang Dunia II pada 17 Agustus 1945. Uang ini kemudian dikenal sebagai ' Oeang Republik Indonesia ' ('oeang' sebagai ejaan lama dari 'Uang', atau 'money' dalam bahasa Inggris ). ORI (Oeang Repiblik Indonesia) yang dikeluarkan pemerintah juga dimaksudkan untuk mencegah perkembangan mata uang NICA pada tanggal 26 Oktober 1946. Dan sejak saat itu ketiga mata uang yang dulu ada dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, sehingga sejarah uang hanya ada 2 mata uang saat itu. Ternyata kebijakan itu didukung oleh rakyat. Setelah perjanjian damai yang dinegosiasikan di Den Haag tahun 1949, 'ORI' (embel embel 'sen') ditarik dari peredaran untuk digantikan dengan uang yang diakui secara internasional yaitu ' rupiah Indonesia '.

Anda mungkin juga menyukai