Anda di halaman 1dari 9

Revitalisasi Sebuah Pengantar

Revitalisasi adalah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pernah ada, namun telah memudar. Menurut Departemen Kimpraswil (2002) revitalisasi dapat dijelaskan, adalah rangkaian upaya menghidupkan kembali kawasan yang cenderung mati, meningkatkan nilai-nilai vitalitas yang strategis dan signifikan dari kawasan yang masih mempunyai potensi dan atau mengendalikan kawasan yang cenderung kacau atau semrawut. Dalam lingkup kawasan, vitalitas dapat diartikan kemampuan, kekuatan kawasan untuk tetap bertahan hidup. Hidupnya suatu kawasan dapat tercermin dari kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan sepanjang waktu di mana orang datang, menikmati, dan melakukan aktivitas-nya di sini. Namun dalam konteks perkotaan sebuah vitalitas atau revitalisasi tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi saja, tetapi perbaikan fisik dalam kawasannya yang akan dijadikan objek juga harus mendapat perhatian khusus. Vitalitas terlihat dari kualitas kehidupan di sepanjang jalan (Abramson 1981:82). Kualitas kehidupan ini dinikmati oleh suluruh lapisan masyarakat, baik pengunjung maupun pekerja, yang ditandai dengan peningkatan penjualan dan menjadi daya tarik pengunjung (Wiedenhoeft 1981:5). Adaptasi revitalisasi merupakan upaya untuk mengubah suatu lingkungan binaan agar dapat digunakan untuk fungsi baru yang sesuai, tanpa menuntut perubahan drastis atau hanya memberikan dampak yang minimal.

Pendekatan dalam Revitalisasi

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Untuk itu, revitalisasi dapat dikatakan sebagai salah satu pendekatan dalam meningkatkan vitalitas suatu kawasan kota yang bisa berupa: 1. penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan; 2. renovasi kawasan maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya; 3. rehabilitasi kualitas lingkungan hidup; dan 4. peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya. Keberhasilan pendekatan revitalisasi dalam suatu kawasan dipengaruhi oleh aspek sosial dan karakteristik kawasan yang merupakan image atau citra suatu kawasan, bukan pada ide atau konsep yang diterapkan tanpa penyesuaian dengan lingkungan kawasan tersebut. Pendekatan revitalisasi berdasarkan tingkat, sifat dan skala perubahan yang terjadi di dalam kawasan dapat dilakukan dengan preservasi/konservasi, rehabilitasi dan pembangunan kembali (redevelopment).

Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali aktivitas perkotaan/perdesaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota/desa.

Revitalisasi pada prinsipnya tidak hanya menyangkut masalah konservasi bangunan dan ruang kawasan bersejarah saja, tetapi lebih kepada upaya untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali kawasan dalam konteks kota yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya agar berfungsi kembali, atau menata dan mengembangkan lebih lanjut kawasan yang berkembang sangat pesat namun kondisinya cenderung tidak terkendali.

Beberapa Tahapan Revitalisasi

Pelaksanaan revitalisasi harus melalui beberapa tahapan, di mana masing-masing tahapan harus memberikan upaya untuk mengembalikan atau menghidupkan kawasan dalam konteks perkotaan. Dengan demikian konservasi bangunan dan kawasan bersejarah merupakan tempat yang dapat difungsikan kembali menjadi kawasan yang mempunyai nilai sosial-ekonomi tinggi. Tahapan-tahapan yang dapat kita cermati di antaranya adalah: 1. Intervensi fisik, intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan; 2. Rehabilitasi ekonomi, revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi; dan 3. Revitalisasi sosial/institusional, keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan beautiful place.

Pertanyan yang mendasar adalah, apakah ketiga hal di atas dapat memperbaiki penurunan kualitas kawasan perkotaan dan dapat memberikan pemaknaan kembali pada daerah yang menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Dengan menghidupkan kembali kawasan ini tentunya harus mempertahankan historis budaya masyarakat dan kawasannya. Pengendalian kawasan menjadi sangat penting di sini agar perkembangan dan pembangunan di masa mendatang tidak merusak lingkungannya. Seperti dikatakan

Danisworo (2000), hilangnya vitalitas awal dalam suatu kawasan historis budaya umumnya ditandai dengan kurang terkendalinya perkembangan dan pembangunan kawasan, sehingga mengakibatkan terjadinya kehancuran kawasan, baik secara self destruction maupun creative destruction.

Kawasan Revitalisasi

Kawasan merupakan suatu wilayah yang di dalamnya terdapat kawasan bersejarah yang dahulu hidup dan vital dan mampu mempertahankan eksistensinya. Ironisnya dalam proses perkembangan sebuah kota, berbagai indikasi penurunan kualitas fisik justru dapat dengan mudah diamati pada kawasan bersejarah tersebut. Kawasan yang mempunyai nilai sejarah tinggi perlu adanya mekanisme untuk pemeliharaan dan kontrol terus menerus agar kualitas yang terdapat di dalam lingkungan tersebut dapat secara produktif dikembangkan ke masa depan. Ada beberapa tingkatan dalam revitalisasi kawasan, yaitu berdasar fungsi, letak serta ke-kuno-an dan ke-sejarahan kawasannya. Kawasan-kawasan revitalisasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Ditinjau dari fungsi kawasan: - Revitalisasi kawasan perniagaan; - Revitalisasi kawasan perumahan; - Revitalisasi kawasan perindustrian; - Revitalisasi perkantoran pemerintah; - Revitalisasi kawasan olah raga, dan fasilitas sosial lainnya; dan - Revitalisasi kawasan khusus. 2. Ditinjau dari letak kawasan: - Revitalisasi kawasan pegunungan/per-bukitan; Revitalisasi kawasan tepian air (sungai, laut, danau); - Revitalisasi kawasan perairan/rawa; dan Revitalisasi kawasan khusus lainnya. 3. Ditinjau dari ke-kuno-an dan ke-sejarahan: - Revitalisasi kawasan bersejarah; dan - Revitalisasi kawasan baru.

Keterlibatan Masyarakat Dalam Revitalisai

Peran masyarakat akan sangat berpengaruh dalam proses revitalisasi, hal ini menjadi bagian penting dalam pendekatan dan pelaksanaannya. Faktor sosial-ekonomi mempunyai peran penting, tetapi aspek budaya akan lebih berperan dalam pendekatan sejarah lokalnya. Kearifan lokal sebaiknya lebih dominan di dalam proses revitalisasi dalam konteks arsitektur perkotaan. Revitalisasi dengan mengajak

masyarakat ikut berpartisipasi baik dalam perencanaannya maupun pelaksanaannya merupakan langkah interaktif demi mencapai keberhasilan program revitalisasi kawasan tersebut. Dengan adanya peran serta masyarakat dapat menjadikan kawasan tersebut kawasan yang hidup dan tertata dengan baik karena masyarakat memiliki dan mampu memeliharanya. Sebagai konsekuensinya pasti membutuhkan waktu yang panjang, karena revitalisasi harus ditumbuhkan dengan akar yang kuat agar mampu berkembang secara berkelanjutan, sepanjang masa. Menurut Widayati (2000:88), kenapa tidak memualai dengan sesuatu yang telah dipunyai oleh masing-masing kota yang nantinya kalau sudah tertata dengan baik akan menjadi ciri dari kota tersebut? Sebagai contoh, permasalahan revitalisasi kawasan kota tua Jakarta dibahas dari berbagai sudut pandang, mulai dari potensi kesejarahannya, studi perbandingan dengan kasus sejenis dari mancanegara, pendekatan komersial dalam merevitalisasi kawasan hingga kepada peranan museum pada kawasan tersebut. Menarik untuk dicermati adalah adanya semangat dan nuansa baru dalam menentukan common goal-nya (Martokusumo 2000).

Revitalisasi dalam pelaksanaannya sering menghadapi persoalan yang terdapat di masyarakat, seperti ketidakserasian pendapat antara pihak pemerintah dan pihak pemilik bangunan. Hal ini lebih disebabkan karena pihak pemilik bangunan sering tidak mempunyai dana untuk pemeliharaan bangunan, sementara pihak pemerintah belum mampu untuk memberikan subsidi kepada para pemilik bangunan. Di lapangan seringkali didapati ketidaksesuaian antara harapan dan keinginan masyarakat. Pengaruh pendidikan, latar belakang budaya, dan kesadaran akan pemahaman akan kearifan lokal yang dapat dijadikan aset pemerintah setempat menjadikan sebuah hambatan. Mempertahankan budaya dalam sebuah kawasan dengan segala kearifannya yang akan direvetalisasi belum tentu dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu ditegaskan yang menurut Martokusumo (2000) adalah: pertama, hanya sebagian kelompok masyarakat yang bisa memahami gagasan konservasi yang sementara ini memang masih elitis, terutama sekali mereka yang pernah mengenyam pendidikan barat; kedua, adanya kecenderungan dari pihak institusi terkait untuk melihat tapak dan bangunan (topos) sebagai suatu barang komoditas; dan ketiga, kondisi bangunan dan lingkungan yang relatif mudah rusak mengingat faktor iklim dan kondisi geografis lingkungan.

Untuk itu perlu diperhatikan ada beberapa hal di antaranya bahwa: 1. Pelaksanaan revitalisasi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat yang bukan hanya sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas perlunya partisipasi masyarakat; 2. Keterlibatan masyarakat ini terkait erat karena revitalisasi berarti adanya kegiatan baru dalam suatu kawasan, sehingga keterlibatan tersebut didukung oleh pemahaman yang mendalam tentang revitalisasi dan konservasi; 3. Sosialisasi tentang pentingnya revitalisasi perlu diupayakan untuk mengubah dan menumbuhkan kemauan publik dan swasta untuk melakukan investasi pada pelestarian pusaka alam dan budaya dengan tujuan menjadikan kawasan yang terpelihara dan bahkan berkembang sepanjang masa.

Sebagai contoh, Historic Massachusetts USA, yang bermitra dengan penduduk lokal dan berbagai organisasi untuk revitalisasi, menyeleksi sumber daya budaya untuk revitalisasi dan menetapkan tiga buah kriteria dasar: a. sumber daya tersebut harus menunjukkan hubungan yang penting antara pelestarian dan kebangaan masyarakat setempat; b. sumber daya tersebut harus potensial menjadi katalisator usaha revitalisasi dan pembangunan; dan c. sumber daya tersebut harus memiliki dukungan masyarakat dan politik.

Pada hal kalau ditelusuri, kawasan lama biasanya mempunyai banyak potensi antara lain (Widayati 2000:92): 1. Kehidupan masyarakatnya masih tradisionil baik dari segi spiritualnya maupun kulturalnya; 2. Masyarakat setempat biasanya mempunyai mata pencaharian berupa kerajinan tangan sesuai dengan daerahnya masing-masing; 3. Mempunyai kesenian rakyat; 4. Mempunyai lahan atau bangunan yang spesifik yang dapat dijadikan objek wisata; dan 5. Mempunyai situs peninggalan masa lalu yang berkaitan dengan sejarah.

Apa yang telah dijelaskan di atas masih perlu ada satu pendekatan lagi, yaitu bagaimana budaya lokal yang melekat pada lingkungan atau kawasan bersejarah tersebut dapat diungkapkan dengan baik dan jelas. Aspek perilaku masyarakat memang sangat menentukan, demikian juga aspek kondisi geografisnya bila kawasan perkotaan ataupun perdesaan akan dijadikan objek pelestarian yang terkait dengan revitalisasi.

Semuanya ini dapat dilakukan tanpa merubah ciri khas dari tempat di sekitar kawasan atau lingkungan bersejarah itu sendiri. Kalau hal ini berhasil dilakukan, maka revitalisasi kawasan bersejarah akan berhasil dalam pelaksanaannya. Bagaimanapun juga warisan budaya masa lalu telah dihadirkan pada kawasan dalam bentuk fisik, maka identitas fisik itu perlu dipertahankan dan dijaga sebagai bagian dari pelestarian budaya bangsa.

Penggunaan Teknologi Informasi

Sebenarnya penggunaan informasi ini sebagai salah satu cara untuk dapat menginformasikan hal-hal yang dapat didokumentasikan dalam melihat budaya apa yang terdapat di kawasan atau lingkungan

tersebut. Tinggalan fisik arsitektural apa yang dapat memberikan jaminan untuk melindungi bangunan tersebut yang dapat diperlihatkan secara fisik bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi tentang sejarah fisik kawasan itu. Untuk itu perlu ada: 1. identifikasi dan dokumentasi berbagai sumber daya alam dan budaya dalam dokumentasi digital dan dapat diwujudkan dalam website, sehingga mudah diakses; 2. berbagai gagasan revitalisasi disosialisasikan melalui website dan pemasangan hasil cetaknya di tempat-tempat strategik; 3. membuat forum dalam bentuk mailing list agar masyarakat dan semua pihak dapat menyampaikan pendapatnya secara langsung dan berdiskusi tentang revitalisasi secara terbuka; 4. pameran secara regular tentang pengembangan upaya revitalisasi melalui produkproduk teknologi informasi di lokasi atau di luar lokasi dapat dilakukan untuk menjaring gagasan dan kemitraan; dan 5. melalui upaya ini dapat dirumuskan pula beragam insentif yang akan diberikan kepada pihak-pihak yang melaksanakan program pelestarian dan revitalisasi.

Keuntungan Pemaduan Kegiatan Pelestarian dan Revitalisasi

Kedua kegiatan ini perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaannya, konsep yang ditata dalam sebuah pemikiran dalam hal ini pelestarian dan revitalisasi, ternyata membutuhkan kecermatan dalam implementasi di lapangan. Ada beberapa hal yang dapat dipakai sebagai dasar dalam memadukan kedua kegiatan tersebut, di antaranya: 1. Keuntungan budaya, diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah, sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment) pada sejarah atau kejadian penting di masa lalu. 2. Keuntungan ekonomi, yaitu dapat meningkatkan taraf hidup, mengurangi pengangguran lokal, omset penjualan, naiknya harga sewa, pajak pendapatan oleh pemerintah daerah. 3. Keuntungan sosial, timbul karena meningkatnya nilai ekonomi dan menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat. Ketiga keuntungan tersebut harus dapat memeberikan kontribusi pemahaman bagi masyarakat yang kawasan atau lingkungannya akan di revitalisasi. Pendekatan ini membutuhkan waktu yang lama selain penataan fisik kawasannya, sehingga keuntungan sosial juga harus dapat mempertahankan budaya masyarakat setempat yang akan ditata untuk masa mendatang. Budaya masyarakat harus berjalan dan dipertahankan agar masyarakat merasa ikut memiliki warisan budayanya. Meningkatnya daya dukung sosial masyarakat sekitar dalam tataran ekonomi harus dapat memberikan jaminan. Perjalanan masa depan kawasan secara fisik harus terjaga sedemikian rupa dalam menghadapi perkembangan, sehingga sejarah fisik masa lalu lingkungan dan kawasan tersebut dapat langgeng dan terjaga dengan baik.

Pendekatan Budaya Dalam Revitalisasi

Budaya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat perlu mendapat tempat dalam pelaksanaan revitalisasi. Sentuhan budaya akan dapat memberikan arah dan tujuan baik pelestarian fisik maupun non fisik. Baik secara tata ruang kotanya maupun arsitektur bangunannya harus benar-benar mendapat prioritas utama untuk dipertahankan dari segala macam penghancuran maupun perusakan. Perlu diingat bahwa permasalahan pada kawasan atau lingkungan bersejarah itu bukan saja hanya persoalan arsitektur. Kebudayaan pada dasarnya merupakan segala macam bentuk gejala kemanusiaan, baik yang mengacu pada sikap, konsepsi, ideologi, perilaku, kebiasaan, karya kreatif, dan sebagainya. Hal ini yang perlu dipahami di dalam melakukan revitalisasi, kecenderungan dan karakteristik wilayah dan kawasan kota besejarah harus dipahami sebagai bekal awal untuk melangkah. Budaya yang melekat pada wilayah kota terbuka luas dan tidak dapat diselesaikan dengan waktu singkat, karena budaya menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Faktanya sangat kompleks selain memiliki kekhasan dan terkadang memiliki ciri yang sangat universal baik fisik dan perilaku budayanya. Memang, dalam pengertian kebudayaan juga termasuk tradisi, dan tradisidapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adapt istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan ceritera tentang perubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalu memberi yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayan yang sudah ada (van Peursen 1976:11).

Demikian juga revitalisasi bukan hanya sekadar bagaimana menciptakan sebuah tempat dengan beautiful place belaka, tetapi lebih kepada interesting place. Untuk itu perlu dikembangkan pemikiranpemikiran yang kontekstual maupun holistik, yang berangkat dari budaya masyarakat setempat beserta seluruh kearifan lokalnya yang masih melekat, dan dikombinasikan dengan permasalahan lingkungan yang berkembang saat ini. Keunikan tersebut, selain aspek sosial budaya, mengandung kearifan lokal yang dapat menjadi daya tarik wisata, dan berpotensi meningkatkan peertumbuhan ekonomi kreatif masyarakat. Potensi aset budaya tersebut memiliki nilai kesejarahan, dan menjadi suatu rangkaian pusaka (heritage) yang perlu dilestarikan bahkan potensial untuk dikembangkan secara positif, berkesinambungan serta dapat dijadikan pijakan (Ernawi 2009:1). Revitalisasi harus dipandang sebagai sebuah objek budaya dengan segala aspek yang melingkupinya, dan perlu dipadukan dengan permasalahan sosial, ekologi dan arsitektural yang sudah tertata di kawasan atau lingkungan bersejarah tersebut. Hanya saja, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengakomodasikan permasalahan sosial, ekologi serta aspek terkait lainnya melalui sebuah kegiatan pelestarian. Ernawi (2009:2) menjelaskan, bahwa dunia dipenuhi oleh banyak entitas kebudayaan yang saling berasimilasi, berakulturasi, atau bahkan saling berkompetisi satu sama lain. Dengan adanya arus globalisasi, dunia dihadapkan pada arus budaya tunggal yang evolusinya bergulir begitu kuat, hingga bahkan dapat menggeser tatanan budaya lokal hampir di seluruh belahan dunia.

Budaya harus dilihat sebagai fenomena pilihan hidup yang terdapat dalam sebuah kawasan bersejarah yang tentu saja selalu eksis dan berkembang. Cara melihatnya pun harus dalam konteks ruang dan waktu. Kawasan bersejarah telah menjadi milik kolektif masyarakat yang mendiami kawasan tersebut, baik dalam perilaku dan konfigurasi unik dalam cita rasa yang khas serta gaya yang dipunyainya. Penentuan atau pemilihan setting kawasan yang akan direvitalisasi harus benar-benar siap respek dijadikan objek pelestarian. Tempat atau lokasi yang akan dijadikan objek revitalisasi harus mempunyai peninggalan fisik arsitektural baik bangunan, lingkungan maupun budaya masyarakatnya. Fenomena budaya lingkungan dan masyarakat setempat harus menjadi nilai penting dalam proses pelaksanaan revitalisasi.

Sumber Pustaka

Ernawi, I. S., 2009. Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang. Makalah dalam Seminar Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan. Malang, 7 Agustus 2009.

Hartono, S. & Handinoto. 2000. Alun-alun dan Revitalisasi Identifikasi Kota Tuban. Dimensi Teknik Arsitektur : 1-11.

Kautsary, J. 2008. Sudaryono & Subanu, L.P. 2008. Makna Ruang Dalam Permukiman Pecinan (Aspek yang Terlupakan Dalam Upaya Revitalisasi Kawasan). Seminar Nasional Eco Urban Design. Semarang: Universitas Diponegoro. 1-12.

Martokusumo, W. 2000. Revitalisasi Kota Tua Jakarta. www.arsitekturindis.com/. (6 September 2009)

Van Peursen, C.A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Widayati, N. 2000. Penyertaan Peran Serta Masyarakat dalam Program Revitalisasi Kawasan Laweyan di Surakarta. Dimensi Teknik Arsitektur. 28 (2): 88-97

Wongso, J., Alvares, E. & Zulherman. Strategi Revitalisasi Kawasan Pusat Kota Bukittinggi Sumatera Barat.

Copyright 2009 by Antariksa http://antariksaarticle.blogspot.com/2009/12/budaya-dalam-revitalisasi-perkotaan.html

Anda mungkin juga menyukai