Anda di halaman 1dari 4

BAB DEMAM TIFOID Epidemiologi Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang

berkembang. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin dan tinja dalam waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran kering maupun pada pakaian. Terjadi penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal). Etiologi Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negative, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Patogenesis Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu : 1. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch , 2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch , nodus limfatikus mesentrikus dan organ-organ ekstra intestinal system retikuloendotelial 3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. Manifestasi Klinis

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan factor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik penjamu serta lama sakit dirumahnya. Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Penampilan demam pada kasus demam tifoid yaitu step ladder temperature chart yang ditandai demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke 4 demam turun secara perlahan secara lisis, kecuali terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai dengan gejalla sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma. Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat , pada saat demam tinggi akan tampak toksik/ sakit berat. Bahkan dapat dijumpai pasien dating dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Pada anak Indonesia lebih banyak ditemukan hepatomegali dibandingkan splenomegali. Bfradikardi relative jarang ditemukan pada anak. Komplikasi Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari darah. Pada 2 minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. Typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilannya kecil. Uji serologi widal suatu metode serologic yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen soamtaik (O), flagella(H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan titer O agglutinin > 1/40 dengan memakai ujian widal slide

agglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O agglutinin sekali periksa >1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali ganda maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. Typhi (karier). Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibody S. Typhi dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. Typhi dalam darah dan faeses. Diagnosis banding Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronchitis dan

bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularaemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding. Tatalaksana Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgbb/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomeilitis akut dan 4 minggu untuk meningitis. Ampisilin memberiakn responperbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/ kgbb/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100mg/kgbb/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolate rentan. Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/ kgbb/ hari selama 10 hari dapat dibetrikan sebagai alternative, terutama jumlah leukosit <2000/ul atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi. Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium , obtundasi, stupor, koma dan shock pemberian deksametason inravena ( 3mg/kg diberikandalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1mg/kg setiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.

Ampisilin ( atau amoksilin) dosis 40mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan probenesid 30mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral selam 406 minggu kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Prognosis Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. Ser Typhi >3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5 % dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu skistosomiasis. Demam tifoid, buku ajar Infeksi dan pediatri Tropis , Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012,pg 338-46 . member angka

Anda mungkin juga menyukai