Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KESEHATAN REPRODUKSI ISU GENDER DAN SEKSUALITAS KELUARGA BERENCANA

Oleh: Usdah NIM: 110405132

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) ABDI NUSANTARA JAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan (March, 1999). Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat

masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan (UNESCO, 2003). Program keluarga berencana yang mengedepankan hak-hak reproduksi, pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender telah disepakati oleh semua negara pada Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi kepada pelaksanaan program keluarga berencana di Indonesia yang memperhatikan ketiga hal penting tersebut. Sosialisasi mengenai hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender menjadi kegiatan yang selalu menjadi perhatian dalam pelaksanaan program, demikian pula halnya dalam pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Upaya pemberdayaan perempuan dimaksudkan agar perempuan mempunyai posisi tawar dan posisi setara dalam pengambilan keputusan KB dan kesehatan reproduksi.

Makalah ini akan membahas masih terdapatnya suatu diskriminasi gender pada pengambilan keputusan KB yang terlihat dari kurang populernya kurangnya peran serta dari pria dalam pengambilan keputusan KB, meskipun telah banyak dilakukan sosialisasi tentang penyetaraan gender.

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Gender Istilah gender berasal dari bahasa latin genus yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, gender merupakan perilaku atau pembagian peran antara lakilaki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia (March, 1999). Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah jender. Jender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni lakilaki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan (KBBI, XXXX). Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions) (UNESCO, 2003). Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya Gender sebagai suatu kesadaran sosial Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Gender dapat dideskripsikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih, 1997). Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (March, 1999). WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat (WHO, 2009). Berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat manusia, istilah gender merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3 September 1995) Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu (Mosse, 1996). Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin

saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki (March, 1999).

2.2 Seksualitas Seks adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis. Istilah sex (dalam KBBI juga berarti jenis kelamin) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya (WHO, 2009). Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.(Mosse, 1996). 2.3 Perbedaan Gender dan Seksualitas. Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi sosial budaya, sedangkan sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender (Mosse, 1996).

2.3 Isu Gender Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Pada umumnya kesenjangan ini dapat dilihat dari faktor akses, partisipasi, manfaat dan pengambilan keputusan (kontrol).

2.4 Diskriminasi Gender Ketidakadilan gender merupakan berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. Ketidakadilan gender sering terjadi dan terkait dengan berbagai faktor. Mulai dari kebutuhan ekonomi, budaya dan lain lain. Masalah gender yang sudah ada sejak jaman nenek moyang, merupakan masalah lama yang sulit untuk di selesaikan tanpa ada kesadaran dari berbagai pihak yang bersangkutan. Budaya yang mengakar di Indonesia kalau perempuan hanya melakukan sesuatu yang berkutik didalam rumah membuat ini menjadi kebiasaan yang turun temurun yang sulit di hilangkan. Bentuk diskriminasi gender yang banyak ditemui, antara lain:
o

Marginalisasi (peminggiran). Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).

Subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki.

Stereotip (citra buruk) yaitu pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.

Violence (kekerasan), yaitu serangan fisik dan psikis. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas. Perkosaan,

pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.
o

Beban kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus. Misalnya, seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping itu, kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.

BAB III TINJAUAN KASUS

10

BAB IV PEMBAHASAN

Kasus yang ada menunjukkan adanya peranan yang amat terbatas dari laki-laki terhadap pelaksanaan program Keluarga Berencana. Hal ini terlihat dari kurang populernya metode KB pria yang salah satunya bisa disebabkan oleh kurangnya sosialisasi atau anggapan masyarakat sendiri tentang peran gender dalam KB. Dalam pelaksanaan program keluarga berencana selama ini, terdapat beberapa isu gender yang cukup menyolok, diantaranya, yaitu :
o Akses laki-laki terhadap informasi dan pelayanan KB masih sangat

terbatas (a.l.baru 39% pria mengetahui metode vasektomi dan lebih dari 88% mngetahui metode KB bagi perempuan, serta anggapan KB urusan perempuan);
o Peserta KB laki-laki baru mencapai 1,3% dari total 58,3% peserta KB; o Masih sangat sedikit laki-laki yang mengetahui manfaat KB bagi diri

dan keluarganya;
o Masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan KB dan

kesehatan reproduksi. Klien adalah seseorang yang membutuhkan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, baik informasi maupun pelayanan konseling dan pelayanan medis. Klien, baik laki-laki maupun perempuan, seyogyanya mencari informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi kepada petugas di tempat pelayanan yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Dengan pemahaman tentang KB dan kesehatan reproduksi ini laki-laki dan perempuan dapat secara seimbang berpartisipasi serta memperoleh manfaat yang sama dari informasi dan pelayanan KB- kesehatan reproduksi. Dengan bekal informasi ini pula suami dan isteri dapat saling mendiskusikan permasalahan KB dan kesehatan reproduksi, tanpa ada salah satu pihak yang dominan dalam pembahasan maupun pengambilan keputusan. Pemberi pelayanan, yang sering disebut dengan provider, seyogyanya peka terhadap isu gender dalam upaya memenuhi secara seimbang kebutuhan akan KB dan kesehatan reproduksi klien laki-laki dan perempuan. Provider yang dimaksudkan disini adalah petugas medis seperti dokter dan bidan, juga petugas

11

lapangan KB. Efektivitas pelaksanaan program kesehatan reproduksi dan keluarga berencana sedikit banyak tergantung kepada pemahaman peran gender dari pemberi pelayanan kesehatan reproduksi dan KB. Pemberi pelayanan hendaknya tidak diskriminatif terhadap klien laki-laki dan perempuan yang memerlukan pelayanannya. Demikian pula halnya dengan sarana-peralatan yang ada diupayakan dapat memenuhi kebutuhan klien laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender merupakan suatu kondisi ketidak-seimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, sehingga salah satu pihak merasa dirugikan karena tidak dapat berpartisipasi dan memperoleh menfaat dari pelayanan tersebut. Ada tidaknya kesenjangan dalam KB dan kesehatan reproduksi dapat dilakukan melalui proses analisis gender, antara lain dapat dilihat dari faktor akses (jangkauan), manfaat, partisipasi (keikut-sertaan) serta pengambilan keputusan (kontrol). Hal ini terjadi karena beberapa alasan antara lain:
o

Pelaksanaan program KB masa lalu yang lebih diarahkan untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu sehingga ibu menjadi sasaran pokok program.

Terbatasnya sarana pelayanan pria: hanya 4% tempat pelayanan yang melayani pria (studi Wibowo,2002)

Rendahnya pengetahuan laki-laki tentang KB (39% laki-laki yang mengetahui vasektomi) dan kesehatan reproduksi antara lain karena masih sangat terbatasnya informasi tentang kontrasepsi pria dan kesehatan reproduksi.

Terbatasnya jenis kontrasepsi pria (hanya kondom dan vasektomi) menjadikan laki-laki enggan untuk menjadi peserta KB.

o o

Anggapan masyarakat tentang KB urusan perempuan. Tingginya dominasi suami dalam pengambilan keputusan perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak.

Masih terbatasnya pengetahuan laki-laki dan perempuan mengenai kesetaraan dan keadilan gender dalam KB dan kesehatan reproduksi.

Kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu kondisi yang menunjukkan hubungan harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi dapat terwujud bila

12

memenuhi beberapa persyaratan, baik dari sisi klien, pemberi pelayanan maupun program KB dan kesehatan reproduksi itu sendiri. Klien: 1. Peran dan tanggung jawab bersama suami dan isteri dalam merencanakan jumlah dan jarak kelahiran anak, meningkatkan pengetahuan tentang hak-hak reproduksi KB dan kesehatan

reproduksi serta dalam memilih dan menggunakan kontrasepsi. 2. Peran tanggung jawab bersama dalam penanganan kesehatan maternal dan anak, serta masalah-masalah kesehatan reproduksi. 3. Pemahaman laki-laki dan perempuan akan KB dan kesehatan reproduksi secara benar mendorong terjadinya posisi setara antara laki-laki/suami dan perempuam/isteri dalam pengambilan keputusan KB dan kesehatan reproduksi. Pemberi pelayanan 1. Pemberi pelayanan seyogyanya peka gender sehingga mampu melayani kebutuhan KB dan kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan akan informasi dan pelayanan, tidak hanya salah satu pihak saja. 2. Jenis kontrasepsi dan peralatannya memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan. 3. Informasi jelas dan akurat diberikan secara seimbang kepada laki-laki dan perempuan. 4. Waktu pelayanan dapat memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan secara seimbang. 5. Lokasi pelayanan relatif mudah dijangkau oleh laki-laki dan perempuan. Program: 1. Program KB dan kesehatan reproduksi yang dikembangkan responsif gender, yaitu program yang perencanaan dan pelaksanaannya mampu memenuhi kebutuhan laki-laki atau perempuan secara seimbang. 2. Sasaran komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) adalah laki-laki dan perempuan. 3. Isi pesan yang dikembangkan memperhatikan prioritas kebutuhan lakilaki dan perempuan.

13

4. Pelayanan KB dan kesehatan reproduksi memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan.

14

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara biologis. Gender merupakan perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan program keluarga berencana selama ini, terdapat beberapa isu gender yang cukup penting, yaitu akses laki-laki terhadap informasi dan pelayanan KB masih sangat terbatas; peserta KB laki-laki yang cukup sedikit; kurangnya pemahaman manfaat KB bagi diri sendiri dan keluarga, serta masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan KB dan kesehatan reproduksi. 5.2 Saran Pentingnya peningkatan pemahaman masyarakat akan program KB yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan saja, tetapi ada peran penting dari laki-laki dalam penyuksesan program tersebut. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu kondisi yang menunjukkan hubungan harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Syarat tersebut dapat terpenuhi apabila klien, pemberi pelayanan dan program yang disediakan lebih beragam sehingga KB tidak lagi dianggap sebagai urusan perempuan saja.

15

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Womens Crisis Center dan Pustaka Pelajar.
March, C., Smyth I., Mukhopadhyay M. 1999. A Guide to Gender-Analysis Framework. London: Oxfam. UNESCO. 2003. UNESCOs Gender Mainstreaming Implementation Framework. WHO. 2009. What do we mean about gender and sex?.

Anda mungkin juga menyukai