Diskusi Penelitian
Littera
Edisi I - Maret 2012
b u l a n a n
Profil
Muhadjir Darwin:
> Halaman 2
> Halaman 4
PSKK UGM
Tahun 2012 menjadi masa transisi kepemimpinan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Prosesi pemilihan calon kepala pusat studi tertua di UGM ini pun telah dilaksanakan akhir tahun lalu. Dua nama yang kemudian terpilih, Dr. Setiadi dan Dr. Agus Heruanto Hadna, segera menjalani uji kelayakan dan kepatutan di tingkat Rektorat UGM. Penantian tinggal menghitung bulan.
Staf dan karyawan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (PSKK UGM) memberikan suara pada Pemilihan Kepala PSKK UGM periode 2012-2014 di Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur, Yogyakarta, Kamis (29/12).
Pemilihan Kepala PSKK UGM sedianya berlangsung pada 29 Desember 2011 di Gedung Masri Singarimbun, Bulaksumur, Yogyakarta. Kegiatan ini menindaklanjuti Surat Rektor No. 77722/P/LPPM/2011 tentang Pemilihan Kepala Pusat Studi. Sepanjang hari itu, seluruh staf dan karyawan PSKK UGM yang telah memiliki hak pilih mendengarkan pemaparan visi-misi dari tiga calon kepala periode 2012-2014, yakni Peneliti Manajemen dan Kebijakan Publik, Dr. Agus Heruanto Hadna, Wakil Kepala PSKK UGM Bidang Pendidikan Dr. Anna Marie Wattie, dan Peneliti Antropologi Dr. Setiadi. Hasil perolehan suara menunjukkan Hadna memimpin dengan 37,7 suara. Di tempat kedua Setiadi dengan 25,3 suara. Menyusul kemudian adalah Anna dengan 3,55 suara. Terdapat pula 1,55 suara yang tidak memilih alias abstain. Ketidakbulatan jumlah suara disebabkan oleh faktor
pembobotan yang berbeda antara suara dari staf, karyawan, dan asisten peneliti. Panitia Pemilihan, Triyastuti Setyaningrum, mengatakan pihaknya telah menyelesaikan pembuatan berita acara pemilihan dan menyerahkannya kepada Rektorat UGM segera setelah pemilihan selesai. Setelah berita acara itu kami tangan rektorat. Kami hanya menunggu apa pun hasilnya, ungkap Tyas ditemui di ruang kerjanya, Senin (13/2). Sebagaimana proses pemilihan kepala pusat studi yang telah berlangsung pada periode sebelumnya, dua calon terkuat dipastikan akan menjalani tes kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Namun, belum dapat diketahui secara pasti jadwal ujian itu karena baru saja berlangsung proses pemilihan (bersambung ke hlm. 8).
Maret 2012
w w w. c p p s . o r. i d
Littera
DISKUSI
n e w s l e t t e r
Littera 2
b u l a n a n Edisi Maret 2012
Sejumlah narasumber memaparkan hasil penelitian dalam Diskusi Gender dan Pemberdayaan berjudul "Memetakan Persoalan Pramuniaga di Yogyakarta" di Gedung Masri Singarimbun PSKK UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Jumat (20/1).
lapangan kerja terbatas. Kondisi ini membuat pengusaha memanfaatkan tenaga kerja murah untuk usahanya. Tenaga kerja perempuan juga lebih mudah dikendalikan, indah dilihat, menarik dipajang, dan lebih mudah didapat. Dengan demikian, pekerja perempuan berada pada posisi yang lemah, yang cenderung dieksploitasi, bukan dipandang sebagai investasi.
Dalam peraturan perusahaan itulah, berbagai hak dan kewajiban pegawai dan pengusaha diatur. Jelas bagaimana porsi kerja dari pegawai, terutama menyangkut jam kerja, istirahat, dan cuti
Banyak pemilik toko atau pengusaha yang juga tidak menghormati hak-hak pramuniaga perempuan. Misalnya, ketika mereka diketahui hamil atau sudah berusia lebih dari 30 tahun, maka pramuniaga dapat diberhentikan secara sepihak. Pramuniaga juga tidak bisa berbuat banyak karena mereka tidak mendapat kontrak kerja atau menerima surat kontrak, tapi tidak memahami isinya, lanjut Martini. Menurut Peneliti PSKK UGM, Umi Listyaningsih, S.Si., M.Si., pengusaha atau pemilik toko sebaiknya tidak hanya
mulai memperhatikan kesejahteraan pramuniaga, tetapi juga memikirkan nasib pegawainya jika kelak berhenti bekerja. Seharusnya sudah mulai dipikirkan untuk memberikan semacam pelatihan ekonomi produktif sehingga ketika pramuniaga keluar kerja, tetap berdaya bagi keluarganya atau dirinya sendiri, kata Umi. Dari sisi pemerintah, seperti diutarakan Suharyana, SKM., M.Kes., d a r i D i n a s Te n a g a Ke r j a d a n Tr a n s m i g r a s i Ko t a Yo g y a k a r t a , perusahaan yang telah memiliki 10 orang pegawai sebenarnya wajib membuat peraturan perusahaan yang disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku. Peraturan itu juga harus disahkan oleh petugas ketenagakerjaan setempat. Dalam peraturan perusahaan itulah hak dan kewajiban dari pegawai serta pengusaha diatur sehingga jelas porsi kerja dari pegawai, terutama yang menyangkut jam kerja, istirahat, dan cuti, demikian jelas Suharyana. Pemerintah Kota Yogyakarta juga berusaha meningkatkan pengawasan di bidang ketenagakerjaan. Namun untuk meningkatkan efektivitas kerja, diperlukan peran aktif dari masyarakat, pemerhati, dan penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan demikian, kondisi ketenagakerjaan dapat terpantau dengan baik. (*)
n e w s l e t t e r
Littera
b u l a n a n
PENASIHAT : Prof. Dr. Muhadjir Darwin. EDITOR : Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Dr. Setiadi, Basilica Dyah Putranti, S.Sos, MA. REPORTER : I Putu ASW Yoga Putra, S.Si., Sri Endah Setia Lestari, SIP. FOTOGRAFER : I Putu ASW Yoga Putra, S.Si., Jawadi. PENYUNTING BAHASA : Mita Sari Apituley, S.S. KONTRIBUTOR : Putri Ayu Cahyaningrum, S.Sos, Pratiwi, S.Pd. DESAIN DAN LAYOUT : Budi Riyanto, S.Kom, Sampur Ariyanto.
Littera newsletter bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
RESENSI BUKU
n e w s l e t t e r
Littera 3
b u l a n a n Edisi Maret 2012
Isu-Isu
Administrasi Publik
dalam Perspektif
Governance
Buku ini ditulis oleh Sudarmo, dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada Bab 1 (Pendahuluan), penulis mengeksplorasi persoalan-persoalan penting yang menuntut dilakukannya sebuah keputusan, topik-topik yang menarik perhatian untuk didiskusikan. Definisi administrasi publik dikupas di Bab 2. Banyak pendapat dari para pakar administrasi publik dunia dikutip di sini untuk menjelaskan sulitnya membuat definisi administrasi publik yang sederhana, tetapi komprehensif. Bab 3 membahas perkembangan paradigma administrasi negara. Administrasi negara justru banyak meminjam dan mengadopsi disiplin ilmu
kebijakan, dan tanggung jawab pemerintah dalam governance melalui kontrol birokrasi publik (Bab 6), peran negara dalam globalisasi ekonomi melalui konsep governance untuk menangani interdependensi dan interkoneksi (Bab 7), serta society dan social capital sebagai alternatif resolusi konflik (Bab 8). Terlepas dari kesalahan ketik dan formating yang cukup mengganggu, isi buku ini disampaikan menggunakan bahasa yang sederhana, poin-poinnya terstruktur dengan baik, dan disertai dengan diskusi-diskusi melalui contoh kasus terkini. Buku ini cocok bagi masyarakat umum yang ingin memahami administrasi negara.(*) lain, seperti ilmu politik, sosiologi, ekonomi, hukum, psikologi, sejarah, antropologi, serta ilmu pasti, termasuk matematika dan statistik. Bab-bab berikutnya juga membahas isu-isu administrasi publik, antara lain, Local Governance (Bab 4), Collaborative Actions melalui Collaborative Governance (Bab 5), bentuk organisasi pemerintahan, struktur administrasi, implementasi
Data Buku
Judul Isu-Isu Administrasi Publik dalam Perspektif Governance Penulis Sudarmo Penerbit SMARTMEDIA dan MAP UNS Cetakan 2011 Tebal 238 Halaman
Bagian kedua buku menganalisis korelasi antara pendidikan dengan kemiskinan. Diketahui kemudian bahwa pendidikan ternyata belum dinikmati secara merata oleh warga miskin. Pada bagian ketiga, Agus Joko Pitoyo, peneliti PSKK UGM, mengangkat fenomena remitan dari Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri guna mengatasi masalah kemiskinan di daerah asalnya. Diterbitkan untuk menyambut ulang tahun ke-37 PSKK UGM, buku ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pendiri PSKK UGM, almarhum Prof. Dr. Masri Singarimbun, yang meminati tema-tema kemiskinan. (*) Data Buku
Judul Akses Penduduk Miskin terhadap Kebutuhan Dasar Penulis Tim Peneliti PSKK UGM Penerbit PSKK UGM Cetakan Juli, 2010 Tebal 462 Halaman
dan dirangkai dengan analisis dari Muhadjir Darwin, Kepala PSKK UGM, mengenai implementasi strategi nasional penanggulangan kemiskinan sejak Orde Baru.
w w w. c p p s . o r. i d
Littera newsletter bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
PENELITIAN
n e w s l e t t e r
Littera 4
b u l a n a n Edisi Maret 2012
Tumbuh sebagai remaja berkebutuhan khusus tidak membuat Diah terkucil dari lingkungan sosialnya. Sebaliknya, perempuan tuna rungu ini justru terkenal di kalangan masyarakat Desa Lido, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, karena berhasil membangun daerahnya melalui inovasi alat tenun tradisional.
Diah, yang namanya disamarkan, memang telah lama tertarik mempelajari cara membuat kain tradisional. Selama bertahun-tahun, Diah menyadari keterbatasan alat tenun yang tidak dapat memproduksi kain dengan lebar lebih dari 50 sentimeter. Ini membuat kain tenun itu sulit dijadikan pakaian tertentu, seperti jas atau full dress. Kalaupun dapat, sambungan kain akan terlihat. Namun komunikasi menjadi kendala bagi Diah yang bisu tuli, padahal gagasan besar untuk merekonstruksi ulang alat tenun telah ada di pikirannya. Diah pun bergerak sendiri. Ditemani sang kakak sebagai penerjemah bahasa isyarat, Diah mendatangi seorang pembuat alat tenun tradisional untuk membuat alat tenun baru. Bermodal Rp800 ribu , ia pun menciptakan alat tenun yang dapat menghasilkan kain selebar 1,1 meter. Alat tenun baru ini tak hanya memudahkan Diah berkarya, tetapi juga sukses menghantarkan perempuan 26 tahun ini meraih peringkat kedua Pemuda Pelopor Nasional Bidang Teknologi Tepat Guna tahun 2010. Namanya pun tenar hingga kancah nasional. Seketika itu perhatian tertuju pada Diah. Pemerintah daerah dan pusat berlomba-lomba membantu pengembangan usaha kain tenun Diah sehingga ia dapat membentuk Kelompok Usaha Tenun Sabua Ade yang
Memberi Kesempatan
beranggotakan 15 perempuan muda lain di desanya. Perekonomian Desa Lido terus tumbuh. Kisah sukses pemuda membangun daerahnya juga terdengar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di negeri komodo ini, hidup Jack, juga disamarkan namanya, seorang pemuda yang berjuang membangun daerahnya sekaligus menjaga kelestarian alat musik sasando sebagai warisan budaya tradisional. Lahir dari keluarga pemain musik sasando, Jack tidak hanya mahir memainkan alat musik berdawai itu, tetapi juga membuatnya sendiri dari rangkaian daun nipah. Keahlian ini pula yang membuat Jack, bersama saudarasaudaranya, terkenal hingga seantero Nusantara. Berkat semangat dan kerja keras Jack pula, Kabupaten Kupang kini kian kondang dan terus didatangi wisatawan dalam dan luar negeri yang penasaran dengan sasando. Namun Jack tak lantas senang karena kenyataannya hingga saat ini pemerintah daerah belum juga memberi perhatian khusus untuk pengembangan sasando. Ia pun menyayangkan hal itu.
Jack dan Diah merupakan bukti bahwa dalam diri setiap kaum muda terdapat kemampuan unik yang menjadikan mereka sebagai agen perubahan bagi diri sendiri maupun lingkungan sosial. Akan tetapi, bukan perkara mudah bagi mereka untuk berperan nyata apalagi sampai menentukan arah kebijakan pembangunan demi pencapaian tata pemerintahan yang baik. Kesadaran akan pentingnya peran, tanggung jawab, dan hak kaum muda inilah yang menjadi latar belakang Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) untuk meneliti Potensi Kaum Muda dalam Tata Kepemerintahan yang Demokratis. Dengan dukungan The Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS), penelitian dilakukan di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, fokus dari penelitian yang berlangsung sepanjang 2011 ini adalah partisipasi kaum muda dalam Musyawarah Perencanaan Pe m b a n g u n a n ( M u s r e n b a n g ) .
w w w. c p p s . o r. i d
Littera newsletter bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
PENELITIAN
n e w s l e t t e r
Littera 5
b u l a n a n Edisi Maret 2012
Musrenbang merupakan forum dialogis antara pemerintah lokal dan pemangku kebijakan di masyarakat guna mendiskusikan dan menyepakati program pembangunan.
Partisipasi Nihil
Pada kenyataannya, kehadiran kaum muda dalam Musrenbang boleh dibilang nihil. Hanya sedikit kaum muda yang mengisi daftar hadir. Itu pun diragukan kemudaannya karena secara usia, wakil pemuda di forum ini telah melampaui batas Konvensi Internasional (PBB) tentang kaum muda, yakni antara 1524 tahun. Dari pengamatan di lapangan, dijumpai Ketua Karang Taruna yang telah berusia 52 tahun atau pemudi berumur 42 tahun. Mereka dianggap mewakili kaum muda hanya karena belum menikah. Dari hasil wawancara semi terstruktur, Focus Group Discussion (FGD), dan juga penelusuran sejarah diri (life history), diketahui ada kesenjangan antargenerasi dan budaya paternalistik yang memarginalkan posisi pemuda. Alih-alih dilihat sebagai aset dan subjek pembangunan, kaum muda justru dipandang sebagai anak bau kencur yang tidak mengerti permasalahan. Kaum muda pun tak lebih dari sekadar objek, pelengkap, dan peserta pasif dalam forum. Salah seorang peserta FGD yang diadakan di SMUN 1 Bolo, Kabupaten Bima, mengaku jarang diundang rapat masyarakat. Ia mendengar anggapan orang tua yang mengatakan jika remaja seperti dirinya belum perlu ikut rapat (Musrenbang) karena dianggap belum tahu apa-apa. Organisasi-organisasi kepemudaan formal semacam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Karang Taruna pun tidak dapat berperan optimal. KNPI hanya berperan di tingkat kabupaten, sementara Karang Taruna di desa dan kecamatan sudah lebih dulu mati suri. Tidak hanya sampai di sini, faktor halangan bagi partisipasi kaum muda ternyata menyentuh aspek gender dan ras/etnik. Para perempuan muda jauh lebih sulit mendapatkan kesempatan berbicara di dalam forum, begitu juga dengan pemuda dari daerah atau suku lain.
Pemuda di sini tidak bisa berbuat banyak kalau tidak dekat dengan orang penting di desa. Kalau kita sudah kenal, atau kalau tidak, kita ajak saja anaknya atau adiknya atau saudaranya tokoh masyarakat. Biasanya omongan kita jadi didengar
Faktor Kedekatan
Kalaupun ada satu-dua kaum muda yang dapat bergabung sebagai peserta rapat forum, mereka dipastikan sudah terlebih dulu menduduki posisi penting di organisasi sosial tertentu. Ada pula pemuda yang aktif karena memiliki hubungan keluarga dengan tokoh masyarakat. Disampaikan Ziah, nama yang disamarkan, aktivis Sarjana Penggerak Pembangunan Desa (SP3) di Bima ini dapat diterima dalam rapat karena dianggap mewakili organisasinya, bukan sebagai representasi kaum muda. Namun Ziah telah memanfaatkan peluang ini untuk menjembatani penyampaian
w w w. c p p s . o r. i d
aspirasi pemuda kepada pemerintah desa. Pemuda di sini tidak bisa berbuat banyak kalau tidak dekat dengan orang penting di desa. Kalau kita sudah kenal, atau kalau tidak, kita ajak saja anaknya atau adiknya atau saudaranya tokoh masyarakat. Biasanya omongan kita jadi didengar, ungkapnya. Kondisi serupa juga ditemui di Kupang. Kaum muda kesulitan berpartisipasi di Musrenbang jika tidak sebagai wakil organisasi. Oleh karena itu, banyak pemuda Kupang harus bergabung lebih dulu dengan organisasi pemuda di gerejagereja setempat. Keterlibatan itu pun, ungkap Mikael, seorang pemuda setempat, belum menjadi jaminan pemuda akan dapat bersuara. Tidak mengherankan jika kemudian hasil Musrenbang cenderung mengakomodasi kebutuhan yang sebenarnya tidak substansif pada pemberdayaan kaum muda, seperti pengadaan kaos dan sarana olah raga. Sementara itu, ide kreatif kaum muda terkait pembaruan konsep kebijakan pembangunan yang selaras dengan tuntutan kemajuan zaman cenderung diabaikan. Pemerintah pun menyadari persoalan i n i . Ke p a l a B a d a n Pe r e n c a n a a n Pe m b a n g u n a n D a e r a h ( B a p p e d a ) Kabupaten Bima, dalam wawancara pada Mei 2011, mengatakan pihaknya selalu mengundang para pemuda dalam Musrenbang. Akan tetapi, banyak pemuda tidak bisa terlibat karena sibuk sekolah d a n b e r k e g i a t a n l a i n . Pa d a h a l , pandangan pemuda diperlukan karena mereka dinilai mampu membaca kebutuhan riil di daerahnya masingmasing. Faktor budaya, latar belakang sosioekonomi, pendidikan, gender, dan keberagaman ras/etnik telah membatasi peran dan partisipasi kaum muda. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk mengoptimalkan sumbangan terhadap pencapaian tata pemerintahan yang lebih baik. Di Kupang, kaum muda melakukan gerakan pemberdayaan mandiri (self empowerment) dalam bentuk bakti sosial membersihkan Pantai Tablolong. Sementara di Bima, dengan memanfaatkan teknologi internet, kaum muda memperkuat koordinasi dan dukungan teman-teman sebaya (peer support) untuk setiap kegiatan melalui situs jejaring sosial facebook. Sejumlah fakta dan temuan lapangan tersebut seolah kembali menegaskan bahwa potensi kaum muda amatlah besar, tetapi tidak diiringi dengan peran dan partisipasi aktif mereka di forum musyawarah masyarakat. Dibutuhkan fasilitasi, keseriusan, dan komitmen dari para pemangku kebijakan untuk itu. Keterlibatan kaum muda dalam forum atau organisasi atau pergerakan sosial adalah hak yang dijamin dalam CRC (The Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia. Mari dukung kaum muda sebagai pemimpin, pelaku, dan subjek dalam pembangunan dan tata pemerintahan yang lebih baik. (*)
Littera newsletter bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
PROFIL
n e w s l e t t e r
Littera 6
b u l a n a n Edisi Maret 2012
Muhadjir Darwin:
Terus Berkarya
Aktif. Mungkin demikian kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Prof. Dr. Muhadjir Darwin. Tengok saja papan jadwal kegiatan mingguannya yang selalu terisi penuh dengan rutinitas mengajar, rapat, sampai mengikuti berbagai seminar. Namun, Pak MD, begitu ia biasa disapa, adalah sosok supel dan ramah. Sore itu misalnya, Senin (13/2), di saat mayoritas staf dan karyawan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM bersiap untuk pulang, Pak MD selaku kepala masih berada di ruang kerja. Ia tekun membaca setumpuk berkas yang ada di mejanya dengan sesekali mengerutkan kening. Saya sedang membaca bahan untuk rapat sore, ujarnya. Sambil menanti rapat yang sedianya akan dihadiri jajaran pemimpin PSKK UGM, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM ini pun bercerita mengenai ketertarikannya terhadap PSKK UGM. Saya sudah bersentuhan dengan PSKK UGM sebelum saya lulus kuliah, ungkap ayah empat putra ini. Ketika itu, tahun 1977, Muhadjir yang masih berstatus mahasiswa mengambil topik keluarga berencana untuk skripsi. Ia nekad berkonsultasi dengan Prof. Dr. Masri Singarimbun yang merupakan Kepala PSKK UGM sekaligus pakar antropologi sosial. Gayung bersambut, setelah lulus
w w w. c p p s . o r. i d
Saya sudah bersentuhan dengan PSKK UGM sebelum saya lulus kuliah
kuliah, Muhadjir pun diterima bergabung di PSKK UGM sebagai asisten peneliti. Ia juga menanti kesempatan untuk menjadi dosen di Fisipol UGM. Memasuki dunia kerja, diakui Muhadjir, merupakan pengalaman yang seru dan menyenangkan. Ia mengaku sempat sulit bergaul dengan sesama rekan kerja akibat salah kebiasaan. Pemegang gelar doktor bidang filosofi administrasi publik dari University of Southern California, Amerika Serikat, ini gemar sekali membaca koran saat jam kerja. Ternyata kebiasaan itu dinilai kurang pas oleh rekan-rekan kerja lain. Untung saat itu senior saya, Prof. Dr. Sofian Effendi, menegur saya agar saya menghargai rekan kerja lain, kenang Muhadjir tersenyum simpul. Sampai suatu ketika ada kesempatan baginya untuk mencairkan suasana. Ketika itu, Muhadjir menerima honor dari hasil presentasi makalah di Jakarta, mewakili Sofian Effendi, dan ia mentraktir hampir semua rekan kerjanya di PSKK UGM. Suasana pun berubah cair, bahkan menjadi lebih
akrab dari sebelumnya. Dari situlah, suami dari Bromida Etiyawati ini mulai mempelajari dan mengagumi interaksi sosial antarstaf dan karyawan PSKK UGM, yang ia sebut sebagai kohesi sosial. Inilah institusi yang saya rasakan memiliki rasa kepemilikan yang kuat di antara anggotanya. Nilai-nilai warisan para pemimpin terdahulu ini pula yang membuat kita bekerja secara bertanggung jawab, katanya. Setelah 30 tahun berkiprah di PSKK UGM, Muhadjir lalu dipercaya sebagai kepala. Banyak pencapaian kemudian diraih PSKK UGM, seperti terbukanya kesempatan bagi staf dan karyawan untuk melanjutkan karier pendidikan, semakin kuatnya jejaring kerja sama antara PSKK UGM dengan lembagalembaga donor, LSM, organisasi pemerintah, dan instansi asing, dan juga meningkatnya kapasitas kelembagaan PSKK UGM secara finansial maupun kredibilitas sebagai institusi terkemuka di Indonesia. Namun, di balik segala kesuksesan tersebut, pria kelahiran Yogyakarta 59 tahun lalu ini mengakui ada beberapa program kerjanya yang belum dapat dikatakan berhasil. Sebagai lembaga penelitian dan pusat studi, PSKK UGM masih minim dari sisi publikasi, padahal sewaktu masa kepemimpinan Pak Masri, bidang publikasi berjalan giat, katanya. Oleh karena itulah, setelah jabatannya sebagai Kepala PSKK UGM berakhir, Agustus 2012 nanti, Muhadjir ingin mendedikasikan diri di divisi media dan publikasi. Ia juga akan menerbitkan satu lagi jurnal khusus tentang gender. Kelak, PSKK UGM akan memiliki dua jurnal selain Populasi. Mengenai sosok pengganti dirinya, Pak MD mengaku tidak terlalu risau. Dalam hematnya, kedua bakal calon Kepala PSKK UGM, Dr. Setiadi dan Dr. Agus Heruanto Hadna, yang telah resmi dipilih telah tahu apa yang akan mereka kerjakan kelak. Keduanya juga bukan orang baru di lingkungan PSKK UGM sehingga diyakini telah mengenal institusi ini luar-dalam. Saya tidak memberikan nasihat apa-apa kepada mereka, mungkin saya hanya akan memberikan kursi saya saja, ha-ha-ha, kelakar Pak MD. (*)
Littera newsletter bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
KABAR MSK
n e w s l e t t e r
Littera 7
b u l a n a n Edisi Maret 2012
YOGYAKARTA - Sebanyak empat mahasiswa program Magister Studi Kebijakan UGM, Rabu (25/1), dinyatakan lulus dan menjalani proses wisuda. Satu wisudawan tercatat menjalani masa studi tercepat, yakni hanya selama 13 bulan. Wisudawan tersebut bernama Drs. Hery Sutopo, M.M., M.Sc., asal Sleman, DIY. Hery yang tercatat sebagai mahasiswa Magister Studi Kebijakan sejak 2010 ini juga berhasil meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi pada wisuda ke-20 MSK, yakni 3,60. Dalam tesisnya yang berjudul Pelimpahan Sebagian Kewenangan Pemerintah kepada Kecamatan di Kabupaten Sleman, Hery mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan pelimpahan sebagian kewenangan kurang memuaskan. Kebijakan ini diatur dalam Keputusan Bupati No.29/Kep.KDH/2002 tanggal 14 September 2002, tetapi hingga saat ini ternyata belum berjalan sesuai harapan. Evaluasi secara sistemik dan komprehensif terhadap kebijakan dan kinerja camat juga belum dilakukan. Selain Hery, tiga mahasiswa MSK yang diwisuda adalah Agus Ependi, S.Sos., M.Sc., dengan IPK 3,56 dan judul tesis Peran Kelompok Masyarakat Miskin (Pokmaskin) dalam Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, lalu Novian Anaryanto, S.H., M.Sc., dengan IPK 3,34 dan judul tesis Peran Suami Vis a Vis Istri dalam Pengambilan Keputusan Mengenai Jumlah Anak yang Diinginkan: Korelasi Jumlah Anak yang Diinginkan Suami dan Istri dengan Angka Fertilitas Total di Indonesia (Analisis Lanjut SDKI 2007), dan terakhir adalah Chellys Zanky Tibo Lengo, M.Sc., dengan IPK 3,10 dan judul
Diwisuda
Para wisudawan MSK bersama jajaran pengelola dan dosen MSK di Gedung Masri Singarimbun PSKK UGM, Yogyakarta, Rabu (25/1).
tesis Kinerja Program Revolusi KIA (Kesehatan Ibu Anak) Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat Provinsi NTT. Wisuda berlangsung di Gedung Grha Sabha Pramana mulai pukul 07.00 dan dilanjutkan dengan pelepasan wisudawan di Magister Studi Kebijakan, Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. (*)
KOALISI KEPENDUDUKAN
w w w. c p p s . o r. i d
Littera newsletter bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
n e w s l e t t e r
Littera 8
b u l a n a n Edisi Maret 2012
Littera
w w w. c p p s . o r. i d
Littera newsletter bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM