Kelompok VI Rita Puspita Dewi Luluk Fuadah Mita Partini Tya Abrianti Andini Rizka Nabila B1J010001 B1J010018 B1J010052 B1J010054 B1J010103
LABORATORIUM TAKSONOMI HEWAN FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012
Kelompok VI Rita Puspita Dewi Luluk Fuadah Mita Partini Tya Abrianti Andini Rizka Nabila B1J010001 B1J010018 B1J010052 B1J010054 B1J010103
ii
PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan Kuliah Lapangan Taksonomi Hewan dengan baik dan lancar. Kami mengucapkan terimakasih kepada: 1. 2. 3. Staff dosen pengajar mata kuliah Taksonomi Hewan Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Seluruh asisten praktikum Taksonomi Hewan yang telah membantu dalam pelaksanaan Kuliah Lapangan dan penyusunan laporan ini. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya laporan Kuliah Lapangan Taksonomi Hewan. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan Kuliah Lapangan Taksonomi Hewan ini, untuk itu segala kritik membangun dari para pembaca sangat diharapkan untuk menyempurnakan laporan di masa mendatang. Akhir kata kami berharap semoga Laporan Kuliah Lapangan ini dapat bermanfaat bagi kami khusunya dan para pembaca umumnya.
Purwokerto,
Mei 2012
Penyusun
iii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................ii PRAKATA.....................................................................................................iii DAFTAR ISI..................................................................................................iv BAB I Pendahuluan I.I Latar Belakang I.2 Tujuan I.3 Manfaat BAB II Tinjauan Pustaka BAB III Hasil dan Pembahasan BAB IV Kesimpulan dan Saran DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I PENDAHULUAN Koleksi spesimen jenis-jenis binatang Indonesia yang tersimpan di Museum Zoologi Bogor LIPI, diperkirakan berjumlah sekitar 2,25 juta spesimen dengan jumlah terbesar baik spesimen maupun jenisnya adalah serangga. Namun demikian koleksi yang dimiliki diperkirakan masih kurang dari 10% jumlah keanekaragaman fauna yang ada di Indonesia. Koleksi spesimen yang ada dapat dimanfaatkan oleh siapa saja diantaranya siswa, mahasiswa, pihak pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, ilmuwan atau individu baik dari dalam maupun luar negeri untuk kepentingan ilmiah. Spesimen yang tersimpan dikenal sebagai koleksi ilmiah yang secara garis besarnya dapat digunakan sebagai: 1. Bahan acuan untuk identifikasi jenis-jenis binatang Indonesia. 2. Obyek penelitian bisistematika atau taksonomi. 3. Bahan untuk mengajar dan belajar bagi siswa/siswi atau mahaswa/mahasisiwi dan/atau individu lainnya dalam bidang biologi dan praktek sistematika. 4. Sumber data fauna Indonesia. Informasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh semua pihak untuk berbagai macam kegiatan atau sebagai bahn acuan bagi para pengambil kebijakan yang berkaitan dengan keanekaragaman fauna Indonesia dan konservasinya. Penyimpanan data koleksi spesimen Museum Zoologi Bogor selama ini masih mengggunakan cara manual, yaitu pencatatan data koleksi dilakukan dengan menorehkan tinta dalam buku katalog koleksi. Pencatatan data ini sudah berlangsung turun temurun lebih dari 100 tahun lamanya. Walaupun pencatatan ini sudah berlangsung lebih dari satu abad, pada kenyataannya arsip catatan masih tersimpan rapih dan utuh. Pencatatan secara manual masih dilakukan sebagai dokumen catatan data, meskipun metode penyimpanan data telah berkembang pesat. Sebenarnya dengan cara lama ini dijumpai banyak kelemahan, misalnya untuk penelusuran kembali data spesimen hasil koleksi diperlukan waktu lebih lama, begitu juga jika dilakukan pengorganisasian data akan jauh lebih lama. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di masa sekarang ini dikembangkan cara pencatatan data secara elektronis, yaitu dengan menggunakan komputer. Menggunakan alat modern ini, kegiatan penggunaan dan pengorganisasian data spesimen koleksi jauh lebih mudah.
1.1 Latar Belakang Museum Zoologi Bogor membagi koleksinya menjadi tujuh kelompok utama kuratorial yaitu Mamalia, Burung, Ikan, Herpet (Reptilia dan Amphibi), Moluska termasuk invertebrata lain, Krustasea dan Serangga termasuk Artropodha lainnya. Pengelolaan spesimen masing-masing kelompok kuratorial di bawah pengawasan dan pimpinan seorng Manajer Koleksi (MK) yang juga bertanggung jawab untuk penataan, keselamatan, keamanan, dan pengembangan koleksinya.
1.2 Tujuan Tujuan pembuatan laporan Kuliah Lapangan ini adalah untuk mengetahui cara . 1.3 Manfaat Manfaat yang diperoleh dengan adanya kuliah lapangan ini adalah : 1. 3. Mahasiswa mengetahui cara penyimpanan koleksi spesimen yang benar Mahasiswa mengetahui cara mendeterminasi serta mengetahui cara 2. Mahasiswa mengetahui lebih jauh tentang spesies-spesies pada bangsa Aves pembuatan preparat awetan secara kering. pembuatan preparat awetan secara kering pada burung Anthus novaeseelandiae.
vi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Aves adalah vertebrata dengan tubuh yang ditutupi oleh bulu, sedangkan hewan yang lainnya tidak ada yang berbulu. Aves adalah vertebrata yang dapat terbang, karena mempunyai sayap yang merupakan modifikasi anggota gerak anterior. Sayap pada aves berasal dari elemen-elemen tubuh tengah dan distal. Kaki pada aves digunakan untuk berjalan, bertengger, atau berenang. Aves telah memberikan manfaat luar biasa dalam kehidupan manusia. Beberapa jenis aves seperti ayam, kalkun, angsa dan bebek telah didomestikasi sejak lama dan merupakan sumber protein yang penting, yakni daging maupun telurnya (Anonim, 2009). Burung atau aves adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Diperkirakan terdapat sekitar 8.80010.200 spesies burung di seluruh dunia dan sekitar 1.500 jenis di antaranya ditemukan di Indonesia serta 465 jenis terdapat di Pulau Sumatera (Primark et al., 1998). Habitat burung meliputi hutan tropis, rawa-rawa, padang rumput, pesisir pantai, tengah lautan, gua-gua batu, perumahan, bahkan di wilayah perkotaan. Burung telah memberikan banyak manfaat dalam kehidupan manusia, baik sebagai sumber protein, peliharaan, perlombaan, maupun olahraga berburu (Kuswanda, 2010). Pipits (Anthus novaeseelandiae) adalah umum di seluruh Selandia Baru selama transformasi hutan dan Tussock ke padang rumput (Guthrie-Smith 1927, Turbott 1967, Garrick 1985 dalam Beauchamp, 1995). Burung ini masih mungkin lebih umum daripada waktu di daerah pra-Eropa (Oliver 1955 dalam Beauchamp, 1995), tetapi selama 40 tahun terakhir telah terjadi penurunan di banyak daerah (Hodgkins 1947, Stidolph 1974 dalam Beauchamp, 1995), dan spesies ini sekarang terbatas pada pantai, padang rumput terbuka Tussock, hutan muda eksotis, kerikil sungai dan pantai margin dan habitat alpine. Penurunan ini bertepatan dengan kompetisi interspesifik potensial dengan Skylark (Alauda arvensis), penyegelan jalan, meningkatkan kepadatan dan kecepatan jalan lalu lintas, penyebaran dan peningkatan kepadatan dari White yang didukung Magpies (Gymnorhinu tibicen), penyakit avian, keracunan, kecelakaan dan pengurangan habitat penangkaran. Ada juga mungkin memiliki persaingan telah dengan passerines diperkenalkan lain, predasi dan penurunan musim yang over dingin terhadap habitat (Hamel 1972 dalam Beauchamp, 1995). vii
BAB III MATERI DAN METODE A. Materi Materi yang digunakan meliputi alat dan bahan yang dibutuhkan dalam mengidentifikasi. Alat-alat yang dibutuhkan dalam mengidentifikasi Anthus novaeseelandiae adalah pinset, alat tulis, jarum, botol kaca. Bahan yang dibutuhkan adalah species Anthus novaeseelandiae dari berbagai subspecies di Indonesia dan alkohol 70%. B. Metode Metode yang digunakan untuk membuat koleksi basah species Bufo sp. adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan spesimen Anthus novaeseelandiae secara langsung
menggunakan tangan dan tak langsung menggunakan alat. 2. Anthus novaeseelandiae dimatikan sebelum dilakukan fiksasi. 3. Spesimen di fiksasi dengan menggunakan formalin 10%. 4. Pengaturan posisi spesimen. 5. Pemberian label pada spesimen. 6. Penyimpanan dalam lemari koleksi spesimen.
viii
A. Hasil
ix
B. Pembahasan Burung Anthus novaeseelandiae yang memiliki nama lokal burung apung tanah ini memiliki ciri morfologi yang khas dan menjadi daya tarik kolektor burung yaitu badan yang besar, volume suara yang keras dan variasi suara yang beragam, serta corak batik atau warna yang menarik, kemerahan atau kekuningan. Ciri-ciri jantan bisa dilihat dari warna tubuhnya coklat agak tajam dan bulunya tebal. Begitu pula warna paruhnya hitam mengkilat. Burung apung tanah betina warna bulunya agak kusam. Betina juga memiliki jambul, namun jambul betina lebih pendek. Volume suaranya sama-sama keras, namun suara betina terputus-putus dan kurang variasinya. Untuk membedakan jenis kelamin burung apung tanah, dapat dilihat dari paruhnya. Pada paruh jantan, paruh bagian bawah terlihat putih atau terang sementara yang betina terlihat gelap atau hitam atau kecoklatan (MacKinnon, 2000). Burung apung tanah memiliki karakteristik yang beragam dari tiap habitat daerah penyebarannya. Burung apung tanah di wiilayah Jawa Barat terkenal dengan suaranya yang nyaring melengking dan kristal, jambul juga menjadi ciri khas burung ini (jambul patent). Burung apung tanah dari daerah Sapan, dilihat dari fisiknya tidak terlalu besar hanya seukuran 12-13 cm. Berbeda jika dibandingkan dengan burung apung tanah dari daerah Jawa Tengah yang dapat mencapai ukuran tubuh 12-14 cm. Pola batik burung dari daerah Sapan cenderung berpola lebih gelap dengan corak batik yang berwarna hitam hampir serupa dengan burung apung tanah yang berasal dari daerah NTB dan Sumbawa. Sementara itu burung apung tanah dari Wates berdaya tarik tinggi karena ciri fisik yang lebih besar dan memiliki warna dan pola batik yang lebih menarik. Sedangkan branjangan dari Nusa Tenggara mempunyai corak warna bulu yang lebih pekat. Ukuran tubuhnya juga tidak sebesar jenis branjangan dari daerah lain, seukuran 10-12 cm (MacKinnon, 2000). Menurut Oliver (1955), klasifikasi burung apung tanah adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genera : Animalia : Chordata : Aves : Passeriformes : Motacillidae : Anthus x
Species
: Anthus novaeseelandiae
Marga ini memiliki anggota lebih dari 40 spesies, menjadikannya yang terbesar dalam suku Motacillidae. Jumlah anggota tepatnya masih dalam perdebatan, sebagian ahli mendaftar hanya sekitar 34 spesies dalam marga ini. Sebagai teladan, apung tanah, Anthus novaeseelandiae, yang sekarang ini memiliki 9 anak jenis (subspesies) yang tersebar di Selandia Baru, Australia dan Papua, sebelumnya juga mencakup apung sawah dan apung richard dari Benua Asia, serta apung afrika yang menyebar di Afrika. Tambahan lagi, populasi Australia dan Selandia Baru kini diusulkan untuk dipisah sebagai spesies baru (Tyler, 2004), atau bahkan perlu dipisahkan antara populasi di pulau-pulau kecil di selatan Selandia Baru dengan yang berada di daratan utama, pada pihak yang lain, kesulitan taksonomis juga muncul sebagian dikarenakan kemiripan yang sangat di antara anggota-anggota marga ini (Foggo, 1997). Ciri khas burung apung tanah Warna bulu pada burung ini berwarna kecoklatan pucat, sisi tubuh bercoret tipis, tungkai lebih panjang daripada burung apung lain dan memiliki paruh yang lebih panjang dari burung pipit yang secara morfologinya memiliki bentuk yang hamper sama (MacKinnon, 2000). Habitat dan peran Burung tipe ini lebih menyukai padang rumput terbuka di sepanjang pesisir atau gunung tinggi, padang alang-alang terbakar, dan sawah kering. Terlihat sendirian atau dalam kelompok kecil. Tinggal di tanah, suka berdiri tegak. Terbang bergelombang, bersuara setiap kali menukik. Serak dalam nada tinggi shrii-ip, sewaktu terbang dan saat dihalau (MacKinnon, 2000). Distribusi dan kelimpahannya di alam Penyebaran global burung Anthus novaeseelandiae adalah di daerah Afrika, Asia, India, Cina dan Siberia, melewati Asia Tenggara, Filipina, Semenanjung Malaysia, Sunda Besar dan Nusa Tenggara, dan Sulawesi sampai ke P. irian dan Australia. Penyebaran lokal dan status pada burung ini yaitu sebagai penetap yang umum dan tersebar luas di Sumatera (termasuk pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya), Jawa dan Bali sampai ketinggian 1.500 m. penetap yang jarang secara local di Kalimantan. Tercatat di Kalimantan bagian utara (sebagai migran richardi yang jarang terdapat) dan Kalimantan Tenggara (MacKinnon, 2000). Pengawetan Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kuliah lapangan cara pengawetan kering burung yang pertama burung ditangkap kemudian dimasukan xi
kedalam kantung blaju karena kantong tersebut lebih kuat dan terdapat pori. Setelah itu burung dibius hingga mati dengan klorofom lalu diukur panjang badan, kaki, ekor dan sayap. Kemudian burung dibedah bagian perutnya, daging dan lemak dibersihkan lalu ditabur dengan pengawet yaitu boraks kemudian bagian perut yang sudah tidak ada isinya dimasukan kapas lalu di jahit. Pengeringan specimen tidak boleh dioven, dan dipanaskan dengan panas matahari. Pengeringan dilakukan dengan cara dibiarkan pada suhu biasa. Pengawetan hewan kering dengan cara/istilah taksidermi merupakan proses pengawetan dengan cara mengelurkan organ dalam dari hewan tersebut dan yang dibentuk adalah kulit dari hewan itu sendiri. Proses pengeringan hewan dilakukan dengan pengeringan (Lawrence, 1964). dapat dengan cara dibiarkan pada suhu ruangan
xii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan : 1. Cara pembuatan preparat ada dua cara yaitu kering. 2. Anthus novaeseelandiae memiliki ciri marfologi yang khas dibandingkan dengan genus lain yaitu warna bulu pada burung ini berwarna kecoklatan pucat, sisi tubuh bercoret tipis, tungkai lebih panjang daripada burung apung lain dan memiliki paruh yang lebih panjang dari burung pipit yang secara morfologinya memiliki bentuk yang hampir sama.
B. Saran Kuliah lapangan baik untuk menambah pengalaman dan melatih Mahasiswa dalam kerja kelompok dan mandiri, tetapi ada beberapa teknisi yang sulit ditemui dan sedangkan spesimen kering yang dibahas malah tidak ditampilkan dalam lemari koleksi spesimen.
xiii
DAFTAR REFERENSI Anonym. 2009. Bird Comunity Lombok. http://rizanibain.blogspot.com/2009/03/artikel-aves.html. Diakses tanggal 7 Mei 2012. Beauchamp, A. J. 1955. The Status of the New Zealand Pipit (Anthus novaeseelandiae) in the Wellington Region. Ornithological Society of New Zealand, Inc. Notornis 42(2):117125. Kuswanda, W. 2010. Pengaruh Komposisi Tumbuhan terhadap Populasi Burung di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Effect of Plant Composition on Bird Population in Batang Gadis National Park, North Sumatra). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. VII No.2 : 193-213. MACKINNON, J., K. PHILLIPPS, B. VAN BALEN. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. Bogor. Hal. 385. Lawrence. 1964. Research and experimental design. Di dalam: Bookhout TA, editor. Research and Management Techniques for Wildlife and Habitats. USA.Oliver, W.R.B. 1955. New Zealand Birds. http://www.nzbirds.com/birds/falcon.html. Diakses tanggal 6 Mei 2012. Tyler, Stephanie (2004). "Family Motacillidae (Pipits and Wagtails)". di dalam del Hoyo, Josep; Elliott, Andrew; Christie, David. Handbook of the Birds of the World. Volume 9, Cotingas to Pipits and Wagtails. Barcelona: Lynx Edicions. hlm. 689743. ISBN 84-87334-69-5. Foggo, M. N. (1997). "Systematic and conservation implications of geographic variation in pipits (Anthus: Motacillidae) in New Zealand and some offshore islands". Ibis 139 (2): 366373. doi:10.1111/j.1474-919X.1997.tb04635.x
xiv