Anda di halaman 1dari 9

PELUANG TANAMAN REMPAH DAN OBAT SEBAGAI SUMBER PANGAN FUNGSIONAL

Christina Winarti dan Nanan Nurdjanah


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16111

ABSTRAK
Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan perubahan gaya hidup, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan tidak hanya terbatas sebagai sumber zat gizi tetapi juga mampu memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh. Fenomena tersebut melahirkan apa yang disebut pangan fungsional, yaitu pangan yang mengandung komponen aktif yang mempunyai fungsi fisiologis dan digunakan untuk pencegahan atau penyembuhan penyakit atau untuk mencapai kesehatan yang optimal. Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal banyak mengandung senyawa fitokimia yang bermanfaat dalam pencegahan maupun pengobatan penyakit. Berbagai penelitian telah membuktikan manfaat komponen fitokimia dalam tanaman rempah dan obat seperti jahe (Zingiber officinale Roscoe), kunyit (Curcuma domestica), temu lawak (Curcuma xanthorrhiza), lidah buaya (Aloe vera), mengkudu (Morinda citrifolia), kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.), dan pala (Myristica fragrans). Komponen fitokimia dan pangan fungsional dikenal berhubungan dalam pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit utama penyebab kematian termasuk kanker, diabetes, penyakit jantung, dan tekanan darah tinggi, serta penyakit lainnya seperti keropos tulang, fungsi usus besar yang abnormal dan arthritis. Pangan fungsional berbahan baku tanaman rempah dan obat biasanya disajikan dalam bentuk minuman kesehatan, jamu, minuman instan, jus, sirup, manisan, acar, dan lain-lain. Walaupun pangan fungsional dapat menjadi pendorong pertumbuhan industri pangan, cukup banyak masalah yang perlu dipecahkan termasuk pemasaran, distribusi, merek dagang dan pelabelan, penentuan harga, serta rasa dari produk tersebut, termasuk penelitian untuk membuktikan klaim khasiat yang semuanya berdampak pada tingginya harga jual. Kata kunci: Pangan kesehatan, fitokimia, jahe, lidah buaya, mengkudu, kayu secang, temu lawak, pala

ABSTRACT
Opportunity of spice and medicinal crops as source of functional food In line with the development of science and lifestyles changes, consumer demand for food is not only as the source of nutrients but also provides health benefits. These phenomena contributed to the concept of functional food, that is food containing active components having physiological function used as disease prevention and treatment or gaining optimal health. Spice and medicinal crops have been recognized contain bioactive components (phytochemicals) which provide health benefit as disease prevention and treatment. Many researches have proved the merits of phytochemicals in spice and medicinal crops, such as in ginger (Zingiber officinale Roscoe), turmeric (Curcuma domestica), curcuma (Curcuma xanthorrhiza), Aloe vera, noni (Morinda citrifolia L.), sappan wood (Caesalpinia sappan Linn.), and nutmeg (Myristica fragrans). Phytochemicals and functional food components have been associated with the prevention and treatment for some leading causes of death such as cancer, diabetes, cardiovascular diseases, and hypertension; and for other medical ailments including osteoporosis, abnormal bowel function and arthritis. Functional food based on spice and medicinal crops could be served in the forms of health beverages, instant beverages, juice, syrup, sweets, pickle, etc. Even though functional food have the potential as the major growth driver for food industry, there are still some problems need to be solved, such as marketing, distribution, branding, pricing and taste, as well as basic research to prove the claim, which may cause the high price of the products. Keywords: Health food, phytochemicals, ginger, Aloe vera, noni, sappan wood, curcuma, nutmeg

eiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga bergeser. Bahan pangan yang kini banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai

komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah, serta

meningkatkan penyerapan kalsium, (Astawan 2003). Goldberg (1994) menyebutkan bahwa dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi serta 47

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh. Fenomena tersebut melahirkan konsep pangan fungsional. Menurut Badan POM (2001), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami. Kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 1997, konsumen Amerika Serikat (AS) membelanjakan US$ 12,70 miliar untuk suplemen pangan dan angka tersebut meningkat 13%/tahun (Aarts 1998 dalam Witwer 1999). Di Indonesia, kecenderungan tersebut telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan makanan untuk mempromosikan produk-produknya melalui pencantuman klaim kesehatan pada label produk maupun iklannya. Berdasarkan data Badan POM, produk suplemen makanan meningkat cukup pesat dalam dasawarsa terakhir, baik yang diproduksi

di dalam negeri maupun yang diimpor (Tabel 1). Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional lebih bersifat pencegahan terhadap penyakit. Berbagai jenis pangan fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional seperti yoghurt, kefir dan coumiss sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut. Juga produk yang mengandung ekstrak serat yang bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Untuk minuman, telah tersedia

Tabel 1. Perkembangan jumlah produk suplemen makanan di Indonesia, 19902000.


Produksi dalam negeri 8 15 23 75 114 55 86 152 102 90 117 837 Produk impor 28 84 129 190 397 155 410 579 246 72 109 2.399 Total (Jenis) 36 99 152 265 511 210 496 731 348 162 226 3.236

berbagai minuman yang berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temu lawak, beras kencur, serbat, dan bandrek. Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal mengandung komponen fitokimia yang berperan penting untuk pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit. Kebutuhan akan tanaman rempah dan obat terus meningkat sejalan dengan munculnya kecenderungan untuk kembali ke alam dan adanya anggapan bahwa efek samping yang ditimbulkannya tidak sebesar obat sintetis. Produksi tanaman biofarmaka di Indonesia selama lima tahun terakhir meningkat cukup pesat dengan pertumbuhan tahun 2003 sebesar 12,93% (Tabel 2). Dalam tulisan ini dibahas beberapa tanaman rempah dan obat yang berpotensi besar sebagai sumber bahan pangan fungsional dan hasil-hasil penelitian yang mendukungnya.

Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Total

TANAMAN REMPAH DAN OBAT SUMBER PANGAN FUNGSIONAL


Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen,

Sumber: Badan POM dalam Sampoerno dan Fardiaz (2001).

Tabel 2. Produksi tanaman biofarmaka di Indonesia, 1999 2003.


Komoditas Jahe Kencur Lengkuas Kunyit Lempuyang Tanaman biofarmaka Produksi (t) 1999 120.850,7 5.809,2 16.916,5 15.362,9 3.586,8 8.076,7 170.602,8 2000 115.091,8 9.489,7 27.511,6 24.813,1 4.484,8 11.627,1 193.018,1 2001 128.438,5 11.112 26.153,9 27.195,2 4.794,4 10.473 208.167 2002 18.496,4 12.848,2 27.933,9 23.993 4.530,8 14.730,2 102.532,5 2003 125.386,5 19.527,1 24.588,2 30.707,4 4.684,3 23.817,7 228.711,2 Pertumbuhan (%) 5,81 51,98 -11,98 27,98 3,39 61,69 12,93

Gambar 1.

Produk-produk pangan fungsional (www.new. nutrition.com).

Total

Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2004).

48

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

sulfida, dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung dalam sayuran dan kacang-kacangan, termasuk tanaman rempah dan obat. Menurut Craig (1999), diet yang menggunakan rempahrempah dalam jumlah banyak sebagai penyedap makanan dapat menyediakan berbagai komponen aktif fitokimia yang bermanfaat menjaga kesehatan dan melindungi tubuh dari penyakit kronis. Bahan-bahan tersebut dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain minuman kesehatan, minuman instan, jus, sirup, permen, acar, manisan, dodol, selai, dan jeli. Sampoerno dan Fardiaz (2001) menyatakan bahwa jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional asal karakteristik sensorinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. Minuman seperti beras kencur, sari jahe, sari asam, kunyit asam, sari temu lawak, bir pletok, dan susu telor madu jahe merupakan contoh minuman asal jamu yang dapat dikembangkan sebagai produk industri minuman fungsional.

dalam tubuh. Hal itu disebabkan ekstrak jahe dapat memacu proliferasi limfosit dan menekan limfosit yang mati (Zakaria et al. 1996) serta meningkatkan aktivitas fagositas makrofag (Zakaria dan Rajab 1999). Selain itu jahe mampu menaikkan aktivitas salah satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam melisis sel targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinfeksi virus (Zakaria et al. 1999). Hasil penelitian ini menopang data empiris yang dipercaya masyarakat bahwa jahe mempunyai kapasitas sebagai antimasuk angin, suatu gejala menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang oleh virus (influenza). Peningkatan aktivitas NK membuat tubuh tahan terhadap serangan virus karena sel ini secara khusus mampu menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus. Selanjutnya Nurrahman et al. (1999) menyatakan bahwa mengkonsumsi jahe setiap hari dapat meningkatkan aktivitas sel T dan daya tahan limfosit terhadap stres oksidatif. Komponen dalam jahe yaitu gingerol dan shogaol mempunyai aktivitas antirematik. Hal ini ditunjang dengan pendapat Kimura et al. (1997) bahwa jahe berfungsi sebagai anti-inflamasi rematik arthritis kronis.

kesehatan maupun sirup multivitamin terutama untuk anak-anak, karena khasiatnya sebagai penambah nafsu makan. Secara umum bahan tambahan tersebut dikenal dengan nama curcuma. Kadar zat antioksidan dalam rempahrempah juga diketahui cukup tinggi. Berbagai penelitian telah membuktikan khasiat kurkuminoid dalam pengobatan terutama sebagai antihepatoksik dan antikolesterol, serta obat tumor dan kanker (Nagabhushan dan Bhide 1992; Chan dan Fong dalam Craig 1999). Komponen fenolik dalam kunyit dapat menghambat pertumbuhan kanker dan mempunyai aktivitas antimutagenik. Selain itu kunyit juga dapat menekan pertumbuhan kanker usus, payudara, paru-paru, dan kulit.

LIDAH BUAYA (Aloe vera)


Melihat potensinya yang sangat besar, tanaman lidah buaya sudah dibudidayakan secara komersial. Menurut Maskur (2001), lidah buaya telah dibudidayakan secara luas di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak pada lahan lebih dari 25.000 ha. Produksi lidah buaya yang telah dimanfaatkan baru sekitar 0,02%, sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk daun segar dengan harga yang sangat rendah ke berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, dan negaranegara Eropa. Menurut Henry (1979), unsur utama dari cairan lidah buaya adalah aloin, emodin, resin, gum dan unsur lainnya seperti minyak atsiri. Dari segi kandungan nutrisi, gel atau lendir daun lidah buaya mengandung beberapa mineral seperti Zn, K, Fe, dan vitamin seperti vitamin A,

JAHE (Zingiber officinale Rosc.)


Jahe merupakan jenis rempah-rempah yang paling banyak digunakan dalam berbagai resep makanan dan minuman. Secara empiris jahe biasa digunakan masyarakat sebagai obat masuk angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi, dan lainlain. Berbagai penelitian membuktikan bahwa jahe mempunyai sifat antioksidan. Beberapa komponen utama dalam jahe seperti gingerol, shogaol, dan gingeron memiliki aktivitas antioksidan di atas vitamin E (Kikuzaki dan Nakatani 1993). Selain itu jahe juga mempunyai aktivitas antiemetik dan digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan. Radiati et al. (2003) menyatakan bahwa konsumsi ekstrak jahe dalam minuman fungsional dan obat tradisional dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan mengobati diare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak jahe dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang direfleksikan dalam sistem kekebalan, yaitu memberikan respons kekebalan inang terhadap mikroba pangan yang masuk ke
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

KUNYIT (Curcuma domestica) dan TEMU LAWAK (Curcuma xanthorrhiza)


Penggunaan kunyit dalam bidang pangan tidak hanya sebatas sebagai bumbu untuk menambah rasa dan memberi warna, tetapi juga sebagai bahan baku minuman sehat seperti kunyit asam atau kunyit instan. Secara empiris kunyit banyak digunakan sebagai obat mag, penurun kolesterol, diare, nyeri haid, sakit kuning, dan obat luka. Komponen aktif dalam kunyit yang berperan adalah kurkuminoid. Komponen ini juga terdapat pada beberapa jenis temu-temuan lain seperti temu lawak. Kurkuminoid adalah komponen yang memberikan warna kuning yang bersifat sebagai antioksidan dan berkhasiat antara lain sebagai hipokolesteromik, kolagogum, koleretik, bakteriostatik, spasmolitik, antihepatotoksik, dan anti-inflamasi. Selain kurkumin, kandungan l-turmeron pada rimpang temu lawak berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit. Akhir-akhir ini temu lawak banyak digunakan dalam berbagai minuman

Gambar 2. Tanaman lidah buaya (vitacorp.icthus.net). 49

Tabel 3. Komposisi kimia daun lidah buaya per 100 g.


Komponen Lidah buaya asal Bogor 95,42 0,18 0,22 0,01 0,12 0,07 92,20 Lidah buaya asal Pontianak 94,50 0,18 0,32 0,02 0,12 0,08 98,24

Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Karbohidrat (%) Energi (kal)

Sumber: Djubaedah et al. (2002).

B1, B2, B12, C, E, inositol, asam folat, dan kholin. Djubaedah (2003) menyebutkan bahwa gel lidah buaya mengandung 17 jenis asam amino penting (Tabel 4). Dengan kandungan nutrisi yang demikian lengkap dan bervariasi maka peluang diversifikasi produk lidah buaya sangat besar. Produk minuman dari lidah buaya mempunyai kalori yang sangat rendah (4 kal/100 g gel), sehingga sangat sesuai untuk program diet (Hartanto dan Lubis 2002). Di Kalimantan Barat, lidah buaya sudah diolah dalam berbagai bentuk makanan dan minuman seperti jus, koktail, gel lidah buaya dalam sirup, selai, jeli, dodol, dan manisan. Untuk memperpanjang umur simpannya telah dilakukan pula penelitian pembuatan tepung lidah buaya dengan penambahan bahan pengisi (Sumarsi et al. 1998).

Gel lidah buaya juga telah dikembangkan dalam bentuk sediaan oral sebagai minuman kesehatan yang diklaim menyegarkan dan memberikan efek mendinginkan. Secara empiris lidah buaya digunakan sebagai obat luka bakar, panas dalam, asam urat serta afrodisiak dan malnutrisi karena kandungan asam amino dan vitaminnya. Gel lidah buaya juga memperlihatkan aktivitas antipenuaan karena mampu menghambat proses penipisan kulit dan menahan kehilangan serat elastin serta menaikkan kandungan kolagen dermis yang larut air. Lidah buaya terbukti dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes (Okyar et al. 2001). Penggunaan gel lidah buaya yang umum adalah dengan mengoleskan gel pada bagian yang terinfeksi secukupnya, sedangkan untuk produk yang mengandung aloin dan aloe-emodin dengan diminum 13 sendok makan, 3 kali sehari.

Tabel 5. Komposisi kimia buah mengkudu per 100 g bagian yang dapat dimakan.
Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Lain-lain Sumber: Jones (2000). Kadar (%) 89,10 2,90 0,60 2,20 3 1,20 1

Tabel 6.

Kandungan nutrisi dalam 100 g buah mengkudu.


Total 167 395,83 175 2,50 0,70 0,33 9,17 325 335 1,115 0,75 1,50 51,67

Jenis nutrisi Kalori (kal) Vitamin A (IU) Vitamin C (mg) Niasin (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Besi (mg) Kalsium (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Sumber: Jones (2000).

MENGKUDU (Morinda citrifolia L.)


Dalam beberapa tahun terakhir tanaman mengkudu mendapat perhatian sangat besar karena adanya fakta empiris serta bukti penelitian yang menyatakan bahwa buah ini berkhasiat untuk mengobati beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, tumor, dan diabetes. Buah mengkudu mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder yang sangat berguna bagi kesehatan, selain kandungan nutrisinya yang juga beragam seperti vitamin A, C, niasin, thiamin dan riboflavin, serta mineral seperti zat besi, kalsium, natrium, dan kalium (Tabel 5 dan 6). Hirazumi et al. (1996) melaporkan bahwa jus buah mengkudu berfungsi sebagai imunomodulator yang mempunyai efek antikanker. Selanjutnya

Tabel 4. Kandungan asam amino gel lidah buaya.


Jenis asam amino Lisin Histidin Arginin Asam aspartat Treonin Serin Asam glutamat Glisin Alanin Sistin Valin Metionin Isoleusin Tirosin Fenilalanin Leusin Prolin Sumber: Djubaedah (2003). Kandungan (g/g) 8,27 5,92 4,81 14,37 5,68 6,35 14,27 7,80 1,09 0,02 6,85 1,83 3,72 3,24 4,47 8,53 0,07

Gambar 3.

Tanaman mengkudu (forum. cari.com).

Hirazumi dan Furuzawa (1999) menyatakan bahwa jus buah mengkudu dapat digunakan sebagai agen tambahan (suplemen) dalam pengobatan kanker. Beberapa jenis senyawa fitokimia dalam buah mengkudu adalah terpen, acubin, L asperuloside, alizarin, zat-zat anthraquinone, asam askorbat, asam kaproat, asam kaprilat, zat-zat scopoletin, damnacanthal dan alkaloid (Anon 1997 dalam Pohan dan Antara 2001). Menurut Hisawa et al. (1999) dalam Djauhariya (2003), komponen damnacanthal merupakan zat antikanker. Senyawa turunan anthraquinone dalam mengkudu antara lain adalah morindin, morindone dan alizarin, sedangkan alkaloidnya antara lain xeronin dan proxeronin (prekursor xeronine). Xeronin merupakan alkaloid yang dibutuhkan tubuh manusia untuk mengaktifkan enzim-enzim dan mengatur serta membentuk struktur protein (Solomon 1998). Untuk menetralisir bau tidak sedap pada buah mengkudu, yang disebabkan oleh asam kaproat dan kaprilat,
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

50

dapat ditambahkan essence, asam sitrat dan madu (Pohan dan Antara 2001), atau dicampur dengan teh dan gula. Selanjutnya Pohan dan Antara (2003) menyebutkan bahwa minuman dari buah mengkudu yang beredar di pasaran secara kesehatan aman untuk dikonsumsi sebagai minuman penyegar. Lebih lanjut hasil penelitian Antara et al. (2001) menyimpulkan bahwa sediaan yang berupa cairan hasil perasan buah mengkudu aman untuk dikonsumsi dengan nilai toksisitas LD50 > 52,61 ml/ kg bobot badan untuk pekatan sari buah atau setara dengan 480 g/kg bobot badan untuk buah segar.

KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.)


Kayu secang sangat dikenal terutama di Sulawesi sebagai pemberi warna pada air minum yang dikenal sebagai teh secang. Kayu secang juga merupakan salah satu ramuan yang digunakan dalam pembuatan minuman tradisional Betawi bir pletok yaitu sebagai pemberi warna. Secara empiris kayu secang dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, berak darah, darah kotor, penawar racun, sipilis, menghentikan pendarahan, pengobatan pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan astringent. Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung dalam kayu secang yang dikenal sebagai senyawa golongan brazilin. Brazilin merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia (Moon et al. 1992). Selanjutnya Lim et al. (1997) membuktikan

bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial (BHT BHA). Peneliti lain mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-inflamasi (Sukria 1993 dalam Sundari et al. 1998). Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk menguji manfaat kayu secang, seperti khasiatnya sebagai antibakteri. Anis (1990) dalam Sundari et al. (1998) melakukan penelitian terhadap beberapa jenis ekstrak kayu secang sebagai anti-bakteri penyebab tukak lambung. Selanjutnya Sumarmi (1994) dalam Sundari et al (1998) menguji daya antibakteri kayu secang terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Untuk menghentikan pendarahan, diduga yang berperan adalah tanin dan asam galat (Sundari et al. 1998). Tanin juga bersifat sebagai antibakteri dan astringent atau menciutkan dinding usus yang rusak karena asam atau bakteri. Kadar tanin ekstrak kayu secang yang diperoleh dengan perebusan selama 20 menit adalah 0,137% (Winarti dan Sembiring 1998).

Tabel 7. Komposisi kimia daging buah pala per 100 g.


Komponen Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (IU) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Total 42 0,30 0,20 10,90 32 24 1,50 29,50 Sedikit 22 88,10

Sumber: Rismunandar (1990).

PALA (Myristica fragrans Houtt)


Pala adalah salah satu jenis rempahrempah yang banyak digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Biji dan fuli pala (selaput biji) digunakan sebagai sumber rempah-rempah, sedangkan daging buah pala sering diolah menjadi berbagai produk pangan seperti manisan, sirup, jam, jeli, dan chutney. Minyak biji pala terutama digunakan dalam industri flavor (penambah cita rasa) makanan dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri farmasi dan kosmetik (Leung 1980). Komposisi kimia daging buah pala disajikan pada Tabel 7.

Biji pala digunakan sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit, seperti sakit gigi, disentri, encok, bau nafas tidak sedap, dan untuk menginduksi aborsi. Pala juga dikenal berkhasiat sebagai obat penenang. Menurut Morita et al. (2003), salah satu komponen penting dalam buah pala adalah miristicin yang mempunyai aktivitas sebagai hepatoprotektor. Kandungan minyak atsiri pala sekitar 515% yang meliputi pinen, sabinen, kamfen, miristicin, elemisin, isoelemisin, eugenol, isoeugenol, metoksieugenol, safrol, dimerik polipropanoat, lignan, dan neolignan (Janssen dan Laeckman 1990; Isogai et al. dalam Sonavane et al. 2001). Eugenol merupakan komponen utama yang bersifat menghambat peroksidasi lemak dan meningkatkan aktivitas enzim seperti dismutase superoksidase, katalase, glutation peroksidase, glutamin transferase, dan glukose6-fosfat dehidrogenase (Kumaravelu et al. 1996). Ekstrak kloroform pala juga mempunyai aktivitas antidiare dengan meningkatkan kandungan ion-ion Na dan Cl dalam jaringan, sedangkan ekstrak petroleum eter buah pala mempunyai aktivitas antibakteri terhadap beberapa spesies Shigela dan E. coli (Wessinger 1985; De et al. dalam Sonavane et al. 2001).

PROSPEK TANAMAN REMPAH DAN OBAT SEBAGAI SUMBER PANGAN FUNGSIONAL


Tanaman rempah dan obat mempunyai potensi besar sebagai sumber makanan dan minuman fungsional seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat 51

Gambar 4. Tanaman secang.


Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Gambar 5. Buah pala.

akan pentingnya menjaga kesehatan. Keberadaan pangan fungsional tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat atau konsumen, tetapi juga bagi pemerintah maupun industri pangan. Bagi konsumen, pangan fungsional bermanfaat untuk mencegah penyakit, meningkatkan imunitas, memperlambat proses penuaan, serta meningkatkan penampilan fisik. Bagi industri pangan, pangan fungsional akan memberikan kesempatan yang tidak terbatas untuk secara inovatif memformulasikan produk-produk yang mempunyai nilai tambah bagi masyarakat. Selanjutnya bagi pemerintah, adanya pangan fungsional akan menurunkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat. Menurut Milner (2000), ada tiga alasan yang mendukung peningkatan minat terhadap pangan fungsional, yaitu tingginya biaya pemeliharaan kesehatan, peraturan yang mendukung, dan penemuan-penemuan ilmiah. Peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam persen terhadap Produk Nasional Bruto (GNP) semakin meningkat di seluruh dunia. Di AS pemeliharaan kesehatan mencapai sekitar 14% GNP. Kebiasaan makan yang tidak baik dinilai oleh banyak kalangan berperan dalam menurunkan kesehatan dan berhubungan dengan tingginya biaya pemeliharaan kesehatan. Berbagai penelitian menemukan adanya kaitan antara kebiasaan makan dengan timbulnya beberapa jenis penyakit seperti jantung koroner dan kanker. Dilaporkan bahwa korelasi antara kebiasaan makan dan kanker adalah ~ 60% pada wanita dan ~ > 40% pada pria. Manfaat komponen fitokimia dan pangan fungsional telah dipublikasikan secara luas sehingga pengetahuan dan

minat konsumen terhadap bahan pangan kaya komponen fitokimia dan pangan fungsional pun meningkat. Di AS, penjualan produk pangan fungsional tumbuh dari 7% pada tahun 2001 menjadi 9% tahun 2002, sementara pertumbuhan keseluruhan industri pangan tahun 2002 adalah 3% (Young dalam Sheehy dan Morrissey 1998). Menurut Hasler (2000) dalam Muchtadi (2001), perdagangan nutraceuticals dan pangan fungsional mencapai US $ 14,70 miliar dan diproyeksikan meningkat lagi pada tahun-tahun mendatang (Tabel 8). Cerahnya prospek pangan fungsional berbasis tanaman rempah dan obat juga ditunjang dengan semakin majunya penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif dalam tanaman rempah dan obat. Selain itu, kemajuan teknologi pengolahan pangan telah mampu menghasilkan produk-produk makanan dan minuman yang secara organoleptik disukai konsumen serta mengandung komponen-komponen yang berguna bagi kesehatan. Dibandingkan dengan mengkonsumsi suplemen pangan, penggunaan pangan fungsional lebih menguntungkan bagi konsumen karena suplemen hanya mengandung komponen jenis tertentu, bukannya berbagai jenis komponen fitokimia yang secara alami terdapat dalam makanan. Pengembangan jenis pangan kaya serat, vitamin maupun fitokimia melalui teknologi genetika, bioteknologi, fortifikasi dan pemeliharaan tanaman merupakan pendekatan yang tepat untuk mendapatkan manfaat kesehatan yang optimal (Bloch dan Thomson 1998). Wrick (2003) menyebutkan beberapa hal yang menjadi pendorong pertumbuhan industri pangan fungsional di AS.

Generasi muda AS yang meliputi 27% populasi umumnya sangat peduli pada kesehatan. Selanjutnya banyak orang melihat pentingnya suplemen pangan, yang dapat berarti adanya kesempatan bagi produk pangan yang dapat berfungsi sebagai sumber manfaat kesehatan yang baru. Yang terakhir adalah bahwa suplemen pangan tidak dapat memuaskan rasa lapar, hanya makanan yang dapat melakukannya.

PERMASALAHAN DAN TANTANGAN


Walaupun pangan fungsional dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan industri pangan, terdapat beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi. Wrick (2003) menyebutkan bahwa perpaduan yang tepat dari riset pasar, pemasaran, iptek, pelabelan, distribusi, penentuan harga, rasa dan kenyamanan merupakan tantangan tersendiri. Sementara Sheehy dan Morrissey (1998) melaporkan bahwa walaupun pangan fungsional potensial memberikan manfaat kesehatan bagi konsumen, beberapa hambatan dalam penyebaran dan penerimaan jenis pangan ini perlu diperhatikan. Pengembangan pangan fungsional dan penelitian dasar untuk mendokumentasikan klaim pemasaran cukup mahal sehingga harga jualnya menjadi sangat tinggi (McNutt 1994). Selanjutnya Hilliam (1996) dalam Sheehy dan Morrissey (1998) menyatakan bahwa konsumen mencurigai janji akan manfaat kesehatan dari produk ini sebagai justifikasi untuk mencantumkan harga tinggi. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa klaim yang berkaitan dengan jenis pangan tertentu harus nyata. Beberapa permasalahan dalam pengembangan pangan fungsional dari tanaman juga dinyatakan oleh Percival dan Turner (2001), antara lain: 1) penentuan identitas dan cara panen yang benar dari tanaman sebagai bahan baku pangan fungsional, 2) standardisasi produk, karena tanaman rempah dan obat yang tumbuh atau dibudidayakan dalam kondisi yang berbeda, juga lokasi dan musim yang berbeda, akan menghasilkan kandungan bahan aktif yang berbeda pula, 3) proses pengolahan, karena dapat mempengaruhi komponen aktif yang terkandung dalam tanaman
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Tabel 8. Persentase tingkat penjualan produk pangan fungsional dan pangan konvensional di Amerika Serikat.
Kenaikan penjualan pangan fungsional (%) 7 9 10 13 Nilai perdagangan pangan fungsional (miliar US $) 14,70 12,70 Kenaikan penjualan pangan konvensional (%) 3 1 -

Tahun

Sumber

2001 2002 1999 1997

Young dalam Sheehy dan Morrissey (1998) Hasler dalam Muchtadi (2001) Aarts dalam Witwer (1999)

52

Tabel 9. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif tanaman rempah dan obat.
Jenis tanaman Jahe Bentuk produk Ekstrak jahe Ekstrak jahe Kunyit/temu lawak Lidah buaya Gel lidah buaya Gel lidah buaya Mengkudu Jus buah Jus buah Komponen aktif Gingerol, shogaol, gingeron Gingerol, shogaol Kurkumin Komp. fenolik Aloin, aleat, emodin Aloin Vitamin, mineral, asam amino Damnacanthal Xeronin dan proxeronin Manfaat kesehatan Antioksidan Anti-inflamasi rematik, artristis kronis Antibakteri Kekebalan tubuh Antihepatoksik, antikolesterol, Antikanker, antimutagenik Antibiotik, penghilang rasa sakit Obat pencahar Diabetes Obat luka Antikanker Imunomodulator, antikanker Aktivasi enzim, membentuk protein Antioksidan, Antibakteri Antidiare Sumber Kikuzaki dan Nakatani (1993) Kimura et al. (1997) Radiati et al. (2003) Zakaria et al. (1996); (1999) Egan et al. (2004) Nagabhushan dan Bhide (1992) Henry (1979) Henry (1979) Okyar et al. (2001) Henry (1979) Hisawa et al. dalam Djauhariya (2003) Hirazumi et al. (1996) Hirazumi dan Furuzawa (1999) Solomon (1998) Lim et al. (1997) dalam Moon et al. (1992) Sumarmi dalam Sundari et al. (1998) Morita et al. (2003) Kumaravelu et al. (1996) Wessinger dalam Sonavane et al. (2001)

Kayu secang

Ekstrak secang Ekstrak kloroform

Brazilin Brazilin -

Pala

Ekstrak kloroform

Miristicin Eugenol -

Hepatoprotektor Antioksidan, aktivasi enzim Antidiare (Shigela, E. coli)

obat yang digunakan dalam pangan fungsional, 4) keamanan dari herbal tersebut, karena beberapa jenis herbal cukup berbahaya bagi kesehatan. Selain itu juga perlu diperhatikan potensi interaksinya dengan obat kimia dan kemungkinan adanya kontaminan. Pelabelan merupakan hal yang penting dalam pengembangan pangan fungsional, karena dalam label tercantum keterangan tentang produk tersebut termasuk klaim kesehatan. Di Indonesia, pelabelan diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan. Karena adanya klaim tersebut maka perlu disertakan bukti dari manfaat klaim tersebut. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat akan manfaat pangan fungsional serta melindungi masyarakat dari klaim yang tidak benar atau berlebihan, dan yang lebih penting lagi dari kemungkinan efek berbahaya dari produk tersebut. Permasalahan lain dalam pengembangan pangan fungsional adalah jenis
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

pangan tersebut harus memenuhi persyaratan organoleptik konsumen. Kandungan pangan fungsional seperti komponen fitokimia, isolat nutrien atau ekstrak tanaman mempunyai bau dan rasa (flavor) terlalu kuat dan sering kali kurang menyenangkan. Penambahan dalam jumlah sedikit tidak atau kurang dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam jumlah banyak akan menimbulkan bau dan rasa yang tidak disukai. Beberapa herba, ekstrak tanaman serta komponen fitokimia lainnya yang bermanfaat untuk kesehatan mempunyai bau dan rasa kuat dan kurang disukai serta tekstur yang kurang disukai pula. Bau dan rasa tersebut sukar atau tidak dapat ditutupi atau disembunyikan. Permasalahan tersebut akan memperpanjang proses formulasi pangan atau menambah biaya untuk mendapatkan nilai sensoris yang disukai (Wrick 2003). Seperti telah diuraikan, berbagai jenis tanaman rempah dan obat mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sum-

ber pangan fungsional. Pengembangan lebih lanjut menjadi produk pangan fungsional komersial memerlukan penelitian mendalam untuk memperoleh data yang pasti mengenai komponen bioaktif, khasiat, keamanan, sampai uji farmakologi dan uji klinisnya untuk membuktikan klaim manfaatnya. Sheehy dan Morrissey (1998) menyimpulkan bahwa keberhasilan pengembangan pangan fungsional bergantung pada banyak faktor, antara lain keamanan, efikasi, rasa, kemudahan dan nilai (value) dari produk tersebut. Yang paling penting adalah bahwa produk tersebut harus aman dan klaim manfaatnya nyata.

KESIMPULAN
Pangan fungsional mempunyai prospek cerah sehingga peluang pengembangan produk baru yang dapat diterima konsumen secara luas masih terbuka lebar, 53

termasuk pangan fungsional berbahan baku tanaman rempah dan obat. Berkembangnya pola hidup sehat dan kembali ke alam akan mempercepat pengembangan jenis produk ini. Tersedianya pangan fungsional yang beragam akan memudahkan konsumen dalam memperoleh jenis pangan

yang diyakini bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh. Bagi kalangan industri, produksi jenis pangan ini harus benar-benar direncanakan dengan baik dan matang. Standardisasi produk pangan fungsional merupakan suatu keharusan. Peran Badan POM dalam menyusun konsep

standar bagi pangan fungsional yang mencakup standar komposisi, cara produksi, label dan klaim sangat dibutuhkan. Penyusunan standar tersebut antara lain perlu mengacu pada Foods for Specified Use (FOSHU), suatu standar bagi pangan fungsional yang sudah diberlakukan di Jepang.

DAFTAR PUSTAKA
Antara, N.T., H.G. Pohan, dan Subagja. 2001. Pengaruh tingkat kematangan dan proses terhadap karakteristik sari buah mengkudu. Warta IHP/J. Agro-Based Industry 18(12): 2531. Astawan, M. 2003. Pangan fungsional untuk kesehatan yang optimal. Kompas Sabtu 23 Maret 2003. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian proses standarisasi produk pangan fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Bloch, A. and C.A. Thomson. 1998. Position of the American Dietetic Association: Phytochemicals and functional foods. ADA Reports. Journal of the American Dietetic Association. p. 403406. Craig, W.J. 1999. Health-promoting properties of common herbs. Am. J. Clin. Nutr. 70(3): 491s499s. Djauhariya, E. 2003. Mengkudu (Morinda citrifolia L.), tanaman obat potensial. Dalam Perkembangan Penelitian Tanaman Obat Potensial. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat XV(1): 2840. Djubaedah, E., J.J. Pardede, E.H. Lubis, E.S. Hartanto, dan S. Mulyani. 2002. Diversifikasi produk olahan daun lidah buaya. Laporan Penelitian. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor. 42 hlm. Djubaedah, E. 2003. Pengolahan lidah buaya dalam sirup. Pra-Forum Apresiasi dan Komersialisasi Hasil Riset. Balai Besar Industri Agro, Bogor. Goldberg, I. 1994. Functional Foods, Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. Chapman & Hall, London. Hartanto, E.S. dan E.H. Lubis. 2002. Pengolahan minuman sari lidah buaya (Aloe vera Linn.). Warta IHP/J. Agro-Based Industry 19(12): 2935. Henry, R. 1979. An update review of Aloe vera. Cosm and Toiletries (94): 4250. Hirazumi, A., E. Furuzawa, S.C. Chou, and Y. Hokama. 1996. Immunomodulation contributes to the anticancer activity of Morinda citrifolia (noni) fruit juice. Proc. West Pharmacol. Soc. 39: 79. Hirazumi, A. and E. Furuzawa. 1999. An immunomodulatory polysaccharide-rich substance from the fruit juice of Morinda citrifolia (noni) with antitumor activity. Phytochem. Res. 13(5): 380387. Janssen, J. and G.M. Laeckman. 1990. Nutmeg oil: Identification and quantification of its most active constituents as inhibitors of platelet aggregation. J. Ethnopharmacol. (no. 29): 179188. Jones, W. 2000. Noni Blessing Holdings. Food Quality Analysis, Oregon. Kikuzaki, H. and N. Nakatani. 1993. Antioxidant effects of some ginger constituents. J. Food Sci. 58: 1.4071.410. Kimura, M., L. Kimura, B. Luo, and S. Kobayashi. 1997. Antiinflammatory effect of Japanese-seno medicine Keishi-kajutsuboto and its component drugs on adjuvant air pouch granuloma of mice. J. Phytoterapy Res. 5(5): 195200. Kumaravelu, P., S. Subramanyam, D.P. Dakshinmurthy, and N.S. Devraj. 1996. The antioxidant effect of eugenol on carbon carbon-tetrachloride-induced erythrocyte damage in rats. J. Nutr. Biochem. (no. 7): 2328. Leung, A.Y. 1980. Encyclopedia of common natural ingredients used in food, drugs and cosmetics. John Wiley and Sons, New York. Lim, D.K., U. Choi, and D.H. Shin. 1997. Antioxidative activity of some solvent extract from Caesalpinia sappan Linn. Korean J. Food Sci. Technol. 28(1): 7782. Maskur, M.F. 2001. Budi daya lidah buaya tidak banyak didukung. Bisnis Indonesia, 3 Juli 2001. McNutt, K.W. 1994. Consumer s views on functional foods. In E. Goldberg (Ed.). Functional Foods, Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. Chapman & Hall. London. p. 523534. Milner, J.A. 2000. Functional foods: the US perspective. Am. J. Clin. Nutr. (71) (suppl): 1.954s1.959s. Moon, C.K., K.S. Park, S.G. Kim, and H.S. Won. 1992. Drug and chemical toxicology. Drug Chem. Toxicol. 15(1): 8191. Morita, T., K. Jinno, H. Kawagishi, Y. Arimoto, H. Suganuma, T. Inakuma, and K. Sigiyama. 2003. Hepatoprotective effect of myristicin from nutmeg (Myristica fragrans) on lipopolisaccaride/d-galactosamine-induced liver injury. J. Agric. Food Chem. 15(6): 1.5601.565. Muchtadi, D. 2001. Potensi pangan tradisional sebagai pangan fungsional dan suplemen. Dalam I. Nuraida dan R.D. Hariyadi (Ed). Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 2534. Nagabhushan, M. and S.V. Bhide. 1992. Curcumin as an inhibitor of cancer. J. Am. Clin. Nutr. (no. 11): 192198. Nurrahman, F.R. Zakaria, D. Sajuti, dan Sanjaya. 1999. Pengaruh konsumsi sari jahe terhadap perlindungan limfosit dari stres oksidatif pada mahasiswa pondok pesantren Ulil Albaab. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 707716. Okyar, A., A. Can, N. Akev, G. Baktir, and N. Sutlupinar. 2001. Effect of Aloe vera leaves on blood glucose level in type I and type II diabetic rat models. Phytoter Res. 15(2): 157161. Percival, S.S. and R.E. Turner. 2001. Applications of herbs to functional foods. In R.E.C. Wildman (Ed.). Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. CRC Press, Washington DC. p. 393406. Pohan, H.G. dan N.T. Antara. 2001. Pengaruh penambahan madu dan asam sitrat terhadap karakteristik minuman fungsional dari sari buah mengkudu. Forum Komunikasi Industri Hasil Pengolahan (no. 4): 1120. Pohan, H.G. dan N.T. Antara. 2003. Pengolahan mengkudu dilihat dari aspek keamanan pangan dan analisa ekonomi. Jurnal Riset Industri dan Perdagangan 1(1): 2837. Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2004. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Jakarta. hlm. 146.

54

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Radiati, L.E., E.P. Nabet, P. Franck, B. Nabet, J. Capiaumont, D. Fardiaz, F.R. Zakaria, I. Sudirman, dan R.D. Haryadi. 2003. Pengaruh ekstrak diklormetan jahe (Zingiber officinale) terhadap pengikatan toksin kolera B-subunit conjugasi (FITC) pada reseptor sel hibridoma LV dan Caco-2. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XIV(1): 5967. Rismunandar. 1990. Budi Daya dan Tata Niaga Pala. Penerbit Swadaya, Jakarta. 129 hlm. Sampoerno dan D. Fardiaz. 2001. Kebijakan dan pengembangan pangan fungsional dan suplemen di Indonesia. Dalam I. Nuraida dan R.D. Hariyadi (Ed.). Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 115. Sanusi, M. 1989. Isolasi dan identifikasi zat warna kayu sappang. Balai Industri Ujung Pandang. Sheehy, T. and A. Morrissey. 1998. Functional foods: Prospects and perspectives. In C.J.K. Henry and N.J. Heppell (Eds.). Nutritional Aspects of Food and Processing and Ingredients. Chapman & Hall. Aspen Publishers Inc., Maryland. p. 4565. Solomon, N. 1998. Noni. Natur s Amazing Healer. Woodland Publ. Pleasant Grove, Utah, USA.

Sonavane, G., V. Sarveiya, V. Kasture, and S.B. Kasture. 2001. Behavioural actions of Myristica fragrans seeds. Indian J. Pharmacol. 33: 417424. Sumarsi, Lucyana, dan F. Anita. 1998. Pembuatan tepung lidah buaya (Aloe vera Linn.) dengan alat pengering semprot serta karakteristik mutunya. Warta IHP/J. Agro-Based Industry 15(12): 15. Sundari, D., L. Widowati, dan M.W. Winarno. 1998. Informasi khasiat, keamanan dan fitokimia tanaman secang (Caesalpinia sappan L.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4(3): 13. Wessinger, J. 1985. Effect of nutmeg, aspirin, chlorpromazine and lithium on normal intestinal transport. Proc. West Pharmacol Soc. (28): 267273. Winarti, C. dan B.S. Sembiring. 1998. Pengaruh cara dan lama ekstraksi terhadap kadar tanin ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4(3): 1718. Witwer, R.S. 1999. Marketing bioactive ingredients in food products. Food Technol. 53(4): 5053.

Wrick, K.L. 2003. Development opportunities for functional foods. In C.M. Hasler (Ed.). Regulation of Functional Foods and Nutraceuticals: A global perspective. Iowa State Press, Iowa. Zakaria, F.R., L. Darsana, and H. Wijaya. 1996. Immunity enhancement and cell protection activity of ginger buds and fresh ginger flesh on mouse spleen lymphocytes. In Nonnutritive Health Factors for Future Foods. Proceedings IU FOST 1996 Regional Symposium, Seoul Education and Culture Center, Seoul, Korea. Zakaria, F.R. dan T.M. Rajab. 1999. Pengaruh ekstrak jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap produksi radikal bebas makrofag mencit sebagai indikator imunostimulan secara in vitro. Persatuan Ahli Pangan Indonesia (PATPI). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan: 707716. Zakaria, F.R., Y. Wiguna, dan A. Hartoyo. 1999. Konsumsi sari jahe (Zingiber officinale Roscoe) meningkatkan aktivitas sel natural killer pada mahasiswa pesantren Ulil Albaab di Bogor. Buletin Teknologi Industri Pangan X(2): 4046.

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

55

Anda mungkin juga menyukai