Anda di halaman 1dari 5

Tugas Review

Muhamad Syahril 071117039 / Antropologi 2011

Etnosains dan Etnometodologi : Sebuah Perbandingan


Heddy Shri Ahimsa Putra Universitas Gadjah Mada

Etnosains (ethnoscience) atau yang sering disebut etnografi baru (The New Ethnography) muncul dalam ilmu antropologi sedangkan etnometodologi (ethnomethodology) muncul dalam ilmu sosiologi. Sepintas etnosains memiliki persamaan dengan etnometodologi, yaitu penggunaan prefix ethno atau folk adalah dalam pendekatan ini si peneliti memandang gejala sosial tidak pada sudut pandang dirinya sebagai peneliti, namun sebagai orang yang terlibat di dalamnya atau partisipan. Di samping persamaan, ada juga perbedaan dalam kata sains dan metodologi. Dari perbedaan kata sains dan metodologi, dapat diartikan bahwa kata sains membawa pikiran kita pada suatu yang sudah jadi, tinggal pakai, dan sesuatu yang bersifat pasif. Sedangkan kata metodologi membawa kita pada metode atau cara, jadi lebih bersifat aktif. ETNOSAINS Etnosains dipandang sebagai sebuah pendekatan yang memiliki tujuan akhir yang sama dengan Etnografi, yaitu to grasp the natives point of view, his relation to life to realize his vision of his world (Malinowski, 1961 : 25), namun beberapa masalah yang kemudian muncul ketika mereka membandingkan berbagai macam kebudayaan suku-suku bangsa di dunia guna mendapatkan prinsip-prinsip kebudayaan yang universal sifatnya. Menurut Goodenough (1964 : 7-9) ada tiga masalah pokok yang mereka temui adalah pertama, perbedaan minat di kalangan ahli antropologi yang menyebabkan perbedaan data yang dikumpulkan, kedua adalah perbedaan metode dalam mendapatkan data tersebut dan tujuan mereka yang berbeda-beda pula. Masalah yang ketiga adalah ketidaksamaan pendapat diantara para antropolog dalam menentukan kriteria pengklasifikasian. Kemudian disepakatilah bahwa kelemahan para antropolog adalah pada cara pelukisan kebudayaan. Model dari linguistik (Goodenough, 1964a, 1964b) yakni cabang dari fonologi, yaitu fonemik dan fonetik yang kemudian digunakan. Namun penggunaan model ini juga tidak mampu menjawab permasalahan tersebut diatas karena model ini masih tetap menggunakan sudut pandang si peneliti tetap terjadi perbedaan. Merekapun kembali memetakan letak permasalahan utama dan ditemukanlah bahwa perbedaan definisi kebudayaan diantara penelitilah yang mendasari permasalahan yang mereka temui selama ini.

Definisi Goodenough mengenai kebudayaan, menurut yang saya tangkap adalah pengorganisasian benda-benda, masyarakat, tingkah laku, dan emosi-emosi. Apa yang measyarakat katakan dan lakukan, susunan hubungan sosial dan pelaksanaan acara-acara merupakan hasil penafsiran, penangkapan dan pengamatan-pengamatan berdasarkan situasi tertentu. Goodenough mengharuskan peneliti untuk mengetahui sistem pengetahuan suatu masyarakat yang meliputi klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hal-hal lain. Akibat yang timbul --baik pada metode atau masalah dalam antropologi-- dengan definisi tersebut adalah peneliti disarankan untuk memberikan pertanyaan yang menggunakan konsepkonsep yang dimiliki oleh masyarakat yang diteliti tersebut --peneliti menyimpan dulu konsepkonsep yang dia ketahui-- dan yang paling penting adalah menguasai bahasa masyarakat yang diteliti. Hal ini berlandaskan pada anggapan bahwa pemberian nama kepada bermacam-macam hal akan memudahkan klasifikasi dan menangkap pandangan hidup masyarakat tersebut. Ada tiga kelompok yang digolongkan berhubungan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah antropologi. Kelompok pertama menekankan pada pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka. Pada dasarnya tiap masyarakat membuat klasifikasi yang berbeda-beda terhadap lingkungan yang sama dan hasil akhirnya adalah peta kognitif (Frake, 1962 : 75). Kelompok kedua menekankan pada rule atau aturan-aturan. Kelompok ini memberikan perhatian lebih pada kategori-kategori yang dipakai dalam interaksi sosial serta hak-hak dan kewajiban. Kelompok ketiga memandang kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk perceiving dan dealing with circumstances. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang juga dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua namun tidak diungkapkan secara eksplisit, dan kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal. Tiga macam arah penelitian inilah yang sekarang dikenal sebagai wujud dari aliran etnosains yang istilahnya sendiri belum memiliki kesamaan pendapat oleh para ahli antropologi. Berbagai macam istilah yang dipakai berlandaskan pada apa yang dianggap penting namun memiliki keseragaman yaitu pada metode yang dipakai. Etnosains akhirnya disepakati sebagai metode. Etnosains atau Ethnoscience berasal dari kata Yunani, Ethnos yang berarti bangsa dan kata Latin Scientia yang berarti pengetahuan (Werner dan Fenton, 1970 : 537). Tapi sebenarnya lebih tepat di katakan bahwa etnosains adalah pelukisan sistem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat (suatu bangsa/suku bangsa) tertentu, bukan pola dari tingkah laku mereka. ETNOMETODOLOGI Dimulai dari filsafat fenomenologi transedental Husserl yang memusatkan perhatian pada kesadaran sama seperti fenomenologi eksistensial. Fenomenologi transedental berupaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul

dan tidak dipersoalkan apakah kesadaran ini benar atau salah. Pandangan inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan etnometodologi. Kesadaran memiliki dua aspek yang saling melengkapi yaitu proses sadar dan objek dari kesadaran tersebut. Dan hal ini berkaitan dengan maksud dari orang tersebut yang nantinya akan memberi makna pada obyek yang dihadapi. Makna itu selalu diarahkan pada bidang kehidupan yang juga ada orang-orang lain di dalamnya yang saling berhubungan sehingga mereka memiliki sifat sosial dan bidang ini merupakan dunia antarsubjek (intersubjective). Dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain ini kemudian menjadi pengalaman bersama. Dreitzel menegaskan bahwa makna yang diberikan oleh orangorang yang terlibat dalam interaksi tersebut, bagaimana makna itu muncul, dimiliki bersama serta dipertahankan untuk selama jangka waktu tertentu dan bagaimana kenyataan sehari-hari yang selalu berbeda-beda dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata bagi mereka yang menghadapinya. Karena dipandang sebagai hal-hal yang wajar, yang biasa dan nyata kemudian ini disebut sebagai natural attitude / commonsense reality. Oleh Husserl, natural attitude ini dibedakan dengan theoretical attitude dan mythical religious attitude. Jadi bisa dikatakan bahwa Etnometodologi berdasarkan pada maksud. Sejarah hidup sangat

mempengaruhi hal-hal tersebut. Tujuan etnometodologi adalah mencari dasar-dasar yang mendukung terwujudnya interaksi sosial, tidak memandang di mana manusia itu berada atau apa suku bangsanya. Karena penelitian etnometodologi terutama ditujukan pada proses interaksi sosial serta pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya bisa berinteraksi dan memahami proses itu sendiri, maka etnometodologi juga memperhatikan bahasa atau percakapan yang ada di antara para pelakunya. ANALISIS Persamaan Dari uraian tentang asal mula masing-masing aliran serta contoh analisis dan metodenya, penulis melihat ada beberapa persamaan dan perbedaan antara etnosains dan etnometodologi. Beberapa persamaan yang tampak antara lain, yaitu pertama, keduanya sama-sama menggunakan bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan untuk analisis. Kedua, etnosains dan etnometodologi sama-sama terlibat dalam relativisme budaya sebab salah satunya tidak menyatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Ketiga, baik etnometodologi dan sebagian etnosciencetist berusaha mendapatkan aturanaturan yang mendasari tingkah laku manusia, dengan caranya masing-masing. Persamaan yang lain adalah bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia, bahwa manusia pada dasarnya memberikan makna terhadap gejala sosial yang dihadapi. Pemberian makna terhadap situasi inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Perbedaan Sedangkan perbedaan dari kedua pendekatan ini, menurut penulis adalah antara keduanya adalah bahwa etnosains lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku, sedangkan etnometodologi lebih berusaha mendapatkan apa yang

disebut basic rules dari interaksi manusia. Selanjutnya etnosains dan etnometodologi juga mencoba menemukan prinsip-prinsip yang universal. Etnometodologi, menurut Psathas, dapat mencapai hal ini karena bertitik-tolak dari phenomenologi yang berupaya mendapatkan essential features dari gejala yang diamati. Berbeda dengan etnosains yang mencapai prinsip-prinsip universal menggunakan metode perbandingan yang membawanya pada tingkat etnologi. Pada tingkat etnografi, etnosains tidak mencari keuniversalan dan berusaha menggambarkan aspek tertentu dari suatu kebudayaan dengan cara tertentu agar dapat dibandingkan dengan data lain. Etnosains lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku, sedangkan etnometodologi ebih banyak memperhatikan dengan usaha untuk menemukan basic features of everyday interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality is created outof the interlocked activity of human actors becomes an important and critical topic for examination(Psathas, 1968, 1968 : 513 ; garis bawah dari saya)

Etnosains Asumsi dasar pelukisan sistem pengetahuan,

Etnometodologi yang Suatu cara / metode untuk mencari yang mendukung

merupakan pengetahuan yang khas dari dasar-dasar

suatu masyarakat (suatu bangsa/suku terwujudnya interaksi sosial, tidak bangsa) tertentu, bukan pola dari tingkah memandang di mana manusia itu laku mereka. Model Model linguistik, yakni pelukisan suatu budaya dengan mengungkap tentang nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan berada atau apa suku bangsanya.

hidup serta berbagai kebiasaan yang ada di suatu kebudayaan. Peneliti harus memandang gejala sosial pada sudut pandang dirinya sebagai orang yang terlibat di dalamnya atau partisipan. Nilai-nilai Pihak A dapat memberikan sesuatu / Untuk membangun kenyataan

manfaat yang sesuai dengan kebutuhan sosial serta makna-makna yang kebudayaan pembangunan setempat. yang Contoh : dimiliki oleh para pelaku yang

berdasar

local terlibat dalam suatu interaksi sosial

wisdom kebudayaan B.

RELEVANSI ETNOSAINS DI INDONESIA Dalam artikel ini penulis lebih memfokuskan diri pada pendekatan etnosains daripada pendekatan etnometodologi. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan penulis tentang pendekatan analisis etnometodologi Penulis sangat mementingkan penekanan pada aspek kognitif yang akan mempengaruhi metode-metode penelitian dan pelukisannya serta akan lebih mengembangkannya. Dalam soal pembangunan itu sendiri, penulis ingin mengajak pembaca

untuk mengerti tentang apa itu pembangunan, apa hubungan dasar pembangunan dengan manusia, apa tujuan dari pembangunan, untuk siapa pembangunan itu dilaksanakan. Berlandaskan pada pengetahuan bahwa Indonesia ini terdiri dari berbagai macam kebudayaan, mengetahui kebudayaan setempat dan melibatkan partisipasi mereka adalah cara yang tepat dalam proses pembangunan. Dari pandangan inilah Etnosains menjadi metode praktis yang dapat digunakan, karena Etnosains adalah sebuah pendekatan yang mengacu pada pandangan dan pemikiran masyarakat yang akan diteliti. Etnosains juga dapat menjelaskan berbagai gejala sosial dari kacamata masyarakat itu sendiri dengan memperhatikan juga penafsiran-penafsiran para pelaku. Perencanaan pembangunan akan lebih mampu menentukan langkah yang lebih tepat dan cara yang lebih sesuian dengan pandangan masyarakat yang akan dibangun. KESIMPULAN Jadi, etnosains adalah pelukisan sistem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat (suatu bangsa/suku bangsa) tertentu, bukan pola dari tingkah laku mereka. Etnometodologi adalah Suatu cara / metode untuk mencari dasar-dasar yang mendukug terwujudnya interaksi sosial, tidak memandang di mana manusia itu berada atau apa suku bangsanya. Keduannya tidak mempersoalkan apakah pengetahuan tersebut salah atau benar menurut kriteria tertentu dan keduannya menggunakan data bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan analisa Perspektif etnosains sepertinya sangat sesuai diterapkan di Indonesia untuk mengungkap tentang nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan hidup serta berbagai kebiasaan yang ada di tengah masyarakat. Meski penulis mengakui bahwa etnosains bukan satu-satunya perspektif yang dapat turut mensukseskan pembangunan, namun pengetahuan mengenai sistem ide suatu masyarakat sangat penting bagi perencanaan pembangunan. Penulis juga menegaskan, jika menginginkan suatu upaya pembangunan yang manusiawi dan secara etika menghargai pandangan-pandangan dan sistem pengetahuan masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan, maka perspektif etnosains tidak bisa diabaikan.

Anda mungkin juga menyukai