Anda di halaman 1dari 9

Korupsi Birokrasi: Sebuah Warisan Kolonial?!

REP | 22 June 2012 | 16:00 Dibaca: 322 Komentar: 4 1 dari 1 Kompasianer menilai aktual

Jika kita membaca koran atau mendengarkan berita pasti ada saja berita tentang korupsi yang terjadi dalam birokrasi di negeri ini. Seakan-akan tidak ada pernah habisnya pemberitaan tentang perilaku korup para birokrat baik itu di tingkat lokal maupun di tingkat pusat. Jika ditelaah dari prespektif skala dan motif pelakunya, korupsi dapat dibedakan menjadi dua kategori: pertama, korupsi skala kecil. Pelaku korupsi kategori ini adalah pegawai pemerintah tingkat rendahan yang merasa tidak mendapat kesejahteraan karena gaji yang terlalu kecil. Modusnya yaitu dengan mengambil/menjual aset-aset dan uang kantor.Kedua, yaitu korupsi dengan motif memperkaya diri. Pelakunya adalah pejabat tinggi yang mempunyai kewenangan dan kesempatan luas untuk menyelewengkan jabatannya. Hal ini biasa dilakukan di berbagai lembaga pemerintahan di pusat karena adanya sentralisasi kekuasaan. Pelaku korupsi pada kategori pertama tampaknya tidak mendapat perhatian khusus dari media maupun aparat penegak hukum, mungkin dikarenakan tidak begitu besar jumlah yang dikorupsi (atau mungkin hampir semua orang pernah melakukannya, jadi sudah menjadi kebiasaan?). Pelaku korupsi kategori kedua yang sering menjadi sorotan publik karena biasanya orang yang melakukannya mempunyai posisi penting dalam struktur birokrasi. Sejarah Korupsi Birokrasi Menurut Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer di dalam masyarakat kontemporer, birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang menonjol, sebagai lembaga yang melambangkan era modern. Birokrasi bisa dikatakan alat pemerintah yang mengabdi dan mengurus masyarakat. Konsep dan organisasi birokrasi modern muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke18, yakni pada masa Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Sedangkan di Indonesia birokrasi modern lahir dari warisan kolonial. Struktur birokrasi pada masa kolinial Belanda, terdiri dari dua yaitu yang berasal dari orang-orang Belanda yang disebutBinennlandsch Bestuur (BB) dan yang berasal dari orang-orang pribumi yang disebutInlandsh Bestuur (IB). Ironisnya para birokrat BB sebagain besar berasal dari birokratVereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang bangkrut karena salah satu penyebabnya adalah korupsi. Tindakan korupsi yang dilakukan pejabat VOC antara lain perdagangan pribadi. Para pejabat VOC melakukan perdagangan kecil yang biasa disebut morshandel untuk kepentingan pribadi. Perdagangan pribadi itu menggunakan fasilitas dari VOC, seperti kapal, gudang, modal, koneksi. Hal ini yang menyebabkan banyak kapal VOC yang tenggelam karena banyak dimuati barang dagangan pribadi. Selain itu para pejabat ini banyak menerima suap dari pejabat Indonesia seperti bupati (pengumpul pajak) dan dari orang Cina yang memegang hak penjualan barang-barang VOC, seperti candu. (Ong Hok Ham, 2002) Tindakan korupsi pada masa kolonial marak terjadi ketika masa tanam paksa baik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kolonial maupun pejabat pribumi. Contoh korupsi oleh

pejabat kolonial yaitu mengenai ketentuan yang menentukan bahwa jika ada kelebihan dari jumlah pajak yang harus dibayar, maka akan dikembalikan kepada rakyat. Ketentuan ini terdengar baik, tetapi pada pada kenyataanya, rakyat tidak memperoleh keuntungan sama sekali karena para pegawai kolonial melakukan korupsi dengan cara menghitung kelebihan para petani dengan tidak sesuai. Penyelewengan juga dilakukan oleh para penguasa pribumi seperti kepala desa. Dalam pembayaran pajak tanah dipungut semacam persekot dari rakyat untuk kepentingan pribadi. Kemudian rakyat masih dipungut pajak yang utuh. Ada pula penduduk desa yang dibebaskan dari wajib kerja dan tanam paksa dengan membayara kepada kepala desa. Selain itu untuk menambah keuntungan para kepala desa, dilakukan juga system ngijon, yaitu pemberian persekot untuk tanaman yang belum masak. (Sartono Kartodirdjo, 1999) Korupsi juga terjadi setelah pemerintahan kolonial Belanda berakhir. Pada masa pemerintahan Presiden RI pertama Ir. Soekarno, menteri perdagangan Dr. Sumitro Joyohadikusumo pernah menerapkan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang bertujuan menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan masyarakat Indonesia. Ketika itu, para pengusaha Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah diberikan bantuan kredit untuk modal usaha. Tetapi program ini justru menumbuhkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapat tender adalah pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan politik yang dominan. Kasus korupsi birokratis juga melekat kuat dalam birokrasi di pemerintahan Orde baru. Pada tahun 1994, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, T.B. Silalahi, waktu itu menegaskan bahwa 80-100 orang pegawai negeri sipil dan pejabat negara melakukan penyelewengan setiap bulannya. Penyelewengan tersebut berbentuk manipulasi, korupsi dan bentuk penyelewengan amoral, termasuk penyelewengan seks. (Kompas, 20/09/1994) Temuan BPKB bahwa sepanjang 1994-1995 (sampai dengan Januari) terjadi kebocoran uang Negara sebesar Rp. 1,072 triliun. Pada mater 1995, misalnya sebuah laporan dari Kejaksaan Agung mengungkapkan 358 kasus korupsi di seluruh instansi pemerintah tahun 1994-1995 (hingga Januari). Dari 358 kasus, 212 kasus dapat dihitung nilai kerugiannya, yakni sebesar Rp.1.190.842.904.717,83. Menurut laporan itu, kasus yang paling menonjol adalah pada sektor perbankan, perpajakan, dan pengadaan tanah. Sementara departemen yang paling digerogoti korupsi adalah Depdagri (106 kasus), Depkop (62 kasus), Bank Indonesia (59 kasus), dan Deptan (20 kasus). (Replubika, 17/03/95) Setelah Orde Baru runtuh dimulailah orde Reformasi. Salah satu agenda kaum reformasi yang menumbangkan Orde Baru adalah pemberantasan praktek-praktek korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Akan tetapi semakin lama tampaknya semangat reformasi sudah mulai dilupakan, karena saat ini semakin banyak saja kasus korupsi di lembaga-lembaga pemerintahan. Seperti contoh kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pertamina, Bulog dan masih banyak lagi lembaga atau perusahan milik negara. Otonomi Daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga dijadikan ajang korupsi oleh pejabat daerah. Akar Tradisi Menurut analisis Theodore M. Smith, korupsi di Indonesia merupakan persoalan kultural, ekonomi sekaligus politik. Faktor yang menyebabkan maraknya praktik korupsi di Indonesia,

antara lain faktor sejarah yang dipengaruhi oleh watak kaum kolonialisme, faktor kebudayaan sebagai implikasi negatif dari sistem feodalisme, faktor ekonomi karena rendahnya tingkat kesejahteraan pejabat, faktor struktur pemerintahan sentralitik dan faktor partai politik yang membutuhkan dana terutama menjelang pemilu.(Mochtar Lubis dan James Scott, 1990) Praktek korupsi ternyata terkait erat dengan perjalanan dan proses sejarah yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Ekses negatif dari sistem feodalistik dan contoh negatif dari kaum kolonialis, ternyata sangat mempengaruhi pandangan dan sikap masyarakat Indonesia yang cenderung bersikap permisif dan terbiasa dengan korupsi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mochtar Lubis bahwa akar tradisi memang dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Selain itu jabatan yang diperoleh penduduk pribumi dari kemerdekaan, membuat birokrasi negara baru ini tidak dijalankan sesuai dengan norma birokratik yang rasional-legal, tapi dipengaruhi nilai-nilai tradisonal yang memberikan tempat merajalelanya korupsi. Dari uraian di atas dapatkah kita simpulkan bahwa perilaku korup birokrasi di negeri ini merupakan warisan dari masa kolonial

Posisi Budaya Korupsi Indonesia di UNESCO


OPINI | 27 June 2012 | 20:13 Dibaca: 209 Komentar: 4 3 dari 4 Kompasianer menilai aktual

Kasus tari Tor-tor dan Gondang Sambilan milik komunitas Mandailing yang diaku-aku sebagai warisan budaya nasional Malaysia mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mendaftarkan warisan budaya Indonesia ke UNESCO agar tidak diklaim negara lain. Hari ini (27/6) dalam rilisnya di Padang, Kementerian Pariwisita dan Ekonomi Kreatif (KEMENPAREKAF) berencana mendaftarkan warisan budaya Indonesia ke UNESCO, setidaknya 1 (satu) setiap tahun, kata Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Achyaruddin. Menurutnya, pemerintah sudah berhasil memasukan 12 budaya nasional yang diakui UNESCO seperti keris, batik, angklung dan tari saman, dan sekitar 2.107 lainnya terdaftar atau teregister. Dengan sudah terdaftar, maka jika ada negara lain yang menampilkannya di depan umum untuk kepentingan negara bersangkutan, maka negara bersangkutan harus mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia. (kompas.com) Terminologi dan Definisi Budaya Budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah

atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. (Mulyana dan Rakhmat, 2006: 25) Sejarah Budaya Korupsi Indonesia Sebagian kecil orang beropini bahwa Korupsi merupakan Budaya Baru yang menjadi kebiasaan legal dan tidak dilarang dalam segi pandangan agama maupun hukum negara. Seakan menjadi pembenaran dari kalangan paling bawah sampai kalangan atas, sudah sama-sama paham dan tidak keberatan jika melakukan korupsi, atau menemukan orang lain yang melakukan korupsi, bahkan sampai ada istilah Korupsi Berjamaah. (Adhyz alKandary, id.shvoong.com)
Adapun sebagian yang lain, yang merupakan pandangan masyarakat kebanyakan cenderung mengarahkan budaya korupsi Indonesia kembali pada masa kolonial (korupsi birokrasi) mengiringi lahirnya organisasi birokrasi modern di Eropa pada akhir abad ke-18 (Revolusi Industri dan Revolusi Perancis). Struktur birokrasi pada masa kolonial Belanda terbagi menjadi 2 (dua) yaitu orang-orang Belanda (Binennlandsch Bestuur/BB) dan pribumi (Inlandsh Bestuur/IB). Dua lapisan birokrasi tersebut kemudian bangkrut tidak lain lantaran korupsi. (Ong Hok Ham, 2002 dalam Putro, 2012)

Menurut Putro (2012), korupsi juga terjadi setelah pemerintahan kolonial Belanda berakhir yaitu pada masa pemerintahan Presiden RI pertama Ir Soekarno. Menteri perdagangan Dr. Sumitro Joyohadikusumo pernah menerapkan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang bertujuan menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan masyarakat Indonesia dengan bantuan kredit untuk modal usaha. Namun, program ini justru menumbuhkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antara pengusaha dan pemerintah (kekuatan politik). Ribut-ribut Klaim Budaya

Untuk urusan pendaftaran hak cipta (paten) termasuk di UNESCO, setidaknya bila sudah terdaftar saja maka negara lain tidak berhak untuk mengaku-aku. Dan sejauh ini, publik Indonesia sering dan selalunya ributribut (diributkan) perihal pendaftaran budaya nasional ini, khususnya dengan negara tetangga Malaysia yang kebetulan lebih dulu mengakuinya, reog ponorogo, tor-tor, dsb. Bila (kebetulan) Malaysia selalu mendahului kita dalam hal pendaftaran budaya nasional di UNESCO, mengapa tidak sekali waktu kita coba mendaftarkan jenis budaya lain yang juga mengakar kuat di negeri ini, yaitu korupsi. Posisi Lowong Tanpa Saingan Bukan berarti Malaysia tidak korup, karena bila bicara masalah korupsi maka seluruh negara di dunia memiliki jenis, praktik, dan tingkat korupsinya masing-masing. Namun anehnya, tidak satupun negara di dunia yang dengan berani (gentle) mengatakan bahwa iya benar korupsi memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara kami dan telah menjadi budaya atau bahkan tradisi. Dengan demikian tidak ada sama sekali pendaftaran untuk jenis budaya: korupsi dari negara manapun di dunia. Siapapun negara yang berani mendaftarkannya tidak akan mendapat pesaing karena tidak ada yang mengaku-aku ataupun merupakan posisi yang lowong, termasuk Indonesia, tentu saja bila berani. Apa Manfaatnya? Walaupun tulisan ini bernada otokritik tentang keberadaan korupsi yang semakin merajalela di Indonesia, namun ide yang penulis lontarkan tentang Pendaftaran Budaya Korupsi ke UNESCO, apabila diterima, sebenarnya memiliki nilai kemanfaatan pula. Kemanfaatannya adalah ikut turun langsungnya pihak UNESCO dalam meneliti dan mencari akar masalah korupsi di Indonesia. Karena tidak mungkin UNESCO memberikan pengakuan pada setiap budaya yang terdaftar tanpa adanya penelitian (research) terhadap budaya tersebut. Sehingga dengan demikian setidaknya kita akan memperoleh salinan penelitian tentang korupsi di Indonesia ataupun Korupsi model Indonesia yang harusnya diakui dengan segala keunikan-keunikannya.
Otonomi Daerah Kalimantan Timur (1)

Riuh wacana pengelolaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang kadang dibumbui dugaan penyimpangan, sering menghiasi halaman depan surat kabar lokal di Samarinda, Kalimantan Timur. Apakah ini pertanda korupnya wilayah itu atau hanya ekses keterbukaan informasi? Kaltim memang kaya sumber daya alam. Wilayah ini memiliki hutan dengan kayu dan perizinan penggunaan kawasan hutan, minyak dan gas, serta tambang batu bara yang menyumbang 70 persen produksi nasional. Kekayaan alam yang seharusnya mampu

menyejahterakan rakyat Kaltim yang berjumlah sekitar 3,5 juta orang. Namun, faktanya masih terdapat rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto beberapa waktu lalu melansir tingginya laporan masyarakat atas dugaan penyimpangan atau korupsi di provinsi terluas ini. Hingga awal tahun 2010, KPK menerima 1.254 laporan dari total pengaduan masyarakat yang mencapai 40.000 laporan. Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara menempati posisi tertinggi, yaitu 264 laporan dan 203 laporan, dilanjutkan Kabupaten Berau (106 laporan), Bontang (100 laporan), dan Pasir (95 laporan). Laporan itu memang tak serta-merta menunjukkan Kaltim adalah provinsi terkorup. Fenomena itu juga dapat dibaca secara positif, yaitu makin baiknya kesadaran publik untuk terlibat secara aktif dalam upaya pemberantasan korupsi. Atau memang bisa jadi Kaltim ini terkorup di antara provinsi lain di Indonesia, ujar Carolus Tuah, Direktur Kelompok Kerja (Pokja) 30, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pemberantasan korupsi yang berbasis di Samarinda. Faktanya, memang tak sedikit pejabat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, terseret kasus korupsi. Sebut saja Suwarna AF (mantan Gubernur Kaltim) dan Syaukani Hasan Rais (mantan Bupati Kutai Kartanegara) yang sempat diadili di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Sejumlah pejabat juga diadili di pengadilan negeri setempat. Tak hanya pejabat pemerintahan, rektor pun turut terseret, seperti yang dialami Rektor Universitas Kutai Kartanegara Muhammad Aswin. Ia terjerat kasus bantuan sosial ketika menjabat Sekretaris Daerah Kutai Kartanegara. Yang terbaru, dugaan korupsi juga ditudingkan kepada Gubernur Kaltim Awang Faroek dalam perkara divestasi saham PT Kutai Timur Energy. Kasus lama yang melibatkan dana senilai Rp 576 miliar sewaktu dia menjabat Bupati Kutai Timur. Awang Faroek mengungkapkan, tidak ada kesalahan prosedur dalam kasus itu. Setidaknya hal ini tidak pernah dijadikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan.
Dana bantuan sosial

Carolus Tuah mengungkapkan, korupsi di Kaltim melibatkan birokrasi dan politisi, pemerintah dan anggota DPRD. Modus operandi yang digunakan sebenarnya terbilang konvensional, seperti penyalahgunaan APBD dalam pengadaan barang dan jasa serta penyaluran bantuan sosial. Berdasarkan pantauan Pokja 30, dana bantuan sosial menjadi pilihan empuk mengingat adanya ketidakjelasan pengaturan alokasi dana tersebut. Tuah menuturkan, aturan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri tidak membatasi berapa dana maksimal yang dapat dialokasikan. Peraturan Mendagri itu hanya menyebutkan alokasi bantuan sosial disesuaikan dengan keuangan daerah masing-masing. Di Kaltim, berdasarkan data Pokja 30, alokasi dana bantuan sosial mencapai Rp 2 triliun per tahun (anggaran pemerintah provinsi dan 14 kabupaten/kota). Untuk APBD Provinsi Kaltim, Pokja mensinyalir Rp 600 miliar hingga Rp 700 miliar teralokasi untuk kepentingan itu. Wilayah ini terkadang tak disadari orang. Dengan regulasi yang lemah dan relatif tak terkontrol, bagi-bagi dana bantuan sosial relatif mulus. Tuah menunjukkan lemahnya regulasi, seperti tidak diwajibkannya penerima dana bantuan sosial membuat laporan pertanggungjawaban jika nominal dana yang diterima kurang dari Rp 500 juta. Selain masyarakat awam, penerima bantuan adalah organisasi kemasyarakatan yang diusut lebih jauh memiliki kaitan dengan politisi atau pejabat tinggi pemda setempat.

Potret birokrasi semacam ini sudah disadari oleh Pemerintah Provinsi Kaltim. Dalam Rencana Strategis 2010, mereka menempatkan tiga isu utama target capaian, yaitu ketatalaksanaan dan aparatur negara, pelayanan publik dan partisipasi masyarakat, serta kasus korupsi. Khusus berkenaan dengan kasus korupsi, Pemerintah Provinsi Kaltim menargetkan menurunnya jumlah korupsi itu hingga 80 persen. Awang pun mengungkapkan, praktik tata kelola pemerintahan yang baik menjadi prioritas. Salah satunya dengan pengelolaan keputusan manajemen publik yang transparan dan akuntabel. Soal transparansi dan akuntabilitas diakui sejumlah LSM masih bermasalah. Sulit mengakses data meskipun sebenarnya itu bukan data rahasia. Saat ini komitmen Kaltim diuji. Cita-cita mengikis korupsi diharapkan tak berhenti di atas kertas. (Susana Rita dan Ambrosius Harto)

ata Korupsi 2011

Tahanan Korupsi

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan selama tahun 2011 pelaku korupsi banyak yang berlatar belakang banyak berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang pegawai negeri menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD dengan jumlah 99 orang. Menarik pernyataan ICW yang menilai Kebijakan remunerasi dalam kerangka reformasi birokrasi ternyata belum efektif mereduksi berbagai bentuk atau perilaku korup yang dilakukan para PNS. Tapi kontradiktif dengan data yang dirilis ICW mengenai adanya penurunan kasus korupsi yang melibatkan PNS dibandingkan tahun 2010. Tahun 2010 terdapat 336 PNS yang terlibat korupsi, dibandingkan tahun 2011 terjadi penurunan sebanyak 29 %. Suatu jumlah penurunan yang cukup signifikan. Kita tahu tahun 2011 banyak K/L yang sudah menjalankan Reformasi Birokrasi. Korupsi adalah masalah mental, agenda Reformasi Birokrasi jika dijalankan secara benar dan konsisten akan dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi.

1. Pelaku Korupsi
No 1 Keterangan Pegawai Negeri Kasus 239

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Direktur swasta/Rekanan/Kontraktor Anggota DPR/DPRD Kepala Dinas Panitia Lelang Bendahara Pemda Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota Kepala desa Ormas Konsultan/Pengawas Pegawai BUMN/D Sekda/Sekot/Sekab/Sekjen Pegawai Swasta KPU/KPUD Direktur BUMN/D

190 99 91 67 51 41 31 30 28 27 24 24 20 17

2. Sektor Paling Korup


No 1 2 3 Keterangan Pendidikan Keuangan Daerah Sosial Kemasyarakatan Kasus 54 51 42

3. Modus Korupsi
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Keterangan Penggelapan Penyalahgunaan Anggaran Mark Up Laporan Kegiatan/Proyek/Perjalanan Dinas Penyuapan Pungli/pemerasan Penyalahgunaan Wewenang Mark Down Penunjukan Langsung dlm pengadaan Kasus 168 81 80 53 19 19 5 4 4

10

Gratifikasi

4. Tempat / Lembaga Korupsi


No 1 2 3 Keterangan Pemerintah Kabupaten Pemerintah Kota Pemerintah Provinsi Kasus 264 56 23

5. Jumlah Kerugian
No 1 2 3 Keterangan Pemerintah Kabupaten BUMN Pemerintah Kota Rupiah 657,7 M 249,4 M 88,1 M

Related posts:http://setagu.net/opini/data-korupsi-2011-versi-icw#more-1855

Anda mungkin juga menyukai