Anda di halaman 1dari 17

Disusun Untuk Memenuhi Nilai Tugas pada Mata Kuliah ISBD Mahasiswa Jurusan Biologi Semester 5

yang Diampu Oleh Joko Siswanto Disusun Oleh : Eko Bambang F Rizki Panji Nugroho Bintoro Rudi Saputro Lutfhy Affan Nur M.Imam Fadila M. Sindhunata P Sofyan Fauzi Larosa J2B009002 J2B009010 J2B009013 J2B009014 J2B009024 J2B009045 J2B009056

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS DIPONEGORO 2011

I.Rumusan Kasus Sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup. Dari segi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sampah ialah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (karena air bekas tidak termasuk didalamnya). Peran masyarakat sangat besar dalam pengolahan sampah agar tidak mencemari lingkungan karena dengan mengolah sampah yang masih dapat dimanfaatkan akan mengurangi penumpukan sampah. Sampah yang tidak diolah secara baik akan merusak keseimbangan ekosistem makhluk hidup yang ada di dalamnya sehingga dibutuhkan kesadaran masyarakat sejak dini agar dapat menumbuhkan sifat kebiasaan dalam membuang sampah pada tempatnya. Salah satu tempat dengan tingkat kepadatan sampah yang tinggi, misalnya saja pantai maron yang berlokasi di kota semarang. Jika dilihat sekilas tampilan pantai tersebut seperti pantai pada umumnya, tetapi mencolok akan sampah yang terhambur di sekitar pinggiran bibir pantai. Kebanyakan dari sampah-sampah tersebut termasuk kedalam sampah jenis rubbish (sampah tidak lapuk dan tidak mudah lapuk). Pendegradasian sampah jenis rubbish ini memerlukan jangka waktu yang sangat lama karena dertivor tidak bisa langsung dengan cepat mendegradasi sampah seperti ini. Limbahlimbah sisa proses industri atau yang lebih dikenal dengan Industrial waste ini juga berperan besar terhadap pencemaran air di perairan sekitar daerah pantai maron. Misalnya saja, jika pabrik tersebut membuang mercury dengan kadar di ambang batas air mampu menerima zat tersebut. Dampaknya akan mempengaruhi ekosistem perairan, contohnya ikan akan banyak yang mati, tumbuhan air banyak yang layu lalu mati, sehingga dapat memutus rantai makan.

II. Uraian Kasus Pada tahun 2004, hampir semua kecamatan dengan kepadatan diatas 10.000 ribu jiwa per kilometer persegi menghasilkan sampah sekitar 361 meter kubik per hari. Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Utara, dan Semarang Timur masuk daftar ini. Sementara itu, sampah yang terangkut hanya dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang tanpa pengolahan lebih lanjut. Dengan kapasitas 3.000 meter kubik per hari, TPA seluas 45 hektar ini setiap hari mendapat setoran 2.500 meter kubik sampah. Oleh karena itu, penanganan sampah secara konvensional harus ditinggalkan. Sebagian besar sampah yang berupa sampah organik masih dapat diolah dan dimanfaatkan lagi dengan sistem modern. (Litbang Kompas, 2006:1) Di pantai Maron seringkali menumpuk sampah, mulai dari sampah organic berupa daun dan ranting, hingga sampah anorganik yang berupa plastic. Beberapa mikroba terutama dari kelompok jamur memiliki kemampuan untuk menghidrolisis selulosa alami melalui aktivitas selulase yang dimilikinya. Perolehan mikroba selulolitik yang mampu menghasilkan aktivitas selulase yang tinggi menjadi sangat penting untuk tujuan pengomposan limbah organik. Mikroba yang mampu menghasilkan komponen selulase diantaranya adalah Trichoderma, sehingga jamur ini sering disebut sebagai selulolitik sejati (Salma 3 dan Gunarto, 1999). Sifat plastik yang tidak mudah terdegradasi membuat plastik dapat bertahan dalam keadaan awalnya walaupun telah tertimbun dalam tanah selama puluhan tahun. Plastik yang dibuang hanya akan menimbulkan timbunan sampah yang tidak dapat diurai oleh mikroorganisme. Bila dibiarkan, sampah akan menggunung dan tentunya dibutuhkan tempat yang sangat luas untuk menampung sampah tersebut. Sampah sampah ini bukan disebabkan oleh pengunjung. Menurut penjaga pantai Maron, sampah sampah ini mengalir bersama aliran sungai Silandak yang bermuara di pantai Maron, khususnya saat hujan. Hal ini menandakan bahwa masih banyak warga di sepanjang aliran sungai yang membuang sampah ke sungai. Selain itu sampah dari selokan-selokan juga mengalir bersama aliran selokan ke sungai Silandak. Kebiasaan membuang sampah ini tampaknya sudah membudaya di kalangan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak baik jika dibiarkan, karena lama kelamaan tindakan ini menjadi hal yang dianggap wajar. Sebenarnya,

perlu ada kesadaran dari masyarakat dan pemerintah kota sebagai penentu kebijakan. Jangan sampai masyarakat membuang sampah dengan alasan tidak adanya pengumpul sampah yang mengatur pembuangan sampah di kota Semarang. Sampah sampah ini sangat berdampak pada ekosistem mangrove di dekat pantai yang notabenanya menjadi sarang burung-burung seperti belibis, kutilang, dan lainnya, khususnya sampah plastic yang dapat menurunkan kandungan oksigen di perairan pantai dan mengganggu kehidupan mangrove. Selain itu sampah plastic juga dapat merubah PH air laut yang mengganggu metabolisme mangrove.

III. Identifikasi Faktor 1. Fasilitas kebersihan yang kurang memadai. Jumlah tempat sampah yang masih sangat minim. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya sampah yang berserakan atau menumpuk di tempat-tempat tertentu. Sebagai tambahan, kondisi tempat yang sangat buruk dan tidak layak pakai bisa menyebabkan orang yang tadinya mau buang sampah pada tempatnya, jadi enggan dan mengurungkan niatnya, hingga akhirnya dibuang di sembarang tempat.

2.

Psikologis manusia. Hal ini juga menyebabkan banyak orang membuang sampah tidak pada tempatnya.

Contohnya yaitu sifat selalu menggantungkan diri pada orang lain (petugas sampah) atau sikap acuh tak acuh pada lingkungan sekitar, dan lain-lain.

IV. Analisis 4.1Definisi Adab

Adab adalah satu istilah bahasa Arab yang berarti adat kebiasaan. Kata ini menunjuk pada suatu kebiasaan, etiket, pola tingkah laku yang dianggap sebagai model,istilah adab membawa implikasi makna etika dan sosial. Kata dasar Ad mempunyai arti sesuatu yang mentakjubkan, atau persiapan atau pesta. Adab dalam pengertian ini sama dengan kata latin urbanitas, kesopanan, keramahan, kehalusan budi pekerti masyarakat kota.

Adat kebiasaan di dalam banyak kebudayaan sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi lokal dan oleh karena itu tunduk pada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kondisi-kondisi tersebut. Menurut W.G. Summer, dari berbagai kebutuhan yang timbul secara berulang-ulang pada satu waktu tertentu tumbuh kebiasaan-kebiasaan individual dan adat kebiasaan kelompok. Tetapi kebiasaan-kebiasaan yang muncul ini adalah konsekuensi-konsekuensi yang timbul secara tidak disadari, dan tidak diperkirakan lebih dulu atau tidak direncanakan.

4.2 Teori Etika Lingkungan Hidup 4.2.1. Antroposentrisme Antroposenstrisme (antropos=manusia) adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Dalam konteks lingkungan hidup, tesis dasar dari antropsenterisme adalah pemanfaatan terhadap lingkungan hidup harus tunduk pada kepentingan manusia. Lingkungan dalam konteks ini hanya memiliki nilai instrumental, sebagai obyek eksploitasi, eksperimen untuk kepentingan manusia. Manusia dalam konteks ini merupakan satusatunya subyek moral. Beberapa Tinjauan Kritis terhadap:

Didasarkan pada pandangan filsafat yang mengatakan bahwa hal yang bernuansa moral

hanya berlaku bagi manusia Sangat bersifat instrumentalistis yaitu pola hubungan manusia dan alam hanya terbatas

pada relasi instrumental semata Sangat bersifat teleologis, karena pertimbangan yang diambil untuk peduli terhadap alam

didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia Teori ini telah dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan hidup Walau banyak kritik dilontarkan kepada teori antroposentrisme, namun sebenarnya

argumen di dalamnya cukup sebagai landasan yang kuat bagi pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. 4.2.2. Biosentrisme Biosentrisme merupakan kebalikan dari antroposentrisme. Biosentrisme merupakan suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, bukan tergantung pada manusia. Oleh karena itu, bukan hanya manusia yang memiliki hak untuk berada, tetapi juga alam. Manusia dalam konteks biosentrisme hanya merupakan salah satu bagian dari alam. Seperti manusia memiliki nilai pada dirinya sendiri, demikianpun bagianbagian itu memiliki nilai di dalam dirinya sendiri. Dalam konteks ini, biosentrisme merupakan sebuah komunitas moral, dimana semua bagian dari komunitas itu memiliki nilai moral. Beberapa Tinjauan Kritis : Menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan

adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesis lain di bumi ini Melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri Memandang manusia sebagai makhluk biologis yang sama dengan makhluk biologis

lainnya

Pada intinya teori biosentrisme berpusat pada komunitas biotis dan seluruh kehidupan

yang ada di dalamnya. hidup. 4.2.3. Ekosentrisme Ekosentrisme merupakan perluasan dari bisentrisme. Biosentrisme menekankan komunitas bilogis yang hidup, sedangkan ekosentrisme memberikan perhatian pada komunitas biologis yang hidup dan mati. Ekosentrisme dalam konteks ini merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa baik komunitas biologis yang hidup maupun yang mati saling berkaitan satu sama lain. Air, udara, cahaya, tanah dan lain sebagainya sangat menentukan kualitas komunitas biologis. Beberapa Tinjauan Kritis: Versi lain dari ekosentrisme adalah Deep Ecology yang diperkenalkan oleh Arne Naes Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua makhluk

(filsuf norwegia). Deep Ecology disebut sebagai ecosophy, yang berarti kerifan mengatur hidup selaras

dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Deep Ecology menganut prinsip biospheric egalitarianism, yaitu pengakuan bahwa semua organisma dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Dia tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi kesehatan mausia, tetapi juga pada kehidupan secara keseluruhan .Deep ecology mengatasi sebab utama yang paling dalam dari pencemaran, dan bukan sekedar dampak superfisial dan jangka pendek (a.sonny keraf,etika lingkungan hidup,2010,pt.kompas media nusantara,jakarta) 3. Pengertian sampah Sampah atau waste (bahasa inggris) beberapa pengertian dalam batasan ilmu pengetahuan. Namun pasda prinsipnya sampah adalah suatau bahan yang terbuang atau

dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Bentuk sampah bias dalam setiap fase materi yaitu padat,cair dan gas. (Tim Penulis PS,2008) Secara sederhana sampah dapat dibagi berdasarkan sifatnya . sampah dipilah menjadi sampah organic dan anorgnaik. Sampah organic atau sampah basah ialah sampah yang berasal dari mahluk hidup,seperti dedaunan dan sampah dapur. Sampah jenis ini sangat mudah terurai secara alami (degradable). Sementara itu sampah norganik atau sampah kering adalah sampah yang tidak dapat terurai (undegradable). Karet, plastik, kaleng dan logam merupakan bagian dari sampah kering.

4.3. Sumber dan Komposisi Sampah Dalam kehidupan manusia sebagian besar jumlah sampah berasal dari aktivitas industry, seperti konsumsi pertambangan, dan manufaktur. Serirng waktu berjalan, hamper semua produkindustri akan menjadi sampah. Jenis sampah yang banyak dijumpai dalam jumlah besar pun beragam. Sampah berupa kemasan makananatau minuman yang terbuat dari kertas, almunium ataupun plastic berlapis semakin mendominasi. Demikian pula sampah elektronik, termsuk jenis sampah baru, semakin marak diempat pembuangan sampah. Volume tumpukan sampah memiliki nilai sebandingdangan tngkat konsumsi masyarakat terhdapa materialyang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Output jenis sampah sendiri tergantung pada jenis material yang dikonsumsi. Secara umum bias ditarik benang merah bahwa peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup masyarakat akan sangat berpengaruh terhdap volume sampah beserta komposisinya. Di Indonesia, sekitar 60-70% dari total volume sampah yang dihasilkan merupakan sampah basah dan kadar air antara 65-75%. Sumber sampah terbanyak dari pasar tradisional dan pemukiman. Sampah pasar tradisional, seperti pasar lauk pauk dan sayur mayor membuang hamoir 95% sampah organic. Jika ditinjau dari pengolahannya,sampah jenis ini akan lebih

mudah ditangani. Sementara itu, sampah didaerah pemukiman jauh lebih beragam. Namun, minimal (ref : penanganan dan pengolahan sampah,tim penulis SP,PENEBAR SWADAYA,JAKARTA ,2008) 4.4 Sampah Plastik 4.4.1 Plastik

Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer, yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila rantai tersebut dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola acak, menyerupai tumpukan jerami maka disebut amorp, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin dengan sifat yang lebih keras dan tegar (Syarief, et al.., 1989). Plastik berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat fisik kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang sengaja ditambahkan itu disebut komponen non plastik, diantaranya berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap cahaya ultraviolet, penstabil panas, penurun viskositas, penyerap asam, pengurai peroksida, pelumas, peliat, dan lain-lain (Crompton, 1979).

4.4.2 Permasalahan Akibat Sampah Plastik

Plastik adalah bahan yang sangat sering kita temui dalam kehidupansehari-hari. Penggunaan plastik sangat luas baik itu sebagai bahan pengemas primer, bahan pengemas sekunder, ataupun sebagai bahan campuran produk otomotif, perabot rumah tangga, terdapat dalam pipa, paralon dan sebagainya. Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas masih menjadi primadona hingga saat ini. Plastik mempunyai banyak keunggulan dibanding bahan pengemas lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplatis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan (Winarno, 1987). Ryall dan Lipton (1972) menambahkan bahwa plastik juga merupakan jenis kemasan yang dapat menarik selera konsumen. Menurut data yang ada, plastik yang dikonsumsi

masyarakat Indonesia mencapai 1,5 juta ton atau tujuh kilogram per kapita, termasuk jenis sampah yang tak bisa dilebur dalam tanah. Ada sekitar 3.700.000 ton per tahun bahan plastic diproduksi di Indonesia sebagai bahan campuran produk otomotif, perabotan rumah tangga, komponen elektronik dan banyak lagi. Jumlah sampah yang berasal dari produk kemasan plastik saja mencapai 1.600.000 ton per tahun atau 4.400 ton per hari. Jumlah sampah plastik impor sekitar 3.000 ton per bulannya dan hanya 60 persen saja yang bisa didaur ulang. Dari sisa yang 40 persen tersebut, 10 persennya mengandung bahan beracun dan materi berbahaya yang dapat mengakibatkan penyakit lifr, kanker dan hipertensi (Prasetyo, 2008). Sayangnya penggunaan plastik yang begitu digemari masyarakat ini tidak diikuti oleh daya degradasi yang memadai dari plastik itu sendiri. Padahal tingkat konsumsi plastik yang tinggi pasti menimbulkan sampah plastik dalam jumlah yang besar. Sifat plastik yang tidak mudah terdegradasi membuat plastik dapat bertahan dalam keadaan awalnya walaupun telah tertimbun dalam tanah selama puluhan tahun. Plastik yang dibuang hanya akan menimbulkan timbunan sampah yang tidak dapat diurai oleh mikroorganisme. Bila dibiarkan, sampah akan menggunung dan tentunya dibutuhkan tempat yang sangat luas untuk menampung sampah tersebut. Namun bila dibakar maka gas CO2 yang dihasilkan akan menambah emisi gas dunia dan menimbulkan efek global warming. Banyaknya sampah plastik yang dibuang di tanah juga akan mengganggu ekosistem daratan. Plastik yang menutupi tanah akan menghalangi penyerapan air ke dalam tanah sehingga potensi banjir meningkat. Selain itu plastik yang berbentuk film ini akan menutup permukaan tanah, sehingga aerasi tidak bisa berjalan semestinya sehingga kehidupan hewan-hewan kecil di dalam tanah ikut terganggu. Plastik juga diyakini menyusun sampai 90 persen seluruh sampah yang mengapung di lautan. Setiap mil persegi diperkirakan berisi 46 ribu potongan plastik. Semua sampah itu pada akhirnya juga bisa sampai ke lambung manusia. Ratusan juta potongan plastik, termasuk bahan mentah untuk industri plastik, hilang atau tertuang setiap tahunnya ke aliran sungai-sungai yang menuju lautan. Bahan-bahan itu lalu berperan sebagai agen pengikat bahan kimia buatan manusia lainnya seperti hidrokarbon dan pestisida DDT lalu masuk ke rantai makanan. Seperti dalam jenis lingkungan lainnya, plastik juga tidak semestinya ada dalam laut. Lingkungan yang satu ini bahkan cenderung melindungi plastik dari sinar ultraviolet sehingga proses penguraian molekul-molekulnya lebih lama lagi.

4.5 Perombak Sampah Organik Beberapa mikroba terutama dari kelompok jamur memiliki kemampuan untuk menghidrolisis selulosa alami melalui aktivitas selulase yang dimilikinya. Perolehan mikroba selulolitik yang mampu menghasilkan aktivitas selulase yang tinggi menjadi sangat penting untuk tujuan pengomposan limbah organik. Mikroba yang mampu menghasilkan komponen selulase diantaranya adalah Trichoderma, sehingga jamur ini sering disebut sebagai selulolitik sejati (Salma 3 dan Gunarto, 1999). Beberapa jenis jamur telah diteliti memiliki kemampuan mendegradasi serasah dedaunan terdiri dari 30 strain termasuk dalam tujuh genus diantaranya: Gliocladium (2 strain), Gonatobotryum (1 strain), Syncephalastrum (1 strain), Paecilomyces (2 strain), Penicillium (4 strain), Aspergillus (10 strain), dan Trichoderma (10 strain) (Affandi et al., 2001).

4.6 Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Pembuangan sampah cair(Sewage)Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik(Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.).

4.6.1 Respon Mangrove terhadap Polutan Organik Nutrient, terutama nitrogen dan posfor, sering merupakan komponen utama dari polusi bahan organik. Secara umum, lumpur mangrove dapat mengikat air buangan yang mengandung posfor secara baik, tetapi kurang efektif untuk melepas nitrogen. Nitrogen dan posfor tersebut umumnya terikat di dalam lapisan sedimen bagian atas, di mana bahan-bahan organic tersebut diurai oleh mikroorganisme. Konsentrasi yang tinggi dari polutan organik dapat menimbulkan penyakit, kematian dan perubahan dalam komposisi jenis mangrove (Tattar et al. 1994). Selanjutnya, Mandura (1997) menemukan bahwa pembuangan sampah ke habitat mangrove telah mematikan banyak akar pasak dari Avicennia marina yang tumbuh di laut merah. Hilangnya banyak akar pasak tersebut akan menurunkan luasan permukaan respirasi dan permukaan pengambilan nutrient oleh tanaman yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan pohon. Efek dari polutan organic tersebut menyebabkan efek yang kurang baik terhadap pertumbuhan populasi invertebrate yang hidup di habitat mangrove yang bersangkutan. Pengaruh polutan organic di habitat mangrove akan lebih buruk apabila polutan tersebut mengandung bahan-bahan kimia yang beracun yang tentunya selain menyebabkan kematian terhadap tumbuhan mangrove juga menyebabkan kematian terhadap berbagai jenis fauna yang hidup di sedimen mangrove tersebut.

V. Solusi 5.1 Penyuluhan. Hal yang pada umumnya dilakukan untuk mengurangi tingkat kepadatan sampah biasanya sosialisasi terhadap warga, agar warga mengurangi pembuangan sampah tidak pada tempatnya. Solusi seperti ini biasanya dianggap angin lalu oleh warga, menganggap ketidak pentingan terhadap pembuangan sampah. 5.2 Recycling. Harusnya, pabrik pabrik yang menyisakan sisa-sisa proses produksi mengadakan proses recycling. Sampah sampah yang sulit terurai harusnya menjadi target utama proses recycling.Ini ditujukan untuk sampah anorganik,karena sulit untuk dihancurkan dalam waktu singkat.Oleh karena itu pemerintah daerah harus membantu dalam pengadaan alat tersebut. 5.3 Pengembangan Lahan. Yaitu,adalah pembuatan lahan khusus disekitar pantai untuk tempat pembuangan sampah. Dapat dibuat dengan cara membuat lahan resapan untuk membuanag sampah organik yang dapat terurai oleh pembusukan karena bantuan air hujan.Dengan begitu masyarakat sekitar dapat mencari penghasilan tambahan. 5.4 Pelatihan untuk kerajinan tangan dari sampah. Dengan memberikan posko pelatihan terhadap warga dan anak-anak sekitar daerah pantai diharapkan meraka mampu dan dapat menerapkan ilmu kerajinan yang diberikan oleh tim kerajinan tangan dari limbah sampah. 5.5 Monitoring dalam /setiap waktu dekat. Dengan demikian masyarakat bisa dipantau keaktifannya dalam menjaga kebersihan lingkungan pantai.

VI. Relevansi Kasus dan Tema Pantai maron merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di Semarang. Namun, keadaan lingkungan disana sangat memprihatinkan. Banyak sekali sampah di pinggir pantai, mulai dari plastic minuman, botol air mineral, bahkan bangkai hewan. Sebagian besar sampah bukan berasal dari pengunjung, melainkan dari aliran Sungai Silandak. Pada musim hujan, terdapat arus dari hulu sungai Silandak yang membawa sampah yang banyak. Sampah tersebut bermuara di pantai Maron dan mencemari pantai tersebut. Hal ini menimbulkan masalah kepada ekosistem pantai dan sekitarnya seperti populasi pohon bakau yang ditinggali oleh burungburung. Sampah sampah ini berasal dari penduduk yang membuang sampah sembarangan. Hal ini tampaknya sudah menjadi kebiasaan buruk yang ada di masyarakat. Sebenarnya masyarakat mengetahui akibat dan dampak dari perbuatan ini, hanya saja karena tidak ada control social yang baik, kebiasaan ini menjadi hal yang lumrah. Masyarakat tak sepenuhnya bersalah, terkadang jika kita sedang berada di tempat umum dan ingin membuang sampah, tak terlihat tempat sampah di sekitar kita. Misalnya di jalan raya, dimana trotoar tempat berjalan saja tidak ada, lantas dimana tempat menaruh tempat sampah. Pada akhirnya mereka melakukan cara yang mudah, yaitu membuang sampah di selokan yang bermuara ke sungai. Sampah sampah yang terakumulasi menumpuk di sungai yang saat banjir akan bergerak ke laut. Di pantai maron hal ini mengganggu kehidupan pantai dan sekitarnya. Pembuangan sampah cair berakibat menurunnya kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, M., Nimatuzahroh., and Supriyanto, A. (2001). Diversitas dan Visualisasi Karakter Jamur yang Berasosiasi dengan proses degradasi Serasah di Lingkungan Mangrove. [Online]. Tersedia: http://www.journal.unair.ac.id [15 Agustus 2011]

Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia Prasetyo Sulung. 2008. Plastik Ramah Lingkungan Kurang Difasilitasi Pemerintah. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0808/20/kesra04.htm. [15 Agustus 2011].

Ryall. A.L. dan Lipton. W.J. 1972. Handling, Transportation and Storage of Fruits And Vegetables. The The AVI Publishing. Co. Westport.

Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Syarief. R, S. Santausa dan Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB Bogor. Tattar, TA, Klekowski, Ej and Turner, BJ. 1994. Dieback and Mortality in Red Mangrove, Rhizophora mangle L, in Southwest Puerto Rico. Arboricultural Journal 18, 419-429 Winarno, F.G. 1987. Mutu, Daya Simpan, Transportasi dan Penanganan Buah-buahan dan Sayuran. Konferensi Pengolahan Bahan Pangan dalam Swasemba da Eksport. Departemen Pertanian. Jakarta.

Lampiran

Sampah akibat pengunjung.

Sampah juga disebabkan oleh warga sekitar

Sampah akibat muara dari sungai silandak

Anda mungkin juga menyukai