11
12
Tahap ketiga dimulai pada akhir tahun 1940s dan awal tahun 1950s. Yang menarik dari perkembangan ilmu manajemen keuangan pada tahap ini adalah mulai berubahnya sudut pandang ilmu manajemen keuangan, dari yang sebelumnya diambil dari sudut pandang manajemen internal perusahaan ke sudut pandang pihak luar atau stakeholder. Dan terakhir tahap keempat yang dimulai pada akhir tahun 1950s, merupakan kelanjutan atau pengembangan lebih mendalam dari tahap ketiga yang melihat sudut pandang ilmu manajemen keuangan dari sisi outsider. Pada tahap ini mulai dikembangkan pengertian memaksimalkan nilai pemegang saham, sebagai tujuan utama dari manajemen perusahaan, yang mana sudut pandang ini hingga saat ini masih berlaku. Sementara itu, Scott, Jr et al. (1999) meringkas semua perkembangan ilmu manajemen keuangan tersebut menjadi sebuah fungsi, dimana manajemen keuangan sebuah perusahaan seharusnya memfokuskan dirinya pada penciptaan kekayaan ekonomi bagi pemegang saham, serta berusaha agar penciptaan kekayaan ekonomi tersebut tidak berhenti.
13
Menurut Scott, Jr et al. (1999) ada dua tujuan utama pendirian dan pengoperasian sebuah perusahaan. Adapun kedua tujuan tersebut adalah : Pertama, memaksimalkan laba perusahaan. Namun demikian, Scott, Jr et al. (1999) berargumen bahwa tujuan memaksimalkan laba perusahaan ini sudah seharusnya ditinggalkan sebab ada beberapa kelemahan yang tercantum dalam metode pengukuran ini. Memaksimalkan laba perusahaan memang menekankan pada efisiensi sumber modal atau kapital. Namun demikian, memaksimalkan laba perusahaan tidak memperhitungkan kelangsungan hidup perusahaan. Dan
dikhawatirkan, jika tujuan dari sebuah perusahaan hanyalah mengejar maksimalisasi laba, maka ada kemungkinan pihak manajemen hanya menekankan pada laba perusahaan jangka pendek, dan akibatnya mengorbankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, Scott, Jr et al. (1999) mengusulkan tujuan lain dari perusahaan yaitu memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Dengan menggunakan
maksimalisasi kekayaan pemegang saham sebagai tujuan dari perusahaan, maka kelemahan dari tujuan sebelumnya dapat dihindari. Dan menurut Scott, Jr et al. (1999), indikator yang digunakan untuk menilai maksimalisasi kekayaan pemegang saham adalah harga pasar saham perusahaan tersebut. Jika harga pasar saham mengalami kenaikkan maka diasumsikan para investor menilai kekayaan pemegang saham mengalami peningkatan. Dan sebaliknya, jika para investor menilai kekayaan pemegang saham mengalami penurunan, maka
14
para investor akan menjual kepemilikkan sahamnya di perusahaan tersebut, sehingga harga pasar saham dari perusahaan itu akan mengalami penurunan. Namun demikian, Pierce II and Robinson Jr. (2000) sedikit memiliki pola pandang yang berbeda dengan Scott, Jr et al. (1999) mengenai tujuan dari
perusahaan. Jika Scott, Jr et al. (1999) menganggap memaksimalkan laba perusahaan dan memaksimalkan kekayaan pemegang saham merupakan dua hal yang berbeda, justru Pierce II and Robinson Jr. (2000) menganggap kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pierce II and Robinson Jr. (2000) mengatakan bahwa tujuan dari perusahaan haruslah mengejar laba. Dan jika pengejaran laba ini dijadikan acuan utama sebuah perusahaan, maka otomatis nilai pasar saham perusahaan tersebut akan mengalami kenaikan. Dan sebaliknya, jika tingkat laba perusahaan tidak tercapai, maka nilai pasar sahamnya akan mengalami penurunan.
15
dibahas dalam sub bab sebelumnya, maka dalam penulisan tesis ini digunakan dua alat ukur kinerja keuangan, yaitu rasio profitabilitas dan earning per share.
16
Senada dengan Brigham dan Houston (1999), White et al. (1998) berpendapat rasio yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas sebuah perusahaan adalah Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE). Namun demikian, White et al. (1998) menggunakan pendekatan lain dalam nominator dan denominator yang digunakan sedikit berbeda dengan yang digunakan oleh Brigham dan Houston. Berikut notasi ROA dan ROE yang digunakan oleh White et al. (1998) :
Net Income + After-Tax Interest Cost ROA = --------------------------------------------------------Average Total Assets Serta
Sementara itu, Reilly and Brown (2000) menggunakan sebuah metode pendekatan baru dalam melakukan pengukuran tingkat profitabilitas, yaitu dengan menggunakan rasio Return on Total Capital (ROC).
17
Net Income EPS = -----------------------------------------------Number of Common Shares Outstanding Sehubungan dengan penggunaan model EPS ini, Brigham and Houston (1999) berpendapat bahwa meski fokus utama perusahaan bukan memaksimalkan laba melainkan memaksimalkan kekayaan pemegang saham, namun model EPS ini sangat
18
tepat digunakan. Bahkan lebih jauh mereka menyatakan bahwa sesungguhnya ada korelasi sangat erat antara EPS, cash flow perusahaan dan harga pasar saham perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, peningkatan EPS dapat diasosiasikan dengan peningkatan harga pasar saham perusahaan tersebut. Dan sebaliknya, penurunan EPS dapat menyebabkan turunnya harga pasar saham sebuah perusahaan.
19
Salah satu studi kasus yang membuktikan ketidak mampuan EPS sebagai instrumen dalam menilai kinerja keuangan perusahaan adalah dalam kasus kepailitan perusahaan pertambangan terbesar di Amerika Serikat, yaitu Enron. Sejak tahun 1997 hingga tahun 2000 EPS Enron terus mengalami peningkatan sehingga seolah olah para investor dan pemegang saham memiliki pemahaman bahwa kinerja keuangan Enron sangat baik. Namun demikian, ternyata saat ini perusahaan tersebut telah mengalami kebangkrutan, sebab ternyata dengan menggunakan model EVA sesungguhnya nilai ekonomis perusahaan tersebut terus menurun hingga mengalami negatif. Hal ini dapat dilihat dari grafik berikut ini :
20
2.4.1 Alasan Penggunaan EVA Sebagai Alat Ukur Kinerja Keuangan Perusahaan
Seperti telah disinggung sedikit di atas, salah satu alasan dikembangkannya metode EVA adalah kegagalan EPS sebagai salah satu instrumen yang digunakan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan. Dan hal ini sudah terbukti dalam kasus perusahaan Enron. Ada beberapa alasan utama mengapa dalam beberapa waktu ke depan EVA dapat digunakan atau dijadikan salah satu alat ukur utama dalam menilai kinerja keuangan sebuah perusahaan, sehingga dapat memaksimalkan kekayaan pemegang saham, yang merupakan tujuan utama sebuah perusahaan. Pertama, seperti yang dikatakan oleh Bennett III (2002), penggunaan EPS sebagai alat ukur kinerja keuangan perusahaan dapat menyesatkan. Bahkan, penggunaan EPS ini dapat menjerumuskan pihak manajemen untuk mengejar laba jangka pendek dengan melakukan penggelembungan pendapatan atau memanipulasi biaya. Selain itu, EPS juga mendorong pihak manajemen untuk melakukan investasi yang tidak menguntungkan para pemegang saham, dimana tingkat pengembalian yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya modal yang diberikan. Kedua, Young and OByrne (2001) berpendapat bahwa pihak manajemen seharusnya menggunakan metode pengukuran EVA ini sebab metode ini menciptakan nilai bagi pemegang saham, dimana pengembalian atas modal investasi melebihi biaya modal. Oleh sebab itu, EVA merupakan sebuah alat ukur kinerja keuangan perusahaan, yang mengukur seluruh biaya modal yang digunakan, serta memberikan
21
indikasi tingkat pengembalian yang melebihi biaya modal tersebut. Selain itu, Young and OByrne (2001) juga menambahkan bahwa dengan menggunakan metode EVA ini maka pihak manajemen dapat melakukan penilaian atas pembentukkan kekayaan perusahaan yang meliputi biaya operasi dan biaya modal. Ketiga, menurut Kaplan and Atkinson (1998), metode penilaian kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan metode residual income seperti EVA telah mengatasi kegagalan dan keterbatasan penggunaan sejumlah rasio keuangan seperti ROI, ROE dan ROA. Keempat, Brigham and Houston menilai bahwa penggunaan metode EVA ini sangat sejalan dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Mereka mengatakan EVA provides a good measure of the extent to which the firm has added to shareholder value. Therefore, if managers focus on EVA, this will help to ensure that they operate in a manner that is consistent with maximizing shareholder wealth. (Brigham & Houston, 1999, p. 59) Kelima, salah satu alasan paling jelas atas pertanyaan mengapa harus menggunakan metode EVA dibandingkan tingkat laba adalah seperti yang dikatakan oleh Eccles et. al. (2001), yaitu bahwa sebuah perusahaan bisa saja membukukan tingkat laba dari tahun ke tahun, namun menghancurkan kekayaan para pemegang saham. Hal ini dapat terjadi sebab tingkat laba akuntansi tidak merefleksikan biaya modal perusahaan. Dan terakhir, Kotler et. al. (2003) melihat dalam praktek sehari hari sejumlah perusahaan saat ini, ternyata telah terjadi pergeseran nilai, yang mana shareholder value telah menjadi fokus utama kegiatan operasional manajemen. Ia menyatakan
22
bahwa banyak perusahaan mulai meninggalkan indikator indikator tradisional seperti earning per share, return on investment, return on equity, dan return on assets. Sebagai gantinya, mereka mulai beralih indikator indikator value driver, seperti free cash flow, economic profit, dan residual income. Jadi dapat disimpulkan, penggunaan metode EVA ini dilakukan oleh sebab kegagalan metode analisis kinerja keuangan saat ini seperti EPS, ROI, ROA dan ROE. Dengan menggunakan metode EVA maka pihak manajemen dapat membandingkan tingkat pengembalian modal dengan biaya modal yang digunakan, sehingga dengan indikasi EVA positif maka berarti sebuah perusahaan telah meningkatkan kekayaan pemegang sahamnya, yang sejalan dengan tujuan sebuah perusahaan.
23
Value Added (EVA) is a business units income after taxes and after deducting the cost of capital EVA uses the firms cost of capital instead of a minimum rate of return. The cost of capital is usually obtained by calculating a weithted average of cost of the firms fund. (Blocher et. al., 1999, p. 772-773) Dan terakhir, Arnold and Davies memberikan definisi EVA sebagai a variant of economic profit, which is the modern term for residual income. (Arnold & Davies, 2000, p. 23) Jadi dapat disimpulkan bahwa EVA merupakan suatu metode pengukuran kinerja keuangan perusahaan berbasis residual income, yang membandingkan antara tingkat pengembalian modal dengan biaya modal perusahaan, sehingga dapat menggambarkan bagaimana pengaruh kinerja keuangan perusahaan terhadap kekayaan pemegang saham. Jika EVA positif, dapat dikatakan bahwa kekayaan pemegang saham telah mengalami peningkatkan. Dan sebaliknya, jika EVA sebuah perusahaan negatif, dapat dikatakan bahwa kekayaan para pemegang saham perusahaan tersebut telah terdepresiasi.
24
EVA = NOPAT (Modal yg diinvestasikan x WACC) Atau EVA = (RONA WACC) x modal yg diinvestasikan
Sementara itu, Brigham and Houston (1999) melakukan pendekatan lain dalam melakukan penghitungan EVA, seperti yang dinotasikan di bawah ini :
Dan terakhir, Hongren et. al. (1997) memberikan penjabaran mengenai komponen modal yang digunakan dalam perhitungan EVA sebagai berikut :
25
Menurut Brigham and Houston (2001), biaya modal sebuah perusahaan terdiri dari gabungan antara biaya hutang, biaya preferred stock, dan biaya common stock. Oleh sebab itu, dalam melakukan perhitungan biaya modal sebuah perusahaan, harus mencangkup ketiga komponen tersebut. Sedangkan menurut Young and OByrne, biaya modal sebuah perusahaan merupakan biaya kesempatan yang mencerminkan pengembalian yang diharapkan investor dari investasi lain dengan resiko serupa (Young & OByrne, 2001, hal. 148)
26
Untuk itu, Brigham and Houston (1999) menotasikan WACC sebagai berikut :
27
Menurut Reilly and Brown (2000), pada dasarnya biaya saham preferen merupakan pembagian dari deviden yang dibayarkan terhadap harga saham perusahaan tersebut. Dengan kata lain, biaya saham preferen dapat dinotasikan sebagai berikut :
28
Sementara itu, dalam buku terdahulunya yang diterbitkan pada tahun 1994, Damodaran menggunakan pendekatan devidend growth model. Damodaran mengatakan bahwa this approach to estimate the cost of equity draws on a discounted cash-flow valuation model that can be used to value a firm in stable growth. (Damodaran, 1994, p. 36). Adapun notasi dari pendekatan ini adalah sebagai berikut :
DPS1 ke = ----------------- + g Po
29
Menurut Young and OByrne (2001), RONA merupakan perbandingan antara laba bersih sesudah pajak perusahaan atas total aktiva bersih yang digunakan. Dengan kata lain, RONA ini dapat dinotasikan sebagai berikut :