Anda di halaman 1dari 13

Berenang Kita di Google yang Dangkal

Sebuah Curhat Otokritik

“BERANI TARUHAN!! KAMU NGGAK BAKAL KUAT


BACA TULISAN INI SAMPAI HABIS SEKARANG!!!!”

Banjir bandang itu benar-benar datang setelah Nuh dan para pengikutnya naik ke sebuah perahu
besar yang sudah sejak jauh hari dipersiapkan. Dan dalam waktu sekejap, negeri kaum kafir
penyembah berhala itu pun tenggelam tanpa menyisakan apa-apa. Hingga lambat-laun banjir pun
surut, Nuh dan pengikutnya tadi memulai kehidupan baru yang lebih baik di bumi.

Tentu kita semua mengenal penggalan kisah di atas. Banjir bandang di zaman Nuh adalah kisah
yang bisa kita jumpai hampir di semua kebudayaan dunia. Kisah ini juga banyak didiskusikan
mulai dari kalangan agama, baik Yahudi, Nasrani, dan Islam, hingga ke kajian-kajian ilmiah dan
penelusuran arkeologi.

Sempat juga ada perdebatan sengit yang mempertanyakan, apa kisah ini betul-betul pernah
terjadi di masa lalu, bagaimana kita menemukan bukti-bukti arkeologisnya hari ini, apakah banjir
ini berskala lokal di satu daerah saja, ataukah ia terjadi secara global menyapu seluruh
permukaan bumi kita di masa itu, dll dsb.

Namun terlepas dari segala perdebatannya, saya percaya betapa kisah banjir bandang Nuh ini
hendak menyiratkan sesuatu, yakni ada suatu kekuatan ‘lain’ dari alam semesta yang lebih besar
dari yang bisa dicegah, ditanggulangi, dan diatasi oleh manusia itu sendiri. Bahwa kita manusia
dianugrahi dengan segala keterbatasan.

Dan kini di abad 21, kita paham bahwa zaman Nuh memang telah lama lewat. Bisa dipastikan
tak ada satupun dari kita semua yang sempat menyaksikan betapa dahsyatnya banjir bandang
paling mengerikan di kala itu. Peristiwa ini pun sekarang cukup kita jadikan pedoman teologis
keagamaan, kita hayati dalam-dalam, atau sekedar kita jadikan catatan sejarah masa lalu.

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Tapi kehidupan peradaban di abad 21 ini juga, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri
bahwa ada banjir bandang lain yang tampaknya tengah kita renangi bersama tanpa sadar. Banjir
bandang kali ini memang bukan berasal dari kekuatan ‘lain’ di luar manusia, sebab ia justru hadir
di hadapan kita karena kita sendiri yang menciptakannya.

Banjir bandang ini juga tidak berupa air bah seperti yang terjadi di zaman Nuh. Banjir bandang
nan dahsyat kali ini, yang selanjutnya akan saya sebut sebagai banjir Nuh abad 21, adalah banjir
informasi yang kian hari kian menyesaki setiap relung kehidupan dan aktivitas sosial kita
sekarang.

Sebuah banjir Nuh abad 21 yang sedang membuat kita terseret-seret dan megap-megap ke dalam
riuh-derasnya perkembangan teknologi komunikasi dan internet, membawa serta arus informasi
yang datang dan pergi bertubi-tubi, tanpa kita sempat kita punya waktu dan konsentrasi untuk
mencerna apa isi dan kandungan pesan informasinya itu.

Bukannya kebetulan bila saya memilih kisah Nuh di atas sebagai pembuka. Sejak awal ide ini
muncul dalam benak minta dituliskan, saya membayangkan bahwa esai ini nantinya akan dibuka
dengan penggalan kisah dahsyat yang mendebarkan nan terkandung pesan bijak tersebut sebagai
bahan renungan dan refleksi untuk kita semua yang hidup jauh setelah bencana dahsyat itu
terjadi.

Sebelum memasuki pembahasan selanjutnya, saya bakal sedikit menceritakan pengalaman saya
di balik penulisan teks yang tengah kawan-kawan hadapi sekarang. Ketika mulai merencanakan
menulis esai ini, awalnya saya membutuhkan beberapa informasi acuan sebagai bahan referensi.
Ini merupakan hal yang biasa saya lakukan setiap saya hendak menulis sesuatu. Dan kali ini
untuk tema yang tengah saya angkat sekarang, saya memutuskan mencari informasi bertemakan
tentang banjir bandang yang pernah terjadi di zaman Nuh.

Memang betul bahwa kehadiran teknologi teknologi dan internet hari ini, membuat kegiatan saya
menulis seperti kian dimudahkan. Dulu waktu saya masih SMP di mana internet belum marak
seperti sekarang, saya mesti berhadapan dengan petugas perpustakaan yang kaku dan mejanya

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
yang dingin berdebu, untuk meminjam setumpuk buku tebal yang bakal jadi referensi tulisan
saya ataupun tugas dari sekolah. Itu pun lengkap dengan bonus tangan pegal-pegal karena capek
mencatat ulang berhalaman-halaman, atau kadang langsung saya fotokopi saat punya uang jajan
lebih.

Tapi di tahun 2009 ini, saya dan jutaan penulis lainnya cukup duduk manis berhadapan dengan
layar komputer yang terkoneksi internet. Dus, seluruh dunia bisa kami kunjungi dalam sekejap.
Berbagai dokumen, artikel, kajian ilmiah dan informasi lainnya bisa dijangkau cukup dengan
menggeser tetikus yang menunggu untuk di-klik kanan dan klik kiri.

Sekilas memang, teknologi mampu membebaskan penderitaan kami sebagai penulis, paling tidak
dalam hal mencari referensi bahan tulisan. Selamat tinggal wahai penjaga perpus yang
berkacamata tebal dan membosankan. Selamat tinggal buku-buku tebal-berat yang berdebu.
Kemungkinan besar, mulai sekarang kami tak membutuhkan kalian lagi.

Maka alih-alih pergi ke perpustakaan besar yang terkenal lengkap bukunya, langkah pertama
ketika hendak menuliskan esai ini, dengan entengnya saya belok ke sebuah warnet di pinggir
jalan sekitaran Malabar dekat tempat kost saya di kawasan Bogor.

Di warnet kecil nan apek berasap rokok itu, saya cukup mengarahkan tetikus masuk ke
sambungan internet di komputer, mengetikkan alamat laman mesin pencari yang kerap disapa
mbah Google itu. Kemudian memasukkan kaca kunci ‘banjir bandang Nuh’, dan tekan enter.

Cukup semudah itu, kawan-kawan! Maka dalam sepersekian detik saja, si mbah sakti yang baik
itu telah membantu saya mendapatkan beragam tautan laman berisi segala macam informasi
yang saya butuhkan tentang banjir bandang Nuh itu.

Kalau saya tak salah mengingat, layar komputer di hadapan saya saat itu memunculkan sekitar
20 halaman tentang banjir bandang Nuh, yang di masing-masing halamannya berisi sekitar 20
tautan ke berbagai laman yang berbeda lagi. Jadi kalau ditotal-total pakai hitung-hitungan, dalam

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
waktu 0,049 detik saja mbah Google telah menghadapkan saya pada 400 informasi berbeda.
Semuanya berisi tentang peristiwa banjir Nuh!!

Hmmm. Ada yang terasa ganjil memang.

Saya yakin bahwa jumlah 400 informasi tersebut masih bisa meningkat lagi. Karena masing-
masing tautan informasi tentang banjir Nuh itu, akan selalu terhubung ke tautan lain lagi yang
juga bertautan-tautan dengan informasi lainnya dan begitu seterusnya. Semuanya ini menimpa
saya seolah-olah tiada akhir dan tanpa rujukan awal.

Hingga tak berapa lama seiring saya membuka tautan itu satu-persatu, sesuau yang awalnya saya
rasakan ganjil tadi kini menjelma wujudnya, sesuatu yang mungkin bisa disandangkan dengan
kehebohannya kaum kafir Nuh ketika banjir bandang itu datang. Ya kawan-kawan, saya merasa
telah kebanjiran informasi, lebih dari apa yang awalnya saya butuhkan.

Selepas dari warnet, saya sudah membawa pulang informasi untuk bahan tulisan sebanyak 100
halaman lebih berupa artikel, gambar foto, dan hasil penelitian ilmiah terkait dengan banjir Nuh.
Yakni temuan ratusan halaman berisi informasi yang tentu saja akan sangat menyiksa bila mesti
saya pelototi satu persatu.

Lagi pula berani jamin, saya tak akan punya cukup waktu untuk membaca utuh kesemuanya itu
hanya demi menyelesaikan satu buah esai iseng yang tengah saya selesaikan sekarang. Toh kalau
kawan-kawan lihat lagi pembuka esai ini, ternyata saya hanya sanggup menuliskannya dalam
satu paragraf singkat saja.

Sia-siakah yang saya lakukan dengan mbah Google tadi? Hmm.. Saya belum berani menjawab.
Satu hal yang pasti, mulai sekarang saya mengidap kegemukan (obesitas) informasi. Bayangkan
saja, setiap pagi ketika membuka akun surel saya, puluhan surat yang berisi macam-macam
informasi masuk tanpa ampun ke kotak pesan bertubi-tubi. Entah itu pesan penting dari rekanan,
surat sapaan dari sahabat, terusan surat dari mailing list, atau sekedar iklan online dan spam yang
sudah pasti langsung saya hapus.

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Sudah dua tahun belakangan ini saya memang banyak menghabiskan waktu online. Entah
sekedar berseluncur ke berbagai laman, mengunjungi berbagai tautan menarik, atau sekedar
blogwalking-an. Dan setelah semuanya itu saya lalui, pelan-pelan saya mulai merasakan ada
yang berubah dari diri saya sekarang.

Dan yang berubah dari diri saya itu adalah cara saya membaca dan berkonsentrasi. Khususnya
ketika saya sedang membaca informasi secara online, konsentrasi saya bisa buyar loncat ke
kanan mampir ke kiri. Sulit rasanya untuk membaca dengan intens berbagai dokumen dan artikel
sebuah laman, ataupun sekedar posting-an di blog ketika saya online.

Konsentrasi saya biasanya langsung buyar segera setelah membaca paragraf ketiga dan keempat.
Di paragraf-paragraf selanjutnya, minat baca saya juga sudah luntur karena tergoda berbagai
tautan dan gadget lainnya yang minta di-klik juga. Paling-paling kalau memang tulisan itu
penting dan menarik, saya cukup menyimpannya ke hard disk komputer, yang belum tentu juga
akan saya baca lagi. Hehehe…

Apa boleh buat, kini setiap sedang online, saya mesti merelakan otak saya melompat-lompat dari
satu informasi ke informasi lainnya, dari satu tautan ke tautan lainnya, dengan kemampuan
konsentrasi yang kian hari saya rasakan kian menurun. Dan parahnya, tuntutan pekerjaan saya
sekarang juga membuat saya mesti terjebak dengannya.

Dulu ketika belum begitu ketergantungan internet, saya sanggup menghabiskan berpuluh-puluh
halaman buku dengan cara baca yang intens dan terkonsentrasi. Setelah habis satu buku, baru
saya lanjutkan membaca buku lain dengan cara dan konsentrasi yang sama. Dari situlah saya
mendapatkan manfaat dan kenikmatan membaca, saya mulai hobi mengkoleksi buku, hingga Ibu
saya sekarang selalu curiga buku apa lagi yang akan dibeli anaknya ini di gajian bulan depan.

Konon, dari berbagai teknik membaca yang dulu pernah saya pelajari ketika kuliah dulu,
membaca adalah kegiatan yang membutuhkan teknik dan keahlian tersendiri. Dengan begitu, kita

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
bisa mendapatkan manfaat maksimal dari yang kita baca. Makanya salah satu dosen saya bilang,
membaca bukanlah kegiatan yang bisa sambil lalu saja dilakukan.

Saya pun mulai belajar bagaimana caranya membaca yang baik. Ternyata ada berbagai macam
teknik membaca yang masing-masing punya tujuan tersendiri.

Misal saja membaca scanning, yaitu teknik membaca dengan utuh mulai dari kata, kalimat,
paragraf, hingga ke seluruh karangan, hinga kita bisa paham inti paragraf dan maksud dari
sebuah karangan itu ditulis. Scanning itulah yang dulu saya gunakan ketika hendak membaca
sesuatu yang saya anggap penting dan perlu.

Kalaupun kita hendak membaca dengan cepat demi tujuan tertentu saja, teknik yang bisa kita
gunakan adalah skimming. Teknik skimming inilah yang biasa saya gunakan setiap berkunjung
ke toko buku yang tak memungkinkan saya berlama-lama di sana. Dalam kata lain, skimming
adalah teknik membaca yang tak benar-benar membaca, tapi hanya sekedar melihat-lihat.

Tapi kini saya sadar, bahwa setiap sedang online, saya tak pernah lagi membaca scanning. Justru
yang selalu saya lakukan hanyalah membaca skimming, alias melihat-lihat saja.

Dan, Wow, tunggu dulu, stop dulu Pry, ujar saya dalam hati.

Saya juga belum tahu apakah kawan-kawan juga tengah merasakan hal yang sama. Bahkan
ketika kawan-kawan membaca esai saya hingga ke paragraf 35 ini, apakah kawan-kawan benar-
benar membaca atau sekedar melihat-lihat saja sekarang? Saya belum berani menjawabnya. Toh
esai ini masih belum hendak selesai sampai di sini saja. Di paragraf-paragraf selanjutnya, saya
akan mengajak kawan-kawan masuk ke pembahasan pokok yang lebih serius nan sok filosofis
teoritis mengenai banjir Nuh abad 21 ini. Jadi, siap-siaplah berkonsentrasi mulai sekarang.
Hehehehe…

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Banjir Nuh Abad 21
Konon, ketika Patih Gajah Mada masih menguasai Nusantara dengan Majapahitnya, alat
penyampai informasi jarak jauh paling canggih saat itu adalah kentongan dan asap. Selebihnya,
hanya kurir-kurir setia itu yang mendaki gunung turuni lembah untuk menyampaikan pesan
kerajaan ke berbagai orang di berbagai wilayah, itupun membutuhkan perjalanan berhari-hari
bahkan sampai berbulan-bulan baru pesannya bisa sampai.

Informasi dan pesan komunikasi jarak jauh masih menjadi ‘barang’ mewah saat itu. Sebuah
pesan dan kabar berita yang baru yang datang dari tempat lain, adalah peristiwa luar biasa yang
sangat jarang terjadi. Kalaupun mereka mau tahu informasi terbaru apa saat ini, biasanya mereka
sendiri yang harus mencarinya, baik di tempat-tempat pertemuan warga, di pasar, alun-alun,
ataupun di pelabuhan yang ramai.

Tapi manusia pintar. Mereka menciptakan teknologi komunikasi untuk mengatasi jarak ruang
dan waktu secara geografis. Manusia pelan-pelan mulai menguasai jarak tersebut dengan
memampatkannya. Jarak yang harusnya ditempuh berbulan-bulan untuk menyampaikan sebuah
informasi , kini dalam waktu sekejap saja dapat sampai secepat mungkin ke sebanyak mungkin
orang lewat telegraf, telepon, radio dan televisi.

Pemampatan ruang-waktu inilah yang membuat dunia serasa makin sempit saja seiring tingginya
kebutuhan masyarakat akan berbagai informasi. Pemampatan ruang-waktu ini jugalah yang
nyatanya tak hanya memampatkan jarak dunia secara geografis, tapi juga dengan telak membuat
manusianya centang perenang tenggelam dalam cepatnya arus informasi itu sendiri yang datang
dan pergi bertubi-tubi.

Lihat saja keseharian kita sekarang, kawan. Setiap pagi, saat kita buka koran terbaru, di situ akan
tercetak belasan, puluhan, bahkan ratusan informasi terkini tentang bermacam-macam peristiwa
dari segala penjuru dunia saling berdesak-desakan. Juga saat kita buka kotak pesan surel kita
kita, setiap harinya akan ada belasan, puluhan, bahkan ratusan informasi berdesak-desakan yang
secara bersamaan pula minta diperhatikan.

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Esok harinya, semuanya itu telah menghilang dan dengan cepat digantikan dengan informasi
yang lebih baru lagi, dan begitu terus tanpa kita tahu kapan semuanya berakhir. Dan hebatnya
lagi, semua terjadi tanpa perlu kita bepergian kemana-mana untuk mencari informasi, justru
informasi itu sendirilah yang datang sendiri pada kita.

Kini kita pun bisa mengucapkan selamat datang pada banjir Nuh Abad 21. Sebuah banjir
informasi dimana kita tak hanya akan mengidap obesitas informasi, tapi juga dibuat mabuk oleh
kecepatan informasi itu sendiri. Inilah zaman dimana pola kehidupan sosial kita telah mencapai
apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai pola implosi (implosion), yakni meledaknya informasi
ke arah manusia (sebagai pusat) yang berdiam diri di tempatnya masing-masing. Sebuah banjir,
bahkan boom informasi meledak tepat di jantung peradaban manusia abad ini.

Yasraf Amir Piliang melukiskan fenomena ini demikian, ”di dalam boom informasi itu, tidak
berarti bahwa semua informasi itu berguna dan dapat meningkatkan kualitas hidup. Kecepatan
informasi kadang-kadang tidak sebanding dengan kemampuan manusia daslam menyerapnya.
Informasi datang begitu cepat dan begitu raksasa, sehingga kadang-kadang terlalu cepat dan
besar untuk dapat diserap oleh pikiran manusia.” (2004;65)

Bahaya Laten Internet Bagi Otak


Pada 1970, Pemerintah Amerika Serikat mencanangkan tahun tersebut sebagai tahun dimulainya
Dekade Membaca. Membuat Gedung Putih ikut sibuk mengalokasikan sejumlah Dana Federal
untuk mendukung berbagai usaha yang dapat mengenalkan warganya mengenal seni membaca
sejak dini.

Berbagai klub membaca dan kursus membaca pun jadi marak. Sekolah-sekolah dan fakultas juga
mulai mengadakan pelatihan membaca bagi anak didiknya. Bahwa yang tengah dilakukan
Amerika saat itu adalah mengoptimalkan kemampuan membaca dengan baik, dan dengannya
pengetahuan mereka bakal terbentuk dengan baik pula.

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Tapi kini semuanya mulai berubah. Seiring meningkatnya konsumsi kaum muda Amerika akan
internet, mereka mulai mengkhawatirkan tumbuh-suburnya benih-benih anti-intelektualisme
sebagai akibat dari perkembangan teknologi internet yang pesat belakangan ini.

Apa pasal? Rupa-rupanya, mereka menyadari bahwa ada yang tengah berubah dari cara mereka
membaca secara tradisional dalam bentuk cetakan, dengan membaca ketika sedang online di
internet.

Adalah Nicholas Carr dalam sebuah artikelnya yang mengaku mulai kehilangan kemampuannya
membaca dengan fokus. Carr yang menengarai hal tersebut akibat kebiasaannya berseluncur ke
berbagai laman, loncat dari satu halaman ke halaman lainnya, berpindah dari satu tautan ke
tautan berikutnya. Dan setiap Carr mulai membaca sebuah artikel secara online ia mengaku
demikian, ”Now my concentration often starts to drift after two or three pages. I get fidgety, lose
the thread, begin looking for something else to do.”

Dan Carr tidak sendiri. Simak juga pengakuan Bruce Friedman, seorang patologis dari
University of Michigan Medical School yang juga pengelola blog tentang penggunaan komputer
di bidang kesehatan.

“I now have almost totally lost the ability to read and absorb a longish article on the web or in
print . . . I can’t read War and Peace anymore. I’ve lost the ability to do that. Even a blog post of
more than three or four paragraphs is too much to absorb. I skim it,” terang Friedman yang
dikutip juga oleh Carr.

Tak sampai di situ, simak juga penelitian tentang online habits yang digelar University College
London beberapa waktu lalu. Mereka meneliti tentang kebiasaan pengunjung dua laman populer
yang menyediakan akses infomasi tentang artikel, e-books, dan sumber informasi tertulis
lainnya.

Dan hasilnya bisa ditebak, kebanyakan pengunjung laman tersebut hanya melihat-lihat, membaca
tak lebih dari dua halaman artikel atau buku, untuk selanjutnya pindah lagi ke sumber lain.

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Mereka mungkin bakal menyimpan file artikel tersebut, tapi itu bukan jaminan juga mereka
benar-benar membacanya.

Carr kemudian juga mengutip keresahan Maryanne Wolf, seorang psikolog dari Tufts
University. Gaya membaca online yang mengedepankan etos kesegeraan dan keefisiensian,
menurut Wolf, dikhawatirkan dapat melemahkan kemampuan seseorang untuk membaca dengan
seksama.

Sebab menurutnya, membaca bukanlah kemampuan alamiah manusia. Kita mesti melatih otak
kita untuk menerjemahkan simbol karakter dan huruf yang kita lihat ke dalam bahasa yang kita
pahami. Untuk itu, media dan teknologi yang kita gunakan ketika membaca, memainkan peran
penting dalam membentuk pola sirkuit syaraf dalam otak kita.

Dari sini ingatan saya pun beralih pada teori komunikasi yang saya pelajari dalam kelas
matakuliah Filsafat Komunikasi semasa kuliah dulu. Bahwa media komunikasi tak sekedar alat
untuk menyampaikan pesan komunikasi, tapi juga secara kreatif akan membentuk konstruksi
realitas tertentu dalam benak manusia yang menerima dan memaknai pesan tersebut. Tak heran
bila karakter media juga dipandang mampu membentuk proses berpikir seseorang.

Asumsi inilah yang kemudian bisa kita lekatkan pada internet sebagai media komunikasi massa
online yang punya karakter khas dan berbeda dengan media komunikasi lainnya. Bahwa jelas
sekarang, ditengah-tengah pujian, pemujaan dan ketergantungan banyak orang akan internet,
ternyata ia menyimpan bahaya latennya sendiri. Internet –dengan segala banjir Nuh, kecepatan
dan obesitas informasinya– lambat laun niscaya melemahkan konsentrasi otak kita.

Dari sini baru muncul pertanyaan, adakah kita menyadari hal tersebut? Perlukah saya ulangi lagi
pernyataan Pascal 30 tahun silam di sini yang berkata, “Saat kita membaca terlalu cepat atau
terlalu lambat, kita tidak akan mengerti apa-apa.”

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Kata Siapa Google Tak Membuat Kita Bodoh?
Sebelum menutup esai ini, saya ingin mengucapkan selamat bagi anda kawan-kawan pembaca
sekalian yang dengan betahnya (hehehehe...) mengikuti pembahasan saya dan sampai pada
bagian ini. Apalagi bila kawan-kawan mampu membaca esai ini sambil online dengan intensitas
yang terjaga dengan baik dan mampu memahami konsep-konsep kunci yang telah saya uraikan
di atas.

Kalian tahu, kawan.. kemungkinan besar di masa depan akan sangat jarang ada pembaca yang
mampu menghabiskan berhalaman-halaman tulisan secara online seperti yang sedang anda
lakukan sekarang. Jadi bolehlah saya sebut anda ini adalah spesies pembaca yang langka dan
semakin sedikit jumlahnya. Soalnya, saya sendiri belum tentu bisa lho membaca online panjang
seperti kalian. Hehehehe..

Tapi asal tahu saja, para penulis pun setali tiga uang. Sudah semakin sedikit penulis yang bisa
menulis esai panjang seperti saya ini. Jadi, anda bisa bilang juga saya ini termasuk spesies
penulis yang langka. Hehehehe lagi..

Sejak awal saya memang sudah curiga bahwa akan ada banyak pembaca lain –yang entah di
belahan bagian mana sekarang– yang sudah menyerah di paragraf ketiga ketika membaca esai
saya ini.

(Atau bisa saja anda dengan curangnya melewati saja paragraf-paragraf di atas, dan langsung
menuju ke bagian ini karena judulnya yang membuat perhatian anda berhenti, lalu mulai lagi
membacanya)

Lagipula bisa dipastikan mereka bakal menganggap esai ini toh tak terlalu penting untuk dibaca.
Paling-paling yang mereka lakukan cuma sekedar melihat-lihat esai ini saja, mengarahkan
halaman di layar monitornya ke atas ke bawah, pusing karena tumpukan huruf yang panjangnya
ampun-ampun ini, trus geleng-geleng sendiri sambil sambil berkata, “Busyeeh, ni anak nulis
apaan seeh..”

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
Kalaupun dibaca, kemungkinan besar kebanyakan dari mereka bakal meninggalkannya setelah
paragraf ketiga esai ini, untuk lanjut berseluncur lagi ke laman-laman lain, berkunjung ke
berbagai tautan menarik, atau sekedar blogwalking-an.

Ya kawan-kawan, inilah paradoksnya banjir Nuh Abad 21 kita sekarang. Bahwa semakin banyak
dari kita yang membutuhkan informasi lewat internet, semakin banyak pula informasi tak
berguna datang menghampiri kita. Dan kalaupun memang penting, tetap saja kita bakal kesulitan
konsentrasi membacanya.

Dan semakin bergantung pula kebanyakan dari kita pada internet, semakin berubah saja gaya
hidup keseharian kita. Gaya hidup kita ini kelak bakal berkembang menuju ke gaya hidup real
time, yakni pola hidup yang mengharuskan segala sesuatu dilakukan lewat saluran internet, sebab
ia memenuhi hasrat kita akan kecepatan, kesegeraan, dan keefisiensian. Yakni gaya hidup real
time yang jelas-jelas kian mengabaikan makna proses.

Saya berani bilang bahwa yang tengah saya sampaikan di sini bukan sekedar celotehan
pinggiran, kawan. Karena baru kemarin siang saya ketemu dengan orang yang untuk mencari
tanggal di kalender saja mesti melihat di Google dulu.

Mbah Google bagi kawan saya ini, mungkin bukan lagi dimaknai sekedar program mesin pencari
laman yang dikembangkan oleh Larry Page dan Sergey Brin ketika mereka masih mahasiswa di
Universitas Stanford sepuluh tahun yang lalu.

Nama Google sendiri sejatinya merupakan plesetan dari ‘googol’ yang merujuk pada angka 1
yang diikuti oleh seratus nol. Tak heran bila Google baginya, mungkin saja juga sudah ditarik
maknanya ke wilayah teologi, menjadi mbah sakti yang pintarnya melebihi otak manusia biasa,
menjadi sumber pengetahuan dan kebenaran, bahkan Google sebagai Tuhan Digitalnya hari ini.

Kalaulah benar gurauan Page dan Brin bahwa mereka tengah menyiapkan Google, menjadi
sebuah mesin intelegensia buatan bernama H.A.L yang bisa ditanamkan di otak manusia,
mungkin saja kawan saya itu bakal jadi salah satu orang yang mencobanya. Dan sudah pasti dia

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 
bakal lebih pintar dari saya, karena otaknya terhubung langsung dengan internet. Canggih khan
kawan saya itu?! Hehehehe…

Atau anda pun berminat mencobanya? Mari kita tunggu kabar terbaru dari tempat ‘Tuhan’ baru
kita itu bersemayam di Googleplex sana.

17 Januari 2009, Baranangsiang, Bogor

*) Esai ‘Berenang Kita di Google yang Dangkal, Sebuah Curhat Otokritik’ oleh Pry S. Esai
ini juga bisa diakses di http://prys.ilovebogor.com/.  Rujukan Utama: ‘Dunia Yang Dilipat’,
Yasraf Amir Piliang, Penerbit Jalasutra, 2004 & ‘Is Google Making Us Stupid? What The
Internet is Doing To Our Brains’, Nicholas Carr, www.theatlantic.com, 2008

http://prys.ilovebogor.com/     prys.3107@gmail.com
 

Anda mungkin juga menyukai