Anda di halaman 1dari 2

KUN FAYAKUN: YAKIN UNTUK SELAMANYA Oleh: Jum'an Setidak-tidaknya tujuh belas kali sehari saya bersaksi bahwa

tidak ada tuhan selain Allah. Saya percaya bahwa kandungan isi Al-Qur'an adalah sepenuhnya benar. Saya percaya apa yang disebut dalam surat Al-Baqarah ayat 117 dan surat Yasin ayat 82 bahwa apabila Allah mengendaki sesuatu Dia hanya menyatakan "Jadilah" maka jadilah. Tercipta dengan serta-merta, tidak usah harus mengolah dari bahan baku yang sudah tersedia. Dialah yang kelak akan menghidupkan kembali tulangbelulang kita yang sudah hancur luluh dengan kekuasaan yang sama; dengan serta merta. Kun fayakun. Allah tidak hanya sekedar mencipta. Dia mencipta, menyempurnakan ciptaanNya, menentukan kadar-kadarnya dan memberinya petunjuk (surat Al-A'la 2-3). Dia yang menghidupkan dan Dia yang mematikan. Begitulah pemahaman saya tentang salah satu kekuasaan Allah tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Dalam pendidikan umum, saya lebih banyak mempelajari ilmu eksakta yang kemudian mengantar saya menjadi tenaga teknik sampai tua. Dapat dikatakan bahwa saya kurang lebih seorang yang rasional dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Saya sangat tertarik dengan kenyataan banyaknya tokoh-tokoh ilmuwan yang menemukan Islam melalui ilmu pengetahuan, seperti yang barubaru ini dimuat dalam Republika Online ini . Saya juga pernah menulis buku Kisah Perjalanan Mendapatkan Islam dan menterjemahkan buku Sejarah Geografi Qur'an untuk menunjukkan sikap (sekemampuan) saya pada ilmu pengetahuan dan agama. Apakah kedua sikap saya diatas konsisten dan dapat saya pertahankan dengan konsekwen? Mungkinkah saya, yang mengaku sepenuh hati percaya pada kun fayakun (bahwa Allah menciptakan sesuatu dengan serta merta tanpa bahan baku dan proses selangkah demi selangkah) dapat menghargai ilmu pengetahuan dengan jujur? Atau, kalau saya benar-benar percaya kepada ilmu pengetahuan (yang selalu mendasarkan kepada bukti, fakta empiris dan penyimpulan rasional atas dasar fakta) dapat benar-benar percaya sesuatu tercipta dengan serta merta merta? Ataukah berarti saya munafik? Atau iman dan ilmu pengetahuan saya yang sebenarnya terlalu dangkal? Atau sifat manusia manusia begitu lentur sehingga dengan enak saja menampung hal-hal yang saling berlawanan dalam dirinya? Sebab apabila kita benar-benar percaya kepada ilmu pengetahuan dengan

konsekwen, kita harus setia mengikutinya ke mana pun ia membawa kita, sekalipun itu berarti bertentangan dengan wahyu Ilahi. Simak ucapan Profesor Richard Dawkins, pembela teori evolusi Darwin yang menyakitkan hati ini: "Sementara fakta adalah sumber sains yang telah terbukti keampuhannya, ada tiga hal yang merupakan alasan buruk untuk mempercayai sesuatu: tradisi, otoritas, dan wahyu, yang biasanya diwariskan turun-temurun dan sulit diuji... Ketiganya telah terbukti menyebabkan manusia kehilangan kemampuan berpikir kritis." Teori Evolusi Darwin adalah contoh nyata terbesar bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dianggap melawan wahyu Ilahi dan bertentangan dengan agama. Dalam blog saya MENOPAUSE SALAH MENANTU ATAU ANAK MAMA saya mengatakan tidak tertarik dengan penjelasan ilmiah tentang sebab musabab menopause karena selalu dikaitkan dengan evolusi dari Teori Darwin yang telah menuding kita sebagai keturunan monyet. Meskipun saya menulis dengan spontan tanpa pertimbangan yang mendalam, tetap dapat diartikan bahwa saya tidak sepenuhnya setia dan konsekwen dalam mempercayai ilmu pengetahuan. Karena pertentangan agama dan ilmu pengetahuan telah lama terjadi dan akan terus dibangkit-bangkitkan orang, perlu rasanya saya mengambil sikap. Daripada habis umur terombang-ambing tanpa kesimpulan, saya akan tetap meyakini kebenaran kun fayakun; kini dan untuk selamanya karena Allah lah yang kita sembah. Saya juga akan tetap menjunjung tinggi ilmu pengetahuan karena Allah juga yang menghendaki kita menuntut ilmu. Meskipun dapat dikatakan mendua. Lagipula, otak manusia sangat mahir memilah-milah sesuatu persoalan untuk menghindarkan terjadinya konflik internal dalam diri kita. Mungkin ini bukan kemampuan atau sifat yang selalu baik, tetapi dalam hal ini perlu. Dengan demikian kita dapat cukup mudah mempertahankan pemisahan keimanan kita dari kehidupan kita sehari-hari. Wallohu alam

Anda mungkin juga menyukai