Anda di halaman 1dari 11

HAM di Indonesia A .

Pengertian HAM di Indonesia Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Menurut Hendarmin Ranadireksa (2002:139) memberikan definisi tentang hak asasi manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya, ada pembatasan pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang wenangan kekuasaan. Menurut Mahfud MD (2001 : 127), hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara. Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu : a.HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis. b.HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa. c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.

B. Perkembangan HAM di Indonesia Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 sekarang ). a. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 1945 ) Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri. Sarekat Islam, menekankan pada usaha usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu isu yang berkenan dengan alat produksi. Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan. Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara. Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan. b.Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 sekarang ) a) Periode 1945 1950 Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. b) Periode 1950 1959 Periode 1950 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami pasang dan menikmati bulan madu kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai partai politik dengan beragam ideologinya masing masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

c) Periode 1959 1966 Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik. d) Periode 1966 1998 Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang hak hak asasi manusia dan hak hak serta kewajiban warga negara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran

HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. e) Periode 1998 sekarang Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM. Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang undangam lainnya. C. Instrumen HAM di Indonesia Konstitusi (dalam bahasa Inggris Constitusion) berarti undang undang dasar, dalam arti keseluruhan peraturan peraturan, baik tertulis maupun tidak, mengatur secara mengikat cara- cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Dalam terminologi Indonesia UUD adalah hukum dasar yang tertulis. Hukum dasar ada dua macam yaitu yang tertulis disebut Undang undang Dasar dan yang tidak tertulis disebut konvensi.

Setiap Undang undang Dasar memuat ketentuan ketentuan mengenai soal soal sebagai berikut : a. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif b. Hak hak asasi manusia c. Prosedur mengubah UUD. d. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD Dalam konstitusi RIS tentang hak asasi manusia daitur dalam Pasal 33 sedangkan dalam UUDS 1950 diatur dalam Pasal 7 34. Pengaturan tentang hak asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal pasal yang terdapat dalam Konstitusi RIS. Sehingga baik redaksi yag ada dalam Konstitusi RIS hanya berubah beberapa kalimat saja dan penambahan satu pasal. Orde lama dan orde baru meyakini UUD 1945 sebagai UUD yang sempurna, memiliki nilai kejuangan, oleh karenanya cenderung disakralkan. Minimnya pasal pasal yang menimbulkan bermacam macam interpretasi, dipahami sebagai keluwesan dan kelenturan selanjutnya dibanggakan sebagai sesuatu yang tidak dijumpai pada konstitusi negara lain. Setelah rezim Soeharto runtuh dan rakyat mendapatkan kembali haknya untuk menyatakan pendapat secara bebas, maka yang menjadi agenda reformasi adalah reformasi dalam bidang politik, ekonomi, dan hukum. Dalam aspek hukumlah dilakukan reformasi tentang pngayoman hak hak asasi manusia. Perkembangan instrument HAM yang cukup pentng pada masa Orde Baru adalah Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Pembentukan Komnas HAM. Komisi Nasional HAM yaitu suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia. Komnas HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya. Berdasarkan Undang undang No.39 Tahun 1999 Pasal 89, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Komnas HAM berwenang melakukan :

a. Pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga ada pelanggaran HAM-nya c. Pemanggilan kedua pihak pengadu atau korban, maupun pihak yang diadukan, untuk dimintai atau didengar keterangannya d. Pemanggilan saksi untuk diminta atau didengar kesaksiannya, dan kepada saksi, pengadu diminta menyerahkan semua bukti yang diperlukan e. Peninjauan di tempat kejadian dan di tempat lainnya yang dianggap perlu f. Pemanggilan pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya, dengan disertai persetujuan Ketua Pengadilan g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadlan tehadap perkara tertentu yang sedang diproses peradilan. Berkenaan dengan materi yang diatur dalam Tap MPR No.XVII/MPR/1998 mengenai substansi HAM, sebenarnya tidak berbeda dengan substansi HAM sebagaimana tercantum dalam instrument yang bersifat internasional. Pasal Tap MPR tersebut menyatakan : Untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang undangan. Implementasi ketetapan ini adalah diundangkannya UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM. Pasal 104 menyatakan : 1. Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum. 2. Pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (1) dibentuk dengan UU dalam jangka paling lama 4 tahun. 3. Sebelum dibentuk Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dlaam ayat (2), maka kasus kasus pelanggaran HAM sebagaimana dimaksdud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.

Yang di maksud sebagai pelanggar HAM berat secara singakat dicantumkan pada penjelasan pasal tersebut, yaitu pembunuhan missal (genocide), pembunuhan sewenang wenang atau di luar putusan pengadilan(extra-judical killng), penyiksaan, penghilangan bukti secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). D. Penegakan HAM di Indonesia Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia hingga saat ini masih mengecewakan. Dalam kurun 10 tahun terakhir, penegakan HAM tak kunjung menunjukkan perbaikan. Hampir semua kasus berat, dari 27 Juli dan Mei 98, sampai sekarang tidak berani disentuh pemerintah. Kasus-kasus ini ada di Kejaksaan Agung, Jaksa Agung berada di bawah Presiden, tidak berani ungkap kasus-kasus ini. Upaya mengulur waktu dan kasus ini tidak pernah diselesaikan di pengadilan. Ada keraguan pemerintah sekarang ini, boleh kita katakan tidak ada prestasi dalam penegakan HAM, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. korban Mei 1998 hampir 200 kali melakukan aksi di depan Istana, namun tidak digubris. Ini gambaran kita tidak berhasil membangun aturan hukum yang kuat. Penegakan hukum pelanggaran HAM sama dengan pemberantasan korupsi, selalu terkait dengan kekuasaan Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antara kepentingan korban adan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat dari adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat. Pada zaman Orde Baru pembangunan hukum cukup bagus dan sistematis. Ini dalam artikuantitas fisik maupun non fisik yang sudah sampai ke tingkat Kabupaten/kota bahkan Kecamatan/Desa. Rekrutmen aparatur penegak hukum hampir setiap tahun dilakukan dengan standar pendidikan sudah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan tahun 1970-an. Apabila pranata hukum telah demikian banyak, tetapi tuntuntan menjadi semakin lebih banyak, maka dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama sekali bukan masala pranata, produk, substansi, ataupun materi hukum dalam bentuk undang undang, namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan dan penerapannya (law inforcement). Lunsted mengatakan bahwa hukum itu baru akan ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa- apa. Yang memberi makna pada hukum itu adalah aparat penegak hukum

serta masyarakat. Bahkan tanpa substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa penegakan hukum merupakan suatu sistem. Artinya, penegakan hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sus sistem yang mana rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait dan secara erat tidak terpisahkan. Dengan demikian, apabila muncul ketidakadilan dapat ditelusuri dimana sebenarnya penyebab utamanya. Dengan kata lain meskipun sebagian besar penyebab utama ketidakadilan umumnya berasal dari aparat, ini bukan berarti komponen non aparat tidak bisa menyimpang atau setidak tidaknya memberi dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakkan hukum. ANALISIS KASUS Kasus Pelanggaran HAM Mesuji Kasus pelanggaran Mesuji adalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian dari satuan Brigade Mobil (Brimob) terkait kasus sengketa tanah dengan perusahaan karet sekaligus kelapa sawit yaitu PT. Silva Inhutani Lampung. Pembantaian yang dilakukan aparat brimob terhadap masyarakat meliputi pemerkosaan, pembunuhan secara keji, memotong manusia seperti memotong perampasan, perampokan hewan, dan lain sebagainya.

Kesimpulan
Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan atas HAM sudah cukup memadai apakah dalam bentuk peraturan perundang undangan, kuantias aparat penegak hukum, sistem manajemen ataupun pembangunan fisikny. Persoalan serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan penegakan hukumnya. Karena instrument hukumnya sudah cukup memadai berarti persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini adalah krisi moral penegak hukum dan adanya ketimpangan dalam sistem hukum kita. Akibat dari semua itu, publik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap lembaga penegak hukum kita, indikasi ini kita dapat menyaksikan hamper setiap hari kita menyaksikan masyarakat main hakim sendiri dalam menghadapi kasus kasus kriminal, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman terus menerus dikritik secara tajam oleh media massa bahkan didemonstrasi dengan cara- cara di luar batas batas susila pada umumnya dan masih banyak lagi.

Sumber Pustaka : Kartasapoetra, 1981. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Penerbit Armico , Bandung. Muladi,2005. Hak Asasi Manusia,Reflika Aditama, Bandung Lubis, Mulya, 1987. Hak Asasi Manusia dan Pembangunan,Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,Jakarta. http://news.detik.com/read/2012/10/02/175746/2052891/10/hukuman-mati-konstitusionaltidak-melanggar-ham?9911012 http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi3/2012/jun/26/4139/delegasi-parlemen-inggristanyakan-perkembangan-ham-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai