Anda di halaman 1dari 26

Bab I KONSEPSI GENDER

Perempuan dalam Kemelut Gender

PERSPEKTIF GENDER
PENDAHULUAN

embicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan maupun posisi dan status perempuan dalam kesetaraan dengan kaum pria. Pada satu sisi hubungan gender menjadi suatu persoalan tersendiri, padahal secara fakta persoalan emansipasi kaum perempuan masih belum mendapat tempat yang sepenuhnya bisa diterima. Secara konsep emansipasi telah diterima akan tetapi konsekuensi dari pelaksanaan emansipasi itu sendiri masih belumlah seideal yang diharapkan. Kaum perempuan diberi kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka tetap saja diikat dengan norma-norma patriarkhi yang relatif menghambat dan memberikan kondisi yang dilematis terhadap posisi mereka. Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan catatan hanya sebagai penambah pencari nafkah keluarga sehingga mereka bekerja dianggap hanya sebagai working for lipstic belum lagi kewajiban utama mengasuh anak dibebankan sepenuhnya kepada perempuan. Secara kenyataan saja emansipasi masih menemukan persoalan tersendiri, apalagi gender yang merupakan konsepsi yang sangat mengharapkan kesetaraan hubungan yang serasi dan harmonis antara kaum perempuan dengan kaum pria. Dalam hal ini tentu saja sebelum gender itu diterima sebagai suatu konsep yang memasyarakat terlebih dahulu haruslah dipahami permasalahan emansipasi dan kesetaraan hak perempuan untuk memperoleh kesempatan dalam memperoleh pendidikan maupun dalam lingkungan dunia kerja.

KONSEPSI GENDER Secara historis, konsep gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu 3

Bab I: Konsepsi Gender

identik dengannya. Jadi kelihatan di sini gender lebih mengarah kepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu. Sebagai contoh kalau untuk bayi perempuan yang baru lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa merah jambu sedangkan bayi laki-laki yang lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa warna biru muda. Perbedaan itu juga pada pola pengasuhan dan pola permainan. Anak perempuan diberikan mainan boneka dan permainan yang berisiko rendah, sedangkan anak laki-laki diberikan permainan mobil-mobilan, tembak-tembakan dengan risiko yang tinggi. Hal ini terus berlanjut sampai kepada pertumbuhan mereka sampai dewasa. Pada norma yang berlaku sangat tegas sekali perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki. Pada satu sisi perbedaan itu memberikan kondisi yang merugikan pada diri kaum perempuan akan tetapi hal itu juga merugikan kepada kaum laki-laki walaupun relatif sangat kecil. Jadi sebenarnya apakah konsepsi gender itu? G e n d e r adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu, gender dapat disesuaikan dan diubah. Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestik (rumah), pesolek, pasif, dan lain-lain. Disebabkan oleh pembedaan yang tegas terhadap peran laki-laki dan perempuan yang selama ini terjadi didukung oleh budaya patriarkhi yang sangat mendominasi menyebabkan ketimpangan gender itu terjadi. Di dalam kehidupan sosial muncul stereotip tertentu terhadap laki-laki dan perempuan. Padahal gender ini sifatnya netral dan tidak memihak. Peran laki-laki dan perempuan sangat ditentukan dari suku, tempat, umur, pendidikan serta perkembangan zaman. Selama ini yang terjadi adalah bias gender yang berpihak kepada laki-laki.

Perempuan dalam Kemelut Gender

KONDISI SOSIAL Selama ini yang terjadi adalah kondisi sosial yang sangat menonjolkan peran laki-laki. Perempuan menjadi kaum marjinal, yang selalu terpinggir dan tergusur. Emansipasi wanita yang selama ini terkondisi sedikit banyak membantu perempuan untuk tetap eksis, akan tetapi perempuan masih saja terikat kepada norma-norma patriarkhi yang sangat mengikat dan membuat wanita harus berusaha ekstra keras untuk mendapat posisi dan menjadikan tugas dan perannya yang begitu banyak. Permasalahan sosial tentang gender sebenarnya bertumpu pada ketidakadilan peran dan beban antara laki-laki dan perempuan. Stereotipestereotipe terhadap laki-laki dan perempuan mendukung hubungan sosial yang tidak seimbang. Masih relatif jarang perempuan dianggap sebagai mitra, perempuan selalu terpinggir karena status keperempuanannya. Hal ini juga sangat didukung dengan meratanya konsep status keperempuanannya. Hal ini juga sangat didukung dengan meratanya konsep patriarkhi yang dianut hampir seluruh masyarakat.

PENUTUP Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa gender merupakan konsepsi yang mengharapkan kesetaraan status dan peranan antara lakilaki dan perempuan. Konsep gender melihat dan menggarisbawahi bahwa semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan yang bisa berubah dari waktu ke waktu berbeda dari suatu tempat ke tempat lain. Jadi stereotipe-stereotipe tentang laki-laki dan perempuan yang selama ini dianggap kodrat bukan suatu yang harga mati yang harus dipertahankan dalam rangka mendukung sistem patriarkhi yang tidak menyeimbangkan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan.

Bab I: Konsepsi Gender

MENEGAKKAN KEADILAN GENDER1


ISU GENDER su gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang cukup menarik perhatian masyarakat. Respons dan pendapat yang beragam bermunculan, mulai dari mendukung, menolak, menerima sebagai wacana teoretis tapi tidak bisa dilaksanakan secara empiris. Kondisi mendukung dan menolak ini bukan hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Walaupun isu gender sebagai isu ketidakadilan, yang banyak mendapat ketidakadilan adalah pada perempuan, tetapi perempuan banyak menerima kondisi ketidakadilan itu sebagai suatu kondisi yang sudah seharusnya diterima (taken for granted). Secara historis, konsep gender pertama kali digulirkan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley, ia membedakan pengertian antara jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin (sex) berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (mensturasi, hamil, melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Fakih (1996) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal konsep gender. Perbedaan gender tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak menghasilkan kondisi ketidakadilan gender. Secara faktual perbedaan gender ini menghasilkan perbedaan penghargaan sosial diantara laki-laki dan perempuan.

Disampaikan dalam acara Hari Kartini di GOW Pematang Siantar, tanggal 10 April 2002.

Perempuan dalam Kemelut Gender

FAKTA-FAKTA KETIDAKADILAN GENDER Gender sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial yang berkembang di dalam masyarakat diinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun-temurun. Dalam perkembangannya konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan. Relasi laki-laki dan perempuan yang dipayungi konstruksi sosial, nilai-nilai, dan adat istiadat secara faktual menghasilkan ketidakadilan yang terlihat pada fakta-fakta sebagai berikut: Sejak lahir adanya penghargaan yang berbeda terhadap anak yang lahir tersebut laki-laki atau perempuan. Anak laki-laki akan dianggap sebagai penerus marga dan ada penyambutan yang meriah. Begitu pula dalam simbol-simbol sosial, bila anak laki-laki digunakan simbol warna biru, jika anak perempuan digunakan simbol warna merah jambu. Hal ini juga berlanjut seterusnya kepada sosialisasi dari balita, anak-anak dan remaja. Anak perempuan diinternalisasi sebagai pengabdi dan pelayan, mengalah mundur dalam pendidikan kalau masih ada saudara laki-lakinya yang mau melanjutkan sekolah bila ada keterbatasan biaya. Di dalam pembagian wilayah kerja antara suami dan istri, suami mencari nafkah di luar rumah (sektor publik), sedangkan istri melakukan pekerjaan di dalam rumah tangga (sektor domestik). Pembagian kerja ini tidak melahirkan penghargaan sosial yang sama, karena suami sebagai pihak yang memperoleh uang dan mempunyai kekuatan ekonomi, maka kerap kali istri hanya dianggap sebagai pendamping, bukan mitra sejajar yang telah mewakili suami di sektor publik. Hal ini tercermin dalam ungkapan, istri yang hanya menghabiskan uang suami, Pekerjaan rumah tangga yang lebih ringan dibandingkan pekerjaan di kantor dan sebagainya. Bila istri ikut membantu mencari nafkah di sektor publik, berarti istri telah melakukan perluasan dari sektor domestik, tetapi beban domestik tidaklah berkurang, suami tidak serta merta ikut berpartisipasi di sektor domestik. Tanggung jawab istri menjadi berganda, kalaupun ia dibantu itu akan dilakukan oleh perempuan lain yang ia bayar. Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), selalu terjadi namun jarang diekspos sebagai berita karena dianggap sebagai masalah pribadi. Konstruksi 7

Bab I: Konsepsi Gender

sosial yang berkembang yang cukup memprihatinkan bila perempuan yang mendapat siksaan tersebut menganggap kondisi itu sebagai sesuatu yang wajar. Ketidakadilan yang terjadi di dunia kerja, mulai dari gaji dan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Posisi mandor di pabrik-pabrik yang sangat jarang dijabat oleh perempuan. Belum lagi permasalahan pelecehan seksual, diskriminasi, marginalisasi, serta stereotipe (pelabelan negatif terhadap perempuan) seperti bila perempuan menjadi pemimpin cenderung cerewet, judes, cengeng, emosional, dan sebagainya.

KONSEP KEMITRASEJAJARAN DI INDONESIA Keadilan gender yang ingin kita tegakkan bersama dapat kita kaitkan dengan konsep kemitrasejajaran yang dapat kita rujuk pada GBHN 1993. Istilah mitra sejajar dalam GBHN tertulis sebagai berikut: pembinaan peranan wanita sebagai mitra sejajar pria ditujukan untuk meningkatkan peran aktif dalam kegiatan pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera, dan bahagia(halaman 99). Kemudian GBHN tahun 1999 juga masih memuat meningkatkan derajat hidup kaum perempuan masih merupakan salah satu bidang prioritas strategis pembangunan nasional. Naskah tersebut memperlihatkan kemitrasejajaran itu dituntut tidak saja dalam lingkup publik namun juga domestik. Dari isu kemitrasejajaran ini dalam konteks menyoroti ketidaksejajaran, maka yang menjadi prioritas utama dalam konteks ini adalah istilah equality. Equality Salah satu yang didiskusikan tentang studi perempuan di dunia internasional adalah equality. Hal ini berarti masalah ketidaksejajaran dan keadilan gender bukan hanya menjadi masalah masyarakat Indonesia, akan tetapi menjadi permasalahan dunia saat ini dan mendatang. Sebagai kelanjutan dari Dasawarsa Wanita PBB, equality tetap menjadi salah satu fokus, yang tertuang dalam forward looking strategies for the advanced of women. Komisi Status Wanita dari PBB pun sampai tahum 1996 masih memfokuskan equality sebagai berikut:

Perempuan dalam Kemelut Gender

1992 1993 1994 1995 1996

: Penghapusan diskriminasi pada wanita : Peningkatan kesadaran wanita pada hak dan kesadaran hukum : Upah yang sama untuk kerja bernilai sama, kerja di sektor informal : Equality dalam pengambilan keputusan ekonomi : Penghapusan stereotipe wanita dalam media massa

Kemitrasejajaran di Indonesia Konsep kemitrasejajaran di Indonesia dapat dijelaskan dalam 2 konsep yaitu: a. Kemitrasejajaran dalam lingkup domestik Bila kita membatasi dalam keluarga inti maka hubungan laki-laki dan perempuan tergambar: Antara suami dan istri. Antara orang tua dan anak. Antara laki-laki dan anak perempuan. Status yang sama antara laki-laki dan perempuan akan membawa hubungan di dalam keluarga seimbang. Sehingga tidak ada lagi gambaran kondisi sebagai berikut: o Istri mengabdi suami diabdi. o Istri melayani suami dilayani. o Tugas istri tugas suami. o Suami penguasa istri pelaksana. o Suami mandiri istri tergantung. o Suami mempertuan istri dipertuan. o Anak laki-laki superior anak perempuan inferior. o Sosialisasi yang sangat dikotomi, antara laki-laki dan anak perempuan. b. Kemitrasejajaran dalam lingkup publik Konsep kemitrasejajaran dalam lingkup publik ini adalah mewujudkan di dalam lingkup kerja dan di dalam masyarakat. Memperlakukan perempuan di dunia publik secara manusiawi adalah suatu sikap perikemanusiaan yang adil dan beradab yaitu sila kedua dari Pancasila. Hal ini akan berusaha pada tercapainya masyarakat yang tidak terkonstruksi sosial menurut ideologi

Bab I: Konsepsi Gender

genderlah yang akan mewujudkan kemitrasejajaran. Hal ini akan tergambar dengan tidak adanya lagi kondisi: Stereotipe laki-laki dan perempuan. Kerja khas laki-laki dan khas perempuan. Ukuran kepantasan sesuatu berdasarkan gender.

MENEGAKKAN KEADILAN GENDER Sebagai suatu konstruksi sosial yang telah terbangun sejak dahulu, konsep gender yang bias dan banyak merugikan perempuan, tidaklah kecil pengaruhnya. Berurat berakarnya pemahaman bias gender yang banyak menguntungkan dan memberi hak-hak istimewa laki-laki, telah menjadi suatu kondisi normatif yang diyakini. Hal ini juga didukung budaya patriarkhi yang sangat bias gender laki-laki. Apakah menegakkan harapan keadilan gender adalah sebagai suatu yang sangat mustahil, seperti sama beratnya dengan memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah manusia. Berangkat dari perspektif optimis dan sadarnya perjuangan kesetaraan masih sangat panjang maka ada beberapa alternatif pemecahan dan cara menegakkan keadilan gender. Melakukan sosialisasi di dalam keluarga yang seimbang, dalam kajian feminis dikenal sosialisasi androgini kepada anak laki-laki dan perempuan. Semua hal tersebut diarahkan untuk kemandirian sebagai manusia. Melakukan dekonstruksi bias gender di bidang pendidikan, dalam buku teks dan persamaan kesempatan pendidikan tanpa memandang stereotipe. Melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai patriarkhi dalam konteks negara. Melakukan reinterpretasi terhadap kitab suci. Mendukung visi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Mendukung misi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu: 1) Peningkatan kualitas hidup perempuan 2) Penggalakan sosialisasi kesetaraan gender 3) Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan

10

Perempuan dalam Kemelut Gender

4) Penegakan hak asasi manusia (HAM) bagi perempuan 5) Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak; serta 6) Pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan dan peduli anak Demikianlah beberapa solusi di dalam mengkritisi kondisi ketidakadilan gender yang terjadi. Perjuangan memang masih panjang tetapi keadilan adalah suatu obsesi yang harus diperjuangkan. Kebersamaan, partisipasi laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan keadilan gender ini adalah kunci menuju kesetaraan, sehingga laki-laki adalah mitra dan bukan hendak mengobrak-abrik kekuasaan patriarkhi yang mapan ataupun ingin menimbulkan konflik baru dengan laki-laki.

11

Bab I: Konsepsi Gender

SPIRIT EMANSIPASI KARTINI DAN POTRET PEREMPUAN DEWASA INI1


mansipasi yang dicita-citakan Kartini sedikit banyak telah melahirkan perubahan-perubahan pada berbagai aspek kehidupan perempuan di Indonesia. Bukan saja atmosfer sosial pemingitan perempuan dengan menekankan perempuan wajar berpendidikan rendah, telah berubah tetapi juga sedikit banyak aspek aspek keterbukaan dalam menyikapi perubahan secara sosial tentang nilai perempuan ideal telah mempunyai sisi dan ruang yang bisa didiskusikan. Kondisi yang cukup mengalami perubahan relatif pesat adalah terlihat pada naiknya tingkat pendidikan perempuan Indonesia bila dibandingkan dengan dahulu, berdasarkan data pada tahun ajaran 1998/1999 kesempatan perempuan di Medan untuk memperoleh pendidikan jenjang perguruan tinggi sebesar 57,14% dibanding dengan laki-laki yang hanya 42,86%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa tembok persamaan pendidikan dari pola kekentalan patriarkhi yang sangat memberikan hak istimewa terhadap anak laki-laki untuk duluan maju secara pendidikan sudah mengalami pergeseran. Hal yang harus disadari bahwa ketika kita berusaha memetakan kemajuan perempuan Indonesia kita masih tersekat pada kemajuan yang sifatnya parsial. Ada segelintir perempuan yang sudah bisa mempunyai posisi di parlemen, 38 orang dari 500 anggota DPR pusat (7,5%), tetapi tidak sedikit perempuan masih terjebak dalam rutinitas berbagai peran yang harus mereka lakoni dalam rangka untuk tetap bisa bertahan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Mereka ini adalah perempuanperempuan perkasa yang dengan segala kemampuan luar biasanya bisa mengerjakan pekerjaan sektor domestik, publik, serta hubungan sosial kemasyarakatan sekaligus. Tentu saja fenomena ini tidak akan terlihat pada konteks perempuan kelas menengah ke atas yang mendapat bantuan dari perempuan yang dapat mereka bayar dengan gaji yang layak. Fenomena lain yang cukup aktual muncul dan mewarnai kajian permasalahan perempuan di dalam masyarakat kita adalah permasalahan tenaga kerja wanita kita yang berangkat ke luar negeri yang berdampak pada instabilitas keluarga dan memunculkan permasalahan eksploitasi,
1

Dimuat di Harian Waspada, 23 April 2001.

12

Perempuan dalam Kemelut Gender

penyiksaan sampai akibat kematian. Kondisi-kondisi ini adalah segelintir dari permasalahan perempuan yang bisa dijadikan contoh kasus dalam mencermati bagaimana sebenarnya gambaran perempuan Indonesia dalam relevansinya dengan spirit Kartini yang dianggap sebagai pahlawan perempuan dalam mewujudkan persamaan derajat antara lakilaki dan perempuan. Berbicara tentang perempuan memang tidak terlepas dari berbagai isu yang muncul sesuai dengan kondisi sosial setiap perempuan tersebut. Isu diskriminasi, marginalisasi, pelecehan seksual, stereotipe, pemberdayaan sampai kepada isu aktual keadilan gender kerap melingkupi pada perempuan pada berbagai status dan peran apapun. Di sektor dunia kerja diskriminasi kerap terjadi misalnya jabatan mandor di pabrik jarang sekali dijabat perempuan, hal ini diikuti dengan kondisi marginalisasi yaitu proses peminggiran perempuan dengan pandangan sosial yang menyamaratakan bahwa perempuan itu lemah, telaten, emosional sehingga tidak pantas menjabat pada posisi-posisi penting tertentu, padahal secara kasat mata perempuan mempunyai jam kerja yang cukup panjang dari pagi hingga malam dari sektor rumah (domestik), dunia kerja dan usaha (publik) serta sektor tanggung jawab kemasyarakatan lainnya. Hal ini juga terjadi di sektor pertanian dengan revolusi hijau mengakibatkan banyaknya perempuan kehilangan pekerjaannya. Pelecehan seksual juga kerap kali terjadi di dunia kerja dan dunia usaha perempuan. Peran perempuan sebagai ujung tombak media massa yang benar-benar sangat mengandalkan perempuan dalam memasarkan produk usaha sebenarnya merupakan gambaran bahwa perempuan sebagai subjek dan objek sekaligus. Pada level posisi politik kemampuan memimpin kerap dibayangi isu gender dengan melakukan legalitas agama dan isu secara nature semua perempuan pasti terlibat dengan kedekatan dengan alam sehingga tidak pantas untuk memasuki arena politik. Kartini yang telah memulai gerakan emansipasinya, diwarnai gerakan serupa dengan masuknya pemikiran-pemikiran feminis ke Indonesia. Aliran feminis sendiri, intinya diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan di banding laki-laki di masyarakat. Akibat asumsi ini timbul berbagai upaya untuk mengkritisi penyebab ketimpangan tersebut. Hal ini adalah dalam rangka penyetaraan antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Mungkin diantara kita masih alergi dengan kata feminis dengan anggapan adalah perempuan yang pemberontak, anti laki-laki dan

13

Bab I: Konsepsi Gender

mengingkari kodrat. Padahal kondisi tersebut hanya terjadi pada feminis yang cenderung radikal. Ada berbagai aliran teori feminis yang semuanya bermuara pada peduli dari masalah perempuan dan sangat fokus pada perjuangan untuk menghapuskan ketidakadilan gender yang telah menjadi ulasan pada tahun 80-an. Dari berbagai potret perempuan tersebut satu hal yang kelihatan perlu menjadi catatan, bahwa ketika kita berbicara pada tataran gender pada kondisi dewasa ini, tidaklah seharusnya menjadi pandangan yang negatif dengan mengarisbawahi bahwa persamaan keadilan gender harus sama dengan laki-laki. Keadilan gender tidaklah diartikan secara sempit bahwa adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan pada berbagai bidang. Perbedaan secara biologis memang sangat kentara dan menimbulkan perbedaan peran tertentu yang secara sosial telah dibakukan. Persamaan perolehan pendidikan dari spirit emansipasi telah menjadikan kondisi sosial yang mau tidak mau mengalami perubahan. Pendidikan dan kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan setidaknya membawa pencerahan-pencerahan pada pemikiran individu (perempuan). Kalau selama ini norma sosial sangat baku terhadap nilai patriarkhi di mana banyak kondisi-kondisi peran sosial perempuan di dalam rumah dan di dalam masyarakat sebagai harga mati, maka penyimpangan dari kacamata normatif dahulu mulai mewarnai atmosfer sosial peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Ada usaha dekonstruksi dengan diskusi yang menghadirkan wacana terhadap kondisi apa benar memang perempuan bisa memperoleh keluasan untuk mengekspresikan keinginan, minat atau kariernya secara maksimal tanpa mendapat sanksi sosial berupa kecaman dan ejekan. Bahwa kondisi diri mereka di rumah (domestik) tidak melaksanakan peran maksimal sebagai ibu rumah tangga akan mendapat penghargaan sosial yang sebanding dengan laki-laki atau suami yang sibuk berkarier sama dengan perempuan yang berkarier. Secara faktual perempuan masih memang harus perkasa kalau mau bekerja dalam arti membantu ekonomi rumah tangga ataupun aktualisasi diri, hal ini disebabkan ketika satu sisi kesepakatan sosial dibuka misalnya persamaan pendidikan tetapi tidak diikuti dengan terbukanya kesepakatan sosial bahwa perempuan sebagai makhluk tidak sempurna yang bisa saja ia menjadi kewalahan karena tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya yang cukup banyak dan besar harus bisa dimaklumi. Sangat sulit sekali ketika kita melihat isu gender sebagai isu keadilan yaitu memberikan kebebasan pada perempuan untuk

14

Perempuan dalam Kemelut Gender

mengekspresikan dirinya pada dunia feminim ataupun maskulin asal ia bertanggung jawab dengan pilihannya. Masih sangat sulitnya menembus gelas-gelas kaca (ceiling glass) pada perempuan eksekutif untuk sampai pada posisi top management. Masih dikecilkannya arti peran ibu rumah tangga pada perempuan yang memilih profesi total di rumah. Hal ini tergambar pada kesewenangan suami yang kadangkala terwujud dalam kajian kekerasan di dalam rumah tangga. Dominasi patriarkhi secara kental masih sangat menyita pada berbagai kehidupan. Sebagai penutup dalam tulisan ini sejalan dengan peringatan Hari Kartini mudah-mudahan semangat Kartini dapat terwujud dalam kemajuan perempuan Indonesia yang benar-benar memperoleh tempat sebagai perempuan Indonesia yang maju, serta bisa terus berjuang memperoleh kesetaraan gender yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya serta agama yang ada di dalam masyarakat. Perlunya keterbukaan kita semua untuk membuka mata bahwa masih banyak sekali kondisi ketidakadilan gender yang terjadi baik secara interaksi sosial sehari-hari maupun secara struktur budaya. Patriarkhi secara garis keturunan tidaklah salah tetapi perwujudan nilai patriarkhi yang menghasilkan kondisi ketidakadilan secara sosial dan berdampak pada gender perempuan yang banyak dirugikan, inilah yang menjadi perenungan kita bersama di dalam merespons kembali cita-cita Kartini terhadap dinamika perempuan Indonesia.

15

Bab I: Konsepsi Gender

EMANSIPASI KARTINI DAN ISU-ISU PEREMPUAN DI ERA MILENIUM1


anggal 21 April 2002 ini, sebagai momentum hari Kartini marilah kita melihat seberapa jauh emansipasi perempuan yang diletakkan Kartini telah memberikan gambaran meningkatnya partisipasi, peranan dan kemajuan perempuan di Indonesia. Atau pada sisi lain kita juga harus melihat gambaran masih relatif buruknya atau timpangnya kondisi emansipasi yang bergulir tersebut dengan masih banyaknya persoalan-persoalan perempuan yang bermuara kepada kondisi ketidakadilan gender. Secara kuantitatif, cita-cita Kartini untuk mewujudkan keadilan dalam pendidikan diantara laki-laki dan perempuan relatif sudah terwujud. Kita sekarang tidak heran melihat perempuan menduduki jabatan penting di politik, bisnis, ataupun organisasi sosial. Termasuk jabatan Presiden yang diemban Megawati tahun 2001 lalu memberikan angin segar dalam isu kepemimpinan yang sangat patriarkhi selama ini. Data kuantitatif mengenai 50 perempuan yang berpengaruh yang diangkat SWA, mewakili perempuan yang mengeluti bisnis, pendidikan dan seni. Dikatakan peran perempuan semakin besar di pentas bisnis masa depan, karena mereka memiliki sejumlah keunggulan yang tak dimiliki laki-laki yaitu sabar, ulet, dan penuh empati. Atau kita relatif cukup gembira melihat isu politik perempuan disamping telah berhasil menduduki jabatan Presiden tetapi juga telah berhasil mencapai jabatan- jabatan politik yang selama ini didominasi laki-laki. Seperti ada 5 perempuan yang menjadi Bupati, 1883 perempuan yang menjabat eselon I-III, serta 536 perempuan yang menjadi hakim. Tetapi apakah isu emansipasi tersebut hanya terhenti di dalam persamaan kesempatan pendidikan, atau keberhasilan segelintir perempuan yang berhasil mendobrak dunia politik ataupun dunia bisnis. Apakah persamaan pendidikan yang diperoleh perempuan tidak memberikan permasalahan dan dampak-dampak, pada berbagai sektor lainnya. Sudah sedemikian besarkah pengaruh persamaan dalam berbagai aspek kemajuan kehidupan perempuan di Indonesia. Apalagi di era awal abad baru (abad millenium) yang telah berganti abad dari lahirnya Kartini
1

Dimuat di Harian Waspada, 21 April 2002.

16

Perempuan dalam Kemelut Gender

akan memberikan signifikansi pada bukan hanya isu persamaan pendidikan namun juga isu kesetaraan gender.

GAMBARAN DAN ISU PEREMPUAN DI AWAL MILLENIUM Isu emansipasi perempuan berubah menjadi isu kesetaraan gender. Ramalan John Naisbitt mengenai abad 21 sebagai abad perempuan tidaklah serta merta menggambarkan keterwakilan semua perempuan pada berbagai aspek. Seperti penggolongan perempuan berdasarkan stratifikasi usia, pendidikan, pekerjaan, wilayah tempat tinggal dan lain-lain, tidaklah bisa menyamaratakan semua permasalahan perempuan tetapi isu-isu diskriminasi, stereotipe, marginalisasi, pelecehan seksual, kekerasan terhadap perempuan (KTP), kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) tetap menjadi permasalahan yang umum. Isu-isu di atas tidak terkait dengan kelas sosial di mana perempuan itu berada ataupun dunia sektor publik (pekerjaan) yang ditekuni oleh seorang perempuan. Untuk mencermati isu-isu yang masih menyelimuti permasalahan perempuan di era millenium ini, maka akan diuraikan satu persatu isu perempuan yang cukup memberikan permasalahan yang rumit dan penanganan yang integratif. Ada dua isu utama yang dapat dikemukakan yaitu isu yang muncul di sektor publik (di luar rumah) serta isu yang muncul di sektor domestik (di dalam rumah).

ISU PEREMPUAN DI SEKTOR PUBLIK Isu partisipasi kerja perempuan yang cukup mewarnai pada proses industrialisasi dewasa ini. Partisipasi angkatan kerja perempuan cukup besar. Hal ini tidak ditunjang dengan adanya persamaan upah. Kondisi diskriminasi terjadi. Mengambil data Sakernas 1999 mengenai upah kerja, ada perbedaan cukup mencolok, upah kerja perempuan adalah sebesar Rp 275.000,- sedangkan laki-laki 390.000. belum lagi, jika kita berbicara tenaga kerja perempuan yang melakukan migrasi ke luar negeri. Secara kuantitas, migrasi perempuan (TKW) ini mendominasi pemetaan TKI Indonesia yang pergi ke luar negeri. Gelar pahlawan devisa yang diperoleh tidak dibarengi dengan penanganan yang intensif terhadap kasus-kasus yang menimpa TKW disebabkan kondisi keperempuanannya.

17

Bab I: Konsepsi Gender

Pelecehan seksual, perkosaan yang berakibat kehamilan, penyiksaan dan penganiyaan, kerap menjadi gambaran buruk TKW kita yang masih mengisi pada level pekerja kasar. Isu selanjutnya adalah perdagangan perempuan termasuk perdagangan anak perempuan sebagai permasalahan prostitusi. Kota Medan berdasarkan pengamatan cukup menjadi daerah yang rawan, dengan masuknya berbagai data tentang penculikan anak perempuan ataupun iming-iming kerja yang akhirnya menjadi pekerja seks. Isu yang tak kalah pentingnya tentang perempuan di media massa. Perempuan sebagai konsumen atau sekaligus sebagai ujung tombak dari memupuknya kapitalisme. Gambaran perempuan kita di media massa cukup memprihatinkan. Eksploitasi perempuan berbentuk pornografi, merupakan sisi yang harus diperbaiki. Emansipasi Kartini berinti pembebasan untuk memperoleh pendidikan. Bukan malahan menjadi pembebasan pada batas-batas norma agama, sosial, dan budaya. Arti kemajuan dan modernitas memerlukan pendefinisian ulang.

ISU PEREMPUAN DI SEKTOR DOMESTIK Isu yang sangat penting adalah pembagian kerja sektor publik dan sektor domestik masih tetap menjadi harga yang sulit sekali ditawar. Kondisi peran ganda, beban ganda tetap menjadi isu perempuan sebagai istri dan sekaligus sebagai tenaga kerja. Ketika perempuan masih mempunyai pilihan mau bekerja atau tidak, maka ia harus siap menanggung resiko menjalani peran tersebut karena pilihan. Tetapi ini tidak dapat berlaku bila perempuan terutama yang berada di lapisan bawah yang harus bekerja sebagai keharusan untuk tetap bertahan hidup. Bekerja di dalam rumah memang tidak memberikan penghargaan secara ekonomi. Nilai perempuan sebagai ibu, adalah suatu nilai yang sakral yang penuh dengan pengabdian. Kalaulah perempuan menyadari hal tersebut tidaklah berarti adanya penghargaan sosial yang berbeda terhadap peran di sektor domestik ini. Istilah peran rangkap tiga yaitu peran produktif yaitu bekerja, peran reproduktif yaitu menyiapkan segala keperluan keluarga untuk di luar rumah yaitu kebutuhan suami dan anak, serta peran kemasyarakatan merupakan peranan yang harus dijalankan perempuan. Jika kita jeli melihat ketiga peran tersebut, akan sulit bagi seorang perempuan memperoleh waktu yang cukup untuk dirinya sendiri.

18

Perempuan dalam Kemelut Gender

Seolah pengabdian adalah kunci hidup yang harus dilalui tanpa melihat mereka juga mempunyai hak-hak untuk menjadi diri sendiri. Berpikir perempuan bisa menikmati hak-hak manusiawi dan pribadinya, tidaklah serta merta berorientasi pada perjuangan feminisme barat yang menuntut para perempuan mengedepankan pribadi. Harus disadari bahwa sebagai orang dan hidup di wilayah timur, kita meyakini nilai-nilai keseimbangan. Yang harus di garisbawahi disini adalah bagaimana penghargaan sosial masyarakat terutama laki-laki di dalam menghargai pekerjaan domestik sebagai suatu yang mempunyai nilai yang sama rumitnya dengan sektor publik. Adanya penghargaan tersebut tentunya nanti akan berkorelasi pada hubungan yang berkeadilan gender, karena adanya kondisi sama-sama saling membutuhkan. Bergerak pada isu lain yang muncul di area dalam rumah tangga adalah berbicara mengenai masalah yang sering terjadi yaitu kondisi kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga (KDRT). KDRT ini bisa mempunyai efek yang langsung berupa penganiayaan-penganiayaan fisik yang terlihat, maupun kekerasan yang berdampak secara psikologis yang terjadi pada waktu yang panjang dan lama. Mengutip dari data Rifka Annisa Women Crisis Centre Yogyakarta menunjukkan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan Indonesia sangat tinggi. Dari penduduk yang berjumlah 217 juta, 11, 4% diantaranya perempuan atau sekitar 24 juta perempuan terutama di pedesaan, pernah mengalami tindakan kekerasan. Namun KDRT ini bukan hanya isu pada perempuan pedesaaan. Perempuan perkotaan yang mempunyai pendidikan dan pekerjaan yang kerap dianggap sebagai punya posisi tawar yang seimbang, juga bukan berarti otomatis terbebas. Isu KDRT yang selama ini menjadi wilayah yang sangat pribadi sedikit demi sedikit sudah mulai terkuak. Pendirian crisis centre untuk permasalahan kekerasan turut membuktikan bahwa kekerasan itu ada dan harus ditanggani untuk penyelesaian. Nilai-nilai yang dianut bahwa sebagai perempuan harus pasrah tidaklah bisa terus dipertahankan. Apalagi bertahan pada pendapat bahwa disiksa itu wajar, disiksa sudah menjadi nasib, pantas disiksa karena tidak bisa memenuhi kesenangan suami. Kondisi seperti inilah yang meyebabkan sulit sekali mendeteksi KDRT. Pada hal kalau kita mau berpikir pada keadilan manusia atau keadilan gender. Tidaklah bisa semena-mena terjadi kekerasan terhadap perempuan. Hubungan manusiawi sangatlah wajar terjadi ketidakcocokan, terus menerus menyesuaikan nilai sosial bersama.

19

Bab I: Konsepsi Gender

Namun bila terjadi suatu ketidakcocokan, tidaklah lantas diselesaikan dengan ukuran gender laki-laki. Kemudian diselesaikan dengan nilainilai maskulin dengan pemukulan fisik. Jangan sampai KDRT ini tetap menjadi rahasia di dalam rumah karena perempuan takut bahwa itu masalah domestik, sangat pribadi. Padahal itu sudah merupakan kejahatan.

PENUTUP Isu-isu di atas adalah sebagian permasalahan perempuan yang masih melingkupi sampai dewasa ini. Rasanya Kartini sebagai pahlawan perempuan dengan cita-cita kebebasan dan kemandirian, masih pada taraf yang terus diperjuangkan. Bukanlah mengecilkan arti kemajuan beberapa perempuan serta pendidikan perempuan yang sudah relatif maju, namun pada perkembangan selanjutnya bukan hanya sampai di sini. Akhirnya diharapkan pemberian kesempatan pada perempuan bukan hanya di tataran konsep, slogan, dan retorika saja atau pada penudingan bahwa perempuan telah berhasil menjadi pemimpin negara. Tetapi pada wujud normatif sehari-hari yang tergambar dalam interaksi sosial.

20

Perempuan dalam Kemelut Gender

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER


PENGANTAR

ada acara puncak Hari Ibu ke-77 Tahun 2005 Tingkat Nasional di TMII tanggal 22 Desember 2005, PTPN IV telah menerima penghargaan Pemenang I sebagai Pelaksana Terbaik ProgramProgram Pemberdayaan Perempuan dalam kategori Perusahaan Terbaik Pembina Tenaga Kerja Perempuan untuk Tingkat Propinsi Sumatera Utara. Tentu saja hal ini sebagai suatu prestasi yang membanggakan. Ucapan selamat patutlah diberikan kepada para Direksi dan seluruh jajaran staf dan karyawan di PTPN IV yang telah melakukan pembinaan terhadap tenaga kerja perempuan. Mengapa hal ini menjadi suatu yang pantas dibanggakan? Hal ini tentu saja terkait dengan fakta yang terjadi di dalam masyarakat kita, bahwa perempuan dianggap atau mendapat stereotipe sebagai kaum lemah, kurang terdidik, emosional dan kurang ketrampilan dan hanya bisa berdedikasi di dalam rumah tangga Sehingga hal ini bermuara pada sempitnya kesempatan ataupun sedikitnya perempuan yang bisa berpartisipasi di sektor kerja, seperti di industri ataupun dunia kerja lainnya. Kondisi ini juga yang menjadi salah satu asumsi isu kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Situasi budaya yang mengutamakan laki-laki atau dikenal Budaya Patriarkhi menjadi suatu pisau analisis didalam melihat peran laki-laki dan perempuan. Peran tradisional dahulu menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah (sektor publik) dan perempuan melakukan aktivitas rumah tangga (sektor domestik). Tetapi dalam perkembangan masyarakat kita tidak bisa menghindari telah terjadinya pergeseran peran di mana sebagian perempuan juga aktif di aktivitas kerja (publik) ataupun aktivitas sosial lainnya. Bahkan sekarang ini fenomena wanita yang bekerja maupun berkarier menjadi bagian dari perkembangan kemajuan perempuan untuk mencapai posisi kesetaraan dan kemajuan relasi sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan.

21

Bab I: Konsepsi Gender

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Secara fakta disebabkan konstruksi nilai sosial yang berbeda mengakibatkan kondisi yang berbeda pula dalam kesempatan, prestasi dan kualifikasi antara laki-laki dan perempuan. Hal-hal yang cukup berbeda adalah tingkat buta huruf pada perempuan sangat tinggi dibandingkan dengan kaum laki-laki, survei dunia memperlihatkan hanya 71 perempuan dewasa yang melek huruf dalam 100 laki-laki dewasa yang melek huruf. Masuknya perempuan ke dua kerjapun mereka dengan pendidikan terbatas hanya menduduki posisi kurang penting. Kalaupun perempuan yang berpendidikan di masuk dalam kompetisi karier dia harus berjuang keras, menembus dominasi laki-laki dan menembus normatif nilai sosial yang sering mempertanyakan kemampuannya karena keperempuanannya. Kita harus melihat perempuan sebagai pendidik pertama dan utama. Perempuan secara biologis dan kodrati akan menjadi seorang ibu. Hal tersebut sangat strategis dalam proses pertumbuhan generasi berikutnya. Oleh karena secara alamiah perempuan akan menjadi pendidik pertama dan utama, maka harus diupayakan agar ditingkatkan kualitasnya, diberikan dorongan agar perempuan lebih berdaya, lebih mandiri, lebih memiliki pertahanan fisik maupun psikis. Keberhasilan pemberdayaan perempuan bukanlah dengan satu-satunya indikator ia harus bekerja di luar rumah tetapi ia harus menjadi perempuan yang mandiri, bisa mendampingi suami, mampu mendidik anak dengan wawasannya yang luas dan penuh nilai-nilai pendidikan. Kalau ia berkarier ia mampu menjalankan peran keduanya dengan seimbang. Akan sangat ideal jika perempuan bisa meraih prestasi karier karena kemampuan intelektualnya. Kondisi inilah yang akan diubah dengan cara-cara yang terencana, terarah dan terpadu melalui peningkatan kualitas perempuan serta adanya lembaga yang mampu dalam jajaran pemerintah maupun dalam masyarakat (LSM). Agar tercipta lingkungan sosial budaya yang lebih mendukung bagi kemajuan perempuan, diperlukan upaya antara lain: 1. Penyesuaian sistem struktur pranata sosial budaya, ekonomi politik dan hankan serta penyesuaian dan jaminan norma hukum peraturan perundang-undangan dalam kehidupan sehari-hari.

22

Perempuan dalam Kemelut Gender

2. Keluarga sebagai wahana utama dalam pembinaan keluarga harus dapat mengubah sikap, perilaku serta pandangan tradisional yang kurang menguntungkan bagi peranan dan tugas perempuan. 3. Dalam mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, peran ganda laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara merupakan faktor penting untuk disadari, diwujudkan dan dikembangkan. 4. Memasyarakatkan konsep kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dengan mewujudkan perilaku saling menghargai, saling menghormati, saling membutuhkan serta saling membantu dan saling peduli. 5. Terintegrasikan wawasan kemitrasejajaran di dalam proses perencanaan pembangunan (evaluasi, analisis situasi, penyusunan proyek proposal dan keluarannya, tercapai pada setiap perencanaan pembangunan.

ISU GENDER Isu gender akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat dibicarakan dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan ataupun dalam konteks relasi laki-laki di dalam masyarakat ataupun bernegara. Implementasi kesetaraan gender itu sendiri termaktub dalam Inpres No. 9 Tahun 2000, tentang pengarusutamaan gender. Tujuan akhir dari pengarusutamaan gender ini adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender. Secara historis konsep gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris,yaitu Ann Oakley yang membedakan konsep gender dengan seks. Seks adalah pembedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang menyangkut ciri-ciri biologis seperti yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki secara sosial yaitu maskulin dan feminim. Perbedaan sosial yang berpangkal pada perbedaan seks ini lebih mengarah pada symbol-simbol yang diberikan pada mayarakat terhadap laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim). Sebagai contoh kalau bayi perempuan yang baru lahir maka ia diberikan perlengkapan bayi berwarna merah jambu. Bila bayi laki-laki yang lahir maka diberikan perlengkapan yang bernuansa biru. Perbedaan ini juga terjadi dalam sosialisasi, pola pengasuhan dan pola permainan anak. Anak perempuan

23

Bab I: Konsepsi Gender

diberikan mainan boneka dan permainan yang beresiko rendah, sedangkan anak laki-laki diberikan mainan pistol-pistolan dan permainan yang beresiko tinggi. Seks adalah sesuatu yang alamiah tidak bisa dipertukarkan dan diciptakan oleh Tuhan, sedangkan gender adalah konstruksi manusia dari kesepakatan sosial, dijadikan norma, bisa berubah sesuai dengan kondisi zaman. Sebenarnya perbedaan gender tidak menjadi masalah sejauh tidak melahirkan ketidak adilan gender. Secara fakta ketidakadilan gender terjadi di berbagai sisi kehidupan. Di dalam keluarga anak laki-laki mendapat penghargaan yang lebih tinggi, di bidang pendidikan anak laki-laki mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi dibandingkan anak perempuan. Di dalam dunia kerja ada diskriminasi terhadap perempuan dalam hal gaji dan kesempatan berkarier, di bidang politik sedikit sekali partisipasi perempuan, hal ini juga berlangsung dalam bebagai sisi kehidupan lain seperti di media massa perempuan juga mendapat pelecehan dan eksploitasi yang cukup tinggi.

IMPLEMENTASI INPRES NOMOR 9 TAHUN 2000 Sesuai dengan amanat GBHN 1999 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000 2004, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender perlu dikembangkan kebijakan Nasional yang responsive gender. Salah satu strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Hal ini dipertegas dengan terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa seluruh Departemen maupun Lembaga Pemerintah Non Departemen dan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantaaun dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Asumsi dari kesenjangan gender di Indonesia ditandai berbagai bidang pembangunan terlihat masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha serta rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja. Meskipun penghasilan perempuan pekerja memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penghasilan dan kesejahteraan keluarganya. Perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah

24

Perempuan dalam Kemelut Gender

tambahan dan sebagai pekerja dalam keluarga. Kesemua ini berdampak pada masih rendahnya partisipasi, akses, dan kontrol yang dimiliki serta manfaat yang dinikmati perempuan dalam pembangunan. Inpres ini adalah salah satu upaya agar dapat terlaksananya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua sektor di dalam masyarakat.

IMPLEMENTASI KESETARAAN GENDER DI PTPN IV Penghargaan yang diperoleh oleh PTPN IV dalam Perusahaan Terbaik Pembina Tenaga Kerja Perempuan tentu saja telah dinilai oleh para juri dengan suatu kriteria dan objektivitas yang sesuai dengan realitas kerja di PTPN IV. Penilaian yang meliputi antara lain: kesetaraan dalam kesempatan berkarier, kesetaraan dalam menerima hak-hak tunjangan perusahaan dan lain-lain. Hal ini memberikan indikasi bahwa PTPN IV sebagai suatu perusahaan yang telah menerima dan telah menerapkan kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini sebagai salah satu turut mensukseskan program pemerintah dalam upaya pemberdayaan perempuan dan juga telah melaksanakan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender. Penghargaan ini tentu sebagai suatu prestasi dan tolok ukur bahwa PTPN IV bisa menjadi contoh perusahaan yang sensitif gender dan menjadikan staf dan karyawan laki-laki dan perempuan dengan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi asal mempunyai prestasi. Sehingga hambatanhambatan sistem patriarkhi yang menjadi hambatan pemberdayaan maupun kemajuan perempuan tidak terjadi di PTPN IV ini. Gambaran pemberian kesempatan berkarier yang sama antara laki-laki dan perempuan tercermin dalam adanya 3 Kepala Bagian yaitu Kepala Bagian Pengadaan, Kepala Bagian SDM, Kepala Bagian Tanaman yang dijabat oleh perempuan. Hal-hal yang cukup jelas terlihat proporsional staf dan karyawan laki-laki dan perempuan juga cukup seimbang. Kiranya hal ini bisa terus ditingkatkan agar penghargaan yang diperoleh merupakan pemicu semangat produktivitas dan kinerja. Kalau kita boleh menyitir pernyataan di balik laki-laki yang sukses ada perempuan (istri) yang mendorong suami untuk berprestasi. Hal senada bisa kita jelaskan juga di dalam kemajuan perusahaan terdapat andil staf dan karyawan laki-laki ataupun perempuan yang mendedikasikan tenaga, pikiran dan loyalitas mereka terhadap meningkatnya kinerja perusahaan.

25

Bab I: Konsepsi Gender

Sekali lagi selamat kepada Jajaran Direksi, staf dan karyawan PTPN IV atas prestasi ini semoga ini bukan suatu prestasi yang membuat berpuas diri, tetapi sebagai cambuk untuk meningkatkan prestasi pada sector-sektor lainnya. Semoga bisa menjadi perusahaan yang menjadi contoh atas berbagai prestasi.

26

Anda mungkin juga menyukai