Anda di halaman 1dari 3

Sepinya Minat Investasi Eksplorasi Migas di Indonesia

Latar Belakang Masalah


Pada 2008 porsi investasi eksplorasi migas di Indonesia masih lebih besar dibandingkan Thailand, yakni 31 persen di antara negara Asia Tenggara lainnya, sementara Thailand memiliki kontribusi 23 persen. Namun pada 2010, Thailand terus menanjak hingga menyentuh angka 31 persen, sementara Indonesia malah turun menjadi 25 persen. Bahkan untuk mencapai target produksi 950 ribu barel per hari pun kita saat ini sudah tak sanggup. Cadangan terbukti minyak nasional tahun 2012 hanya sebanyak 3,92 miliar barel, cadangan ini diperkirakan habis dalam waktu 13 tahun mendatang apabila tidak ada upaya peningkatan eksplorasi dari pemerintah. Ketahanan energi nasional menjadi sangat rentan. Permasalahannya, eksplorasi sangat tergantung pada investasi para kontraktor migas. Walaupun dalam tender atau lelang, semua peserta boleh ikut, baik pemain kecil maupun besar, namun bisnis migas merupakan bisnis yang padat modal, padat teknologi, dan padat risiko. Pada akhirnya, hanya pemain besar yang terpilih. Tapi kondisi terakhir menunjukkan bahwa kontraktor migas skala besar seperti Chevron, Exxon, Shell dan Total sudah tak tampak berminat di lelang-lelang blok migas belakangan ini. Sepinya minat investasi disebabkan oleh:
Minimnya data eksplorasi awal yang tersedia. Ini berarti risiko ketidakpastian dalam eksplorasi migas sangat tinggi. Iklim investasi eksplorasi migas tidak kondusif. Akumulasi permasalahan terkait sistem pengelolaan maupun masalah nonteknis seperti ketidakpastian regulasi, lemahnya koordinasi pemerintah, kendala pembebasan lahan karena anggaran BP Migas yang terbatas, dan kendala sosial. Sistem G to B (Government to Business) menjadikan proses lebih birokratis, prosedural, dan kaku. Sistem lelang yang dilakukan pemerintah tidak membuka ruang negosiasi bisnis untuk memberikan insentif fiskal yang lebih menarik karena aspek fiskal sudah ditentukan pemerintah sejak awal.

Rochana Prih Hastuti 12/331363/PA/14626 MIPA/Ilmu Komputer

Solusi
Pasca diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Negara melalui Kementerian yang menaungi bidang migas menyerahkan kuasa pertambangan bukan kepada BUMN, melainkan secara langsung kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap, tanpa membedakan apakah badan usaha tersebut milik negara kita ataukah milik negara lain. Pasal 12 ayat 3 UU Migas 22/2001 yang mengatur hal ini, yang berbunyi Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, sebenarnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya atas judicial review UU Migas pada 21 Desember 2004, sudah diharuskan untuk direvisi, namun masih tetap dibiarkan apa adanya hingga saat ini. Akibatnya, sebagai contoh, kita menyaksikan bersama satu-satunya BUMN pertambangan migas yang kita miliki, Pertamina, harus berulangkali bersusah payah (dan bahkan gagal) untuk mendapatkan hak pengelolaan wilayah migas yang ada di negeri kita sendiri. Masalah-masalah ini bukan tidak mungkin untuk bisa diatasi. Jika ingin menarik kembali minat para investor yang paling penting adalah dengan memperbaiki pengelolaan pertambangan nasional kita. Tidak cukup hanya dengan melakukan pembenahan hal-hal yang sifatnya teknis-operasional tetapi seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa pembenahan harus dimulai dari aspek-aspek mendasar yang terkait Konstitusi. Karena dalam hal yang fundamental itu pun ternyata sistem pengelolaan pertambangan nasional kita selama ini sebenarnya masih bermasalah. Beberapa langkah yang bisa dilakukan yakni:
Meningkatkan alokasi dana untuk perbaikan data eksplorasi awal. Pemerintah harus bisa lebih pro aktif dalam menarik minat investor.

Mempercepat revisi Undang-Undang Migas 22/2001 yang saat ini tengah


berjalan di DPR, dengan menempatkan kembali kuasa pertambangan di tangan badan usaha milik negara. Artinya, mengubah bentuk BP Migas dari badan pemerintah menjadi perusahaan negara. Mengubah system kontrak dari government to business (G to B) menjadi business to business (B to B). Dengan keterbatasan modal yang ada, beragam skema insentif yang lebih fleksibel dan tidak birokratis bisa ditawarkan. BP Migas yang berbentuk perusahaan akan menjadi wakil negara untuk berkontrak lapangan yang dikelola perusahaan lain. Mekanisme akan lebih bersifat bisnis ketimbang menjadi regulator, sehingga akan lebih mudah mendekati perusahaan migas skala besar untuk langsung berinvestasi di blok-blok berpotensi besar meskipun wilayahnya berada di laut dalam maupun timur Indonesia. Rochana Prih Hastuti 12/331363/PA/14626 MIPA/Ilmu Komputer

Sumber:
Penawaran Blok Lelang Sepi Peminat KOMPAS Jumat, 07 September 2012 Pemain Migas Baru Mendominasi BISNIS INDONESIA Senin, 28 Mei 2012 Investasi Migas Tidak Kondusif KOMPAS Senin, 28 Mei 2012 Pemerintah Disarankan Tata Ulang Lembaga Migas TEMPO Selasa, 27 Desember 2011 Konstitusi dan Pengelolaan Pertambangan Kita Indonesia Finance Today Senin, 24 Oktober 2011

Rochana Prih Hastuti 12/331363/PA/14626 MIPA/Ilmu Komputer

Anda mungkin juga menyukai