Anda di halaman 1dari 26

I.

Pendahuluan Insiden dan jenis penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari sistim gastroin testinal sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri, parasit atau jamur. Selama kurun waktu satu abad terak hir ini, telah banyak perubahan dalam hal epidemiologi, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik, pengelolaan maupun prognosis abses hati.1 Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat ber bentuk soliter ataupun multipel. Sekitar 90% dari abses lobus kanan hepar merupa kan abses soliter, sedangkan abses lobus kiri hanya 10% yang merupakan abses sol iter. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dar i tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.1,2 Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik . Angka kejadian abses hati piogenik lebih tinggi dibandingkan abses hati amuba. Angka kejadian abses hati amuba hanya sekitar 20% dari semua abses hati.1,2 Pada banyak kasus, perkembangan abses hati mengikuti proses supuratif pada daera h lain di tubuh. Kebanyakan merupakan penyebaran langsung dari infeksi kandung e mpedu, misalnya empiema kandung empedu atau kolangitis. Infeksi abdomen misalnya apendisitis atau divertikulitis dapat menyebar melalui vena porta ke hati untuk membentuk abses. Beberapa kasus lain berkembang setelah adanya sepsis dari endo karditis bakterial, infeksi ginjal, atau pneumonitis. Pada 25% kasus tidak diket ahui penyebab yang jelas (kriptogenik). Penyebab lainnya adalah infeksi sekunder bakteri pada abses hati amuba dan kista hidatidosa. Sedangkan abses hati amuba muncul sebagai salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling seri ng dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia.2 II. Definisi Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi b akteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim gastroi ntestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yan g terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.1 III. Anatomi

Sumber : http://www.netterimages.com/image/4483.htm Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen . Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawa h menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari porta hepat is. Omentum minor terdapat mulai dari sistim porta yang mengandung arteri hepati ka, vena porta dan duktus koledokus. Sistim porta terletak di depan vena kava da n di balik kandung empedu.1 Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan li gamentum falsiform yaitu lobus kiri dan kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lo bus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang dise but sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan li gamentum venosum pada permukaan posterior. 1 Vaskularisasi Sekitar 25% dari 1500 mL darah yang memasuki hepar setiap menitnya berasal dari arteri hepatika propria, sedangkan 75% berasal dari vena porta hepatis. Arteri h epatika propria membawa darah yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena porta hepatis mengantar darah yang miskin oksigen dari saluran cerna. Di porta hepatis (hilus) arteri hepatika propria dan vena porta hepatis berakhir dengan membentu k ramus dekstra dan ramus sinistra, masing-masing untuk lobus hepatika dekstra d

an lobus hepatika sinistra. Lobus-lobus ini berfungsi secara terpisah. Dalam mas ing-masing lobus cabang primer vena porta hepatis dan arteri hepatika propria te ratur secara konsisten untuk membatasi segmen vaskular. Bidang horisontal melalu i masing-masing lobus membagi hepar menjadi delapan segmen vaskular. Antara segm en-segmen terdapat vena hepatika untuk menyalurkan darah dari segmen-segmen yang bertetangga. 2,6 Sumber : http://www.netterimages.com/image/4816.htm Arteri hepatika komunis berasal dari truncus coeliacus, naik mengikuti ligamentu m hepatoduodenal dan bercabang menjadi arteri gastrika kanan dan arteri gastrodu odenal sebelum bercabang ke kiri dan ke kanan di hilus. Pada 10% individu sumber arteri hepatika komunis berbeda. Arteri hepatika komunis atau arteri hepatika d ekstra bisa berasal dari arteri mesenterika superior. Arteri hepatika sinistra p ada 15% individu berasal dari arteri gastrika sinistra.2 Sumber : http://www.netterimages.com/image/4506.htm Vena porta hepatis merupakan pertemuan antara vena splenika dan vena mesenterika superior setinggi vertebrae lumbal dua, di belakang kaput pankreas. Vena ini be rjalan sepanjang 8-9 cm menuju ke hilus dari hepar dan selanjutnya akan mengalam i percabangan. Vena gastrika dekstra memasuki vena porta hepatis pada bagian ant eromedial dan kranial dari tepi pankreas. Pada 25% individu vena gasrika sinistr a bermuara pada vena splenika. Vena mesenterika inferior mengalir ke vena spleni ka, beberapa sentimeter dari pertemuan antara vena splenika dan vena mesenterika superior. Tidak jarang vena ini bermuara pada vena mesenterika superior.2 Vena hepatika merupakan muara terakhir dari vena sentralis lobulus hepar. Ada 3 vena hepatika utama, yaitu: kiri, kanan dan tengah. Vena hepatika bagian tengah berjalan pada fisura lobus mayor dan mendapat darah dari segmen medial lobus sin istra dan bagian inferior dari segmen anterior lobus dekstra. Vena hepatis sinis tra mengalirkan darah dari segmen lateral lobus sinistra dan vena hepatis dekstr a mendapat darah dari segmen posterior dan segmen anterior lobus dekstra.2 Sumber : http://www.netterimages.com/image/47402.htm Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang ter susun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati terdapat k apiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatik a. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang merupakan sistim reti kuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap ser angan bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepat ika yang mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan dia ntara lembaran sel hati.2 IV. Klasifikasi Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik . Abses hati amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal ya ng paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bac terial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.1 1. Abses Hati Amuba a. Epidemiologi Amebiasis merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan aspek sosial k emasyarakatan yang luas, terutama di daerah dengan sanitasi, status hygien e yang kurang baik dan status ekonomi yang rendah. Indonesia memiliki b anyak daerah endemik untuk strain virulen E. histolytica. E. histolytica hidup

komensal di usus manusia, namun dengan keadaan gizi yang buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang tinggi. Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1. Usia penderita berkisar ant ara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada anak-anak.4 Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati piogenik, angka kejadiannya hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini sering terjadi di daerah tropis, dimana sekitar 10-20% populasi mengandung organ ini. Pusat pen gendalian penyakit melaporkan 1,3 kasus amubiasis per 100.000 populasi.3 b. Etiologi Abses hati amuba terjadi karena Entameba histolytica terbawa aliran vena porta k e hepar, tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menimbulkan abses. U ntuk terjadinya abses, diperlukan faktor pendukung atau penghalang berkembang bi aknya amuba tersebut. Faktor tersebut antara lain adalah pernah terkena infeksi amuba, kadar kolesterol meninggi, pascatrauma hepar, dan ketagihan alkohol. Akib at infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi radang dan akhirnya nekrosis jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari fokus infeksi juga mengalami sedikit perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini diduga akibat toksin yang dikeluar kan oleh amuba.5 c. Patogenesis E. Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista ini d apat bertahan di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi makan an dan air minum atau secara langsung. Tropozoid akan berubah dari bentuk kista dalam usus kecil dan akan terus ke kolon dan dari sini akan memperbanyak diri. B aik bentuk trophozoit maupun kista dapat ditemukan pada lumen usus. Nam un hanya bentuk trophozoit yang dapat menginvasi jaringan. Amuba ini dapat men jadi patogen dengan mensekresi enzim cys-teine protease, sehingga melisiskan ja ringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perko ntinuinatum. Amuba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut da lam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E. hystolitica men sekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses . Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%), superfisial serta tung gal. Kecenderungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus dari pada cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi dari diame ter 1-25 cm. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit .4,7 Sumber : http://www.netterimages.com/image/47480.htm Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai proses pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan bergabung membentuk apa yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas jaringan hati yang n ekrosis dan eritrosit yang berwarna tengguli. Cairan ini terbungkus oleh hiperpl asia jaringan ikat yang disebut simpai walaupun bukan berupa simpai sejati. Jari ngan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh, kecuali bila ada infeksi tambahan. Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan terletak di lobus kanan deka t kubah diafragma. Jarang ditemukan amuba pada cairan tersebut; bila ada amuba b iasanya terdapat di daerah dekat dengan simpainya. Secara klasik, cairan abses m enyerupai achovy paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepa r serta sel darah merah yang dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan s el dan enzimatik secara umum tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amub a bisa didapatkan ataupun tidak di dalam cairan pus.4,5 Sumber : http://www.netterimages.com/image/6872.htm d. Gejala klinis Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya . Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara perlahan , disertai demam, berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling

sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan perut kanan atas, di daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri ditemukan di daerah bahu kanan aki bat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri biasanya ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5C. Penderita tak kelihatan sakit berat seperti pada abses karena bakteria. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis.4, 5 e. Pemeriksaan penunjang Laboratorium Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara 10.000-1 2.000. Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses amuba. Te s serologi titer amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan anemia ri ngan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan yang spesifik. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50% penderita abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali telah mere da saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test lebih dap at dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan proktoskop.4,5 Pencitraan Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan amuba. Per bedaan terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto roentgen pasie n dengan abses hati amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi p leura, abses paru dan atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriks aan yang penting untuk membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besa rnya. Sensitivitasnya dalam mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran ultrasonografi pada amebiasis hati adalah: 1. Bentuk bulat atau oval 2. Tidak ada gema dinding yang berarti 3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal. 4. Bersentuhan dengan kapsul hati 5. Peninggian sonik distal (distal enhancement) Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada endoskopi, sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang abses amuba ba ru timbul bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.3,4,5 f. Diagnosis Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah kesadaran akan kemu ngkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan hepatomegali s erta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus dipertimbangkan. R iwayat diare dan ditemukannya amuba dalam feses membantu diagnosis meskipun tida k ditemukannya kedua hal ini tidak berarti bukan abses hati amuba.5 Untuk selengkapnya dapat kita lihat berbagai kriteria yang ada pada tabel beriku t ini:7 Kriteria Sherlock Kriteria Ramachandran Kriteria Lamont & Pooler 1. Hepatomegali yang nyeri tekan 2. Respon yang baik terhadap obat amebisid 3. Leukositosis 4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang 5. Aspirasi pus 6. Pada USG didapatkan rongga di dalam hati 7. Tes haemaglutinasi (+) 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Respon terhadap amebisid Ket : Bila terdapat 3 atau lebih dari gejala diatas 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Kelainan hematologis 3. Kelainan radiologis 4. Pus amebik 5. Tes serologis (+)

6. Kalainan sidikan hati 7. Respon yang baik terhadap amebisid Ket : Bila didapatkan 3 atau lebih Kriteria Sherlock Kriteria Ramachandran Kriteria Lamont & Pooler 1. Hepatomegali yang nyeri tekan 2. Respon yang baik terhadap obat amebisid 3. Leukositosis 4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang 5. Aspirasi pus 6. Pada USG didapatkan rongga di dalam hati 7. Tes haemaglutinasi (+) 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Respon terhadap amebisid Ket : Bila terdapat 3 atau lebih dari gejala diatas 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Kelainan hematologis 3. Kelainan radiologis 4. Pus amebik 5. Tes serologis (+) 6. Kalainan sidikan hati 7. Respon yang baik terhadap amebisid Ket : Bila didapatkan 3 atau lebih g. Diagnosis banding Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara lain: Abses hati piogenik 1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak yaitu E. coli serta kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S. typhi. Dapa t juga disebabkan oleh bakteri anaerob yang berasal dari v. porta, saluran emped u (yang paling sering), infeksi langsung (seperti luka pada penetrasi, fokus sep tik berdekatan), septisemia atau bakterimia pada infeksi tempat lain, kriptogeni k terutama pada usia lanjut. 2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses amuba coklat kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau. 3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat bersifat remiten, intermitten dan kontinu yang disertai menggigil. 4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis . 5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus kanan (4 1,8%) sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%. 6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik. 7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun 8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin da n alkali fosfatase. Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febril Kolesistisis akut Hepatitis kronis, hepatitis virus akut Kista hati Massa intra abdomen Kelainan intra torakal kanan bawah Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi, pungs i dan percobaan pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis per eksklusi onem.2,5,7 h. Penatalaksanaan Pengobatan medis3,4,5

Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi: (1) amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja terutama di dinding usus, hati dan jaringan ekstra intestinal lainnya; contohnya emetin, dehidroeme tin, klorokuin, (2) amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut juga amebisid ko ntak contohnya, diyodohidroksikuin, yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol , karbason, klifamid, diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin dan (3) amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, contohnya obat-obat golong an nitroimidazol Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan yang dianjurkan adalah: a) Metronidazole. Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis 50mg/kgB B/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x 750 mg/ha ri selama 7-10 hari. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari. Metronidazol merupakan obat terpilih dan telah dilaporkan menyembuhkan 80-100% abses hati amuba. Pasie n yang berhasil diterapi dengan metronidazol mempunyai respon klinis dramatis, b iasanya menjadi tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam. b) Dehydroemetine (DHE). Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direk omendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 har i. c) Chloroquin. Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan diikuti 50 0mg/hari selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus halus sangat baik dan lengka p (kadar di hati 200-700 kali di plasma), sehingga kadar dalam kolon sangat rend ah. Oleh karena itu perlu ditambah amebisid luminal untuk menghindari relaps. Pa da penelitian ditemukan bahwa kadar klorokuin setelah diabsorbsi tertinggi di da lam jaringan hati; maka sangat baik untuk terapi abses hati amebiasis Terapi bedah Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat dilakukan sec ara buta, tetapi sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapa i sasaran dengan tepat. Jika gejala menetap lebih dari 1 minggu dan gambaran rad iologi menunjukkan kista yang tetap ada setelah terapi antibiotika, maka bisa di indikasikan aspirasi per kutis atau drainase bedah. Sumber lain juga mengatakan, apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak b erhasil (72 jam) atau bila terapi dengan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dapat dilakukan berul ang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter penyalir. P ada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk menc egah infeksi sekunder. Cara aspirasi menguntungkan karena tidak mengganggu fungs i vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan penderita, tidak menyebabkan kontaminas i rongga peritoneum dan murah. Aspirasi harus dilakukan dengan kateter yang cuku p besar. Kontraindikasi adalah asites dan struktur vital menghalangi jalannya ja rum.3,4,5 Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal dengan terapi konservatif, te rmasuk aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus kiri yang teranc am pecah ke rongga peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding perut, dan i nfeksi sekunder yang tidak terkendali. Angka kematian dengan cara ini lebih ting gi.5 i. Komplikasi Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses ke berbag ai rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke kulit, sebesar 5-5,6%. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insi den perforasi ke rongga pleura adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang bes ar dan luas yang memperlihatkan cairan cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat be rlanjut ke paru sampai ke bronkus sehingga didapat sputum yang berwarna khas cok elat. Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa seperti rasa hati selain didapat kan hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi perikard dan tamp onade jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik seperti tuberkulosis perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan jantung (pe

rikarditis konstriktiva).4,5 Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut menyebabkan per itonitis umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi, omentum dan usus mempuny ai kesempatan untuk mengurung proses inflamasi, menyebabkan peritonitis lokal. P erforasi ke depan atau ke sisi terjadi ke arah kulit sehingga menimbulkan fistel . Infeksi sekunder dapat terjadi melalui sinus ini. Meskipun jarang, dapat juga terjadi emboli ke otak yang menyebabkan abses amuba otak.5 j. Prognosis Tingkat kematian dengan fasilitas yang memadai di RS 2%, sedangkan pada fasilita s yang kurang 10%, pada kasus yang membutuhkan operasi 12%, jika ada peritonitis amebik 4050%. Tingkat kematian akan semakin meningkat dengan keadaan umum yang j elek, malnutrisi, ikterus atau renjatan. Kematian biasanya disebabkan oleh sepsi s atau sindrom hepatorenal.7 2. Abses Hati Piogenik Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis dan pada orang tua sebagai ko mplikasi penyakit saluran empedu. Biasanya abses berbentuk soliter dan ini membu tuhkan pembedahan, sedangkan yang bentuk multipel kecil-kecil tersebar di kedua lobus hati tidak memerlukan pembedahan. Abses hati piogenik merupakan kondisi se rius dengan angka kematian tinggi bila diagnosis tidak dibuat secara dini. Bila terapi dilakukan dini dan tepat, angka kematian cenderung mengecil.5 a. Epidemiologi Abses hati piogenik tersebar di seluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis den gan kondisi higiene/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 p er 100.000 kasus abses hati piogenik yang memerlukan perawatan di RS dan dari be berapa kepustakaan Barat didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29-1, 47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008-0,016%. Penyakit ini lebih sering te rjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun dengan insidensi puncak pada dekade ke-6.1 b. Etiologi dan Patogenesis5,7 Hampir semua organisme patologik dapat menimbulkan abses hati piogenik. Yang ter penting ialah E. Coli, Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas d an bakteri anaerob, seperti Bacteroides dan Clostridium. Pada dua per tiga kasus dapat dibiakkan lebih dari satu organisme. Kecurigaan kuman anaerob lebih besar bila didapat nanah yang berbau busuk, gas dalam abses dan tidak ada kuman pada pembiakan aerob. Mungkin juga terjadi infeksi sekunder pada kelainan intrahepati k seperti abses tuberkulosis atau infeksi askariasis. Bila organisme Streptococc us milleiri dapat dibiakkan dalam darah, dapat diduga ada abses hati yang tidak tampak (abses tersamar). Abses hati dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik melalui vena porta atau sistemik dari manapun di tubuh melalui arteri hepatika. Sebagian sumb er tidak diketahui. Kadang disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung ke hati atau sistem di sekitarnya. Penyakit bilier/kandung empedu Obstruksi saluran empedu karena kolelitiasis atau karsinoma merupakan penyebab u tama abses hati piogenik. Kolesistitis akut dan pankreatitis akut juga dapat men yebabkan abses hati piogenik. Infeksi pada saluran empedu yang mengalami obstruk si naik ke cabang saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimb ulkan kolangiolitis dengan akibat abses multipel. Abses hati piogenik multipel t erdapat pada 50% kasus. Hati dapat membengkak dan daerah yang mengandung abses m enjadi pucat kekuningan, berbeda dengan hati sehat di sekitarnya yang berwarna m erah tua. Kebanyakan terdapat pada lobus kanan dengan perbandingan 5 kali lobus kiri. Abses hati piogenik juga dapat timbul sebagai penyulit pankreatitis kronik . Infeksi melalui sistim porta (piemia porta) Sebelum era antibiotik, sepsis intraabdomen, terutama apendisitis, divertikuliti s, disentri basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang terinfeksi dan abses p erirektal, merupakan penyebab utama abses hati piogenik. Biasanya berawal sebaga i pileflebitis perifer disertai pernanahan dan trombosis yang kemudian menyebar

melalui aliran vena porta ke dalam hati. Apabila abses hati piogenik berhubungan dengan pileflebitis, vena porta dan caba ngnya tampak melebar dan mengandung nanah, bekuan darah, dan bakteria. Di sekita r abses terdapat infiltrasi radang. Apabila abses merupakan penyulit penyakit bi lier, biasanya abses berisi nanah yang berwarna hijau. Hematogen (melalui arteri hepatika) Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan, dan nekrosis jaringan hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah terinfeksi. Hematoma s ubkapsuler dapat juga mengundang infeksi dan menimbulkan abses yang soliter dan terlokalisasi. Sebagian kecil disebabkan tindakan diagnostik atau terapeutik. Terjadinya abses pasca trauma sangat bergantung pada kualitas pembedahan yang dilakukan untuk men anggulangi trauma hati sebelumnya. Sepsis dengan penyebaran melalui arteri hepat ika menyebabkan abses pada 20-40% pasien. Abses biasanya multipel dan kecil di k edua lobus hati. Kriptogenik Tidak ada penyebab ditemukan pada hampir separuh kasus. Namun angka kejadiannya meningkat pada pasien diabetes mellitus dan kanker yang mengalami metastasis. Pa sien dengan abses hepar piogenik berulang sebaiknya dilakukan evaluasi traktus b iliaris dan gastrointestinal. Penyebaran langsung Abses hati dapat terjadi akibat penyebaran langsung infeksi dari struktur yang b erdekatan, seperti empiema kandung empedu, pleuritis, ataupun abses perinefrik. Abses hati piogenik dapat merupakan penyulit dari keganasan hati, baik primer ma upun sekunder. Nekrosis jaringan baik dari tumor maupun jaringan hati akan mudah mengundang infeksi sekunder dan menimbulkan abses yang biasanya soliter. Kista di dalam jaringan hati juga dapat mengalami infeksi sekunder sebagaimana k elainan hati yang lain, seperti sistosomiasis, tuberkulosis, askariasis dan peny akit hidatidosa (kista ekinokokus). c. Gambaran Klinis Manifestasi sistemik abses hati piogenik biasanya lebih berat daripada abses hat i amuba. Dicurigai adanya Abses hati piogenik apabila ditemukan sindrom klinis k lasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungk uk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya.1 Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen di bawah iga kanan dan disertai dengan keadaan syok. Nyeri sering berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, g ejala dan manifestasi klinis abses hati piogenik adalah malaise, demam yang tida k terlalu tinggi, dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya per gerakan. Apabila abses hati piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala lainnya adalah mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, kelemahan badan, ikterus, buang air besar b erwarna seperti kapur, dan buang air kecil berwarna gelap.1,5 Pada pemeriksaan mungkin didapatkan febris yang sumer-sumer hingga demam/panas t inggi yang hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses dan kuman peny ebabnya. Pada palpasi terdapat hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran l ateral atas abdomen atau pembengkakan pada daerah interkostal. Ketegangan lebih nyata pada perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat diraba tumor di epigastrium. Splenomegali didapatkan apabila abses telah menjadi kroni k, selain itu bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda hipertensi port al. Ikterus terutama terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit saluran e mpedu yang disertai dengan kolangitis supurativa dan pembentukan abses multipel. Jenis ini prognosisnya buruk.1,5 Dapat terjadi penyulit berupa pecahnya abses ke dalam rongga perut, rongga dada atau perikard. Dapat pula terjadi septikemia dan syok. Akan tetapi, banyak juga yang tidak menunjukkan gejala khas. Oleh karena itu, kemungkinan abses hati piog enik patut dipikirkan pada setiap penderita dengan demam tanpa sebab yang jelas, terutama pascabedah abdomen.5

Tabel berikut ini menampilkan tanda dan gejala dari abses hati piogenik8 Gejala Persentase Tanda Persentase Sakit perut Demam Menggigil Anoreksia Penurunan berat badan Batuk Nyeri dada 89-100 67-100 33-88 38-80 25-68 11-28 9-24 Temuan normal Nyeri kuadran kanan atas Hepatomegali Teraba massa Ikterus Kelainan paru 38 41-72 51-92 17-18 23-43 11-48 d. Pemeriksaan penunjang Laboratorium Leukosit meningkat jelas (>10.000/mm3) pada 75-96% pasien, dengan pergeseran ke kiri, walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. Laju endapan darah biasa nya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan (50-80% pasien), meningkatnya alka li fosfatase (pada 95-100% pasien), enzim transaminase dan serum bilirubin (pada 28-73% pasien), berkurangnya kadar albumin serum (<3 g/dl), meningkatnya nilai globulin (>3 g/dl) dan waktu protrombin yang memanjang (71-87% pasien) menunjukk an adanya kegagalan fungsi hati yang disebabkan abses hati piogenik. Prognosis b uruk bila kadar serum amino transferase meningkat. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial. Kultur darah yang memperlihatkan bakteri pe nyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik.1,5, 8 Pencitraan Pada foto polos rontgen, elevasi atau perubahan diafragma kanan terlihat pada 50 % kasus. Dapat dijumpai efusi pleural, atelektasis basiler, pleuritis, empiema, abses paru, dan jarang sekali fistel bronkopleural. Kadang dapat dilihat garis b atas udara dan cairan yang terdapat di dalam rongga abses. Pada foto toraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, ab ses merupakan daerah avaskuler. Pemeriksaan penunjang yang lain yaitu CT-scan ab domen atau MRI, ultrasonografi abdomen dan biopsi hati, kesemuanya saling menunj ang sehingga memiliki nilai diagnostik semakin tinggi. CT-scan abdomen memiliki sensitivitas 95-100% dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari 1 cm. Ultrasonografi abdomen memiliki sensitivitas 80-90%, Ultrasound-Guided Aspiraate for Culture and Special Stains didapatkan positif 90% kasus, sedangkan gallium and technectium radionuclide scanning memiliki sensitivitas 50-90%.1,5 e. Diagnosis Menegakkan diagnosis abses hati piogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisi k, dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis kadang-kadang sulit d itegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Sedangkan diagnos is dini memberikan arti penting dalam pengelolaan karena penyakit ini dapat dise mbuhkan. Sebaliknya, diagnosis dan pengobatan yang terlambat akan meningkatkan a ngka kejadian morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya

dengan CT-scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-scan mempunyai nilai predi ksi yang tinggi untuk diagnosis, demikian juga dengan tes serologi yang dilakuka n. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis abses hati amuba, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif setelah beberapa hari kemud ian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pad a pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. 1 f. Penatalaksanaan Aspirasi Aspirasi tertutup dapat dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi atau tomografi komputer. Pungsi ini dilakukan untuk tujuan aspirasi berulang, memasukkan antib iotik ke dalam rongga abses, serta memasang pipa penyalir, baik sebagai tindakan diagnosis maupun pengobatan. Komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, pn eumotoraks, kebocoran dinding abses ke dalam rongga peritoneum, perforasi organ intraabdominal, infeksi ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase. Drain dilepas jika dinding abses kolaps, yang dikonfirmasi lewat peme riksaan CT-scan. Adanya asites dan struktur yang menghalangi drainase merupakan kontraindikasi. Keberhasilan tindakan ini sebesar 80-87%. Pertimbangkan terjadin ya kegagalan drainase perkutan bila tidak ada perbaikan terjadi dan kondisi memb uruk dalam 72 jam,atau bila abses berulang meskipun drainase awal memadai. Kegag alan drainase perkutan dapat ditangani dengan pemasangan ulang kateter, atau mel akukan drainase bedah terbuka.1,5,8 Pengobatan medis Pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil tes kepekaan kuman. Bila hasil tes belum ada, sedangkan pengobatan harus dimulai, pada terapi awal digunakan penis ilin. Selanjutnya dikombinasikan antara ampisilin, aminoglikosida atau sefalospo rin generasi III dan klindamisin atau metronidazol. Metronidazol dan klindamisin baik untuk melawan bakteri anaerob dan mampu melakukan penetrasi ke dalam kavit as abses. Aminoglikosida dan sefalosporin generasi III mampu melawan bakteri gra m negatif. Floroquinolon dapat dijadikan alternatif bagi pasien yang alergi terh adap golongan penisilin. Terapi ini biasanya efektif pada pasien dengan abses un ilokular dengan ukuran <3 cm. Jika dalam waktu 48-72 jam belum ada perbaikan kli nis dan laboratoris maka antibiotik yang digunakan diganti dengan antibiotik yan g sesuai dengan hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan secara parenteral dapat dirubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama 10-14 hari dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian. Bilamana perlu, antibiotik dapat diberikan langsung ke saluran empedu melalui penyalir T yang d ipasang sewaktu melakukan laparatomi atau langsung ke sistem porta melalui vena umbilikalis. Keberhasilan pengobatan bergantung pada ukuran, letak dan jumlah ab ses.1,5,8 Pengobatan bedah1,5,8 Penyaliran tertutup dan pemberian antibiotik melalui penyalir ternyata efektif p ada banyak penderita. Pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak menunjukkan hasil baik dengan pengobatan nonbedah. Indikasi untuk drainase bedah adalah seb agai berikut: a) Adanya penyakit intra-abdomen yang membutuhkan tindakan operatif b) Kegagalan terapi antibiotik c) Kegagalan aspirasi perkutan d) Kegagalan drainase perkutan Kontraindikasi relatif untuk tindakan operatif: a) Abses multipel b) Infeksi polimikroba c) Adanya penyakit imunosupresif atau keganasan pada pasien d) Adanya masalah kesehatan lain pada pasien yang mempersulit tindakan Laparatomi dilakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan pen yaliran, dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan antibiotik serta dip asang penyalir. Apabila letak abses jauh dari permukaan, penentuan lokasi dilaku kan dengan ultrasonografi intraoperatif, kemudian dilakukan aspirasi dengan jaru m. Abses multipel bukan indikasi untuk pembedahan dan pengobatannya hanya dengan pemberian antibiotik dan pungsi. Kadang-kadang abses hati piogenik multipel dip

erlukan reseksi hati. g. Komplikasi Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti se ptikemia/bakteremia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritoniti s generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perd arahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperitoneum. Sesudah mendapat terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjad i rekurensi atau reaktivasi abses.1 h. Prognosis Jika disertai septikemia, mortalitas dan morbiditas tinggi. Mortalitas abses hat i piogenik yang diobati dengan antibotika yang sesuai bakterial penyebab dan dil akukan drainase adalah 10-16%. Prognosis juga dipengaruhi oleh umur penderita, a danya penyakit saluran empedu, adanya hubungan dengan keganasan dan penyulit di paru-paru. Prognosis buruk apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobata n, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan penyebab bakterial organisme mult ipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.5 DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo, Aru. W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2. Way. Lawrence. W., 2003. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange U SA : Medical Publication. 3. Kortz, Warren J. & Sabiston, David C., 1994. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bag ian 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa Kasus Abses Hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed on : June 02nd, 2009. 5. Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jaka rta : EGC. 6. Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates. 7. Hetti. 2010. Liver Abses. Available from Http://wordpress.com/2010/03/17/l iver-abses. Accessed on : June 02nd, 2009. 8. Nickloes, Todd. A., 2009. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from: Http:/ /emedicine/193182.htm. Accessed on : June 02nd, 2009.

ABSES HEPAR A. PENDAHULUAN Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus4 yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel sel inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim hat i.1,2

Secara umum, abses hati terbagi atas dua, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abse s hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintes tinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia . AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial a bscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang rel atif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pert ama kali oleh Bright pada tahun 1936. Selanjutnya terbukti adanya hubungan antar a abses piogenik ini dengan appendisitis akibat tromboflebitis mesenterik yang b erawal dari daerah appendiks. 1,2,4 B. EPIDEMIOLOGI Sebelum adanya alat alat diagnostik canggih seperti sekarang ini (USG, tomografi komputer, resonansi magnetik nuklir), maka prevalensi abses piogenik tidak dike tahui karena tanpa autopsi sukar sekali untuk menegakkan diagnosisnya.2 Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara epidemiolo gi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan d ari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering terj adi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke 6.1 Insiden abses hati amebik yang pasti sukar diketahui dan laporan setiap peneliti berbeda karena bergantung pada populasi yang diambil dan cara penelitian. Kejad ian penyakit ini lebih tinggi bila didapatkan pada daerah atau masyarakat dengan sanitasi jelek, tingkat ekonomi rendah, dan penduduk yang padat.2 C. ETIOLOGI Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eike nella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, p roteus vulgaris, enterobacter aerogenes, dan fungal.1,2 Selain bakteri, keadaan keadaan tertentu bisa menyebabkan terjadinya abses hati piogenik, di antaranya2,3 1. Sistem biliaris langsung dari kandung empedu atau melalui saluran saluran emp edu. 2. Visera abdomen melalui vena porta yaitu secara langsung atau pieloflebitis at au embolisasi. Biasanya berasal dari appendisitis, divertikulitis, atau penyakit Crohn. Kolitis ulseratif jarang dengan abses hati. 3. Arteri hati pada bakteremia/septikemia akibat infeksi di tempat lain. 4. Penyebaran langsung dari infeksi organ sekitar hati seperti gaster, duodenum, ginjal, rongga subdiafragma, atau pankreas. 5. Trauma tusuk atau tumpul. 6. Kriptogenik Di negara negara Barat, penyakit sistem biliaris merupakan penyebab abses hati y ang paling sering, ini disebabkan karena semakin tinggi umur harapan hidup dan s emakin banyak orang lanjut usia ini yang dikenai penyakit kandung empedu.2 Pada era pre-antibiotik, AHP terjadi akibat komplikasi appendisitis bersama deng an fileflebitis. Bakteri patogen melalui arteri hepatika atau melalui sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati sehingga terjadi bakteremia sistemik, ataupun me nyebabkan komplikasi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan in feksi post operasi. Pada saat ini karena pemakaian antibiotik sudah adekuat, seh ingga AHP oleh karena appendisitis hampir tidak ada lagi. Saat ini terjadi penin gkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem biliaris, yaitu langsung dari kandung empedu seperti kolangitis dan kolesistitis.1,6,7 Abses hepar amebiasis disebabkan oleh infeksi strain virulen Entamoeba histolyti ca. Bentuk protozoa ini ada dua, yaitu bentuk kista dewasa berukuran 10 20 mikro n, resisten terhadap suasana kering dan suasana asam. Bentuk yang kedua yaitu be ntuk trofozoit. Trofozoit memiliki dua bentuk, ada yang berukuran kecil (10 20 m ikron) dan berukuran besar (20 60 mikron). Bentuk trofozoit akan mati dalam suas ana kering dan asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritr

osit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakarida yang mampu me ndestruksi jaringan.2, 5 D. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat ber bentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum . Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfe ksinya hati oleh bakteri tersebut. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terj adi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Ada nya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang cabang dari vena port al dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses y ang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemi k. Penetrasi akibat trauma rusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenki m hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul akan menyebabkan nek rosis hati, perdarahan intrahepatik, dan terjadi kebocoran saluran empedu sehing ga terjadi kerusakan dari kanalkuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya b akteri ke hati dan terjadi pertumbuhan bakteri dengan proses supurasi dan pemben tukan pus. Lobus kanan hati yang lebih sering terjadi AHP dibandingkan lobus kir i, hal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima aliran darah dar i arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima dara h dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik.1 Secara histopatologik, abses hepar tidak berbeda dengan abses di tempat lain yai tu terdapat nekrosis sentral dengan debris seluler dikelilingi infiltrasi leukos it dan limfosit yang masif. Di bagian larnya ada daerah proliferasi fibroblastik membentuk dinding jaringan ikat mengelilingi abses.2 Pada abses hepar amebik, penularan umumnya melalui fekal oral, baik makanan maup un minuman yang tercemar kista atau transmisi langsung pada keadaan higiene pero rangan buruk. Sesudah masuk per oral, hanya bentuk kista yang bisa sampai ke int estin tanpa dirusak oleh asam lambung, kemudian kista pecah, keluar trofozoit. D i dalam usus, trofozoit menyebabkan terjadinya ulkus pada mukosa akibat enzim pr oteolitik yang dimilikinya dan bisa terbawa aliran darah portal masuk ke hepar. Amoeba kemudian tersangkut menyumbat venul porta intrahepatik, terjadi infark he patosit sedangkan enzim enzim proteolitik tadi mencerna sel parenkim hati sehing ga terbentuk abses. Di daerah sentralnya terjadi pencairan yang berwarna coklat kemerahan anchovy sauce yang terdiri dari jaringan hati yang nekrotik dan berdegen erasi. Amoebanya dapat ditemukan pada dinding abses dan sangat jarang ditemukan di dalam cairan di bagian sentral abses. Kira kira 25% abses hati amebik mengala mi infeksi sekunder sehingga cairan absesnya menjadi purulen dan berbau busuk.2 Sampai sekarang masih belum jelas mengapa ada periode laten yaitu jarak waktu ya ng lamanya bervariasi kadang kadang sampai bertahun tahun di antara kejadian inf eksi pada usus dengan timbulnya abses hati. Di samping itu, hanya lebih kurang 1 0% penderita abses hati yang dapat ditemukan adanya kista E. Histolytica dalam t injanya dalam waktu yang bersamaan.2, 5 E. GAMBARAN KLINIK Manifestasi sistemik AHP biasanya lebih berat daripada abses hati amebik. Dicuri gai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan peru t kanan atas yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama dengan tipe demam remiten, intermiten, atau kontinyu disertai menggigil, keluhan lain y aitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, keringat banyak, dan disertai dengan keadaan syok. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifes tasi klinis AHP adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati piogen ik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk, ataupun atelektasis. Gejala lainn ya adalah rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan bera t badan, kelemahan badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti kapur dan bu

ang air kecil berwarna gelap.1,2 Pemeriksaan fisis yang didapatkan yaitu febris/agak hangat hingga demam/panas ti nggi, pada palpasi terdapat hepatomegali serta perkusi terdapat nyeri tekan hepa r, yang diperberat dengan adanya pergerakan abdomen, splenomegali didapatkan apa bila AHP telah menjadi kronik, selain itu, bisa didapatkan asites, ikterus, sert a tanda tanda hipertensi portal. Adanya ikterus menunjukkan adanya penyakit sist em bilier yang disertai kolangitis dengan prognosis yang buruk.2 Pada abses hati amebik, demam ditemukan pada hampir semua kasus, terdapat rasa s akit pada perut atas yang sifatnya seperti ditekan atau ditusuk. Rasa sakit bert ambah bila penderita berubah posisi atau batuk. Nyeri dada bagian kanan bawah, a noreksia, mual, muntah, perasaan lemah, penurunan berat badan, batuk, gejala iri tasi diafragma seperti hiccup, diare dengan atau tanpa bukti kolitis amebik. Kegag alan faal hati fulminan sekunder yang sangat jarang terjadi. Ada riwayat bepergi an di daerah endemik amoebiasis.5 Pada pemeriksaan fisis, didapatkan demam yang tidak terlalu tinggi, suhu biasa i ntermiten atau remiten. Hepatomegali yang teraba nyeri tekan, hati akan membesar ke arah kaudal atau kranial dan mungkin mendesak ke arah perut atau ruang inter kostal. Pada perkusi di atas daerah hepar akan terasa nyeri. Abses yang besar ta mpak sebagai massa yang membenjol di daerah dada kanan bawah. Pada kurang 10% ka sus abses terletak di lobus kiri yang seringkali terlihat seperti massa yang ter aba nyeri di epigastrium. Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bil a ikterus hebat biasanya disebabkan abses yang besar atau multipel, atau dekat p orta hepatik. Gambaran klinik abses hati digambarkan sebagai gambaran klinik kla sik dan tidak klasik.2 1. Gambaran klinik klasik didapatkan penderita mengeluh demam dan nyeri perut ka nan atas atau dada kanan bawah, dan didapatkan hepatomegali yang nyeri. 2. Gambaran klinik tidak klasik tidak seperti gambaran klinik klasik, hal ini di sebabkan oleh letak abses pada bagian hati tertentu memberikan menifestasi klini k yang menutupi gambaran yang klasik. Gambaran klinik tidak klasik berupa: a. Benjolan di dalam perut seperti bukan kelainan hati, misalnya diduga empiema kandung empedu adatu tumor pankreas. b. Gejala renal, nyeri pinggang kanan dan ditemukan massa yang diduga ginjal kan an. Hal ini disebabkan letak abses di bagian posteroinferior lobus kanan hati. c. Ikterus obstruktif, disebabkan abses terletak di dekat porta hepatis. d. Kolitis akut e. Gejala kardiak, ruptur abses ke rongga perikardium memberikan gambaran klinik efusi perikardial. f. Gejala pleuropulmonal, berupa empiema toraks atau abses paru yang menutupi ga mbaran klasik abses hepar. g. Abdomen akut, bila abses hati mengalami perforasi ke dalam rongga peritonium, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus yang berkurang. h. Gambaran abses yang tersembunyi, hepatomegali yang tidak nyeri. i. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sering dikacaukan dengan tifus abdomi nalis atau malaria F. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Didapatkan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri, biasanya antara 1 3000 16000, bila disertai infeksi sekunder biasanya di atas 20000 per mm. Sebagi an besar penderita menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED), peningkatan a lkali fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan serum bilirubin, anemia pada 50% kasus, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang mem anjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang disebabkan AHP. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding, sensitivitasnya 91 93 % dan spesifitasnya 94 99%. Kultur darah yang memperlihatkan bakteri penyebab me njadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pada pemerik saan pus, bakteri penyebab seperti Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa ditemukan.1,2 Di daerah endemik amoebiasis, seseorang tanpa amoebiasis invasif sering memberik an reaksi serologik positif akibat antibodi yang terbentuk pada infeksi sebelumn

ya. Oleh karena itu, pemeriksaan kuantitatif lebih bernilai dalam diagnostik. Ti ter di atas 1/512 (positif kuat) menyokong adanya abses amebik sebaliknya abses stadium awal bisa memberikan serologi negatif. 2 2. Pemeriksaan Radiologi Pada foto toraks dan foto polos abdomen ditemukan diafragma kanan meninggi, efus i pleura, atelektasis basiler, empiema, atau abses paru. Pada foto toraks PA, su dut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral, sudut kostofrenikus anterior t ertutup. Di bawah diafragma, terlihat bayangan udara atau air fluid level. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, abses merupakan d aerah avaskuler.1 Selain foto polos, pemeriksaan penunjang lain yang bisa digunakan yaitu pemeriks aan sidik hati/USG/tomografi komputer, biopsi hati. Pemeriksaan canggih ini sang at bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan menegakkan diagnosis abses hati, memp ercepat diagnosis, mengarahkan proses drainase untuk mendapatkan hasil terapi ya ng baik. Abdominal CT Scan memiliki sensitifitas 95 100% dan dapat mendeteksi lu asnya lesi hingga kurang dari 1 cm. Ultrasound abdomen memiliki sensitifitas 80 90%. Kultur hasil aspirasi terpimpin dengan ultrasound didapatkan positif 90% ka sus.1,2 G. KOMPLIKASI Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti se ptikemia/bakteremia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritoniti s generalisata dengan mortalitas 6 7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perd arahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperitoneum.1,2 Sesudah mendapat terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi lukas, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktivasi abses.2 H. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan AHP secara konvensional adalah dengan drainase terbuka secara op erasi dan antibiotik spektrum luas oleh karena bakteri penyebab abses terdapat d i dalam cairan abses yang sulit dijangkau dengan antibiotik tunggal tanpa aspira si cairan abses. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase per kutaneus abses intra abdominal denggan tuntunan abdomen ultrasound atau tomograf i komputer, komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intr a abdominal, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk d rainase, kadang kadang pada AHP multipel diperlukan reseksi hati.1,2,3 Penatalaksanaan dengan menggunakan antibiotik, pada terapi awal digunakan penisi lin untuk kokus gram positif dan beberapa bakteri gram negatif yang sensitif. Se lanjutnya dikombinasikan antara ampisilin, aminoglikosida untuk bakteri gram neg atif yang resisten, atau sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronid azole untuk bakteri anaerob. Jika dalam waktu 48 72 jam belum ada perbaikan klin is, maka antibiotika yang digunakan diganti dengan antibotika yang sesuai dengan hasil kultur sensitifitas aspirat abses hati. Pengobatan secara perenteral dapa t diubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama 10 14 hari dan kemudi an dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian.1,2 Pengelolaan dengan dekompresi saluran biliaris dilakukan jika terjadi obstruksi sistem biliaris yaitu dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi.2 Penatalaksanaan untuk abses hepar amebik yaitu pemberian amebisid jaringan untuk mengobati kelainan di hatinya, disusul amebisid intestinal untuk pemberantasan E.histolytica di dalam usus sehingga mencegah kambuhnya kasus abses hati. Metron idazole merupakan pilihan pertama dengan dosis 3x750 mg/hari selama 10 hari.2, 5 Pilihan kedua adalah kombinasi emetin hidroklorida atau dehidroemetin dengan kl orokuin. Emetin dan dihidroemetin merupakan amebisida yang sangat kuat, didapatk an dalam kadar tinggi di hati, jantung, dan organ lain. Dosis yang diberikan ada lah 1 mg emetin/kgBB selama 7 10 hari atau 1,5 ng dehidroemetin/kgBB selama 10 h ari intramuskuler. Amebisid yang lain yaitu klorokiun. Dosis yang diberikan adal ah 600 mg klorokuinbasa, lalu 6 jam kemudian 300 mg dan selanjutnya 2x150 mg/har i selama 28 hari.2 Indikasi Tindakan Aspirasi Terapeutik 2

1. Abses yang dikhawatirkan akan pecah 2. Respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada 3. Abses di lobus kiri karena abses di sini mudah pecah ke rongga perikardium at au peritoneum Indikasi Tindakan Pembedahan 2 1. Abses disertai komplikasi infeksi sekunder 2. Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal 3. Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil 4. Ruptur abses ke dalam rongga peritoneum/pleura/perikard I. PROGNOSIS Mortalitas AHP yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab da n dilakukan drainase adalah 10 16%. Prognosis yang buruk apabila terjadi keterla mbatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan bak terial penyebab multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikteru s, hipoalbuminemia, efusi pleura atau adanya penyakit lain.1

LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. Ar Umur : 58 tahun Jenis Kelamin : Laki laki No. RM : 210854 Alamat : Jl. Veteran Lr. 46 No 11 B Ruangan : Baji Pamai II Kamar 210 RS Labuang Baji Tanggal Masuk RS : 23 November 2010 CATATAN RIWAYAT PENYAKIT KELUHAN UTAMA : Nyeri Perut Kanan Atas ANAMNESIS TERPIMPIN : Dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak terus menerus, memberat da lam 2 hari SMRS. Nyeri dirasakan di daerah perut kanan atas. Tidak menjalar. Nye ri bertambah saat batuk atau ditekan. Mual (+), muntah (+) frekuensi 1 kali, isi sisa makanan. Demam (-), riwayat demam (-) sesak (-), batuk (-), nyeri dada (-) . BAB : riwayat kurang lancar + 2 hari SMRS, flatus (-), setelah diberi Dulcolax s upp di IGD, BAB 1 kali, flatus (+) BAK : lancar, warna pekat RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA : Riwayat DM (-) Riwayat hipertensi (-) Riwayat kencing batu (-) Riwayat konsumsi obat anti nyeri (-) Riwayat sakit kuning (-) PEMERIKSAAN FISIK : Status Present : SS/GK/CM; BB = 40 kg; TB = 160 cm; IMT = 15,62 kg/m2 Tanda Vital : TD = 110/80 mmHg; N = 86 x/i; P = 24 x/i; S = 36,7oC Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, bibir tidak sianosis Mulut : tidak ditemukan kandidiasis oral Leher : tidak didapatkan massa tumor, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesara n kelenjar leher. DVS R-2 cmH2O. Thoraks : Inspeksi : simetris kiri dan kanan, ikut gerak napas, bentuk normochest Palpasi : tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus simetris kiri dan kanan

Perkusi : sonor kedua lapangan paru, batas paru hepar sela iga VI anterior dextr a Auskultas : bunyi pernapasan vesikuler, tidak ada bunyi tambahan Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI linea medioklavikularis sinistra Perkusi : pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan terletak pada l inea sternalis kanan, batas jantung kiri sesuai dengan ictus cordis terletak pad a sela iga 5 6 linea medioklavikularis kiri) Auskultasi : bunyi jantung I/II murni reguler, bunyi tambahan (-) Abdomen : Inspeksi : Cembung (distended abdomen), ikut gerak napas, Cullen Sign (-) Auskultasi : Peristaltik kesan menurun Palpasi : MT (-), NT (+) di regio hipokondrium dextra, Murphy sign (-), hepar su lit diidentifikasi, lien tidak teraba Perkusi : Tympani Ekstremitas : Edema (-)/(-) RT : Sfingter : mencekik Mukosa : licin Handschoen : Feses (+) warna kuning Darah (-), Lendir (-) Diagnosis Sementara: Abses Hepar Pankreatitis Kolelitiasis Susp Ileus pro evaluasi Penatalaksanaan Awal : IVFD RL 28 tpm Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Rencana Pemeriksaan : Darah rutin Urine rutin SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, gula darah, bilirubin total, LED, alkali fosfatase , albumin serum, PT & aPTT USG abdomen Foto BNO 3 posisi Pemeriksaan Laboratorium: Jenis Pemeriksaan Tanggal pemeriksaan 23/11/2010 30/11/2010 31/11/2010 DARAH RUTIN WBC 27.7 x 103 20,1 x 103 31,4 x 103 RBC 4,77 x 106 3,98 x 106 4,78 x 106 HBG 12,4 12,9 15,4 HCT 39,11 % 37,8% 45,6% MCV 62 95 95 MCH 25,9 32,4 32,3 MCHC 31,6 34,1 33,9 PLT 384 x 103 445 x 103 251 x 103 KIMIA DARAH SGOT 39 47 SGPT 44 41 Ureum 62,6 13,6 Kreatinin 1.32 0,52 TKK Asam Urat DM GDS 116 GDP

Asam Urat HbA1c LIPID Kol. Tot LDL HDL Trigliserida Lain-lain Fe Serum TIBC LED I 50 CT BT Radiologi USG ABDOMEN (23 Oktober 2010) - Tampak 2 sol di hepar, I di lobus kanan, 4,44 x 4,78 cm dan II di lobus kiri 4 ,67 x 3,96 cm Kesan : - Hepatomegaly dengan abses hepar - Sub Ileus - Prostat enlarge USG ABDOMEN KONTROL (30 Oktober 2010) - Abses hepar, sol di lobus kanan 5,22 x 5,6 cm - Sol di lobus kiri 7 x 4,38 cm Kesan : - Abses mulai mencair dengan diameter cenderung membesar - Prostat membesar BNO 3 POSISI (23 Oktober 2010) Distribusi udara kolon bagian distal minimal Pelebaran lumen usus halus, lumen colon relatif normal Udara bebas subdiafragma (-) Psoas line dan preperitoneal fat line normal Kesan : Pelebaran usus halus (ileus obstruktif)

USG ABDOMEN (23 Oktober 2010)

USG ABDOMEN KONTROL (30 Oktober 2010) FOLLOW UP Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter 23/11/2010 T N P S : : : : 130/80 mmHg 86 x/i 28 x/i 36,70C

Pkl 17.00 Perawatan Hari I KU: Lemah S: nyeri perut (+), distensi abdomen (+), mual (+), muntah (-), demam (-), BAB ( +) 2x, flatus (+), BAK lancar O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepar sulit diidentifikasi, splenomegali (-), NT (+) di regio hipokondrium dextr a Peristaltik kesan menurun Ext: edema (-/-) USG: Abses hepar Subileus A: Abses hepar Susp. Ileus paralitik S: Nyeri perut (+) IVFD RL 28 tpm Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips RT: Sfingter : mencekik Mukosa : licin Handschoen : o Feses (+) warna kuning o Darah (-) o Lendir (-)

Ketorolac 1 amp/ekstra/drips 24/11/2010 T : 120/70 mmHg N : 88 x/i P : 24 x/i

S : 36,80C

Perawatan Hari II KU: Lemah S: nyeri perut (+), distensi abdomen (+), mual (+), muntah (-), demam (-), BAB ( +) 2x, flatus (+), BAK lancar O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepar sulit diidentifikasi, splenomegali (-), NT (+) di regio hipokondrium dextr a Peristaltik kesan menurun Ext: edema (-/-) A: Abses hepar Susp. Ileus paralitik IVFD RL 28 tpm Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips NGT dekompresi Anjuran: Pasang kateter Periksa elektrolit Foto BNO 3 posisi

25/11/2010 T N P S : : : : 160/80 mmHg 108 x/i 24 x/i 36,80C

Perawatan Hari III KU: Lemah S: nyeri perut (+), distensi adomen (+), mual (-), muntah (-), demam (-), BAB (+ ) 2x, flatus (+), BAK lancar O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepar sulit diidentifikasi, splenomegali (-), NT (+) di regio hipokondrium dextr a Peristaltik kesan menurun Ext: edema (-/-) BNO 3 posisi: pelebaran usus halus (ileus obstruktif) A: Abses hepar Ileus obstruktif parsial Hipertensi grade II Bedah: S: Nyeri perut Abdomen: Peristaltik (+) RT: Sfingter longgar, ampula kolaps IVFD RL:D5% = 2:1 D/: Ileus obstruktif parsial Stop intake oral Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Balance cairan Cito konsul ke bedah

28 tpm

IVFD RL 20 tpm Puasa (stop intake oral) Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV

Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Ranitidine 1 amp/8 jam/IV Stop ketorolac Cito laparotomi jika keluarga setuju Lain lain lanjut Pasang NGT untuk dekompresi Cor RL 2 kolf, lanjut maintenance 28 tpm EKG jika setuju operasi 26/11/2010 T:160/100 mmHg N : 88 x/i P : 24 x/i S : 36,90C

Perawatan Hari IV KU: Lemah S: nyeri perut (+) , distensi abdomen , mual (+), muntah (-), demam (-), BAB (+) 2x, flatus (+), BAK lancar O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepar sulit diidentifikasi, splenomegali (-), NT (+) di regio hipokondrium dextr a Peristaltik kesan menurun Ext: edema (-/-) A: Abses hepar Ileus obstruktif parsial Hipertensi grade II IVFD RL:D5% = 2:1 28 tpm Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Balance cairan 27/11/2010 T N P S :140/80 mmHg : 72 x/i : 24 x/i : 36,70C

Perawatan Hari V KU: Baik S: nyeri perut (-), demam (-) O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepar sulit diidentifikasi, splenomegali (-), NT (+) di regio hipokondrium dextr a Peristaltik kesan menurun Ext: edema (-/-) A: Abses hepar Ileus obstruktif parsial Hipertensi grade I AFF NGT Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Balance cairan 29/11/2010 T N P S :140/80 mmHg : 72 x/i : 24 x/i : 36,70C

Perawatan Hari VII KU: Baik S: nyeri perut (-), mual (-), muntah (-), demam (-), BAB biasa, flatus (+), BAK per kateter, warna seperti teh O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepatomegali (+) 2 jari BAC, NT (+) di regio hipokondrium dextra Peristaltik (+) kesan Ext: edema (-/-)

A: Abses hepar Hipertensi grade I IVFD NaCl 0,9%: D5%=1:1 Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Kontrol: Darah rutin, GOT, GPT, ureum, kreatinin USG abdomen 30/11/2010 T N P S :120/80 mmHg : 72 x/i : 24 x/i : 35,90C

28 tpm

Perawatan Hari VIII KU: Baik S: nyeri perut (-), demam (-), mual (-), muntah (-), BAB biasa, BAK lancar O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepatomegali (+) 2 jari BAC, NT (+) di regio hipokondrium dextra Peristaltik (+) kesan normal Ext: edema (-/-) A: Abses hepar IVFD NaCl 0,9%: D5%=1:1 Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Bladder training AFF kateter Konsul ke bedah dengan abses 1/12/2010 T N P S :130/80 mmHg : 80 x/i : 20 x/i : 36,20C 28 tpm

Perawatan Hari IX KU: Baik S: nyeri perut (+) kanan atas, demam (-), mual (-), muntah (-), BAB biasa, BAK l ancar O: SS/GK/CM Kep: Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-), VF simetris kiri kanan Cor: BJ I/II reguler Abd: cembung (+) ikut gerak napas Hepatomegali (+) 2 jari BAC, NT (+) di regio hipokondrium dextra Peristaltik (+) kesan normal Ext: edema (-/-) A: Abses hepar IVFD NaCl 0,9%: D5%=1:1 Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips Sementara konsul bedah Hasil lab belum ada 28 tpm

RESUME: Seorang laki laki, umur 58 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut s ebelah kanan atas yang dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak ter us menerus, memberat dalam 2 hari SMRS. Nyeri dirasakan di daerah perut kanan at as. Tidak menjalar. Nyeri bertambah saat batuk atau ditekan. Mual (+), muntah (+ ) frekuensi 1 kali, isi sisa makanan. Demam (-), riwayat demam (-) sesak (-), ba tuk (-), nyeri dada (-). BAB : riwayat kurang lancar + 2 hari SMRS, flatus (-), setelah diberi Dulcolax s upp di IGD, BAB 1 kali, flatus (+) BAK : lancar, warna pekat RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA : Riwayat DM (-) Riwayat hipertensi (-) Riwayat kencing batu (-) Riwayat konsumsi obat anti nyeri (-) Riwayat sakit kuning (-) Dari pemeriksaan fisis didapatkan gambaran umum: SS/GK/CM. Tanda vital: TD = 110 /80 mmHg, nadi: 86x/menit, pernapasan: 24x/menit, suhu: 36,7 0C. Pada pemeriksaa n abdomen, didapatkan kesan perut cembung (distended abdomen), NT (+) di regio h ipokondrium dextra, hepar sulit diidentifikasi, peristaltik kesan menurun. Dari pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya leukositosis dengan WBC 27,79 x 103/ul, dan peningkatan LED. Dari pemeriksaan foto BNO 3 posisi didapatkan kesan : Hepatomegaly dengan abses hepar, sub Ileus, dan prostat enlarge. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta peme riksaan penunjang lainnya, maka pasien didiagnosis dengan Abses Hepar. DISKUSI Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas. Banyak penyakit yang d apat menimbulkan nyeri perut kanan atas, antara lain abses hepar, pankreatitis, kolelitiasis, peritonitis, appendisitis, dan lain lain. Pada kasus ini, diketahu i bahwa pasien mengalami nyeri perut kanan atas yang terus menerus, bertambah be rat jika batuk dan ditekan. Pasien ini juga belum BAB sejak 2 hari yang lalu dan urine berwarna kuning pekat. Dari pemeriksaan fisis, khususnya pada abdomen did apatkan kesan perut cembung (distended abdomen), NT (+) di regio hipokondrium de xtra, hepar sulit diidentifikasi, peristaltik kesan menurun. Pada pemeriksaan la

boratorium didapatkan leukositosis, peningkatan LED dan fungsi hati (SGOT dan SG PT meningkat, walaupun tidak terlalu tinggi). Pada pemeriksaan radiologi: o Hasil foto BNO 3 posisi: Distribusi udara kolon bagian distal minimal, pelebar an lumen usus halus, lumen colon relatif normal, udara bebas subdiafragma (-), p soas line dan preperitoneal fat line normal, kesan : pelebaran usus halus (obstr uksi) o Hasil USG abdomen: Tampak 2 sol di hepar, I di lobus kanan, 4,44 x 4,78 cm dan II di lobus kiri 4,67 x 3,96 cm, kesan : Hepatomegaly dengan abses hepar, sub I leus, dan prostat enlarge. Sehingga pada pasien ini, diagnosis lebih diarahkan pada abses hepar. selain pem eriksaan laboratorium yang telah dilakukan, ada beberapa pemeriksaan yang belum dilakukan yang dapat mendukung diagnosis, di antaranya pemeriksaan alkali fosfat ase, PT & aPTT, kadar bilirubin, kadar albumin. Selanjutnya, pemeriksaan yang me njadi baku emas untuk penegakan diagnosis abses hepar adalah melalui kultur dara h yang memperlihatkan bakteri penyebab.2 Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab seperti Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa ditemukan.2 Namun, pemerik saan ini sulit dilakukan karena pengambilan pus dari hepar akan sangat menyakitk an bagi pasien, jadi penegakan diagnosis hanya didasarkan pada anamnesis, pemeri ksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium serta radiologi. Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat peningkatan e nzim enzim hati (SGOT, SGPT) yang menunjukkan telah terjadinya gangguan hepar. L eukositosis sendiri muncul sebagai akibat dari reaksi inflamasi dari infeksi. Pa da pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada hipokondrium dextra, hal ini disebab kan oleh peregangan kapsula Glison pada hepar sebagai akibat adanya abses. Pengobatan pada pasien dilakukan dengan pemberian infus NaCl 0,9%: D5%=1:1 28 tpm sebagai penyeimbang elektrolit, diberikan juga dextrose karena nafsu makan pasi en menurun. Pada pemberian antibiotik diberikan Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV dan Metronidazole 0,5 gr/ 8 jam/ drips sebagai antibiotik spektrum luas untuk kuman negatif gram dan untuk coccus gram positif (ceftriaxone) dan untuk bakteri anaer ob dan amebisid jaringan (metronidazole

Anda mungkin juga menyukai