Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Pembangunan Indonesia yang telah dan akan dilaksanakan saat ini, dilakukan

melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi maju yang telah mampu menghasilkan peluang kerja sehingga diharapkan dapat meningkatkan status sosial ekonomi keluarga dan masyarakat. Hal ini akan berhasil jika berbagai resiko yang akan mempengaruhi kehidupan pekerja, keluarga dan mayarakat dapat diantisipasi. Berbagai resiko tersebut adalah kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan pekerjaan dan kecelakaan kerja yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak dengan cara penyesuaia antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomik (Cermin Dunia Kedokteran, 2002). Perkembangan industri Indonesia saat ini berlangsung dengan pesat, baik industri formal maupun industri rumah tangga, pertanian dan perkebunan, hal ini akan menimbulkan lapangan kerja baru dan menyerap tenaga kerja yang diperkirakan setiap tahunnya 70-80% pekerja diserap oleh sektor informal (Cermin Dunia Kedokteran,2009). International Labour Organization (ILO) tahun 2002 melaporkan bahwa bahwa setiap tahun dua juta orang meninggal dunia dan terjadi 160 juta kasus PAK/PHAK serta 270 juta kasus kecelakaan akibat kerja. Kejadian ini

mengakibatkan dunia mengalami kerugian setara dengan 1,25 triliun dolar atau 4 % GNP. Dari 27 negara yang dipantau oleh ILO, Indonesia menempati urutan ke-26 dalam kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (OSHA,2007).

Menurut NIOSH (1997) yang dimaksud dengan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dan jaringan halus sistem Muskuloskeletal yang mencakup sistem syaraf, tendon, otot dan struktur penunjang seperti Discus Intervetebral. MSDs dapat berupa peradangan dan penyakit degenerative yang menyebabkan melemahnya fungsi tubuh. MSDs memiliki nama lain seperti Repetitive Strain Injury, Repetitive Motion Injury, Commulative Trauma disolders, Occupation Cervicosceletal disolders, Overuse Sindrome dan lain (Canada, OH&S, 2005). Banyak studi telah menunjukkan bahwa MSDs merupakan masalah penting dalam K3 (lhflna, 2008). Di Inggris, MSDs masih merupakan penyakit akibat kerja yang menduduki peringkat teratas dalam beberapa tahun ini. Dalam kurun waktu 2007-2009 diperkirakan pekerja yang mengalami MSDs sebesar 539.000 pekerja yang disebabkan oleh pekerjaan mereka saat ini dan pekerjaan mereka 12 bulan sebelumnya (hse,2009). Menurut Goetsch (2005) seperti yang dikutip oleh Yulianandi (2009), cidera otot yang merupakan salah satu dari jenis MSDs dapat terjadi jika tubuh melakukan kegiatan secara berlebihan dan penyalahgunaan secara terus menerus. Setiap tahunnya terdapat kira-kira 46.000 kasus Back Injuries di tempat kerja. Sebuah fakta menunjukkan bahwa setiap tahunnya nilai kompensasi pekerja untuk Back Injuries/cidera otot mencapai 12 milyar dolar. Selain kerugian material, Back Injuries/cidera otot juga mengakibatkan kehilangan waktu kerja sebanyak 100 juta hari setiap tahunnya. Sedangkan di Indonesia, berdasar Yasierilli (2008) seperti yang dikutip oleh Mega Octarisa (2009), hasil Studi Departemen Kesehatan tentang profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 40.5% penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya, gangguan kesehatan yang dialami

pekerja menurut studi yang dilakukan terhadap 428 pekerja di 12 kabupaten/kota di Indonesia, umumnya berupa MSDs (16%), kardiovaskuler (8%), gangguan syaraf (6%), gangguan pernafasan (3%), dan gangguan THT (1.5%). Hasil studi laboratorium pusat studi kesehatan dan Ergonomi ITB pada tahun 2006-2007 diperoleh data bahwa sebanyak 40-80% pekerja melaporkan mengalami gejala MSDs setelah bekerja. Dengan memahami pentingnya aspek ergonomi ini, setiap perusahaan sudah seharusnya melakukan evaluasi secara integrativ untuk menilai sejauh mana kecocokan rancangan sistem kerja yang ada ( termasuk pekerjaan itu sendiri) dengan pekerjanya. DiIndonesia pekerjaan menjahit merupakan pekerjaan yang ditekuni oleh banyak orang, baik individu maupun usaha konveksi. Kelompok pekerja ini sering mengalami keadaan postur yang kaku dan beban otot yang statis akibat tugas yang berulang-ulang dengan kecepatan produksi yang tinggi (INASEA, 2004). Stasiun kerja merupakan bagian yang penting bagi sebuah industri. Dengan stasiun kerja yang ergonomis maka pekerja dapat bekerja dengan aman, nyaman dan produktif. Sebaliknya apabila stasiun kerjanya tidak ergonomis maka akan timbul postur-postur yang tidak benar, sehingga performance kerja pekerja tersebut akan menurun, tidak efektif dan efisien. Hal ini disebabkan karena postur tersebut dapat menyebabkan kelelahan dan penyakit-penyakit akibat kerja seperti MSDs yang lebih cepat dibandingkan dengan kondisi yang ergonomis (hse,2001). Hal yang sama juga berlaku pada pekerja yang berprofesi sebagai penjahit pakaian, dimana stasiun kerja memberikan kontribusi yang sangat besar pada kejadian-kejadian penyakit akibat kerja seperti MSDs, lowback pain dan lain-lain. Oleh Karena itu, stasiun kerja memerlukan perhatian yang khusus sebagai salah satu upaya untuk mencegah berbagai penyakit akibat kerja dan meningkatkan

performance kerja. Stasiun kerja yang digunakan oleh penjahit pakaian yang ada dikampong Baru Kecamatan Baiturahman Pada umumnya sangat tidak ergonomis. Kursi dan meja kerja yang merupakan perangkat stasiun kerja yang mereka gunakan adalah yang biasa didapati bebas di pasar, dengan tanpa proses pengukuran antropometri tubuh terlebih dahulu, sehingga berisiko menyebabkan penyakitpenyakit akibat kerja seperti MSDs sehigga menurunkan produktifitas kerja.

1.2.

Rumusan Masalah Stasiun kerja merupakan aspek yang paling besar kontribusinya dalam

membentuk postur/sikap tubuh ketika bekerja. Oleh karena postur/sikap kerja yang tidak normal ketika melakukan pekerjaan, maka akibatnya adalah pekerja tersebut akan mengalami penyakit akibat kerja atau penyakit akibat hubungan kerja. Efek yang paling merugikan yang akan dialami oleh pekerja itu sendiri adalah menurunnya produktifitas kerja. Mengingat pekerjaan penjahit pakaian tersebut merupakan pekerjaan yang berulang-ulang (repetitive) dan dilakukkan sambil duduk, maka stasiun kerja yang mereka gunakan seperti meja dan kursi kerja serta waktu kerja sangat berpengaruh terhadap munculnya keluhan-keluhan sakit pinggang, punggung dan lain-lain yang secara umum dikenal dengan istilah MSDs.

1.3.

Ruang Lingkup Penelitian Mengingat keterbatasan penelitian yang ada, maka penelitian ini hanya

menganalisis Risk Factor MSDs yang diakibatkan oleh workstation (meja dan kursi kerja) dan waktu kerja (durasi) pada penjahit pakaian di Desa Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh ketika melakukan pekerjaan.

1.4.

Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana stasiun kerja penjahit dan waktu kerja/durasi dapat berpengaruh terhadap risiko Musculoskeletal Disolders (MSDs) pada penjahit pakaian di Desa Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh Tahun 2010.

1.4.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui design workstation yang ada seperti meja dan kursi kerja yang digunakan dan hubungannya dengan postur/sikap kerja. 2. Merekomendasikan suatu stasiun kerja yang ergonomis bagi penjahit berdasarkan indeks antropometri.

1.5.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Disnakertrans Pemko Banda Aceh dan Pemprov pemerintahan Aceh dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan keselamatan kerja, 2. Sebagai masukan kepada masyarakat tentang pentingnya penerapan ilmu kesehatan Kerja (K-3) dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. 3. Sebagai referensi bagi perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Muhammadiyah Aceh.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.

Ergonomi Terbentuk dari beberapa disiplin ilmu yang muncul pertama kali pada

pertemuan British Admiralty tahun 1949, disebut Human Research Group, yang fokus pada masalah pekerja di tempat kerja. Kemudian pada tahun 1950, ilmuan Inggris untuk pertama kalinya menggunakan istilah Ergonomi. Ergonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ergon yang artinya kerja dan nomos yang berarti peraturan atau hukum. (Anonymous, 1995). Jadi pengertian dan istilah Ergonomi dalam hukum atau peraturan yang berkaitan dengan kerja. Ergonomi mendapat sambutan yang berbedabeda, dibeberapa Negara seperti Amerika Utara, ilmu ergonomi disebut Human Factor atau Human Engineering, sedangkan di Negara-negara Skandinavia ergonomi disebut sebagai Bioteknologi (Sumaamur, 1996).

2.1.1. Definisi Ergonomi International Labour Organization (ILO) mendefinisikan ergonomi sebagai berikut : ergonomi adalah penerapan ilmu Biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian bersama antara pekerjaan dengan manusia secara optimum dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan (Cermin Dunia Kedokteran, 2007). Ergonomi dapat pula diartikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia didalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain/perancangan (Nurmianto, 2003). Dalam penerapannya, ergonomi juga dipelajari cara-cara penyesuaian pekerjaan, alat kerja dan lingkungan kerja dengan manusia, dengan memperhatikan kemampuan dan
6

keterbatasan manusia itu sehingga mencapai suatu keserasian antara manusia dan pekerjaannya yang akan meningkatkan kenyamanan kerja dan produktivitas kerja (Cermin Dunia Kedokteran, 2007). Usaha ergonomi dalam kesehatan kerja bertujuan untuk mendapatkan cara, sikap, alat dan lingkungan kerja, selamat, aman dan nyaman, sehingga mencapai daya guna dan hasil guna. Didalam usaha tersebut berpijak kepada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia dengan menserasikan pekerjaan dalam arti luas terhadap manusia, paling sedikit mengatur pekerjaan tersebut berada dalam batas-batas

dimana manusia bisa mentolerir tanpa menimbulkan kelainan-kelainan (Depkes, 2004).

2.1.2. Ruang Lingkup Ergonomi Ergonomi berkembang dari berbagai bidang ilmu yang berbeda antara lain, ilmu Anatomi dan kedokteran, Fisiologi dan Psikologi serta ilmu Fisika dan Tehnik. Masing-masing ilmu tersebut sangat berperan dalam membentuk ilmu ergonomi yang bertujuan untuk menyesuaikan pekerjaan terhadap pekerja. Ilmu Annatomi dan Faal memberikan pengetahuan tentang struktur tubuh manusia, kemampuan dan keterbatasan tubuh manusia, dimensi tubuh dan kekuatan tubuh dalam mengangkat dan menerima tekanan fisik. Psikologi faal memberikan gambaran terhadap fungsi otak dan system persyarafan dalam kaitannya dengan tingkah laku, sementara eksperimental untuk memahami cara mengambil sikap, mempelajari serta mengendalikan sistem motorik. Sedangkan Ilmu fisika dan Tehnik menyediakan informasi mengenai system desain dan lingkungan dimana manusia bekerja (Oborne, 1995).

FISIOLOGI

ANATOMI

PSIKOLOGI

Ergonomi

ENGINEERING DESAIN

MANAGEMEN

Gambar 2.1 Ruang Lingkup Ergonomi Terkait Dengan Ilmu Lainnya

Manusia merupakan titik sentral dari ilmu ergonomi, keterbatasan manusia menjadi pedoman dalam merancang produk yang ergonomis. Oleh sebab itu, tujuan dari ergonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental manusia melalui upaya pencegahan cidera, penyakit akibat kerja, menurunkan beban fisik dan mental, serta mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

2.1.3. Prinsip Ergonomi Fokus ergonomi mencakup tiga komponen utama, yaitu : manusia, mesin dan lingkungan yang saling berinteraksi antara satu dan lainnya. Interaksi tersebut menghasilkan sistem kerja yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yang dikenal dengan istilah Worksystem. Interaksi antara ketiga komponen tersebut harus mempertimbangkan manusia sebagai pusat dalam Ergonomi, sehingga harus mempertimbangkan keterbatasan manusia. Keterbatasan itu, dipengaruhi oleh aspek-aspek manusia itu sendiri; seperti ukuran dan bentuk tubuh, kebugaran dan kekuatan, postur, indra, tekanan dan tegangan otot, rangka dan syaraf dan aspek
8

psikologis seperti; kemampuan mental, kepribadian, pengetahuan dan pengalaman. (hse.gov.uk, 2009). Dalam penerapannya secara lebih meluas, ergonomi juga mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut: 1. Pekerjaan yang dilakukan dan tuntutannya terhadap pekerja, 2. Peralatan yang digunakan (ukuran, bentuk dan kesesuaiannya dengan pekerjaan) 3. Informasi yang digunakan (bagaimana informasi tersebut disampaikan, diakses dan diubah), 4. Lingkungan fisik (temperature, pencahayaan, kebisingan, getaran, dll), 5. Lingkungan social (seperti kerja tim dan dukungan manajemen) (hse.gov,2009). Secara umum, tujuan dari penerapan ergonomic adalah untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan pekerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.

2.2.

Musculoskeletal Disorders (MSDs) Menurut NIOSH (1997) seperti yang dikutip oleh Mega Octarisya (2009),

yang dimaksud dengan MSDs adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus sistem musculoskeletal yang mencakup system syaraf, tendon, otot dan struktur penunjang seperti discuse inrervetebral. MSDs dapat berupa peradangan dan penyakit degenerative yang menyebabkan melemahnya fungsi tubuh. MSDs memiliki nama lain, seperti repetitive strain injuries, repetitive motion injuries, comullative trauma disolders, occupation cervicalkeletal disorders, overuse syndrome, dan lain-lain. MSDs adalah cidera pada otot, syaraf, tendon dan ligament, sendi, kartilago, atau Spinac Disk. MSDs tidak muncul secara spontan atau langsung melainkan butuh
9

waktu yang lama dan bertahap sampai muncul gangguan muskuluskeletal mengurangi kemampuan tubuh manusia dengan menimbulkan rasa sakit. MSDs menjadi suatu masalah karena: 1. Waktu kerja yang hilang umumnya disebabkan oleh karena penyakit otot rangka, 2. MSDs terutama yang berhubungan dengan punggung merupakan masalah penyakit akibat kerja yang penangganannya membutuhkan biaya yang tinggi, 3. MSDs menimbulkan rasa sakit yang amat sangat sehingga membuat pekerja menderita dan menurunnya produktivitas kerja, 4. Penyakit MSDs bersifat multikausal, sehingga sulit untuk menentukan proporsi yang semata-mata akibat hubungan kerja.

2.3.

Gangguan Kesehatan MSDs Pada Tiap Bagian Tubuh Macam-macam gejala kesehatan dirasakan pekerja disebabkan oleh faktor

risiko MSDs yang memajan tubuhnya. Tiap bagian tubuh memiliki resiko ergonomi dan gangguan kesehatan yang dapat mengakibatkan melemahnya fungsi tubuh dan penurunan kinerja pekerja. Bagian-bagian tubuh seperti tangan, leher, bahu, punggung, dan kaki merupakan bagian tubuh yang paling sering digunakan pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Berikut ini adalah beberapa jenis cidera yang mungkin dialami pekerja dalam pekerjaannya (NIOSH, 2007): a. Cidera pada tangan, Cidera pada tangan, pergelangan tangan dan siku, biasanya disebabkan oleh pekerjaan tangan yang intensif sehinggga memungkinkan terjadinya postur jungkal pada tangan dengan durasi yang lama, pergerakan yang berulang, dan tekanan dari peralatan/material kerja. Sembilan belas studi menyatakan bahwa pekerjaan repetitiv berpengaruh pada cidera pada tangan dan pergelangan tangan misalnya CTS (Bernet
10

et al, 1997). Penelitian dari Chiang (1993) seperti yang dikutip oleh Mega Octarisya (2009), pada tiga grup pekerja menyimpulkan bahwa prevalensi CTS ditemukan sebesar 14,5% sebagai gerakan awal dari pergerakan repetitive yang dilakukan pekerja. Tendinitis, peradangan (pembengkakan) atau iritasi pada tendon, biasnya terjadi pada titik dimana otot melekat pada tulang. Keadaan tersebut akan semakin berkembang ketika tendon terus menerus digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang tak biasa seperti tekanan yang kuat pada tangan, pembengkokan pergelangan tangan selama berjam-jam, atau menggerakkan pergelangan tangan secara berulang. Jika ketegangan otot ini terus menerus berlangsung, akan menyebabkan tendinitis. Carpal Turnel Sindrom (CTS), penekanan yang terjadi pada syaraf tengah yang terletak pada pergelangan tangan yang dikelilingi jaringan dan tulang. Penekanan tersebut disebabkan oleh pembengkakan dan iritasi dari tendon dan lapisan penyelubung tendon. CTS biasanya ditandai dengan gejala seperti rasa sakit pada pergelangan tangan, parasaan tidak nyaman pada jari-jari, dan mati rasa/kebas. CTS dapat menyebabkan sulitya seseorang menggenggam sesuatu pada tanggannya. Tringger Fingger, tekanan yang berulang pada jari ( pada saat menggunakan alat kerja yang memiliki pelatuk), dimana penekanan tendon secara terus menerus hingga ke jari-jari dan mengakibatkan rasa sakit, dan tidak nyaman pada bagian jari-jari. Epicondylitis, merupakan rasa nyeri atau sakit pada bagian siku. Rasa sakit ini berhubungan dengan perputaran ekstrim pada lengan bawah dan

11

pembengkokan pada pergelangan tangan. Kondisi ini juga biasa Tennis Elbow atau Golfers Elbow. Hand-Arm Vibration Sindrome (HAVS). Cidera akibat perggunaan tangan, pergelangan tangan dan lengan pada peralatan kerja yang memiliki getaran, vibrasi. Menggunakan peralatan yang memiliki vibrasi secara terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya gejala-gejala antara lain jari-jari pucat, prasaan geli dan mati rasa/kebas. b. Cidera pada Bahu dan Leher Pekerjaan dengan melibatkan bahu memiliki kemungkinan besar dalam menyebabkan cidera pada bagian tubuh tersebut. Beberapa postur bahu seperti merentang lebih dari 450 atau mengankat bahu keatas melebihi tinggi kepala. Durasi yang lama dan gerakan yang berulang-ulang juga mempengaruhi kesakitan pada bahu. Terdapat hubungan yang positif antara pekerjaan yang repetitive dengan MSDs pada bahu dan leher, studi lain yang menyatakan bahwa kejadian cidera bahu juga disebabkan oleh eksposur dengan postur janggal dan beban yang diangkat (Bernat et al, 1997). Buritis, peradangan atau pembengkakan/iritasi yang terjadi pada jaringan ikat yang berada disekitar persendian. Penyakit ini disebabkan oleh karena posisi bahhu yang janggal seperti mengangkat bahu ketas kepala dan bekerja dalam jangka waktu yang lama . Tension Neck Sindrome, gejala ini terjadi pada leher yang otot-ototnya mengalami ketegangan yang disebabkan oleh postur leher yang menengadah keatas dalam jagka waktu yang lama. Sindroma ini mengakibatkan kekakuan pada otot leher, kejang otot, dan rasa sakit yang menyebar kebagian leher. c. Cidera pada Punggung dan Lutut

12

Dibeberapa jenis pekerjaan, dibutuhkan pekerjaan lantai atau mengangkat beban yang menyebabkan sakit pada punggung bagian bawah atau bagian lutut, jika dilakukan dalam jangka waktu yang lama atau continue yang menyebabkan masalah yang serius pada otot dan sendi (NIOSH,2007). Menurut Ablett (2001) seperti yang dikutip oleh Santoso (2004), terdapat 80% orang dewasa mengalami nyeri pada bagian tulang belakang (back pain) karena berbagai sebab dan kejadian, back Pain ini mengakibatka lebih dari 40% orang tidak masuk kerja. Low Back Pain, cidera pada bagian otot-otot tulang punggung dikarenakan otot-otot tulang belakang mengalami perenggangan jika postur tubuh membungkuk. Diskus (disk) mengalami tekanan yang kuat dan menekan juga bagian dari tulang belakang termasuk syaraf. Apabila postur membungkuk ini berlangsung terus menerus, maka diskus akan melemah yang pada akhirnya menyebabkan putusnya diskus (disk Ruture) atau biasa disebut herniation. Penyakit Mosculokceletal yang terdapat dibagian lutut berkaitan dengan tekanan pada cairan diantara tulang dan tendod. Tekanan yang terus menerus akan mengakibatkan cairan tersebut (bursa) tertekan, membengkak, kaku, dan meradang atau yang disebut bursitis. Tekanan yang dari luar ini juga menyebabkan tendon pada lutut meradang yang akhirnya menyebabkan sakit.

2.4.

Faktor Risiko MSDs Terkait Ergonomi Didalam buku International Ensiclopedia Of Ergonomic And Human Factor,

dibahas mengenai faktor risiko MSDs yang berdasarkan analisa sebelumnya dari Kaurikal Et al (1995), Hale and Bernard (1996) dan NIOSH (1997) disimpulkan bahwa faktor resiko terjadinya MSDs terkait dapat disebabkan oleh Physical Factor, human factor, Psicosocial/work organization factor dan work station.

13

2.4.1. Phisical Factor 2.4.1.1.Job/Task Characteristic Pekerjaan fisik yang dilakukan dalam pekerjaan berhubungan dengan kapasitas otot pada tubuh pekerja. Kerja otot tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan, berikut ini adalah beberapa jenis pekerjaan yang terdapat ditempat kerja; a. Pekerjaan statis Permasalahan dalam pekerjaan statis dapat timbul dikarenakan postur/sikap kerja yang tidak sesuai atau posisi yang diam dalam waktu yang lama sehingga bagian tubuh merasakan stress. Perlu kita sadari, melakukan pekerjaan dengan postur apapun dalam jangka waktu yang lama dapat menyababkan ketidak efisiensi pekerjaan tersebut. Tiga puluh tiga studi dilakukan dibeberapa industri untuk mencari hubungan antara postur statis dengan kejadian MSDs leher dan bahu, hasilnya 27 studi yang menyatakan bahwa postur statis dan MSDs leher dan bahu mempunyai hubungan yang signifikan (Bernard et al, 1997). b. Pekerjaan dinamis Meskipun gerakan sangat penting untuk mencegah masalah pekerjaan statis, khususnya dalam menanggani beban yang berat, ternyata hal tersebut juga dapat menimbulkan masalah pada kesehatan dan kinerja, seperti pada saat mengangkat, membawa, mendorong dan menarik beban. Masalah pada pekerjaan dinamis dapat terjadi karena: - penggunaan energi yang berlebihan - pekerjaan mengangkat dan menanggani beban. 1. Postur Tubuh/Sikap kerja Menurut Phesant (1991), postur yang baik ketika bekerja adalah postur yang

14

mengandung tenaga otot statis paling minimum atau secara umum dapat dikatakan bahwa variasi dari postur pada saat bekerja lebih baik dibandingkan dengan satu postur saja saat bekerja. Kenyamanan melakukan postur yang janggal saat bekerja dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat berdampak pada pergerakan atau pemendekan jaringan lunak dan otot. Postur janggal adalah postur yang menyimpang secara signifikan dari postur normal saat melakukan pekerjaan (Department Of EH&S,2002). Bekerja dalam postur janggal dapat meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk bekerja. Posisi janggal menyebabkan kondisi dimana transfer tenaga dari otot kejaringan rangka tidak efisien sehingga mudah menimbulkan lelah. Termasuk kedalam postur janggal adalah pengulangan atau waktu lama dalam menggapai, berputar (Twisting). Memiringkan badan, berlutut, jongkok, memegang dalam kondisi statis, dan menjepit dengan tangan. Postur ini melibatkan beberapa anggota tubuh seperti bahu,

punggung dan lutut, karena bagian inilah yang sering mengalami cidera (Straker,2000). Berikut ini adalah postur yang berisiko dalam bekerja berdasarkan BRIEF survey dari Humanitech.Inc. a. Postur tangan dan pergelangan tangan Postur normal atau netral pada tangan dan pergelangan tangan dalam melakukan proses kerja adalah dengan posisi sumbu lengan terletak satu garis lurus dengan jari tengah. Apabila sumbu tangan tidak lurus tapi menggarah ke berbagai posisi, maka dapat dikatakan posisi tersebut janggal dan tidak netral. Beberapa contoh posisi tangan yang tidak netral adalah sbb: Pinc Grip Finger Press

15

Deviasi ulnar dan radial, yaitu posisi tangan yang menjauhi obu jari dan defiasi radial adalah posisi tangan yang mendekati ibu jari.

Fleksi dan ekstensi, yaitu posisi pergelangan tangan yang menekuk kedalam dan membentuk sudut 450. Sedangkan ekstensi berlawanan dengan flexible.

Power Grip. b. Postur siku Posisi janggal pada siku terjadi jika bagian bawah tangan (dari siku sampai jari) melakukan gerakan memutar/rotasi. c. Postur bahu Bahu termasuk posisi berisiko apabila posisi mengangkat pada bahu membentuk sudut sebesar 450 dari atas vertical sumbu tubuh, baik kesamping tubuh maupun kearah depan tubuh posisi ini biasanya dilakukan pekerja jika posisi objek pekerjaannya jauh berada didepan atau disamping tubuh pekerja. Selain itu postur tubuh yang janggal apabila bahu melewati garis vertical sumbu tubuh . pekerja melakukan pekerjaan ini apabila objek pekerjaannya ada dibelakang seperti menarik benda yang ada dibelakang tubuhnya. d. Postur leher Menunduk, postur janggal pada leher jika posisi menunduk membentuk sudut 200 dari garis vertical dengan ruas tulang leher. Posisi menunduk dilakukan pekerja jika objek yang sedang dikerjakan berada lebih dari 200 dibawah pandangan mata, sehingga pekerja harus menundukkan kepala untuk melihat objek tersebut. Miring (sideway), setiap gerakan dari leher yang miring, baik kekanan maupun kekiri, tampa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vertical dengan sumbu dari ruas tulang leher.

16

Kearah belakang/mendongak, posisi leher deviasi kearah belakang, yang nyata pada postur leher. Setiap postur dari leher yang tengadah tampa melihat besarnya sudut yang terbentuk oleh garis vertical dengan sumbu ruas tulang leher.

Memutar (twisted), postur leher yang berputar baik kearah kanan maupun kiri, tampa melihat sudut rotasi yang diciptakan.

e. Postur punggung Membungkuk, merupakan gerakan atau posisi tubuh kearah depan sehingga antara sumbu badan bagian atas akan membentuk sudut 200 dengan garis vertical. Miring (sideway), yaitu defiasi bidang median tubuh dari garis vertical pada punggung tampa mempertimbangkan besarnya sudut yang dibentuk. Memutar, yaitu posisi punggung yang memutar baik kekanan maupun kekiri dimana garis vertical menjadi sumbu tampa memperhitungkan derajat rotasi yang dibentuk. f. Postur kaki Postur janggal pada kaki antara lain jongkok. Pekerja yang melakukan pekerjaannya sambil menjongkok, biasanya objek yang dikerjakannya berada dibawah horizontal tubuh. Posisi lain yaitu, posisi berdiri dengan bertumpu pada satu kaki, dan kaki lainnya tidak dibebankan. 2. Beban Pembebanan fisik yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan pada musculoskeletal tubuh. Pembebanan fisik yang diperkenankan adalah yang tidak melebihi 30-40% dari kemampuan kerja maksimum dalam 8 jam sehari dengan memperhatikan peraturan-peraturan kerja yang berlaku. Semakin berat beban, maka semakin singkat waktu pekerjaan (Sumaamur,1989). Beban dapat diartikan sebagai
17

beban muatan (berat) dan kekuatan pada struktur tubuh. Satuan beban dinyatakan dengan Newton dan Pounds atau dinyatakan sebagai satuan proporsi dari kapasitas kerja maksimum individe (NIOSH,1997). 3. Waktu Kerja (Duration) Durasi merupakan jumlah waktu dimana pekerja terpajan oleh faktor resiko. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara meningkatnya level/durasi paparan dengan meningkatnya kasus MSDs pada leher (NIOSH,1997). Lamanya waktu kerja (durasi) berkaitan dengan kedaan fisik tubuh pekerja. Pekerjaan fisik yang berat akan mempengaruhi kerja otot, kardiovaskular, system pernafasan dan lain-lainnya. Jika pekerjaan dalam jangka waktu yang lama dan tampa istirahat, kemampuan tubuh akan menurun dan dapat menyebabkan kesakitan pada anggota tubuh (Bird,2005). 4. Frekuensi Frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gerakan yang dilakukan dalam satu periode waktu tertentu. Jika aktivitas pekerjaan dilakukan secara berulang-ulang maka disebut sebagai gerakan repetitive. Gerakan repetitive pada pekerjaan, dapat dikateristikkan baik sebagai kecepatan gerakan tubuh, atau dapat diperluas sebagai gerakan yang dilakukan secara berulang-ulang tampa ada gerakan variasinya. Postur tubuh yang salah dengan gerakan yang berulang, dapat menyebabkan suplai darah berkurang, akumulasi asam laktat, inflamasi, tekanan pada otot, dan trauma mekanis. Frekuensi terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan beberapa kali terjadi repetitive motion dalam melakukan pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terus menerus tampa memperoleh kesempatan untuk relaksasi (Bridge, 1995).

18

Dalam humantech (1995) seperti yang dikutip oleh Mega Octarisa (2009), posisi tangan berisiko apabila dilakukan gerakan yang berulang-ulang sebanyak 30 kali dalam satu menit dan sebanyak 2 kali dalam satu menit untuk anggota tubuh yang lain seperti bahu, leher, punggung dan kaki.

2.4.1.2. Object Characteristic Karakteristik objek yang menjadi faktor resiko MSDs adalah sebagai berikut: a. Berat objek Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat adalah 23-25% kg. mengangkat beban yang terlalu berat akan menyebabkan tekanan pada discus pada tulang belakang (deformitas discus). Deformitas discus menyebabkan derajat kurvatur lumbar lardosis berkurang sehingga pada akhirnya menyebabkan tekanan pada jaringan lunak. Selain itu, beban yang berat juga mengakibatkan kelelahan karena dipicu oleh tekanan pada discus intervetebra (Bridger,1995). b. Berat dan bentuk objek Ukuran dan bentuk objek juga ikut mempengaruhi gangguan otot rangka. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedikit mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar dapat membebani otot pundak dan bahu lebar lebih dari 300400 mm, panjang lebih dari 350 mm dan ketinggian lebih dari 450 mm. sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan dingin atau panas ketika diangkat. Mengangkat objek tidak hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan dari otot jari terbatas, sehingga terjadi cidera pada jari.

19

2.4.1.3. Environment Characteristic Salah satu faktor resiko lingkungan adalah getaran/vibrasi. Vibrasi dapat menyebabkan gangguan pada fungsi aliran darah pada ekstremitas yang terpapar bahaya vibrasi. Gangguan dikenal dengan nama Raynould Desease. Penyakit ini menyebabkan kerusakan syaraf tepi. Menggunakana alat-alat tipe tumbuk dan ketuk seperti kunci inggris, pelepas karpet, gergaji mesin dan lain sebagainya.

2.4.2. Human Factor 2.4.2.1. Antropometri Antropometri menurut Stevenson (1989) dan Nurmianto (1991) merupakan kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia seperti ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan data tersebut unntuk penangganan masalah perancangan. Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai rata-rata dan standar deviasi dari suatu distribusi normal. Menurut Manuaba (1996) seperti yang dikutip oleh Purwati (2004), antropometri merupakan ilmu yang berhubungan dengan dimensi-dimensi tubuh manusia. Dimensi disini dibagi menjadi dua kelompok statistik dan persentil. Jika seratus orang berdiri dari yang kecil sampai yang terbesar, dalam suatu ukuran atau urutan, hal ini akan bisa diklasifikasikan dari satu persentil sampai seratus persentil. Lelaki 2,5 persentil berarti bahwa desain tersebut berdasarkan seri dari dimensi yang berkisar 2,5% dari system yang digunakan dalam suatu populasi. Jadi 50 persentil berarti bahwa 50% dari populasi akan cocok dengan system yang berdasarkan pengukuran-pengukuran ini. Hal ini sudah tentu termasuk juga 2,5 persentil. Agar dimensi ini nantinya akan cocok dengan dimensi tubuh manusia yang akan menggunakannya, maka prinsip-prinsip yang harus diambil dalam aplikasi data antropometri tersebut ditetapkan lebih dahulu. Seperti prinsip perancangan produk
20

dengan ukuran tubuh ekstrem, dimana rancangan produk dibuat agar dapat memenuhi dua sasaran produk, yaitu: pertama dapat sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrem dalam arti terlalu besar atau terlalu kecil bila dibandingkan dengan ukuran rata-rata, dan tetap dapat digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain, yaitu mayoritas dari populasi yang ada. Secara umum aplikasi data antropometri untuk perancangan produk atau fasilitas kerja akan menetapkan nilai persentil 95 untuk dimensi minimum dan persentil 5 untuk dimensi maksimum. Kedua perancangan produk yang dapat dioperasikan diantara rentang ukuran tertentu (design for adjustable range). Rancangan pada prinsip ini dapat diubah ukurannya secara fleksibel untuk dioperasikan oleh seseorang yang memilki berbagai macam ukuran tubuh. Dalam kaitannya dengan memperoleh rancangan yang flexible, maka data antropometri yang umum diaplikasikan adalah dalam rentang nilai persentil 5 sampai dengan persentil 95. Ketiga, prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata. Dalam hal ini ukuran rancangan produk didasarkan pada rata-rata ukuran tubuh manusia (Sanders,1991). Besarnya nilai persentil dapat dilihat pada table berikut: Table 2.1 Perhitungan Persentil PERSENTIL KALKULASI 1 -2,235 2,5 -1,960 5 -1,645 10 -1,280 50 90 +1,280 95 +1,645 97,5 +1,960 99 +2,235 (Sumber : Sritomo Wignjosoebroto,2000) Antropometri posisi duduk terpenting yang harus diukur adalah tinggi lutut, lipat tulang punggung, tinggi duduk, lipat lutut telapak kaki, dan panjang lengan

21

bawah dan lengan (Santoso, 2004). Sebuah kursi yang secara antropometri benar, belum tentu nyaman. Jika rancangan suatu sikap duduk tidak memperhatikan sama sekali hal-hal yang berkenaan dengan dimensi-dimensi manusia dan besar tubuhnya, tidak aneh bila rancangan tersebut tidak nyaman (Panero dan Zelnik, 1978). Data antropmetri diterapkan untuk membahas dan merancang barang serta fasilitas secara ergonomis, agar terdapat didapat kepuasan baik dari si pengguna jasa (masyarakat) maupun pemberi jasa produksi. Kepuasan tersebut dapat berupa kenyamanan maupun kesehatan yang ditinjau dari sudut pandang ilmu anatomi, fisiologi, psikologi, kesehatan dan keselamatan kerja, perancangan dan manajemen (Pulat,1992).

2.4.3.

Faktor Stasiun Kerja/peralatan (Workstation) Yang termasuk kedalam kategori workstation adalah semua perangkat yang

dipakai yang berhubungan dengan pekerjaan seperti meja kerja, kursi kerja, dan lainlain sebagainya. Dalam penelitian ini, workstation yang diteliti adalah meja dan kursi kerja.

2.4.3.1. Kursi kerja Kursi merupakan salah satu komponen penting ditempat kerja. Kursi yang baik akan mampu memberikan postur dan sirkulasi yang baik, dan akan membantu menghindari titik tidak nyaman. Pilihan kursi yang nyaman adalah kursi yang dapat diatur dan memiliki penyangga punggung (Sigit Wasi,W,2005). Tinggi bangku dirumitkan oleh iteraksi dengan tempat duduk. Desain kursi sesuai dengan kriteria agar permukaan kerja tetap dibawah siku seperti bagian sebelumnya

(Nurmianto,2003). Untuk mendesign peralatan kerja yang ergonomis agar dapat digunakan sehari-hari atau mendesain peralatan yang ada pada lingkungan
22

sebelumnya disesuaikan dengan manusia lingkungan tersebut. Apabila tidak ergonomis akan dapat menimbulkan dampak negatif pada manusia tersebut. Dampak tersebut akan terjadi baik dalam waktu jangka pendek, maupun jangka panjang. Bekerja pada kondisi yang tidak ergonomis dapat menimbulkan masalah-masalah antara lain, nyeri pinggang, MSDs, lelah dan lain-lain sebagainya (Gempur Santoso,2004). Perancangan tempat kerja untuk pekerja duduk lebih sulit karena dalam perancangan ini selain harus memperhitungkan tinggi bangku/meja kerja juga interaksinya dengan tinggi tempat duduk. Misalnya jika dirancang dengan kriteria agar tempat kerja tetap berada dibawah siku, maka sering sekali rancangan tersebut tidak nyaman pada ruang untuk lutut. Untuk menjamin cukup ruang untuk lutut orang dewasa maka diambillah persentil 95 dari ukuran telapak kaki sampai puncak lutut dan menambah kelonggaran-kelonggarannya. Menurut UCLA (2001) seperti yang dikutip oleh Nasrul Zaman (2001) Ketika duduk untuk memulai suatu pekerjaan, maka tulang belakang akan terasa sangat nyaman jika berada dalam postur netral, dimana tulang belakang posisi tegak lurus menekuk kedepan dan melengkung kebelakang. Kursi yang ergonomis yang dapat membantu mengatur posisi tulang belakang pada postur yang optimal dengan memberikan pendukung yang tepat. Satu jenis kursi untuk semua kegiatan dan semua ukuran dan semua bentuk adalah tidak tepat. Untuk kenyamanan dan kesesuaian yang lebih tepat kursi harus mengikuti penyesuaian pilihan seperti: a. Tempat duduk (dudukan) memiliki persyaratan seperti: 1) duduknya dapat disesuiakan dengan tinggi penggunaan dan tiggi permukaan kerja. 2) telah memiliki penyesuaian kemiringan untuk berbagai sudut dalam menciptakan

23

kenyamanan postur untuk berbagai pekerjaan. 3) kedalaman kursi harus sesuai untuk kedua kaki, dan berjarak 1-2 inch diantara ujung kursi dan belakang lutut. b. Belakang kursi memiliki persyaratan seperti: 1) dapat disesuaikan tinggi rendahnya untuk mendukung kenyamanan tulang belakang. 2) bentuk belakang kursi yang mengikuti garis tulang belakang. 3) sudut dari belakang kursi dapat disesuaikan untuk pekerjaan yang berbeda, bergerak maju dan mundur. c. Lengan kursi memiliki persyaratan seperti: 1) sebagai persyaratan tambahan untuk mendukung tulang belakang ketika mengambil minuman atau beristirahat diantara menjahit.2) tinggi lengan tersebut sesuai dengan tinggi lengan penggunan yang dapat digunakan untuk beristirahat dengan bahu dalam posisi santai. 3) lebar yang dibutuhkan, utamanya sesuai dengan pengguna atau rata-rata pengguna. 1. Kursi ergonomis Penerapan ergonomic dalam pembuatan kursi diharapkan untuk mendapatkan sikap tubuh yang ergonomis dalam bekerja. Sikap ergonomis ini diharapkan efisiensi dan produktivitas menigkat. Tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa agar memberikan relaksasi pada otot-otot yang sedang dipakai untuk bekerja dan tidak menimbulkan tekanan pada bagian-bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi darah dan sensibilitas bagian-bagian tubuh. Dalam mendesain kursi yang ergonomis harus memenuhi kriteria-kriteria atau aturan-aturan baku tentang tempat duduk dan meja kerja yang berpedoman pada antropometri orang Indonesia. Sesuai dengan normanorma Ergonomi yang telah disepakati dalam Lokakarya penyusunan norma-norma ergonomic tanggal 13-16 Juli 1987 sebagai berikut: a. Tinggi tempat duduk diukur dari lantai sampai pada permukaan atas bagian depan atas tempat duduk, dengan kriteria, tinggi tempat duduk harus lebih

24

pendek dari tinggi lekuk lutut sampai telapak kaki. Ukuran yang diusulkan adalah 34-38 cm. b. Panjang alas duduk, diukur dari pertemuan garis proyeksi permukaan depan sandaran tempat duduk permukaan atas alas duduk sampai garis punggung. Ukuran yang diusulkan adalah 36 cm. c. Lebar tempat duduk, Diukur pada garis tengah alas duduk melintang. Dengan kriteria harus lebih besar dari lebar pinggul. d. Sandaran pinggang. Kriteria: Bagian atas sandaran pinggang tidak melebihi tepi bawah ujung tulang belikat dan bagian bawahnya setinggi garis pinggul. e. Sandaran tangan dengan kriteria : Jarak antara tepi kedua sandaran lebih lebar dari lebar pinggul dan tidak melebihi bahu. Tinggi sandaran tangan adalah setinggi siku. Panjang sandaran tangan adalah sepanjang lengan atas.Ukuran yang diperkenankan:1) Jarak antara tepi dalam kedua sandaran tangan adalah 46-48 cm, 2) Tinggi sandaran tangan adalah 20 cm dari alas duduk, 3) Panjang sandaran tangan adalah 21 cm, 6) Sudut alas duduk dengan kriteria : Alas duduk harus sedemikian rupa sehingga memberikan kemudahan bagi pekerja untuk melaksanakan pemilihan-pemilihan gerakan dan posisi. Ukuran yang diusulkan adalah horisontal untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan sedikit membungkuk kedepan alas duduk miring ke belakang 3-5 derajat. (Sarwono, 2002). 2. Kursi non ergonomis Selain kursi ergonoms terdapat pula kursi yang tidak ergonmis, adapun criteria-kriterianya adalah sebagai berikut: 1) Kedalaman landasan tempat duduk terlalu besar sehingga bagian depan terlalu kedepan sehingga pekerja akan memajukan posisi duduknya dan menyebabkan bagian punggung tidak dapat

25

bersandar. 2) Kursi yang terlalu dan tidak dilengkapi dengan sandaran pinggang tidak dapat dimanfaatkan oleh karena mereka harus duduk maju ke depan agar dapat melakukan pekerjaannya. Ruang antara alas duduk dan tepi bawah meja terlalu sempit sehingga menyebabkan paha pekerja tertekan. 3) Sandaran pinggang yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gerakan bahu dan tangan terbatas dan posisi kerja yang tidak nyaman. (Panero,dkk,2003).

2.4.3.2. Meja Kerja Menurut Home CDC (2000) seperti yang dikutip Nasrul Zaman (2002) Beberapa persyaratan yang dibutuhkan sebagai syarat untuk sebuah meja kerja yang ergonomis adalah : meja dibuat dekan dengan pengguna agar terhindar dari penjangkauan yang terlalu jauh, permukaan harus dibuat sedemikian rupa agar tidak memencarkan cahayasilau, memiliki tempat pergerakan kaki yang cukup, memiliki jarak yang cukup untuk kursi dan meja kerja (mesin jahit). Cukup untuk ruang dari peralatan yang digunakan.

2.4.4. Faktor-faktor Resiko Lainnya MSDs disebabkan oleh multi faktor, selain faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, MSDs juga dapat terjadi karena faktor individu. Faktor individu yang mempengaruhi MSDs salah satunya adalah pengalaman kerja. Lamanya pekerja bekerja di industri mempengaruhi MSDs yang dirasakan. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa absen sakit dikarenakan karena sakit pada upper limb lebih tinggi pada pekerja yang baru dibandingkan pekerja yang telah berpengalaman, terutama pada kelompok pekerja dengan beban tinggi (Hakkanet et al, 2001).
26

2.5.

Kerangka Teoritis Berdasarkan teori yang disampaikan oleh dari Kaurikal Et al (1995), Hale and

Bernard (1996) dan NiOSH (1997) disimpulkan bahwa faktor resiko terjadinya MSDs terkait dapat disebabkan oleh Physical Factor, human factor, workstation dan Psicosocial/work organization factor.

Physical Factor - Job/Task Characteristic o Postur/sikap kerja o Beban o Durasi o Frekuensi - Objeck Characteristic o Size o Shape - Environment Characteristik

Human Factor Antropometri

Resiko (MSDs)

Psicosocial/ work organization factor Job content Work/time pressure Job control Social support Job dissatisfaction Workstation Meja kerja Kursi kerja

27

28

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1.

Konsep Pemikiran Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konseptual penelitian ini

mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Kaurikal Et al (1995), Hale and Bernard (1996) dan NIOSH (1997), maka konsep pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel independen Meja kerja

variabel dependen

Kursi kerja m Waktu kerja (durasi)

Resiko MSDs

3.2 .

Variabel Penelitian

3.2.1. Variabel Independen (Bebas) Yang menjadi variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah meja kerja dan kursi kerja responden dan waktu kerja (duration).

3.2.2. Variabel Dependen (Terikat) Yang menjadi variebel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah faktor resiko MSDs pada responden.

28

3.3.
Variable

Definisi Operasional
Cara Ukur Alat ukur Variable dependen Adalah efek-efek yang disebabkan oleh postur kerja yang tidak normal seperti postur tangan dan pergelangan, pundak, leher, punggung, leher dan kaki, jika dilakukan secara berulang-ulang Wawancara Kuisioner dalam waktu yang lama akan mengalami cidera pada tangan, cidera pada bahu dan leher, cidera pergelangan tangan, cidera punggung dan kaki. Variabel Independen Media/alat yang dipakai oleh responden dalam menunjang pekerjaannya, meja kerja harus mempunyai ukuran yang ergonomis/sesuai dengan Pengukuran Meter antropometri pekerja tersebut, seperti lebar meja, panjang meja, tinggi meja, luas meja dan jarak antara meja dengan kursi. Adalah alat/media yang digunakan responden dalam melakukan pekerjaannya, kursi kerja yang ergonomis adalah kursi kerja yang memiliki ukuranPengukuran Meter ukuran yang sesuai dengan antropometri dari responden tersebut, seperli lebar kursi, tinggi kursi, tinggi penopang lengan, dan lain-lain. Jumlah waktu dalam jam yang dihabiskan responden untuk melakukan pekerjaan, yaitu normalnya 6-8 jam sehari dan 40 Wawancara Kuisioner jam seminggu. Bila melebihi batas tersebut, maka responden berisiko mengalami MSDs. Definisi Operasional Hasil ukur Skala ukur

Resiko MSDs

- Tidak berisiko - Berisiko

Ordinal

Meja kerja

- Ergonomis - Tidak
ergonomis

Rasio

Kursi kerja

- Ergonomis - Tidak
ergonomis

Rasio

Waktu kerja (durasi)

- Ergonomis - Tidak
ergonomis

Rasio

29

30

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1.

Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif mengenai analisis faktor resiko

Muskuloskeletal Disolders (MSDs) pada penjahit di Kapong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menyelidiki postur/sikap kerja dari pada penjahit dan memberikan rekomendasi stasiun kerja yang ergonomis untuk pekerjaan tersebut dimasa yang akan datang.

4.2.

Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada penjahit di Kampong Baru Kecamatan

Baiturahman Kota Banda Aceh.

4.3.

Jadwal Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dan yang dilakukan oleh peneliti sendiri dan

bantuan asisten sebagai pengukur antropometri responden.

4.4.

Populasi dan Sampel

4.4.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini sebanyak 107 orang, yaitu penjahit yang bekerja dan membuka usahanya di Desa Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh.

4.4.2. Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposive
30

sampling dengan kriteria sampel sebagai berikut: Berumur 18 tahun. Lamanya kerja sebagai penjahit > 3 tahun, Berprofesi utama sebagai penjahit.

Berdasarkan pertimbangan diatas, maka diperoleh sampel sebanyak 78 responden.

4.5.

Pengumpulan Data

4.5.1. Data Primer Data yang diperoleh dari peninjauan langsung pada objek penelitian yaitu kelapangan melalui pengamatan dan pengukuran dengan menggunakan format kuisioner terhadap responden.

4.5.2. Data Sekunder Data yang diperoleh dari literature-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini serta pendukung-pendukung lainnya.

4.6.

Pengolahan Data Data tentang postur/sikap kerja responden akan diolah dengan langkah-

langkah sebagai beriku: 4.6.1. Editing : yaitu data yang telah terkumpul diperiksa kebenarannya, agar dapat dilakukan penelitian dengan hasil yang benar. 4.6.2. Coding : mengklasifikasikan data menurut jenisnya dengan memberikan kode tertentu untuk memudahkan dalam pengolahan data, 4.6.3. Tabulating : data yang telah terkumpul ditabulasikan dalam bentuk table distribusi frekuensi dan grafik berdasarkan variabel-variabel penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
31

Setelah dilakukan pengumpulan data antropometri, langkah selanjutnya adalah dilakukan pengolahan data antropometri untuk mengetahui ukuran-ukuran yang digunakan dalam melakukan rancangan.

4.7.

Pengujian Data

4.7.1. Pengujian Keseragaman Pengujian keseragaman diperlukan untuk mendapatkan data pengukuran yang seragam atau berasal dari sistem sebab yang sama dan berada diantara kedua batas kontrol atas dan batas kontrol bawah. Teknik paling umum dilakukan dalam pengontrolan data adalah dengan menggunakan diagram kontrol yaitu diagram yang terdiri dari tiga buah mendatar yaitu 1) garis netral, 2) batas kontrol atas dan 3) batas kontrol bawah.

4.7.2. Uji Kecukupan Data Uji kecukupan data dilakukan untuk memastikan data yang telah terkumpul telah cukup secara objektif. Pengujian kecukupan data dilakukan dengan berpedoman pada konsep statistik yaitu derajat ketelitian, dan tingkat keyakinan/ kepercayaan. Derajat ketelitian dan tingkat keyakinan/ kepercayaan mencerminkan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengkuran dalam jumlah yang banyak (populasi).

4.7.3. Uji Normalitas Uji ini diperlukan karena penerapan data antropometri hanya dapat dilakukan jika tersedia nilai mean dan standar deviasi, sedangkan distribusi normal ditandai dengan adanya nilai mean dan standar deviasi. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan metode uji Kolmogorov-Smirnov.
32

4.7.4. Penentuan Dimensi Stasiun Kerja Setelah dilakukan uji keseragaman, kecukupan dan kenormalan data, maka selanjutnya data yang diperoleh tersebut dapat dihitung nilai mean dan standar deviasinya. Hasil perhitungan nilai rata-rata dan standar deviasi akan menjadi pedoman dalam merekomendasikan dimensi dari stasiun kerja penjahit pakaian, seperti tinggi permukaan meja, tinggi kursi, lebar dudukan kursi, dan beberapa penerapan dimensi lainnya. Diharapkan setelah stasiun kerja yang direkomendasikan sesuiai dengan antropometri pengguna stasiun kerja tersebut, maka postur yang berbentuk nantinya adalah sesuia dengan postur ergonmis.

4.8.

Penyajian Data Penyajian kesimpulan dari penelitian ini dalam bentuk narasi yang

memaparkan solusi (workstation) yang akan direkomendasikan untuk dapat diterapkan dalam perkerjaan yang akan datang.

33

34

BAB V GAMBARAN UMUM

5.1.

Letak Geografis Daerah penelitian Kampong Baru merupakan salah satu Desa yang berada di kecamatan

Baiturahman Kota Banda Aceh. Adapun batas-batas desa Kampong Baru adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kp. Keudah Sebelah selatan berbatasan dengan Kp. Suka Damai Sebelah timur berbatasan dengan Kp. Peuniti Sebelah barat berbatasan dengan Kp. Pungee

5.2.

Keadaan Demografi Daerah Penelitian

5.2.1. Pendidikan Berdasarkan laporan dari kantor Geuchik Kampong Baru Kecamatan baiturahman tahun, jumlah penduduk Kampong Baru pada tahun 2010 adalah 1.911 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.011 jiwa dan perempuan sebanyak 881 jiwa dengan 660 Kepala Keluarga. Berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat kampong Baru adalah sebagai mana pada tabel 5.1 berikut ini:

34

Tabel 5.1. Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh Tahun 2010 No Pendidikan Jumlah 1. Tidak/belum bersekolah 196 2. SD/ sederajat 324 3. SMP/ sedarajat 294 4. SMA/ sederajat 748 5. Akademi/ PT 330 6. Pasca Sarjana 19 Jumlah 1911 Sumber : Kantor Keuchik Kampong Baru Tahun 2010 % 10,25 16,95 15,38 39,14 17,26 0,99 100%

Berdasarkan table 5.1 diatas tingkat pendidikan masyarakat Kampong Baru adalah yang tidak/belum bersekolah sebanyak 196 jiwa (10,25%), SD/sederajat sebanyak 324 Jiwa (16,95%), SMP/sederajat sebanyak 295 jiwa (15,38%), SMA/sederajat sebanyak 748 jiwa (39,14%), Akademi/PT sebanyak 330 jiwa (17,26%) dan pasca sarjana sebanyak 19 jiwa (0,99%).

5.2.2. Mata Pencaharian Tabel 5.2. Distribusi Mata Pencaharian Kepala Keluarga Masyarakat Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh Tahun 2010 Mata Pencaharian Jumlah PNS/TNI/POLRI 208 Wiraswasta 152 Pedagang 106 Pensiunan 20 IRT 289 Pelajar/mahasiswa 412 Lain-lain 722 Jumlah 1911 Sumber : Kantor Keuchik Kampong Baru Tahun 2010 No 1. 2. 3. 3. 4. 5. 6. % 10,88 7,95 5.54 1,04 15,12 21,55 37,78 100%

Berdasarkan table 5.2 diatas, mata pencaharian penduduk di Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh adalah PNS/TNI/POLRI sebanyak 208 jiwa (10,88%), wiraswasta sebanyak 152 jiwa (7,95%), pedagang sebanyak 106
35

jiwa (5,54%), pensiunan sebanyak 20 jiwa (1,04%), IRT sebanyak 289 jiwa (15,12), pelajar/mahasiswa sebanyak 412 jiwa ( 21,55%) dan lain-lain sebanyak 722 jiwa (37,78%).

36

37

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

6.1.

Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan dari tanggal 27-9 Agustus tahun 2010,

maka diperoleh hasil sebagai berikut.

6.1.1. Jenis Kelamin Responden Tabel 6.1 Distribusi Jenis Kelamin Penjahit Pakaian di Kampong Baru Kecamata Baiturahman Kota Banda Aceh Tahun 2010 No Jenis Kelamin 1. Laki-Laki 2. Perempuan Jumlah Sumber : data primer (diolah, 2006) Frekuensi 69 9 78 % 88.5 11.5 100,00

Berdasarkan tabel 6.1, responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 69 orang (88.5%) dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 9 orang (11.5%).

6.1.2. Pendidikan Tabel 6.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Penjahit Pakaian di Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh Tahun 2010 Dasar Menengah Akademi/PT Jumlah Sumber : data primer (diolah tahun 2010) No 1. 2. 3. Tingkat Pendidikan Frekuensi 34 43 1 78 % 43.6 55.1 1.3 100,00

Berdasarkan tabel 6.2, tingkat pendidikan responden dalam kategori dasar sebanyak 34 orang (43.6%), tingkat menengah sebanyak 43 orang (55.1%) dan tingkat tinggi sebanyak 1 orang (1.3%).

37

6.1.3. Umur TABEL 6.3 Distribusi Umur Penjahit Pakaian di Desa Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh Tahun 2010 Umur Responden (tahun) 20-30 31-40 41-50 Jumlah Sumber : data primer (diolah tahun 2010) No 1. 2. 3. Frekuensi 40 21 17 78 % 51.28 26.92 21.79 100

Berdasarkan tabel 6.3, rentang umur responden 20-30 tahun sebanyak 40 orang (51,28%), rentang umur 31-40 tahun sebanyak 21 orang (26.92%) dan rentang umur 41-50 tahun sebanyak 17 orang (21,79%).

6.1.4. Waktu Kerja (Durasi) TABEL 6.4 Distribusi Waktu Kerja Penjahit Pakaian di Kampong Baru Kecamatan Baiturahman Kota Banda Aceh Tahun 2010 Waktu Kerja (Durasi) 6-8 jam > 8 jam Jumlah sumber : data primer (diolah tahun 2010) No 1. 2. Frekuensi 42 36 78 % 53.8 46.2 100,0

berdasarkan tabel 6.4, sebanyak 42 orang (53.8%) responden bekerja selama 6-8 jam sehari dan sebanyan 36 orang (46.2%) responden bekerja lebih dari 8 jam sehari.

6.2.

Pengamatan Terhadap Stasiun Kerja Stasiun kerja penjahit merupakan hasil desain dari masing-masing produsen

yang memproduksi mesin jahit, namun secara umum ukurannya sama, baik tinggi, lebar, dan panjang mesin jahit tersebut. Sedangkan kursi yang digunakan sebagai tempat dudukan umumnya mempunyai dudukan yang tidak dilapisi dengan busa dan manyoritasnya tidak beralas, dari hasil pengamatan tidak ada satupun kursi kerja

38

yang memiliki tempat sandaran lengan, tempat sandaran punggung dan yang memiliki roda sehingga dapat digunakan untuk bergerak maju dan mundur.

6.3.

Pengukuran dimensi Mesin Jahit Dimensi mesin jahit yang digunakan pada pengukuran adalah mesin jahit

Merk Butterfly dengan dimensi sebagai berikut: Lebar mesin jahit Tinggi mesin jahit Luas dimensi mesin jahit Panjang mesin jahit Foot rest : 40 cm : 72 cm : 2.4 M : 90 cm : 25 o

6.4.

Pengukuran Antropometri Pengukuran Antropometri terhadap 78 sampel antropometri menghasilkan

dimensi yang dibutuhkan seperti yang tertera pada lampiran.

6.5.

Analisis Data

6.5.1. Penentuan Pola Data, Uji Keseragaman, Uji Kecukupan dan Uji Normalitas Data Antropometri 1. Uji Keseragaman Data uji keseragaman data dilakukan agar data yang akan kita gunakan berada dalam batas kontrol yang telah ditentukan. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut a. Langkah pertama adalah menghitung nilai rata-rata ( dari data antropometri responden. b. Menghitung nilai standar deviasi ()
39

c. Menghitung nilai BKA dengan persamaan: BKA = d. Menghitung nilai BKB dengan persamaaan : BKB =

) )

Sehingga diperoleh nilai hasil pengujian keseragaman data seperti pada tabel 6.6 berikut: Tabel 6.5 Hasil Uji Keseragaman Data Antropometri Responden No Dimensi 1. Tdt 79.038 2. Tbd 53.263 3. Tsd 18.106 4. Tp 10.973 5. Tpo 40.010 6. Pp 40.276 7. Ls 28.882 8. Lp 31.401 9. Ss 42.282 10. Ptk 23.031 11. Tmd 69.565 Sumber : data primer (diolah tahun 2010) BKA 88.21 62 23.6 14.31 44.63 45 36.66 38.24 50.34 29.35 78.5 BKB 72.91 44.52 12.6 7.63 35.38 35.55 24.1 24.56 34.22 16.71 60.62

3.0686 4.3674 2.7528 1.6718 2.3131 2.3691 2.3958 3.4298 4.0344 3.1627 4.4794

Sebagai salah satu contoh perhitungan data keseragaman tinggi duduk tegak, diperoleh batas kontrol atas (BKA) =88,21 dan batas kontrol bawah (BKB) = 72,91 yang berarti data tersebut seragam. 2. Uji Kecukupan Data Pada penelitian ini, uji kecukupan data tidak dilakukan karena keseluruhan dari sampel diukur dimensi antropometrinya. Sehingga tidak memerlukan perhitungan kecukupan data. 3. Uji Kenormalan Data Uji kenormalan data dilakukan untuk melihat apakah data antropometri tersebut berdistribusi normal atau tidak, sehingga memudahkan peneliti dalam mengambil keputusan untuk menentukan uji yang akan digunakan dalam menentukan dimensi stasiun kerja responden. menggunakan tingkat kepercayaan

40

95%, = 0,05 kemudian diuji, apakah data berdistribusi normal adalah sebagai berikut: 1. Uji hipotesis a. Ho = data berdistribusi normal b. Ha = data tidak berdistribusi normal 2. Uji statsitik dengan uji kolmogorov- smirnov a. Jika sig. > , Ho diterima dan Ha ditolak. b. Jika sig. < , Ho ditolak dan Ha diterima. Berikut ini adalah hasil dari pengujian kenormalan data antropometri. Tabel 6.6 HASIL PENGUJIAN KENORMALAN DATA ANTROPOMETRI No 1. 3. 5. 7. 9. 11. Dimensi Tdt Tsd Tpo Ls Ss Tmd Sig. .541 .025 .198 .019 .029 .908 Keterangan Data normal Data tidak normal Data normal Data tidak normal Data tidak normal Data normal No 2. 4. 6. 8. 10. Dimensi Tbd Tp Pp Lp Ptk Sig. .267 .110 .298 .014 .001 Keterangan Data normal Data normal Data normal Data tidak normal Data tidak normal

Oleh karena data tersebut ada yang berdistribusi normal dan ada yang tidak berdistribusi normal, maka jenis uji statistik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji statistik non-parametrik. Oleh karena desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif, maka konsep uji statistik tidak berlaku dalam penelitian ini.

6.5.2. Pengolahan Data Antropometri Yang Dibutuhkan Dalam Rekomendasi Dengan menggunakan nilai 95 persentil terhadap seluruh hasil pengukuran

41

dimensi tubuh, maka diperoleh nilai dimensi yang diperlukan untuk perancangan seperti yang tertera dalam tabel 6.6 berikut. Tabel 6.7 Hasil Perhitungan Mean, Standar Deviasi dan Nilai 95 Persentil Data Antropometri Pengguna Stasiun Kerja Penjahit No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Data Antropometri Tinggi duduk tegak Tinggi bahu duduk Tinggi siku duduk Tebal paha Tinggi popliteal Pantat popliteal Lebar sandaran Lebar pinggul Siku ke siku Panjang telapak kaki Tinggi mata duduk Simbol Tdt Tbd Tsd Tp Tpo Pp Ls Lp Ss Ptk Tmd cm 79.03 52.26 18.10 10.97 40.01 40.27 28.88 31.40 42.28 23.03 69.56 cm 3.06 4.36 2.75 1.67 2.31 2.36 2.39 3.42 4.03 3.16 4.47 95 persentil + 84.07 59.45 22.63 13.73 43.82 44.16 32.82 37.04 48.92 28.24 76.93

Data-data tersebut diatas selanjutnya dikonversikan kedalam dimesi yang diperlukan dalam merekomendasikan stasiun kerja penjahit, seperti dimensi yang diperlukan untuk menentukan tinggi kursi, luas dudukan kursi, tinggi meja kerja, luas meja kerja dan sebagainya. Nilai dimensi yang dibutuhkan dalam rekomendasi adalah jumlah dari nilai rata-rata masing-masing dimensi ditambah dengan nilai persentil yang digunakan dikalikan dengan standar deviasi. Dalam hal ini digunakan persentil 95 maka nilai sebenarnya adalah (Wignjosoebroto,2000),

sebagai contoh tinggi duduk tegak (Tdt) dimana = 79.03 dan = 3.06 maka tinggi duduk tegak untuk 95 persentil adalah = 79.03 + (1.65 x 3.06) = 84.07, nilai dimensi lain pada stasiun kerja penjahit seperti tersebut pada tabel 6.7 berikut.

42

Tabel 6.8 Hasil Pengolahan Data Antropometri Untuk Dimensi Stasiun Kerja Penjahit no. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 9. 6.6. Dimensi Pengukuran Tinggi tempat duduk Lebar tempat duduk Panjang tempat duduk Tinggi sandaran Lebar sandaran Tinggi meja kerja Sudut kemiringan footrest Pengolahan data antropometri (cm) Tpo + tinggi sepatu (5 cm) Lebar pinggul (Lp) Pantat popliteal (Pp) Tinggi bahu duduk (Tbd) Lebar sandaran (Ls) Tsd + TPo + tinggi sepatu (5 cm) Ukuran (cm) 50 37.04 44.16 59.45 32.82 71.45 25o

Postur Kerja Yang Terbentuk Pada Stasiun Kerja Penjahit Beberapa hal yang menjadi pembentukan postur yang salah yang ditemukan

dalam pengamatan adalah hasil dari penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan keadaan umum dari stasiun kerja penjahit yang berhubungan dengan MSDs. Rekomendasi yang diberikan diharapkan mampu mengurangi resiko MSDs pada pengguna stasiun kerja menjahit. Hasil penelitian ini tidak bisa melingkupi seluruh interaksi dan kompleksitas dari suatu lingkungan kerja tetapi dapat menjadi awal yang baik dalam memberikan dasar pengetahuan tentang masalah-masalah yang umumnya terjadi dalam suatu stasiun kerja penjahit. Sebagai contoh, rendahnya tinggi tempat duduk mungkin mengakibatkan seorang merasa nyaman karena dapat mengistirahatkan kakinya dilantai, tetapi hal ini juga dapat memberikan penekanan pada postur bagian atas tubuh berlebih lagi jika posisi meja kerja yang tidak ergonomis. Hal yang terpenting kedua yang mesti diperhatikan adalah tidak ada postur yang sempurna sepanjang waktu, dan bahwa postur yang dinamis (sering berganti-ganti postur) adalah cara yang terbaik untuk mengurangi stress dan dalam mendistribusikan tekanan yang berhubungan panjangnya waktu postur statis terbentuk.

43

6.7.

Pembahasan

6.7.1. Meja kerja Berdasarkan hasil penelitian terhadap stasiun kerja yaitu meja kerja

diperoleh hasil bahwa meja kerja yang ada pada stasiun kerja responden termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dikarenakan tinggi murni meja kerjanya adalah 72 cm. Berdasarkan hasil perhitungan peneliti dengan menggunakan hitungan 95 persenti didapatkan tinggi meja seharusnya adalah 71.45 cm. hasil tersebut sudah termasuk dengan penambahan tinggi alas kaki sebesar 5 cm. Namun jika tidak termasuk penambahan tinggi alas kaki pada meja kerja yang direkomendasikan, maka meja kerja tersebut lebih rendah yaitu 66.45 cm. Oleh karena tingginya meja kerja pada stasiun kerja responden akan menyebabkan postur kerja yang tidak nyaman seperti siku yang terlalu terangkat keatas sehingga menyebabkan postur bahu terangkat dan hal tersebut merupakan salah satu postur yang bisa memberikan kontribusi terpaparnya responden dengan MSDs.

6.7.2. Kursi Kerja Berdasarkan hasil penelitian terhadap stasiun kerja yaitu meja kerja, didapatkan bahwa kursi kerja yang ada pada stasiun kerja responden termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dikarenakan tinggi murni kursi kerja adalah 48 cm. berdasarkan perhitungan peneliti dengan menggunakan hitungan 95 persentil didapatkan tinggi kursi yang seharusnya adalah 50 cm, namun hasil tersebut telah mendapat penambahan tinggi alas kaki yaitu 5 cm. jika penambahan tinggi alas kaki tidak dimasukkan, maka tinggi dari kursi kerja yang seharusnya adalah adalah 44 cm. oleh karena tingginya kursi kerja yang ada pada stasiun kerja responden tersebut, maka akan menyebabkan postur yang tidak nyaman pada kaki yaitu kemungkinan

44

adalah kaki tergantung. Hasil lain yang dapat direkomendasikan adalah lebar tempat dudukan kursi menjadi 37.04 cm dan tinggi sandaran adalah sebesar 59.45 cm.

6.7.3. Waktu Kerja Berdasarkan penelitian terhadap waktu kerja responden, diperoleh hasil sebesar 46.2% responden bekerja lebih dari 6-8 jam sehari dan 53.2% responden bekerja 8 jam sehari. oleh karena waktu kerja merupakan salah satu dari faktor resiko MSDs, maka tinggiya waktu paparan akan menyebabkan tingginya kemungkinan responden menderita MSDs.

45

46

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1.

Kesimpulan 1. Stasiun kerja responden seperti meja kerja merupakan hasil desain dari masing-masing produsen yang memproduksinya yang umumnya berasal dari Cina. Sedangkan kursi kerja yang digunakan oleh responden pada umumnya adalah kursi yang biasa diperoleh dipasar, yang ukuran tinggi,lebar dan luas dudukan kursi tersebut tidak sesuai dengan dimensi antropometri responden. Sehingga dapat meyebabkan postur duduk yang tidak ergonomis 2. Kursi kerja yang digunakan oleh responden tidak memiliki tempat sandaran punggung dan sandaran tangan. 3. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa stasiun kerja yang digunakan oleh responden memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari ukuran yang seharusnya berdasarkan perhitungan indeks antropometri responden yaitu kira-kira 3-6 cm.

7.2.

Saran

1. Bagi Responden Kursi dan meja kerja merupakan perangkat stasiun kerja yang memberikan kontribusi yang sangat besar dalam membentuk postur kerja. Postur kerja yang salah akan meningkatkan resiko terpaparnya responden dengan MSDs. Oleh karena itu, kepada responden diharapkan untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut : Segera menyadari jika postur tubuh dalam keadaan yang tidak normal/tidak ergonomis seperti kepala menunduk, lehe menekuk, punggung membungkuk, kaki menekuk dan lain-lain.
46

Jauhkan dari posisi duduk yang statis dalam waktu yang lama. Sesering mungkin melakukan gerakan yang bersifat relaksasi, sehingga otototot kembali lentur, minimal 30 menit sekali.

melakukan istirahat periodik secara teratur setelah bekerja 45 menit s.d 1 jam.

2. Bagi Peneliti selanjutnya Jika ada peneliti yang berkeinginan melanjutkan penelitian ini, maka dapat melakukan dengan melihat hubungan MSDs dengan faktor-faktor resikonya dan melihat kekuatan hubungan antara variabel tersebut, serta melakukan penelitian mengenai rancangan stasiun kerja penjahit yang ergonomis berdasarkan data antropometri yang lebih luas.

47

Anda mungkin juga menyukai