Anda di halaman 1dari 17

IMPLEMENTASI BUDAYA KERJA MELALUI PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA (PPA)

D I S U S U N OLEH

KOMISI BIMAS DAN HAJI KANWIL KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI SUMATERA SELATAN 2012

IMPLEMENTASI BUDAYA KERJA MELALUI PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA

Bab I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Budaya kerja kementerian Agama dapat digali dari logo Kementerian Agama, yaitu Ikhlas Beramal. Dapat dipahami untuk membentuk produktivitas kerja yang dilakukan berdasarkan niat ikhlas untuk pengabdian diri kepada Tuhan untuk kebaikan bangsa dan negara. Sebagai seorang pegawai yang memiliki tugas melayani masyarakat dan lebih dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki peran sentral dan sangat penting karena para birokrat atau PNS tersebut berhubungan secara langsung dengan masyarakat sebagai abdi negara, pelayan masyarakat. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan dari sisi aktor pelaku layanan tersebut. Sehubungan dengan itu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. Disiplin budaya kerja dapat dikenali wujudnya dari nilai-nilai yang terkandung dalam sikap dan perilaku seseorang, kelompok, institusi dan sistem kerja ketika seorang birokrat dalam melaksanakan tugas. Budaya kerja yang kuat seorang birokrat

terpola dalam suatu sistem kerja yang dapat mengerjakan suatu pekerjaaan dengan baik dan dapat membangkitkan kemampuan beradaptasi dengan keadaan yang berbeda.

B. Dasar Hukum 1. Undang-Undang nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. 3. Perpres Nomor 20 Tahun 2008 tentang Perubahan Perpres nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara RI. 4. Inpres nomor 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.

C. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dari pengembangan budaya kerja melalui PPA dalam lingkungan Kementerian Agama dapat dirumuskan : Terbentuknya sikap dan perilaku kerja yang mulia dan profesional berdasarkan atas nilai-nilai ikhlas beramal sebagai suatu kebutuhan dalam mengembangkan seluruh kemampuan, kemauan dan kesempatan dalam bekerja untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sedangkan manfaatnya ialah dapat memperoleh kesempatan untuk berprestasi serta merasakan kebanggaan kerja, ikut memiliki rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Membuka jaringan komunikasi keterbukaan, kebersamaan, serta

mengembangkan jiwa gotong royong. Metode kerja yang praktis semakin efisien melalui sentuhan nilai-nilai agama. Sedangkan bagi bangsa dan negara dapat mampu menjawab masalah-masalah mendasar bangsa terutama pembangunan moral bangsa serta membangun tata pemerinthan yang baik dan memperbaiki sistem manajemen pemerintahan, serta mempercepat proses pemberantasan KKN.

Bab II Program pengembangan Budaya Kerja dan Pembangunan Zona Integritas menuju WBK (Wilayah Bebas dari Korupsi)

Pemahaman yang baik tentang budaya kerja merupakan hal yang penting ketika kita dihadapkan pada upaya peningkatan kinerja organisasi serta peran individu dan kelompok di dalamnya. Budaya kerja sering dibicarakan, tetapi jarang dipahami dengan baik. Akibatnya, upaya yang dilakukan untuk menyemai dan menumbuhkembangkan budaya kerja yang mendorong gerak organisasi ke arah yang dicita-citakan menjadi sangat terkendala.

A. Kondisi Riil Budaya Kerja dan Pembangunan Zona Integritas menuju WBK Mencintai pekerjaan dengan sepenuh hati menjadi syarat mutlak untuk terciptanya kerja keras. Bekerja keras yang sehat melibatkan penghayatan terhadap visi, misi dan tujuan kerja serta meluangkan waktunya untuk menikmati hasil kerjanya bersama keluarga, baik untuk memnuhi kebutuhan hidup sebgai makhluk biologis, psikologis, sosial maupun religius. Ada beberapa perilaku yang menunjukkan sikap mencintai kerja : 1. Mengerjakan sendiri pekerjaan yang menjadi tugasnya sampai tuntas, dengan tidak melupakan koordinasi atau konsultasi dengan pihak lain. 2. Memanfaatkan sarana dan fasilitas yang ada untuk menyelesaikan pekerjaan.

3.

Menerima amanah pekerjaan atau jabatan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

4. 5. 6. 7.

Menyeimbangkan proses dan hasil dengan bekerja sehingga hasil kerjanya baik. Memiliki kontrol diri yang baik saat-saat mengerjakan pekerjaan. Menyelesaikan pekerjaan dengan senang hati tanpa beban dan menikmatinya. Bekerja tidak gampang putus asa dan mengeluh.

Berbagai masalah budaya kerja dalam instansi pemerintah, baik instansi otonom maupun vertikal pada umumnya antara lain dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Komunitas dan konsistensi terhadap visi dan misi Kementerian masih rendah; 2. Pelaksanaan kebijakan jauh berbeda dari yang diharapkan, pengaruh budaya prestige yang lebih menonjol, sehingga aspek rasionalitas sering dikesampingkan; 3. Dalam praktek di lapangan sulit dibedakan antara ikhlas dan tidak ikhlas, jujur dan tidak jujur, perlu memahami kembali makna keadilan dan keterbukaan; 4. Perilaku KKN dapat menyebabkan KKN itu meluas pada pegawai, dunia usaha dan masyarakat, budaya KKN berpotensi menular; 5. Gaji pegawai yang relatif rendah dibandingkan dengan harga barang/jasa lainnya, tingkat kesejahteraan yang kurang memadai; 6. Belum ada sistem menit yang jelas untuk mengukur kinerja pegawai dalam standar operating prosedur (SOP) dan tindak lanjut hasil penilainnya; 7. Sikap yang berorientasi vertikal (top down) menyebabkan hilangnya kreativitas, rasa takut berimprovisasi;

8. Masing-masing bekerja sesuai dengan uraian tugas yang ada dan belum optimal untuk bekerjasama dengan unit lain, sifat individualisme lebih menonjol dibandingkan kebersamaan;

B. Tantangan dalam Pengembangan Budaya Kerja dan Pembangunan Zona Integritas menuju WBK Tantangan yang utama dalam pengembangan budaya kerja dan pembangunan zona integritas menuju WBK (Wilayah Bebas dari Korupsi) ialah transparansi. Bekerja dengan transparan adalah membuka diri terhdap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif. Serta memperhatikan hak asasi atas pribadi golongan dan rahasia negara. Transparansi membuka ruang bagi publik untuk dapat mengakses secara luas meliputi penyelenggaraan dan pelayanan pada umat beragama. Koordinasi di dalam bekerja adalah pendayagunaan dan penyesuaian antara komponen-komponen kekuatan dari berbagai sumber untuk pelaksanaan kerja sesuai apa yang dibutuhkan dalam bekerja. Koordinasi dilakukan sejak penyusunan kerja, proses, hingga pada hasil dan pertanggungjawabannya. Transparansi erat sekali hubungannya dengan kemauan aparat untuk berkoordinasi dengan yang lain. Transparansi membuka peluang bagi yang lain untuk ikut terlibat secara koordinatif dalam suatu tim kerja sehingga masing-masing anggota tim memperoleh peran sesuai kapasitas dan wewenangnya sebagai aparatur negara.

Ada beberapa indikasi yang menunjukkan transparansi dan koordinasi dalam kerja : 1. Membuka diri terhadap saran dan masukan dari orang lain untuk

menyempurnakan tugasnya. 2. Berpikir positif terhadap sikap dan perilaku orang lain. 3. Melibatkan seluruh pihak terkait sesuai batas kewenanangan masing-masing, sehingga seluruh anggota mendapatkan peran. 4. Tidak melakukan tindakan diluar ketentuan yang telah disepakati. 5. Adanya integrasi kerja yang baik terhadap seluruh kegiatan yang direncanakan dalam mencapai tujuan bersama. 6. Berpartisipasi aktif dan memberikan kontribusi nyata dalam setiap kegiatan, sesuai dengan keahlian. 7. Saling mengkomunikasikan setiap permasalahan yang timbul sehingga dapat dicarikan solusi bersama tanpa melukai perasaan pihak lain. 8. Saling percaya antara atasan, bawahan dan antar anggota kelompok kerja.

C. Program Nyata Pengembangan Budaya Kerja dan Pembangunan Zona Integritas menuju WBK Nilai dasar ikhlas beramal dapat menggerakan etos kerja aparat supaya menjelma menjadi sosok, yang gigih dan bersungguh-sungguh dalam bekerja serta memiliki komitmen yang tinggi. Nilai daras ini akan mempengaruhi kualitas kerja karena pada

prinsipnya setiap orang ingin meng-aktualisasikan nilai yang diyakini kebenaranya. Kata ikhlas beramal dapat di-identifikasi memiliki tiga fungsi: 1. Fungsi jati diri, berlaku bagi individu yang merefleksikan karakter pribadi dalam kesiapannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban baik dalam kehidupan selaku pribadi maupun dalam intraksinya dengan keluarga dan masyarakat. 2. Fungsi kinerja, berlaku sebagai landasan komitmen bekerja aparatur yang siap mengabdikan dirinya dengan penuh keikhlasan dan senan tiasa meningkatkan mal shaleh. 3. Fungsi dawah, berlaku sebagai citra kelembagaan yang menjadi penjaga moral keagamaan bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan menebarkan Ikhlas Beramal mencerminkan eksitensi kementerian Agama sebagai garda reformasi.

Berdasarkan paparan di atas, maksud ikhlas beramal sebagai nilai dasar budaya kerja kementerian agama dapat diformulasikan sebagai bekerja secara total, tanpa pamrih. Pelaksanaan nilai dasar ikhlas beramal di lingkungan kementeria agama akan membentuk persepsi bagi seluruh aparatur. Persepsi kerja yang menjadi pijakan budaya kerja aparatur kementerian agama terakumulasi dalam tiga hal: 1. Kerja adalah pelayanan, diartikan sebagai kesadaran diri yang diikuti kerendahan dan kerelaan hati dalam ber-intraksi langsung sebagai upaya melayanani kebutuhan orang lain, sehingga para stake holders terpuaskan dan terbahagiakan. Kualitas pelayanan harus mememenuhi lima prinsip:

Pertama,

melayani

dengan

memfasilitasi

seluruh

kebutuhan

fisik,

perlengkapan dan sarana transportasi dan komunikasi. Kedua empati, melayani dengan melakukan hubungan interpersonal yang komunikatif, penuh perhatian dan memenuhi kebutuhan para pelanggan. Ketiga, melayani keinginan para pelanggan secara tanggap. Keempat, kemampuan memberikan layanan yang di janjikan dengan dengan segera, akurat, handal dan memuaskan dan Kelima, pegawai yang memiliki kemampuan kesopanan dan sifat yang dapat dipercaya dalam memberikan pelayanan. 2. Kerja adalah pemberdayaan, pemberdayaan mengandung makna adanya perubahan pada diri seseorang dari ketidakmampuan menjadi mampu, dari ketidakmemiliki kewenangan menjadi memiliki kewenangan, dari

ketidakmampuan untuk bertanggungjawab menjadi memilki tanggungjawab terhadap sesuata yang dikerjakan. Kemitraan sebagai hasil pemberdayaan menuntut adanya bekerja secara mandiri dan memiliki inisiatif untuk bekerja lebih maju sekalipun tanpa bantuan, bekerja dengan saling bersinerji dalam team, bekerja selalu dalam jaringan dan bekerja dengan menghargai karya orang Lain. 3. Kerja adalah peneladanan, keteladanan menuntut adannya integeritas diri aparatur negara melalui sikap prilaku terpuji, karena dengan pemenuhan persyaratan ini akan mampu mengembangkan citra kementerian agama sebagai sumber inspirasi dan teladan moral bangsa. Seorang pemimpin harus

mampu menjadi model panutan dalam pengembangan budaya kerja untuk masing-masing program kerja.

D. Pelaksanaan Program dan Uraian Tugasnya Pengawasan dengan pendekatan agama akan dilakukan melalui usaha-usaha dengan menerapkan sikap atau sifat-sifat khas yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk berprilaku dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek atau lembaga tertentu. Diantara usaha-usaha tersebut ialah sebagai berikut: 1. Jujur dan memiliki integritas tinggi, dibangun dan ditingkatkan guna tercapainya peningkatan pengetahuan, kesadaran, penghayatan aparat tenteng nilai itegritas kejujuran serta meng-aplikasikannya dalam setiap perkataan dan tindakan demi tercapainya keselarasan niat, pikiran perkataan dan perbuatan baik. Usaha untuk mencapai hal tersebut adalah: a. Melakukan pembinaan mental dan spiritual secara periodik. b. Membuat pamplet/stiker/leaflet tentang jujur dan integritas dan menempelkannya di tempat yang sering dilalui aparat. c. Mengadakan pelatihan dan peningkatan spiritual emosional.

2. Memikili etika, akhlaq mulia dan memberi suri tauladan, dibangun dan ditingkatkan guna tercapainya peningkatan kearifan dan kebijakan aparat dalam memberikan pelayanan dalam masyarakat. Usaha untuk mencapai hal tersebut adalah:

a. Melakukan pembinaan mental dan spiritual secara berkala sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. b. Menempelkan kata-kata bijak atau kata mutiara ditempat yang sering dilalui aparat. c. Melakukan program pemberian penghargaan kepada aparat yang ber-prestasi secara priodik.

3. Taat hukum dan aturan-aturan yang berlaku, dibangun dan ditingkatkan guna terwujudnya loyalitas, ketundukan dan kepatuhan aparatur negara pada hukum dan aturan yang berlaku, terlaksananya tuga-tugas pemerintahan sesuai dengan SOP dan peningkatan kedisiplinan aparat. Usaha untuk mencapainya dengan aksi: a. Memastika aparatur negara memehami tata aturan dan SOP. b. Melakukan evaluasi dan supervisi uraian tugas. c. Membudayakan perasaan malu untuk melakukan penlanggaran hukum. Misalnya dengan menempelkan tulisan aku malu melanggar hukum di pintu masuk. 4. Bertanggungjawab dan akuntabel, dibangun dan ditingkatkan guna tercapainya peningkatan kesiapan melakukan pertanggujawaban atas tindakan-tindakan yang dilakukan, terwujudnya pertanggungjawaban atas setiap proses dan hasil kinerja serta terdokumentasikannya laporan pertanggujawaban dari tugas kegiatan. Usaha untuk mencapainya : a. Membuat tugas dan tanggung jawab bagi setiap aparat dan membuat laporannya secara periodik.

b. Membuat SOP yang jelas untuk masing-masing bidang. c. Membuat laporan pertanggungjawaban untuk setiap tugas dan kegiatan. 5. Hormat kepada hak-hak orang lain dan tidak mudah menyalahkan orang lain dan terciptanya suasana saling menghargai dan menghormati sehingga hubungan semakin harmonis. Usaha untuk mencapainya : a. Mensosialisasikan hak dan kewajiban. b. Menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati. c. Mengharmonisasikan hubungan kerja. 6. Mencintai pekerjaan dan bekerja keras, dibangun dan ditingkatkan guna terlaksananya kerja keras dengan didorong oleh kekuatan cinta bukan karena takut hukuman atau mengharapkan hadiah. Usaha yang dilakukan : a. Meningkatkan motivasi kerja dengan melalui pelatihan. b. Mengembangkan pelayanan prima. c. Membuat tolok ukur tugas dan kegiatan. 7. Meningkatkan transparansi dan koordinasi, dibangun dan ditingkatkan guna terkoordinasi dan terarahnya program kegiatan. Usaha yang dilakukan : a. Melakukan keterpaduan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai tahap monitoring dan evaluasi program kerja. b. Memasang kotak saran perbaikan kinerja. c. Membuat hotline, telpon dan sms. 8. Disiplin dibangun dan ditingkatkan guna tercapainya peningkatan kesadaran dalam mentaati semua peraturan. Usaha yang dilakukan :

a. Membuat kontrak dan komitmen kerja b. Membuat sistem pengawasan yang tegas. c. Menegakkan disiplin. d. Melaksanakan advokasi atas pelanggaran hukum. 9. Bersahaja, dibangun dan ditingkatkan guna terwujudnya sikap dan perilaku sederhana. Usaha yang dilakukan : a. Mengembangkan sikap hidup sederhana. b. Membudayakan gaya hidup yang simpel sesuai dengan kebutuhan. c. Membuat anggaran kegiatan pengadaan barang dan membelanjakan secara wajar sesuai kebutuhan.

Bab III Monitoring dan Evaluasi

A. Bentuk Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Menyelenggarakan sebuah kegiatan monitoring dan evaluasi yang melibatkan personill pusat dan daerah. Monitoring dan evaluasi dapat menugaskan tim monitoring dan evaluasi ke daerah yang akan dan telah memperoleh sosialisasi budaya kerja melalui pengawasan dengan pendekatan agama dengan tujuan mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan rencana aksi.

1. Mekanisme monitoring dan evaluasi a. Perumusan sistem dan instrumen monitoring dan evaluasi. b. Penetapan lokasi monitoring dan evaluasi. c. Penyusunan tim pelaksana. d. Pelaksanaan e. Pelaporan, dan f. Evaluasi 2. Tahapan monitoring a. Persiapan awal, ditempuh melalui bebarapa langkah : Mengidentifikasi tujuan monitoring. Membentuk identifikasi program perioritas Menyusun agenda analisa

Membuat penilaian tentang derajat kinerja Mengumpulkan data dan informasi Menyusun rencana kerja

Bab IV Penutup A. Kesimpulan 1. Bekerja merupakan bagian dari aktualisasi diri bagi individu dalam mengaplikasikan pengetahuan, kemampuan dan bahkan nilai keyakinan yang dimiliki, karena bekerja tanpa nilai keyakinan akan berdampak pada kehilangan arah atau disorientasi yang akhirnya dapat melahirkan kehampaan makna. 2. Budaya kerja yang selama ini diterapkan secara bertahap dapat memberikan kontribusi pembinaan dan pengembangan aparatur dengan melibatkan unsur PPA, diharapkan budaya kerja akan lebih baik dan efisien. 3. Melalui unsur PPA diharapkan dapat menyentuh sisi terdalam hati nurani aparat sehingga mereka mau dan mampu mempertanggung-jawabkan amanah kerja yang telah diterima.

B. Saran 1. Perlu memperbanyak sosialisasi PPA dari tingkat pusat, wilayah dan

kabupaten/kota. 2. Membentuk tim evaluasi pelaksanaan PPA di tingkat provinsi. 3. Menjalin kerjasama dengan instansi lain/terkait. 4. Perlu dianggarkan dana untuk sosialisasi dan monitoring PPA di semua tingkatan. 5. Menjalin kerjasama dengan tokoh lintas agama.

Anda mungkin juga menyukai